“Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka,” seruan Bung Tomo yang mengobarkan para pejuang ini menjadi cerita sejarah yang selalu diperingati setiap 10 November.
“Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka,” seruan Bung Tomo yang mengobarkan para pejuang ini menjadi cerita sejarah yang selalu diperingati setiap 10 November.
Seburuk apapun hari kemarin, Allah selalu menyediakan hari baru yang bisa kita manfaatkan untuk memperbaiki kesalahan yang telah lalu dan memberi kesempatan untuk merangkai kisah yang lebih indah .Semoga Allah meridhoi setiap langkah kita... aamiin...
Sejatinya, Islam adalah agama yang sangat efektif, efisien, dan juga sangat komprehensif. Umat Islam akan selalu diberikan berbagai peluang terbaik untuk dapat mendapatkan pahala yang optimal dari Allah SWT. Ayat-ayat Alquran serta ribuan hadits shahih seolah memaksa umat Islam untuk dapat berstrategi dalam beribadah dengan tujuan meraih pahala maksimal dari Allah SWT.
Begitu juga dengan salah satu amalan ibadah yang dilakukan oleh seorang Muslim sejati, yaitu bersedekah. Ada 5 waktu terbaik yang kalau kita dapati waktu berikut ini, maka perbanyaklah sedekah. Di samping ada hadits khusus, juga waktu yang ada secara umum adalah waktu terbaik beramal shalih secara mutlak.
1. Saat masa krisis, bencana dan kebutuhan hidup melilit (QS. Al-Balad : 11-14)
2. Saat peristiwa yang menakutkan seperti saat terjadi gerhana matahari atau saat peperangan (HR. Bukhari no. 1044 dan Muslim no. 901)
3. Sepuluh hari pertama Dzulhijjah (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968)
4. Bulan Ramadhan (HR. Bukhari no. 1902 dan Muslim no. 2308)
5. Hari Jumat (HR. Muslim no. 2912)
Semoga Allah Subhanahu Wata'ala senantiasa menjadikan kita manusia yang beruntung & bermanfaat dunia akhirat, serta diberikan rizki melimpah yang barokah dan terijabah seluruh hajat yang kita impikan selama ini. Aamiin
Setiap bertemu orang Jawa, saya selalu bertanya, "Jawanya mana Pak/Bu?" Saya akan sangat bahagia kalau ternyata yang saya tanyai itu berasal dari Wonogiri, kota kelahiran tercinta.
Demikian halnya kemarin, saat pulang makan siang di luar kantor, saya dan teman-teman naik taksi biru. Saya duduk di bangku depan samping sopir. Saya baca nama sang sopir, wah namanya ****min. Dari Jawa nih. Langsung deh saya buka percakapan. Senangnya, beliau dari Wonogiri.
Saya pun 'ngepoin' beliau. Konon, beliau sudah merantau ke Jakarta sejak tahun 1989 (saat saya masih bayi dong 😎), kemudian bekerja di sebuah perusahaan. Sayang, krisis 1998 membuatnya di PHK. Tahun 1999 Pak Min mencoba cari nafkah dengan jadi sopir taksi. Alhamdulillah bertahan sampai sekarang.
"Mengapa memilih jadi sopir dan tidak berjualan, Pak? Kan banyak orang Wonogiri yang jualan bakso." "Iya, Mbak. Saudara saya sudah banyak yang jualan bakso. Saya mau profesi yang berbeda." Pak Min punya dua orang anak. Putri sulungnya baru semester awal di IPB dan yang kedua baru SMP.
Saat sudah masuk pelataran kantor saya, Pak Min menutup obrolan kami. "Zaman sekarang memang makin susah, Mbak. Tapi kita harus bersyukur. Sing penting ngeroso cukup. Insya Allah mboten bakal susah." Ah, makclessss.. Terima kasih atas inspirasinya Pak Min.
#WonogiriSukses 😍
Sejak pindah ke Depok tahun 2016, saya resmi menjadi anggota ROKER (Rombongan Kereta). Tiap pagi saya naik KRL dari Stasiun Pondok Cina (Pocin), Depok dan turun di Stasiun Gondangdia. Stasiun Gondangdia lokasinya tidak jauh dari kantor. Saat sudah pindah ke Bogor ini, saya naik dari Stasiun Bogor dan tetap turun di Stasiun Gondangdia.
Oh iya, ada hal yang menarik yang dari 2016 lalu tidak berubah sampai sekarang. Pemandangan yang selalu membuat saya trenyuh dan takjub, tapi melahirkan syukur dan semangat ketika akan keluar dari Stasiun Gondangdia.
Apakah gerangan?
Mereka adalah para pejuang keluarga. Seorang bapak penjual koran yang tuna netra dan seorang bapak penjual pisang yang kakinya cacat yang berjualan dekat gerbang pintu keluar bagian utara di stasiun Gondangdia. Saya sering bertransaksi dengan kedua bapak ini. Saya kagum dengan bapak penjual koran. Beliau selalu tepat memberikan nama koran yang saya beli padahal ada setumpuk koran beda nama yang dia bawa. Saya juga salut dengan bapak penjual pisang. Meski hanya bertopang pada satu kaki dan kadang di bantu kruk dari kayu, tapi beliau selalu bersemangat menawarkan barang dagangannya. Saya banyak belajar dari mereka yang mungkin secara lahiriah dipandang tak sempurna secara fisik tapi selalu semangat dalam menyempurnakan ikhtiar mencari rezeki. Terima kasih, para inspirator... Kalau sahabat -yang fisiknya lebih sempurna-, lalu merasa malas bekerja atau ada yang ogah-ogahan mencari nafkah, mungkin bisa datang ke Stasiun Gondangdia. Mengambil inspirasi sebanyak-banyaknya dari mereka.
.
Sejak kuliah S1 tahun 2005 lalu, saya mempunyai sebuah catatan-catatan impian yang kemudian saya salin ke dalam sebuah buku (dream book). Kemudian pada tahun 2009, saat mengikuti seminar enterpreneur dengan mentor Bapak Heppy Trenggono di UNDIP Semarang, kami ditantang membuat Dream Board. Impian-impian yang dituliskan harus divisualisasikan dalam bentuk gambar kemudian ditempel di selembar kertas besar.
Seminar itu sangat berpengaruh dalam kehidupan saya. Impian-impian yang saya tuliskan membuat hidup saya lebih bersemangat. Mereka sangat memotivasi saya.
Salah satu impian yang saya tulis adalah "Foto di Jembatan Ampera Palembang". Impian itu tertulis dalam daftar ke-71. Saya menuliskannya pada tahun 2009. Alhamdulillah, Allah mewujudkannya dengan cara tak terduga.
Tanggal 20 November 2011 saya dan saudari kembar saya diundang mengisi seminar nasional kemuslimahan di Universitas Andalas, Padang. Pada saat bersamaan saya launching buku "The Secret of Shalihah". Dan waktu itu ada pesanan distributor Palembang sebanyak 40 buku. Dengan sedikit nekat, saya dan saudari kembar saya menuju Palembang dengan naik bus dari Padang padahal jaraknya sangat jauh.
Alhamdulillah, impian ke-71 saya akhirnya terwujud. Saya bisa menjejakkan kaki di Bumi Sriwijaya, foto di Jembatan Ampera sambil menikmati sungai Musi kala senja. Bahkan sejak itu, saya jadi sering ke Palembang karena menikah dengan pemuda dari Lahat, Sumsel. Bonus dari Allah 😍.
Nah, apa impian Sahabat yang terwujud dengan indah bahkan Allah kasih bonus lebih? Gantian cerita yok!
Pagi tadi, setelah hujan reda dan saya tuntas mencuci semua perabot dapur -seriusan, semuanya dicuci sampai rak dan almarinya. Heheu, karena baru pindahan jadi semuanya harus bersih-, kami mulai latihan perdana panahan. Sebenarnya saya sudah pernah belajar memanah di Eco Pesantren Daarut Tauhid Bandung milik Aa' Gym tahun 2015 silam, jadi sudah 3 tahun nggak pegang busur. Agak-agak canggung di awal. Meski pada akhirnya berhasil membidik sasaran dengan tepat di warna kuning. Baru 4 kali melepaskan anak panah sudah berkeringat. Benar-benar olahraga 😁.
Memanah adalah salah satu olahraga sunnah. Rasulullah Saw. bersabda, "Kamu harus belajar memanah karena memanah itu sebaik-baik permainanmu," (HR. Al-Bazzar dan Thabrani dengan sanad yang baik). Hikmah dari belajar memanah adalah kita bisa berlatih fokus dan belajar memanajemen emosi. Selain itu tentu untuk melatih kekuatan fisik kita terutama otot tangan.
Insya Allah banyak manfaat dari olahraga sunnah yang satu ini. Rasulullah Saw. juga pernah bersabda, "Segala sesuatu yang di dalamnya tidak ada zikir kepada Allah merupakan kelalaian dan perbuatan sia-sia, kecuali empat hal, yaitu bercanda dengan keluarga, belajar memanah, belajar berenang, dan belajar berkuda." (HR. An-Nasa'i) .
Semangat belajar memanah!
Semalam pasti banyak yang berada di depan TV untuk menyaksikan debat perdana Capres dan Cawapres. Pun demikian dengan saya dan suami. Saking antusiasnya, sampai suami membeli dua kotak martabak untuk camilan. Satu kotak martabak telor dan satu kotak martabak cokelat kacang. Nyummy 😍. Debat direncanakan akan dimulai pukul 20.00. Sambil menunggu, saya duduk di sofa sambil membaca. Suami duduk di lantai dekat sofa. Beberapa waktu kemudian, ternyata kami ketiduran 🤣. Sekitar jam 21.00 baru terbangun untuk pindah tempat ke karpet depan TV dan sempat menyaksikan debat. Sambil ngemil martabak tentunya.
Setelah menyaksikan debat fullnya di Youtube pagi tadi saat perjalanan di KRL dari stasiun Bogor sampai stasiun Gondangdia, saya teringat sebuah pepatah Jawa "Ajining dhiri dumunung ana ing lathi", yang artinya nilai/kualitas diri (kepribadian seseorang) tergantung dari ucapannya. Lantas membatin, dari debat capres-cawapres semalam tentunya masyarakat makin bisa menilai siapa yang nantinya akan dipilih sebagai pemimpin negeri ini di tanggal 17 April 2019 nanti.
Sempat terlintas dalam pikiran saya, berapa ya nilai diri seseorang dilihat dari perkataannya, ketika apa yang dia katakan adalah dari hasil mencontek dan mungkin berasal dari buah pikiran orang lain?
Hehe... Saya kira semua sudah cukup cerdas untuk menilai. Itu tadi hanya sekelebat lintasan pikiran saya dalam perjalanan pagi tadi.
Dalam memilih -tanpa intervensi-, tentunya dibutuhkan ketenangan hati dan kejernihan berpikir. Tidak sekadar ikut-ikutan. Dalam menyatakan keberpihakan juga harus cerdas, jangan sampai melahirkan kata-kata pedas yang tak beretika. Saling kritik boleh, tapi dengan santun. Jangan berisik!
Jujur, saya ingin segera tanggal 17 April 2019. Bukan karena pilpres dan pileg saja, tapi juga ingin cuti sepekan dan mudik. Hehe.. Oh iya, kira-kira saya akan memilih paslon 01 atau 02 ya? - Hmm... Maaf, saya tidak akan memberikan kisi-kisinya! 😂
#latepost
Oktober 2018
"Na, kayaknya aku masih ada utang 50.000 rupiah deh sama almarhumah Wiwid waktu OSIS dulu. Rasanya masih ngganjel gitu, agak lupa sih sudah kubayar apa belum. Tapi biar aku tenang, tolong bayarin ke keluarganya ya, Na. Kan rumahmu deket," pesan singkat Anto lewat WhatsApp yang kuterima pagi tadi. Anto adalah ketua OSIS saat kami masih SMA dulu. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya kami tersambung kembali beberapa hari lalu. Anto sekarang sudah di Semarang, telah menikah dan punya anak perempuan yang lucu. . .
Siang harinya, sepulang dari mengajar, aku sempatkan ke rumah almarhumah Wiwid untuk mengantarkan uang Rp 50.000,- sebagai amanah dari Anto. Alhamdulillah, langsung diterima ibundanya Wiwid. Lega deh rasanya, langsung aku kabarkan ke Anto kalau amanahnya sudah kutunaikan. . "Makasih, Na. Aku dah tenang sekarang," jawab Anto singkat sebagai tanggapan atas laporanku. .
16 Januari 2019.
Beranda instagramku penuh dengan postingan #10yearschallenge. Ada postingan Anto juga yang menyandingkan fotonya di tahun 2009 dan 2019. Dia berkelakar kalau tidak ada perubahan signifikan. Aku komen juga di postingannya, "Wah, tambah makmur nih.." .
17 Januari 2019.
Sekitar jam 12.00 siang, saat jam istirahat mengajar, aku buka pesan WhatsApp. Aku terduduk lemas di meja kerjaku saat membaca rentetan ucapan bela sungkawa di grup alumni OSIS. Aku syok membaca kabar bahwa Anto meninggal jam 10.00 pagi tadi. Dia kena serangan jantung saat sedang ikut pelatihan di Malang. .
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Berita kematian di siang itu seolah semakin menyadarkanku bahwa hadirnya kematian itu sebuah kepastian. Kita tinggal menunggu giliran untuk dipanggil pulang. .
Selamat jalan, Anto. Insya Allah, husnul khatimah karena engkau berpulang di saat mencari nafkah.. .
NB : cerita ini terinspirasi dari kisah nyata. .
Ahad pagi, saat hendak pergi, saya lihat bu RT sedang membeli jamu. Bukan jamu yang digendong seperti penjual jamu pada umumnya. Ibu penjual jamu ini naik motor. Keren, ya? Penjual jamu zaman now! . 🎒
.
Saya ikut bergabung membeli jamu dengan Bu RT. Saya pun kepo pada si penjual. "Bu, aslinya dari mana?" Beliau antusias menjawab, "Dari Tawangsari, Sukoharjo." Saya sumringah, "Wah, deketan dong sama saya. Saya dari Wonogiri. Sekarang tinggal di mana, Bu?" "Di warung bakso depan komplek itu lho, Teh. Yang jual bakso itu suami saya," jawab si Ibu. "Ibu dah berapa lama tinggal di Bogor?" tanya saya lagi. "Sudah lama, Teh. 22 tahun," jawab si Ibu sambil menyodorkan jamu pahit campur pesanan saya.
Bakso depan komplek yang notabene milik suami ibu penjual jamu 'nyentrik' itu sangat laris dan memang terkenal enak. Bahkan tempat dagangnya sangat 'wow'. Perjalanan mereka selama 22 tahun merantau sampai detik ini tentunya penuh dengan kerja keras.
Pada hakikatnya, bukan berapa lama kita merantau, bukan berapa pundi rupiah yang telah berhasil kita dapatkan dan kumpulkan, tapi seberapa besar manfaat yang telah kita sebarkan pada sekitar. Baik di tempat perantauan kita maupun di tempat kelahiran yang kita tinggalkan.
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang.
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. ~ Imam Syafi'i
Saya tidak akan bertanya berapa lama sahabat merantau, tapi pertanyaan saya adalah : kalau beli jamu, suka beli jamu apa? 🤭