
Judul Resensi : 2012-an Ancur!
Judul Buku : 2012-an; Seribu Enam, Kalau Nggak Percaya Tanya Toko Sebelah!
Penulis : Iwok Abqary
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House
Terbit : Mei 2010
Tebal : 224 halaman
Harga : Rp 34.000,00
Sudah nonton film 2012 kan? Memang, film 2012 menjadi film terheboh
beberapa waktu silam. Film tersebut juga berhasil menjadi film
‘termurah’. Pasalnya, tanpa merogoh kocek Rp 15.000,- untuk menonton
film itu di XXI, banyak orang yang dengan mudahnya bisa menonton gratis
atau hanya mengeluarkan Rp 5.000,- untuk membeli CD bajakannya. Dasar
orang Indonesia, membajak kepingan CD memang lebih prospek daripada
membajak sawah, begitu mungkin jalan pikirannya.
Saya tidak akan membahas film 2012. Sudah jadul. Kali ini saya akan
mencoba berbagi review tentang buku baru saya. Baru beli dan baru baca
maksudnya! Buku ini berisi kumpulan cerpen ancur yang ditulis oleh
penulis-penulis yang tak kalah ancur. Eits, maaf! Ancur tulisannya
(gokil banget, -red). Cerpen-cerpen di dalam buku ini memang memberikan
efek negatif yakni membuat pembaca senyum-senyum atau ketawa-ketiwi
sendiri. Nah lo!
Buku ini berisi 12 judul cerpen yang mengisahkan
kekonyolan-kekonyolan para tokoh dalam menghadapi isu kiamat di tahun
2012. Ke-12 judul itu antara lain : Jomblo Parno (Iwok Abqary),
21-12-2012 is Dead! (Dhinny El-Fazila), Ki Amat Sudah Dekat (Taufan E.
Prast), Ada Apa dengan Tangky (Lia Chufyana), Kiamat itu Pedas! (Tria
Ayu K), Dua Ribuan Ujang (Azzura Dayana), 2012 (Zulfian Prasetyo), Gokil
Show (Ratno Fadillah), Kiamat? Bolos Sekolah, Ah! (Rex), Kiamat Pulsa
(Taufan E. Prast), 20:12 (Lian Kagura), dan Kiamat Datang Lebih Cepat
(Abdul Gafur).
Meskipun dibalut dengan kisah-kisah kocak dari setiap
pemain (tokoh) dalam masing-masing cerpen, hadirnya buku ini juga
membawa pesan yang sangat mulia, yakni mengingatkan kita bahwa kiamat
memang sudah dekat. Kiamat besar yang ditandai dengan luluh lantaknya
alam raya ini pasti terjadi, entah kapan, dan kita semua dituntut untuk
mempersiapkannya. Membekali diri kita dengan iman dan amal sholeh yang
seharusnya semakin kita tambah di setiap detiknya.
Buku ini bagus
untuk menambah tumpukan koleksi buku di perpus Anda (nambah 1.5
centimeter tingginya!), bagus juga untuk bahan dongeng sebelum tidur,
atau untuk bantal juga bisa (weh!). Okelah, daripada lama-lama membaca
tulisan saya ini, saya sarankan untuk segera membaca buku ini saja! Sip,
selamat membaca dan tertawa karenanya! Mumpung belum dilarang tertawa!
Tapi hati-hati, karena banyak tertawa dapat mematikan hati. So,
Waspadalah! Waspadalah!!!
Jakarta, 130610_23:15
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Juni 2010 di blog sebelumnya

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...
Pada
hari Selasa, 8 Juni 2010 UNS kehilangan sosok mahasiswa terbaiknya...
Selamat jalan dhek Septi Kuntari (FKIP'07_membawa bendera ungu), semoga
amal ibadahmu diterima Allah SWT.. aamiin... Kebersamaan kita di kampus
dulu meski cm singkat, semoga akan mjd pengingat, bahwa suatu saat diri
ini akan menyusulmu... itu PASTI! Selamat jalan adikku...
***
Sebuah perenungan…
ANDAI AKU DIMAKAMKAN HARI INI
Perlahan, tubuhku ditutup tanah.
Perlahan, semua pergi meninggalkanku.
Masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka
Aku sendirian, di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri, menunggu keputusan...
Istri, belahan hati, belahan jiwa pun pergi,
Anak, yang di tubuhnya darahku mengalir, tak juga tinggal,
Apa lagi sekedar tangan kanan, kawan dekat, rekan bisnis, atau orang lain,
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.
Istriku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,
Anakku menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,
Tangan kananku menghibur mereka, kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,
Tetapi aku tetap sendiri, disini, menunggu perhitungan ...
Menyesal sudah tak mungkin. Tobat tak lagi dianggap.
Dan ma'af pun tak bakal didengar, aku benar-benar harus sendiri...
Ya .ALLAH...
(entah dari mana kekuatan itu datang, setelah sekian lama aku tak lagi dekat dengan-Nya, tiba-tiba saja aku ingin menyebut-Nya)
Jika kau beri aku satu lagi kesempatan,
Jika kau pinjamkan lagi beberapa hari milik-Mu, beberapa hari saja...
Aku akan berkeliling, memohon ma'af pada mereka,
Yang selama ini telah merasakan zalimku, yang selama ini sengsara karena aku,
Yang tertindas dalam kuasaku, yang selama ini telah aku sakiti hatinya
Yang selama ini telah aku bohongi...
Aku akan kembalikan, semua harta kotor ini,
Yang kukumpulkan dengan wajah gembira, yang kukuras dari sumber yang tak jelas,
Yang kumakan, bahkan kutelan yang sudah jelas haram...
Aku harus tuntaskan janji-janji palsu yang sering kuumbar dulu
Dan ALLAH...
Beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada ayah dan ibu tercinta,
Teringat kata-kata kasar dan keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku ayah dan ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu
Beri juga aku waktu, untuk berkumpul dengan istri dan anakku,
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh ...
Aku sungguh ingin bersujud dihadap-Mu, bersama mereka...
Begitu sesal diri ini karena hari-hari telah berlalu tanpa makna
Penuh kesia-siaan ...
Kesenangan yang pernah kuraih dulu, tak ada artinya sama sekali
Mengapa kusia-siakan saja waktu hidup yang hanya sekali itu
Andai aku bisa putar ulang waktu itu ...
Aku dimakamkan hari ini, dan semua menjadi tak terma'afkan,
Dan semua menjadi terlambat, dan aku harus sendiri,
Untuk waktu yang tak terbayangkan ...
Sumber : http://www.facebook.com/pages/Renungan-Islam/112879985422916
Jakarta, 080610
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Juni 2010 di blog sebelumnya

Rabu, 2 Juni 2010
Pukul
20.00 saya baru tiba di REDZONE (rumah mungil sekaligus kantor pribadi
saya, tempat saya menelurkan karya :D). Uhf, sebenarnya sesuai yang
direncanakan di awal, harusnya malam ini saya sudah berada dalam armada
yang mengangkut saya pulang ke kampung halaman. Besok saudari kembar
saya akan wisuda S1. Hmm, tapi berhubung amanah di kantor tidak bisa
ditinggalkan ditambah lagi tanggal 5 Juni 2010 akan ada ujian tahsin.
Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak pulang. Orang tua juga memberi
izin dan memaklumi ketidakpulangan saya.
Sehabis
makan malam, ada SMS yang berisi seruan untuk mengikuti aksi
solidaritas Palestina jam 13:00 berkumpul di Bundaran HI. Hmm,
semangatku kembali menyala! Jadi teringat masa-masa kuliah dulu. Rela
bolos kuliah untuk ikut aksi turun ke jalan (memanfaatkan jatah bolos 4x
untuk mahasiswa). Saya bertekad untuk mengikuti aksi besok pagi. Hmm,
tapi kan tetap harus masuk kantor ya! Gimana caranya bisa ikut???
Berpikir! Akhirnya menyusun strategi.
Kamis, 3 Juni 2010
Pagi
ini berangkat ke kantor dengan semangat yang jauh lebih dahsyat dari
kemarin. Sebelum berangkat mendengarkan nasyid-nasyid haroki yang bikin
semangat makin meledak-ledak.
Ini langkahku yang akan ku ayun
Walaupun payah tak akan jera
Ini langkahku kan trus melaju
Setegar karang bangkitkan jihad
Aral rintangan datang menghadang
Tapi surga di bawah kilatan pedang
Hancurkan kedzoliman
Tegakkan keadilan!
Pastikan langkahmu wahai pejuang
Dengan Al Qur’an menjadi pedoman
Hembuskanlah angin pembaharuan
Karena kita khalifaturrahman!
(Ini Langkahku_Shoutul Harokah)
Sampai di kantor langsung mendengarkan “We Will Not Go Down”-nya Michael Heart.
Puluhan kali… SEMANGAT!!!!
A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive
They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right
But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
**
Pukul
12.00 adzan Dhuhur sudah berkumandang. Langsung ambil wudhu dan menuju
mushola untuk sholat Dhuhur. Setelah sholat, segera menjalankan misi.
Ambil dompet, slayer, dan permen terus meluncur ke kantin yang terletak
di gedung depan (ruang kerja saya terletak di gedung belakang). Beli
nasi bungkus (lauknya capjay dan teri pedas) plus beli aqua gelas.
Setelah beli makan siang melangkah ke luar kantor. Mencari taksi.
Berkali-kali ada taksi lewat tapi sudah terisi penumpang. Alhamdulillah
akhirnya ada Blue Bird yang kosong. Langsung masuk. “Bundaran HI Pak!”
Blue
Bird “terbang” membawa saya menuju Bundaran HI. Di dalam Blue Bird,
langsung membuka makan siang berbungkus stereoform putih yang tadi saya
beli di kantin. Makan siang di taksi. Tak lupa berbasa-basi dengan pak
sopir. “Makan siang, Pak!”. Pak sopir tanpa menoleh berujar, “Silakan
Mbak!”. Hehe…
Saat melewati dekat Monas, beberapa mobil polisi sudah
berjaga. Sekitar Monas sudah cukup ramai. Saya berpikir, aksi bakal
ramai nih! Berdasarkan SMS jarkom, aksi akan digelar dari Bundaran HI
menuju Monas. Sekitar 15 menit, sudah sampai di dekat bundaran HI. Makan
siang juga sudah habis. SMS seorang teman, dia sudah sampai di HI apa
belum. Akhirnya sampai juga di bundaran HI. Patung yang berada di tengah
Bundaran HI itu seakan melambaikan tangan menyambut kedatanganku. Hehe…
Pak
sopir yang ternyata bernama Widodo itu menurunkan saya di trotoar di
seberang jalan Grand Indonesia. Alhamdulillah, ongkosnya masih di bawah
Rp 20.000,-. Turun dari taksi memandang ke sekeliling. SEPI AMAT!
Maksudnya, belum ada tanda-tanda akan ada aksi. Berjalan menyusuri
trotoar. Berhubung belum ada tanda-tanda akan ada aksi, sempat
‘mengaksikan’ diri dulu dengan latar patung Selamat Datang plus
pancurannya. Cepret! Nokia 5300 saya sempat mengabadikan suasana siang
yang sangat terik itu.
Sedang asyik ceprat-cepret, Nokia 5300 saya
bergetar. Ada SMS dari seorang teman. Dia mengabarkan kalau aksi
dipindah ke Monas. Weleh… hmm, langsung berpikir cepat dan memutuskan
untuk segera menyeberang jalan. Awalnya agak bingung juga mencari
taksinya di mana, tapi akhirnya ada petugas keamanan yang lagi mematung
di pinggir jalan. Dia langsung jadi sasaran tembak saya untuk bertanya
di mana seharusnya saya menyetop taksi untuk ke Monas. Bapak itu
langsung menunjukkan tempat yang tepat. Tanpa buang waktu, langsung
menuju tempat itu dan menyetop taksi. Beberapa taksi tak mau berhenti.
Yaiyalah, ternyata di dalamnya ada penumpangnya. Sulit memang kalau
siang hari membedakan taksi yang ada penumpangnya atau tidak. Kalau
malam hari kan bisa ketahuan dari lampu atap taksi yang menyala atau
tidak.
Alhamdulillah, ada Blue Bird lagi. Langsung masuk dan bilang “Monas ya Pak”.
Pak sopir bertanya, “Lewat mana nih Mbak?”
Saya pun menjawab, “Lewat mana ajalah Pak, yang penting cepet!”
Kali ini pak sopirnya bernama Rudolf. Langit tertutup awan hitam. Mendung. Sejuknya…
Sampai
di lampu merah dekat Wisma Antara, tiba-tiba ada sepeda motor yang
menabrak bagian belakang taksi yang saya tumpangi. Pak Rudolf langsung
membuka kaca dan memaki-maki pengendara sepeda motor itu. Pengendara
sepeda itu juga balas memaki. Maki-makian deh jadinya! Pengendara sepeda
motor itu langsung melaju meninggalkan taksi yang saya tumpangi. Pak
Rudolf sepertinya masih menaruh dendam. Dia langsung tancap gas dan
mengejar sepeda motor itu. Saya panic. Hampir saja Pak Rudolf
menyerempet pengendara itu. Untungnya pengendara itu bisa menyelip di
antara sepeda motor yang lain. Saya berteriak ke Pak Rudolf, “Sudah lah
Pak! Biarkan saja!”. Raut wajah Pak Rudolf masih menyiratkan kemarahan.
Alhamdulillah,
sampai jua di dekat Monas. Sudah ramai. Beberapa pedagang juga turut
meramaikan aksi siang itu dengan menjual atribut Palestina di sepanjang
trotoar. Saya sempat membeli 3 pin Palestina yang bergambar anak-anak
dan bendera Palestina. Massa semakin membludak. Sang koordinator
lapangan menyuarakan kepada peserta aksi untuk mengambil atribut aksi
berupa poster, bendera Palestina, bendera merah putih yang ditumpuk di
dekat panggung utama. Saya pun melangkah menuju ke sana, mengambil
sebuah poster putih besar bertuliskan “EGYPT.. OPEN YOUR EYES!” yang
berlatar gambar mujahid-mujahid Palestina.
Semua massa yang sudah
memegang atribut langsung dikomando untuk bergerak menuju Patung Kuda
Monas. Kami pun berdiri di sepanjang jalan dengan membawa atribut.
Poster-poster diarahkan ke jalan agar para pemakai jalan menyaksikan.
Sekitar 15 menit saya berdiri di pinggir jalan. Subhanallah, di samping
saya berdirilah seorang akhwat yang sedang hamil tua memegang dua
bendera Palestina di tangan kanan dan kirinya. Akhwat itu bersama
suaminya. So sweet sekali.. Hehe! HEROIK banget! Saya juga melihat
beberapa ummahat dengan bayi-bayi mereka turut meramaikan aksi siang
itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 13:15. Saya harus segera kembali ke
kantor sebelum jam 13:30. Akhirnya, dengan menerobos massa, sambil
memegang poster tadi, saya menuju dekat panggung utama tempat saya
mengambil poster tadi. Saya serahkan pada seorang ikhwan yang berdiri di
dekat panggung. Di panggung utama, grup nasyid haroki favorit saya,
Izzatul Islam bersiap menyenandungkan sebuah nasyid. Saya berdiri
sebentar di depan panggung bersama barisan akhwat lainnya. Saya sempat
menitipkan sesuatu kepada seorang akhwat yang berdiri di samping saya.
“Mbak, nitip ini ya. Saya harus kembali ke kantor”. Awalnya, akhwat itu
agak bingung juga, tapi sejurus kemudian, dia paham apa yang saya
maksudkan. Personel Izzatul Islam sudah bersiap di atas panggung. Saya
pun bersiap kembali ke kantor.
Saya melangkah ke luar area aksi. Sayup-sayup terdengar lantunan nasyid dari Izzatul Islam
Gaza.. Gaza.. Gaza..
Semuanya bermula
Gaza.. Gaza.. Gaza..
Tanah para syuhada
Gaza.. Gaza.. Gaza..
Kemenangan kan nyata
Gaza.. Gaza.. Gaza..
Palestina merdeka
Negri mujahiddin sejati
Serahkan jiwa di jalan Ilahi
Perjuangan tak kenal kata henti
Demi raih kenikmatan abadi
Debu dan batu jadi saksi
Jiwa nan perkasa tunaikan janji
Seagung kepak sang rajawali
Hancurkan kecongkakan tirani
Wahai Muslimin bangkitlah, bangkitlah..!
Palestin memanggilmu bebaskan, bebaskan..!
Walau tumpah peluh dan darah
Tegak satu cita.. Palestina merdeka !!Subhanallah,
luar biasa sekali aksi siang itu. Meski panas, tak mematahkan semangat
kami. Poster-poster bertuliskan “Save Our Palestine”, “Egypt, Open Your
Eyes!!!, “Kami Tidak Akan Menyerah” semakin ramai menyemarakkan kawasan
Monas siang itu. Ribuan massa semakin memadati areal aksi. Gema takbir
membahana. Seruan lantang untuk Palestina menggelora.
Sayangnya, saya
harus segera kembali. Saya keluar dari kerumunan. Melawan arus. Langkah
kaki saya percepat menuju jalan di samping areal aksi. Akhirnya, ada
bajaj yang lewat dan saya pun menaikinya menuju kantor. Alhamdulillah,
sampai di kantor pukul 13:29. Satu menit lebih awal dari batas waktu.
Hmm, luar biasa sekali aksi kali ini. Aksi perdana saya di ibukota!!! Allahu Akbar!!!
Aksi
ini dilatarbelakangi peristiwa penyerangan Israel kepada kapal Mavi
Marmara yang mengangkut lebih dari 500 orang relawan dari 30 negara itu
dalam rangka misi kemanusiaan untuk Palestina. Berdasarkan cerita yang
saya dapat, pada aksi ini juga dialkukan pembakaran bendera Israel. Aksi
ini ditutup dengan berjalan kaki bersama menuju Bundaran HI dan kembali
lagi ke Monas.
Ada ribuan bayi di Gaza. Seandainya aku bisa tiba di sana, aku akan bermain
bersama mereka... [bundaran HI, 040610_12.30]
Pulang kantor langsung update status :
Dlm
perjlnan plg, merenungkn jejak2 yg tlah dlalui hr ni : redzone-kantor
pos-kantor-bundaran HI-Monas-kantor-REDZONE (msh otw). Alhamdulillah,
bnyk kmudahan untk menapakkn jejak2 itu hr ini.. Smg Engkau meridhoi
lngkah2 kcil ini Ya Allah..Aamiin... RidhoMu..Hny RidhoMu yg q
damba...Selalu! Dan jejak2 itu akn trus mnapak..Tak mw lelah..Sblm smpai
d jannah..
***
Wahai as Syahid Palestina, bersabarlah,
pertolongan Allah akan segera datang. Surga Allah telah menjadi jaminan
bagi perjuangan kalian menjaga tanah suci. Darah kalian telah mengalir
ke surga, Do’a kami senantiasa mengiringi langkah kalian.
SIANG ITU…
Panas sang mentari menusuk pori-pori kulit kami,
Tapi ini tak sebanding dengan panas desiran mesiu yang menembus tubuh mereka…
Tetes keringat membasahi tubuh kami,
Tapi ini tak sebanding dengan tetesan darah yang keluar dari tubuh mereka..
Tersengal-sengalnya nafas saat kami berlari,
Tapi ini tak sebanding dengan nafas terakhir yang mereka hembuskan…
Saudaraku, hanya sedikit ini yang bisa kami berikan…
Jakarta, 4 Juni 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Juni 2010 di blog sebelumnya

Selalu Ada Perempuan Hebat, di Belakang Laki-laki Hebat [1]
Dalam
sejumlah catatan sejarah tokoh-tokoh besar, banyak orang melupakan
peran-peran penting para perempuan yang berada di belakang mereka.
Padahal, hampir selalu tak pernah ada kebesaran nama seorang laki-laki,
kecuali bersandar pada kehebatan dan kebesaran istri atau ibunya, tentu
setelah sandaran utama Allah SWT.
Bahkan, kebesaran Rasulullah SAW
pun tak luput dari peran besar seorang Khadijah ra. Dalam diri Khadijah
lah terhimpun antara kekuatan iman, ketulusan cinta, kebesaran jiwa,
keteduhan sikapnya yang menghantarkan proses kenabian Muhammad SAW.
Hingga akhirnya, Rasulullah SAW berhasil melewati fase-fase paling awal
yang sulit dalam sejarah dakwahnya.
Posisi
Khadijah yang tidak tergantikan di hati Rasulullah SAW terlihat dalam
kenyataan bahwa Rasul sering mengingat dan menyebutnya. Rasulullah SAW
tidak pernah berduka atas kematian seseorang sebesar rasa duka beliau
ketika Khadijah meninggal dunia. Dan tidak ada seorangpun yang dikenang
lebih lama oleh Rasulullah SAW daripada Khadijah. Dalam sejarah, tahun
kewafatan Khadijah disebut Aamul Huzn atau ‘Tahun Duka Cita’ karena
Rasulullah SAW sulit mengusir kedukaan mendalam karena ditinggal istri
tercinta di sepanjang tahun itu. Hanya saja, kesedihan itu semakin lama
semakin kurang ditindas oleh tekad kuat dalam hati beliau yang luar
biasa tabah.
Kehebatan Khadijah, bahkan sempat memicu kecemburuan
‘Aisyah ra. Suatu hari, Rasulullah SAW mengenang Khadijah di hadapan
‘Aisyah ra. Mendengar hal itu, ‘Aisyah berkata, “Seperti tidak ada
perempuan lain di dunia ini selain Khadijah.” Rasulullah SAW menjawab,
“Khadijah itu begini dan begitu, dan dari dialah aku beroleh keturunan.”
(HR. Bukhari)
Kecemburuan ‘Aisyah pada Khadijah, juga termuat dalam
riwayat, “Setiap kali Rasulullah SAW menyebut Khadijah, beliau pasti
memujinya. Suatu hari aku merasa cemburu. Maka kukatakan, “Engkau selalu
mengenang perempuan tua yang ompong itu, padahal Allah telah memberimu
pengganti yang lebih baik. “ Rasulullah menjawab, “Allah tak pernah
memberiku pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Dia beriman
kepadaku ketika semua orang ingkar. Dia mempercayaiku ketika semua orang
mendustakanku. Dia memberiku harta ketika semua orang enggan memberi.
Dan darinya Allah memberiku keturunan, sesuatu yang tidak Dia
anugerahkan kepadaku dari istri-istriku yang lain.” (HR. Ahmad)
Benarlah, di belakang sosok laki-laki yang hebat, pasti ada perempuan yang hebat!
Selalu Ada Perempuan Hebat, di Belakang Laki-laki Hebat [2]
“Jangan
hanya melihat kecerdasan Imam Syafi’i, tapi lihat dahulu siapa ibunya”.
Mari kita dalami sedikit kata-kata indah ini. Bahwa ibu memang bisa
memainkan peran sangat besar dalam mendidik seorang anak. Dengan
kelembutan, kekuatan iman, kasih sayang, cara pandang yang benar, dan
ketegasannya, ibu mampu membentuk manusia-manusia yang berkepribadian
kuat, tangguh, tidak cengeng, dan tahan banting.
Imam Syafi’i
rahimahullah telah yatim sejak bayi. Kehidupan ekonominya sangat sulit,
tapi itu tidak membuat ibunda Imam Syafi’i menyerah untuk tetap
memelihara dan mendidik anaknya. Meski ditinggal wafat suaminya, beliau
tetap tegar. Beliau bertekad menjaga amanah yang ditinggalkan suaminya
yang bukan berupa harta benda melainkan amanah anak. Dengan keterbatasan
ekonomi yang dialaminya, beliau tetap menyusun rencana besarnya. Beliau
memutuskan Syafi’i harus ke Mekkah menyambung nasab Quraisy Syafi’i
kecil dan berguru dengan para ulama di Masjidil Haram Makkah dan
Madinah.
Tak sekedar rencana, usia 2 tahun, ibunda Syafi’i memboyong
Syafi’i keluar dari negerinya, untuk kebesaran anaknya, ke Makkah. Dari
sanalah, tahap demi tahap perjalanan hidup Syafi’i menjadi luar biasa.
Kelak beliau tak saja dikenal sebagai ahli fiqh tetapi juga ahli sastra
dengan kumpulan puisi gubahannya. Beliaupun telah mampu menghapal Al
Qur’an sejak usia 7 tahun. Hingga beliau berangkat untuk melanjutkan
perjalanan ilmunya di Madinah berguru kepada guru besar Madinah, Imam
Malik.
Begitulah ibunda yang telah melahirkan seorang imam besar yang perannya selalu dikenang hingga hari akhir.
Sumber : Persembahan Cinta Istri Hasan Al Banna
*** Saudaraku,
siapapun engkau… hargailah wanita-wanita hebat yang ada di sampingmu,
entah itu ibundamu, saudari perempuanmu, atau istrimu tercinta… Demikian juga engkau saudariku, jadilah yang terhebat untuk setiap laki-laki hebat di sekitarmu… Sebagai putri, teguhkan taatmu pada ayahanda tercinta… karena beliau adalah walimu! Sebagai istri, wajib bagimu untuk menghibahkan ketaatan tiada tara pada suamimu! Sebagai
muslimah, teruslah berjuang dan saling mengingatkan saudara-saudaramu
dengan cara yang baik dengan tetap menjaga iffah dan izzahmu!!!
Jakarta, 010610_05.00
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Juni 2010 di blog sebelumnya

RESENSI BUKU
Judul Resensi : Istri Luar Biasa Hasan Al Banna
Judul Buku : Persembahan Cinta Istri Hasan Al Banna
Penulis : Muhammad Lili Nur Aulia
Penerbit : Tarbawi Press
Terbit : Maret 2010
Tebal : 82 halaman
Harga : Rp 25.000,00
Namanya
Lathifah Husain Ash Shuli, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya. Beliau
lahir dan dewasa dalam sebuah rumah dan keluarga yang taat menjalankan
nilai-nilai Islam. Ayahnya, salah satu tokoh agama kota Ismailiyah, sisi
timur Mesir dan termasuk orang yang simpatik dengan pribadi dan dakwah
yang disampaikan Hasan Al Banna. Orang tuanya Hasi Hasan Ash Shuli
sendiri yang banyak bercerita kepada putrinya, Lathifah, tentang dakwah
Al Ikhwan Al Muslimun, tentang pendirinya yang kerap mengunjungi
kedai-kedai minum, ruang-ruang diskusi, untuk menghimpun orang banyak
dan menyampaikan dakwah. Di rumahnya itulah, organisasi Al Ikhwan Al
Muslimun bisa tumbuh dengan baik dan pengaruhnya meluas di masyarakat
sekitarnya.
Menurut Ustadz Mahmud Al Halim,
“Di antara keluarga yang menyambut seruan dakwah Hasan Al Banna dari
penduduk Ismailiyah, adalah keluarga mulia yang bernama Ash Shuli.
Mereka adalah para pedagang kelas menengah di Ismailiyah. Keluarga ini
termasuk keluarga yang berkarakter agamais, dan berhasil mendidik
anak-anak mereka sesuai norma agama...” Lebih lanjut Mahmud Abdul Halim
menegaskan, “Hasan Al Banna dalam kesenangan dan kesempitan. Dialah
penopang paling baik dalam dakwahnya hingga menemui syahid secara
terzalimi.”
Dalam salah satu kunjungannya, ibunda Hasan Al Banna
(Hajah Ummu Sa’d Ibrahim Shaqr) mendengar lantunan bacaan Al Qur’an
yang indah dan bagus dari dalam rumah keluarga Ash Shuli. Ibunda Al
Banna tertarik untuk mengetahui siapa pemilik suara itu, dan ternyata ia
adalah Lathifah. Ibunda Al Banna akhirnya menemui Lathifah. Dalam
hatinya, beliau berkeinginan untuk menikahkannya dengan putra tercinta.
Akhirnya dilakukan khitbah, akad nikah, dan resepsi dalam waktu dua
bulan. Akad nikahnya dilakukan pada saat peringatan Nuzulul Qur’an
Mulailah
bahtera rumah tangga Hasan Al Banna dan Lathifah dikayuh. Pada bulan
Oktober 1932, usai pernikahan, mereka mengontrak sebuah rumah kecil yang
tidak terlalu jauh dari rumah keluarganya. Rumah kontrakan itu, meski
kecil, tapi bak istana. Rumah kontrakan itu sering dipakai sebagai
markas Ikhwanul Muslimin. Hasan Al Banna begitu dicintai keluarganya.
Bahkan beliau tak jarang pergi ke pasar untuk membeli bumbu dapur.
Lathifah
meyakini bahwa pernikahannya harus menjadi sarana mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Bahwa ia harus melakukan ketaatan yang baik kepada
suaminya, yang bisa mengantarkannya ke surga. Lathifah menyadari,
sebagai pendamping seorang aktivis dakwah tentunya bukanlah hal yang
mudah. Ia juga menyadari bahwa pengabdiannya kepada sang suami di jalan
dakwah ini, merupakan bagian dari jihad yang harus dilakukannya.
Lathifah yakin dengan sabda Rasulullah SAW, ‘Seandainya aku boleh
memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang lainnya, niscaya
aku perintahkan istri untuk sujud pada suaminya.”
Lathifah belajar
banyak tentang makna berkorban dari sang suami. Lathifah sangat percaya
pada suaminya yang berprofesi sebagai ustadz, tokoh, guru, dan aktivis
organisasi dakwah yang jelas berhubungan dengan banyak orang, termasuk
akhwat lainnya.
Saat Hasan Al Banna gugur, anak-anak beliau belum
beranjak dewasa. Gugurnya sang suami saat ia masih mengandung anak
terakhirnya dalam kondisi sakit jantung dan kian lemah. Anak terakhirnya
diberi nama : Istisyhad (berharap mati syahid), karena terlahir setelah
wafatnya sang ayah. Lathifah berkata “Hasan Al Banna adalah hadiah
terindah dalam hidupku”. Hasan Al Banna dan Lathifah memiliki tujuh
orang anak yang luar biasa, yakni : Saiful Islam Hasan Al Banna yang
menjadi advokat terkenal, Wafa istri seorang da’i Said Ramadhan, Tsana
seorang dosen fakultas perempuan di Mesir, Halah dosen fakultas
kedokteran. Muhammad Hishamuddin dan Shafa meninggal di waktu kecil.
Keduanya dimakamkan di tangan ayahnya sendiri. Terakhir, Istisyad yang
lahir setelah Hasan Al Banna wafat.
Lathifah mengalami kesedihan yang
luar biasa saat meninggalnya Hasan Al Banna karena tragedi penembakan
pada hari Sabtu, 12 Februari 1949. Akan tetapi, ia tetap bangkit dan
meneruskan perjuangan dakwah meski sudah ditinggal suami.
Lathifah
Ash Shuli tutup usia setelah 36 tahun pernikahannya dengan Hasan Al
Banna. Namun, dari rentang 36 tahun ini, hanya 17 tahun yang ia lalui
bersama sang suami. Beliau menderita sakit. Ia telah berhasil melewati
kehidupannya yang penuh jihad dan kesabaran. Ia adalah contoh bagi para
istri dalam interaksi dakwahnya sebagai pendamping seorang pemimpin
dakwah dan sebagai ibu dari anak-anaknya.
Hasan Al Banna memanglah
seorang suami yang memiliki perhatian dan sikap istimewa terhadap
keluarganya, namun beban dakwah yang dipikulnya, jelas sangat
menghajatkan seorang istri yang bukan hanya mampu meneduhkan jiwanya,
menenangkan perasaannya, membahagiakan hatinya tatkala ia di dalam
rumah, tapi juga yakin dan percaya kepada sang istri soal perawatan dan
pendidikan anak-anaknya di rumah.
Buku ini sangat bagus untuk
referensi para aktivis dakwah. Kisah istri Hasan Al Banna dapat
menjadi teladan bagi kita, khususnya para muslimah dalam menjalani
kesehariannya sebagai bagian dari gerakan dakwah yang memegang peran
vital. Buku ini juga menguraikan peran seorang istri sebagai manager
rumah tangga. Lathifah mengajarkan tentang pengaturan keuangan keluarga
yang begitu luar biasa dan patut dijadikan contoh. Pendapatan bulanannya
dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama untuk keperluan rumah dan
keluarga, bagian kedua untuk dakwah, dan bagian ketiga untuk saudara
serta keluarga besarnya. Lathifah juga menjadi inspirasi bagi kita dalam
berjuang untuk tetap tegar di jalan-Nya.
Selamat membaca dan terinspirasi karenanya!
Jakarta,010610_05:45
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Juni 2010 di blog sebelumnya

Cinta di Rumah Hasan Al-Banna
Judul Resensi : Hasan Al Banna, Bukan Sembarang Ayah!
Judul Buku : Cinta di Rumah Hasan Al Banna
Penulis : Muhammad Lili Nur Aulia
Penerbit : Pustaka Da’watuna Terbit : Juni 2009 (cetakan keempat)
Tebal : 92 halaman
Harga : Rp 25.000,00
Telah
banyak buku yang mengupas Imam Hasan Al Banna dan keberhasilannya
membangun pondasi gerakan dakwah Al Ikhwan Al Muslimin yang mengilhami
geliat kebangkitan Islam di seluruh dunia. Namun, sedikit sekali
referensi yang membicarakan dakwah Al Banna sebagai ayah dalam
keluarganya. Nah, buku ini mencoba menghadirkan berbagai pengalaman dan
kenangan anak-anak Al Banna saat ayah mereka hidup di tengah aktivitas
dakwahnya yang padat. Buku ini mencoba 'mengintip' dakwah Al Banna
kepada keluarganya.
Buku kecil ini bisa
disebut buku saku dilihat dari ukurannya yang kecil. Menurut saya buku ini adalah
buku saku yang sangat berbobot. Setidaknya untuk setiap pribadi yang masih
dalam rencana untuk membangun keluarga dakwah (seperti saya). Secara
garis besar, sebenarnya pesan global dari buku ini adalah untuk membuat
sebuah pilar yang kuat dari fase bina ul-ummat, yaitu takwiinu baytul
muslim, dengan sangat baik, mulai dari rencana pemilihan calon ibu/ayah
untuk anak-anaknya kelak hingga saat pembinaan keluarga itu sendiri.
Buku
ini dimulai dengan kisah like father like son, sebuah kisah yang
menggambarkan kesholehan putra seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Dilanjutkan dengan kisah dari proses pencarian istri Hasan Al-Banna.
Bermula dari ketertarikan Sang Ibunda pada kelembutan suara Al-Qur’an
seorang gadis pada saat beliau bersilaturahim di sebuah rumah, lalu
Ibunda Hasan Al-Banna bercerita dengan anaknya. Akhirnya, berlanjutlah
ke proses pernikahan.
Selanjutnya, buku ini membahas tentang
bagaimana seorang muassis gerakan Ikhwanul Muslimin, dalam tingkat
kesibukan yang amat sangat, tetap melaksanakan hak dan kewajiban
keluarganya. Dikisahkan pula tentang seorang suami yang sangat
menyayangi dan menghormati istrinya. Digambarkan bagaimana Hasan
Al-Banna dengan penuh kasih sayang mendidik anak-anaknya, memberikan
pemahaman tanpa kekerasan, membuat anak-anaknya cinta dengan Al-Qur’an
dan ilmu pengetahuan,dll
Kesan mendalam bagi saya dari buku ini
adalah bagaimana Hasan Al-Banna menanamkan nilai-nilai kesederhanaan,
keikhlasan dan pengorbanan dalam keluarganya, sehingga istrinya dengan
hati yang senang dan rela menyumbangkan banyak perabotan rumahnya untuk
markas dakwah Ikhwanul Muslimin, sehingga dengan ikhlas dan rela,
anak-anaknya menjadi orang-orang yang paling dahulu sadar dan
memperjuangkan kondisi umat Islam di Palestina dan Mesir, sehingga
dengan lapang, sang istri menerima jawaban sang suami saat ia memintanya
membeli sebuah rumah kecil ”Wahai Ummu Wafa, sesungguhnya istana kita
sedang menunggu kita di surga-Nya….”. Alangkah indahnya, sehingga dengan
ikhlas dan ridha, keluarganya melepas kepergian suami dan ayah mereka,
dalam kesyahidan di jalan Allah.
Saya juga terinspirasi dengan
kebiasaan keluarga yang dicontohkan Hasan Al-Banna. Semisal, makan pagi
bersama tiap pagi, membaca Al-Qur’an bersama-sama setiap ba’da magrib,
dan pergi ke toko buku tiap bulan untuk membeli buku-buku yang
bermanfaat. Buku ini mengisahkan bagaimana Hasan Al Banna dalam
menanamkan keimanan dan kecintaan terhadap Islam, bagaimana sikapnya
terhadap kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan anaknya, bagaimana bentuk
perhatiannya terhadap pendidikan, kebiasaan beliau mendokumentasikan
perkembangan dan riwayat sakit yang pernah dialami masing-masing anak,
lengkap dengan catatan kapan saja si anak sakit, sakit apa, obat apa
yang pernah diberi, berikut rekomendasi dan resep-resep dokter.
Pendeknya sampai hal terkecil pun didokumentasikan secara detail dan
rapi. Hal ini saya kira bukan pekerjaan mudah yang tidak menyita waktu,
apalagi di tengah aktivitas dakwahnya yang demikian padat. Dari sini
kita diyakinkan bahwa tidak ada dikotomi antara keluarga dan dakwah. Pun
tidak akan ada pertanyaan: "Mana yang lebih penting, dakwah untuk ummat
atau membina keluarga?"
Memang perilaku Hasan Al Banna dalam
mendidik anak-anaknya belum tentu mencerminkan sesuatu yang ideal. Semua
yang ideal tetap milik Rasulullah SAW sebagaimana ucapan beliau, "Wa
anaa khairukum li ahlii..." (Aku adalah orang yang paling baik di antara
kalian kepada keluarga). Tapi, apa yang dilakukan Hasan Al Banna
seperti yang tertera di buku ini, merupakan contoh lahir yang bisa
menjadi inspirasi kebaikan bagi kita semua.
Bagi sahabat, para
abi/calon abi sekalian, atau para ikhwah calon arsitek pembangun rumah
tangga dakwah, buku ini cocok buat dibaca, karena di dalamnya tertuang
banyak contoh nyata dari seorang para pejuang dakwah dalam memposisikan
diri secara lebih tepat saat mengemban amanah, baik dalam keluarga
maupun dakwah.
Selamat membaca, merenungkan, dan mempraktikkannya!
Jakarta, 030610_03:40
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Juni 2010 di blog sebelumnya

Kebanyakan
kita sering melihat kesuksesan orang lain pada saat orang tersebut
sudah berhasil meraih sesuatu yang belum dapat dicapainya. Kita
cenderung tidak melihat bagaimana proses yang dilalui berupa perjuangan
dari orang-orang yang telah sukses itu. Mari
kita mengambil contoh dari proses Nabi Muhammad SAW. Beliau menduduki
posisi terhormat di sisi Allah SWT. Beliau diangkat menjadi nabi, baru
pada saat menginjak usia 40 tahun, setelah tahun-tahun sebelumnya beliau
digembleng Allah SWT secara terus-menerus lewat ujian-ujian yang
diberikan Allah SWT untuk memantapkan keimanan dalam rangka
mempersiapkan tugas mulia yang akan diembannya pada saatnya nanti.
Ujian
yang dialami Rasulullah SAW begitu bertubi-tubi, mulai dari ujian
berupa ditinggal wafat ayahanda tercinta, yaitu Abdullah semasa masih
dalam kandungan ibunda Aminah. Kemudian ditinggal wafat oleh ibunda
Aminah ketika beliau berusia sekitar 6 bulan sehingga beliau harus
disusukan oleh ibunda Halimatussa’diyah, yang pada akhirnya pengasuhan
jatuh pada kakek Abdul Mutholib, lalu terakhir pengasuhan jatuh pada
paman Abu Thalib karena sang kakek pun meninggal dunia.
Banyak dari
kita yang menilai sesuatu hanya dari hasil akhirnya, padahal jauh di
balik suatu keberhasilan, ada rangkaian proses panjang yang
menyertainya. Jika kita hanya melihat hasil yang sudah dicapai orang
lain, maka bukannya kita mulai mencontoh jejak langkah orang-orang yang
kita nilai berhasil, akan tetapi kita bisa jadi terlena dengan memuji
orang-orang sukses tersebut atau malah membuat kita berandai-andai ingin
seperti mereka tanpa kita sendiri melakukan aksi nyata.
Saya jadi
teringat juga akan tugas hafalan yang tidak maju-maju (tapi sekarang
semangat saya sudah mulai menggeliat lagi untuk menghafal Al Qur’an!
AYO!!!!). Padahal sekiranya saya merealisasikan teorinya Ustdaz Yusuf
Mansur one day one ayat saja, maka enam ribu enam ratus enam puluh enam
ayat Al-Quran dapat saya hafal dalam waktu 19 tahun! Tidak masalah, yang
penting ada langkah action. Mahasuci Allah, lagi-lagi ini masalah
ikhtiar yang tidak optimal.
Saya kembali merenungkan, sebuah proses
yang panjang akan terasa berat jika kita hanya melihat hasil akhir. Coba
kita perhatikan seorang ibu yang tengah hamil sembilan bulan! Dengan
kondisi perut yang besar, kita akan melihatnya seperti terasa tidak
nyaman. Kita tidak menghitung berlalunya hari demi hari, tapi kehamilan
itu dinikmati sebagai fitrah seorang wanita.
Ketika kita menjalani
suatu proses, kita tidak akan merasa kelelahan walau orang menganggapnya
berat, karena kita tidak merasakan itu sebuah beban. Intinya, selalu
positifkan pikiran dan perasaan kita bahwa Allah akan senantiasa
memudahkan kita dalam menjalani setiap proses yang tengah kita lalui.
Untuk
mencapai sebuah kesuksesan, harus diikuti dengan langkah-langkah yang
istiqomah dan istimror. Bukankah Allah SWT menyukai amalan yang sedikit
tetapi dilakukan secara terus menerus? Dan tidak kalah pentingnya,
setelah sekian usaha kita lakukan, kita serahkan hasilnya kepada Allah
SWT yang Maha Kuasa, sambil memohon pertolongan, karena tiadalah yang
dapat menolong kita selain Allah SWT. “Innalloha yuhibbul mutawakkilin
…”
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berserah diri kepada-Nya,” (QS. Ali Imran : 159).
Maha Suci Allah, semoga Engkau tidak menjadikan hamba sebagai orang yang hanya berkata- kata, tanpa beramal.. aamiin
***
Alhamdulillah
sudah memasuki bulan Juni. Pada bulan ini mengangkat tema : ”JUNI =
[J]ejak-jejak [U]ntuk me[N]orehkan [I]mpian. Insya Allah pada bulan ini
akan melalui beberapa jejak rangkaian proses yang akan mengarah pada
perwujudan impian-impian yang sudah diazzamkan.
Impian itu semakin
nyata untuk dapat diwujudkan. Bi’idznillah... Allah Maha Kuasa atas
segala yang sudah, sedang, dan akan terjadi pada diri setiap hamba-Nya.
KEEP FIGHT!!!
KEEP OPTIMIST!!!
KEEP SPIRIT!!!
Backsong wajib : INI LANGKAHKU (Shoutul Harokah)
Ini langkahku yang akan ku ayun
Walaupun payah tak akan jera
Ini langkahku kan trus melaju
Setegar karang bangkitkan jihad
Aral rintangan datang menghadang
Tapi surga di bawah kilatan pedang
Hancurkan kedzoliman
Tegakkan keadilan!
Pastikan langkahmu wahai pejuang
Dengan Al Qur’an menjadi pedoman
Hembuskanlah angin pembaharuan
Karena kita khalifaturrahman!
***
Jakarta, 020610_06:14
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Juni 2010 di blog sebelumnya

RESENSI BUKU
Judul Buku : Jurnalis Narsis
Penulis : Doni Indra
Penerbit: PT. Lingkar Pena Kreativa
Terbit : April 2010
Tebal : 192 halaman
Harga : Rp 29.000,00
“Jurnalis
adalah profesi mulia, narsis juga sebuah upaya memuliakan diri.
Jurnalis narsis berbagi kemuliaan lainnya, pengetahuan baru, pengalaman
seru, dan suasana jenaka yang tidak terduakan. Mulailah orang yang
membacanya...”. Begitulah komentar Taufan E. Prast (Ketua FLP Jakarta
dan mantan jurnalis (tidak) narsis) yang bertengger di cover belakang
buku fiksi komedi berjudul “Jurnalis Narsis” ini.
Jurnalis
Narsis mengisahkan pengalaman seorang wartawan cupu bernama Paijo yang
aslinya bernama sangat panjang, yakni Paijo Perdana Primadi Kuswanto
Purwomaruto. Akan tetapi, dia memperkenalkan dirinya pada orang-orang
dengan sebutan yang cukup gaul yakni: Joe! Sayang, teman-temannya berat
hati memanggil Paijo dengan sebutan Joe, karena menurut mereka, nama itu
terlalu ganteng untuk dirinya!
Paijo sebenarnya adalah keturunan
orang Jawa, tapi ia lahir dan besar di Sumatra. Setelah menamatkan
kuliahnya di jurusan Agrobisnis yang berada di salah satu universitas
ternama di Sumatra, Paijo merantau dan mengadu nasib di Jakarta. Paijo
sempat menambah daftar pengangguran intelektual di negeri ini hingga
pada akhirnya ia berhasil menjadi salah satu wartawan di Majalah Bisnis
Moncer, Jakarta.
Majalah Bisnis Moncer adalah majalah di bidang
ekonomi dan bisnis yang terbit setiap dua minggu sekali. Paijo mendapat
amanah sebagai wartawan pasar modal. Awalnya ia protes kepada Mas
Kendor, redakturnya, karena menurut Paijo posisi sebagai wartawan pasar
modal tidak sesuai dengan basic ilmu yang dimilikinya, yakni agrobisnis.
Tapi akhirnya Paijo menerimanya, daripada harus luntang-lantung menjadi
pengangguran terdidik. Akhirnya, Paijo belajar keras tentang pasar
modal.
Sebagai wartawan baru di Majalah Bisnis Moncer, hasil kerja
Paijo bisa dibilang sangat memuaskan. Ia pandai memburu narasumber.
Paijo tetap berhasil mewawancarai narasumbernya, meski sang narasumber
tersebut anti dengan wartawan. Tulisannya di Majalah Bisnis Moncer juga
sering mendatangkan pujian. Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari
mulutnya sering membuat narasumbernya terkagum-kagum. Akan tetapi,
sempat ia mendapat layangan protes dari seorang narasumber yang
profilnya ia beberkan di Majalah Bisnis Moncer. Paijo hampir putus asa
waktu itu. Ia sempat frustasi. Meski pada akhirnya kegelisahannya itu
berakhir dengan kejutan dan tawa bahagia.
Jurnalis Narsis bukan hanya
sekedar kisah fiksi, tapi di dalamnya sarat akan muatan ilmu seputar
dunia jurnalistik dan pasar modal. Pembaca tidak akan jemu dengan
kisahnya, karena disajikan layaknya cerpen yang sekali baca habis. Di
setiap kisahnya, terdapat ulah-ulah narsis Paijo yang cukup menghibur.
Selamat membaca dan tertawa renyah karenanya!
Jakarta, 010610_00:28
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Mei 2010 di blog sebelumnya

PENGENALAN POTENSI DAN PROFESI KEPENULISAN
Ahad, 7 Februari 2010
Bersama : R.W. Dodo
***
Aisya Avicenna : Penulis Inspiratif Milik Negeri Ini
Oleh : Aisya Avicenna*)
Pukul
09.00 berangkat dari kost dengan naik Kopaja 502 menuju satu tujuan :
Masjid Amir Hamzah yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki. Sempat
kebingungan juga mencari lokasi masjid yang ternyata terletak di
pojokan. Alhamdulillah, akhirnya berada di tengah-tengah para calon
penulis nih! Ya, inilah pertemuan perdana bagi saya. Saat Studium
General Pramuda FLP angkatan 14 tidak bisa hadir dan pada saat pertemuan
perdana dua pekan yang lalu juga tidak bisa mengikutinya.
Alhamdulillah, kali ini bisa datang. Pada pertemuan kali ini,
dimoderatori oleh Mas Andi yang cukup kocak. Pemateri hari ini adalah
Mas R.W.Dodo.
Mas R.W. Dodo sangat atraktif
dalam menyampaikan materi. Kami diajak mengenali potensi masing-masing
sebagai penulis. Kami diminta menyiapkan tiga lembar kertas kosong.
-
Pada kertas pertama, kami berpura-pura diberi uang 1.5 M. Dalam waktu 5
menit kami harus menuliskan apa saja yang akan kita belanjakan dari
uang sebesar itu.
- Pada kertas kedua, kami harus menuliskan
point-point potensi yang membuat kami optimis akan menjadi penulis,
sebanyak-banyaknya!
- Pada kertas ketiga, kami diminta menuliskan
hal-hal yang sekiranya menghambat kami jika menjadi penulis, ditulis
sejujur-jujurnya!
Setelah itu, lembar kertas tersebut dipindah pada
peserta pramuda lain yang duduk dalam lingkaran. Masing-masing peserta
menilai milik peserta lain
- Pada lembar pertama, jika yang akan
dilakukan dengan uang 1.5 M adalah hal yang bersifat keduniawian, maka
diberi tanda silang. Jika bersifat ibadah, maka diberi tanda bintang!
- Pada lembar kedua, jika potensinya positif dan tidak lebay, diberi tanda bintang.
- Pada lembar ketiga, jika terlalu lebay maka diberi tanda silang.
Pesan Mas RW. Dodo yang perlu diingat:
1.
Tentukan strategi menulis sejak awal, ingin menjadi penulis sebagai
profesi atau menulis sebagai hoby, karena kedua hal ini akan sangat
mempengaruhi kinerja kita dalam dunia kepenulisan Strategi untuk penulis
yang “pure” berbeda dengan strategi bagi penulis yang sambil bekerja.
2.
Penulis harus memahami bahasa dan strategi mempublikasikan tulisan.
Lakukan selling market, cermati apa yang dibutuhkan masyarakat
Indonesia.
3. Tingkatkan tulisan kita dari segi kualitas dan kuantitas!
4. Kitalah yang menggali potensi diri kita. SEMANGAT MENULIS!!!
5. Idealis dan ego jangan disamakan. Idealisme harus diarahkan.
Tipe penulis :
a. Egois : mementingkan diri sendiri, misal : berambisi tulisannya best seller
b. Idealis : buku ini dibutuhkan orang lain
Jangan memaksakan orang untuk sesuai dengan pikiran kita!
6. Niatkan untuk perubahan orang lain dulu, baru niatkan pada diri sendiri.
7. Jangan mendzolimi orang lain, pilih topik yang sesuai : pendidikan, sosial, momen (misal : Piala Dunia)
8.
Miliki figur penulis yang sesuai dengan Anda (misal : untuk figur
penulis yang sambil bekerja : Kang Abik, Andrea Hirata, dll)
Muhasabah Seorang Penulis
1. Periksa Niatmu!
Niatkan menulis untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT, niat lillahi ta’ala
Miliki
rasa keikhlasan dalam menulis, keterpanggilan jiwa, bukan semata-mata
untuk finansial/popularitas. Buatlah karya yang menghipnotis pembaca!
2. Tingkatkan Ilmumu!
Untuk
bisa berbagi ilmu lewat tulisan, seorang penulis harus memiliki ilmu
dulu! Ilmu dapat, pahala terus berjalan! Menulis adalah skill. Menulis
bukan semata-mata bakat. Jadikan aktivitas menulis sebagai kebiasaan,
bukan membiasakan menulis.
3. Perkaya Kemampuanmu!
Banyak-banyak berlatih! Rancang tokoh yang mengikat dan setting yang menyentuh pembaca!
4. Nikmatilah Prosesmu!
Jadilah penikmat proses! Dikirim ke penerbit tapi ditolak?? Ya sudah, itu adalah proses. Jangan menyerah!
Hmm,
alhamdulillah. Saya jadi tersadar!!! Saatnya bermetamorfosis untuk
menjadi seorang penulis yang lebih baik. Hingga suatu saat nanti, Aisya
Avicenna menjadi salah satu penulis inspiratif milik negeri ini yang
bisa menghasilkan karya-karya yang mampu menggerakkan banyak orang.
PELAN TAPI PASTI!!!
Tulisan ini
diposting pada bulan Mei 2010 di blog sebelumnya

Di atas M/S Mavi Marmara, di Laut Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza.
Sudah
lebih dari 24 jam berlalu sejak kapal ini berhenti bergerak karena
sejumlah alasan, terutama menanti datangnya sebuah lagi kapal dari
Irlandia dan datangnya sejumlah anggota parlemen beberapa negara Eropa
yang akan ikut dalam kafilah Freedom Flotilla menuju Gaza. Kami masih
menanti, masih tidak pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel
berseliweran.
Ada
banyak cara untuk melewatkan waktu – banyak di antara kami yang membaca
Al-Quran, berzikir atau membaca. Ada yang sibuk mengadakan halaqah.
Beyza Akturk dari Turki mengadakan kelas kursus bahasa Arab untuk
peserta Muslimah Turki. Senan Mohammed dari Kuwait mengundang seorang
ahli hadist, Dr Usama Al-Kandari, untuk memberikan kelas Hadits Arbain
an-Nawawiyah secara singkat dan berjanji bahwa para peserta akan
mendapat sertifikat.
Wartawan sibuk sendiri, para aktivis –
terutama veteran perjalanan-perjalanan ke Gaza sebelumnya –
mondar-mandir; ada yang petantang-petenteng memasuki ruang media sambil
menyatakan bahwa dia “tangan kanan” seorang politisi Inggris yang pernah
menjadi motor salah satu konvoi ke Gaza.
Activism
Ada
begitu banyak activism, heroism…Bahkan ada seorang peserta kafilah yang
mengenakan T-Shirt yang di bagian dadanya bertuliskan “Heroes of Islam”
alias “Para Pahlawan Islam.” Di sinilah terasa sungguh betapa
pentingnya menjaga integritas niat agar selalu lurus karena Allah
Ta’ala.
Yang wartawan sering merasa hebat dan powerful karena
mendapat perlakuan khusus berupa akses komunikasi dengan dunia luar
sementara para peserta lain tidak. Yang berposisi penting di negeri
asal, misalnya anggota parlemen atau pengusaha, mungkin merasa diri
penting karena sumbangan material yang besar terhadap Gaza.
Kalau
dibiarkan riya’ akan menyelusup, na’udzubillahi min dzaalik, dan semua
kerja keras ini bukan saja akan kehilangan makna bagaikan buih air laut
yang terhempas ke pantai, tapi bahkan menjadi lebih hina karena menjadi
sumber amarah Allah Ta’ala.
Mengerem
Dari
waktu ke waktu, ketika kesibukan dan kegelisahan memikirkan pekejaan
menyita kesempatan untuk duduk merenung dan tafakkur, sungguh perlu
bagiku untuk mengerem dan mengingatkan diri sendiri. Apa yang kau
lakukan Santi? Untuk apa kau lakukan ini Santi? Tidakkah seharusnya kau
berlindung kepada Allah dari ketidak-ikhlasan dan riya’? Kau pernah
berada dalam situasi ketika orang menganggapmu berharga, ucapanmu patut
didengar, hanya karena posisimu di sebuah penerbitan? And where did that
lead you? Had that situation led you to Allah, to Allah’s blessing and
pleasure, or had all those times brought you Allah’s anger and
displeasure?
Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang
kubutuhkan di sini, Subhanallah, sungguh banyak orang yang jauh lebih
layak dihargai oleh seisi dunia di sini. Mulai dari Presiden IHH Fahmi
Bulent Yildirim sampai seorang Muslimah muda pendiam dan shalihah yang
tidak banyak berbicara selain sibuk membantu agar kawan-kawannya
mendapat sarapan, makan siang dan malam pada waktunya… Dari para ‘ulama
terkemuka di atas kapal ini, sampai beberapa pria ikhlas yang tanpa
banyak bicara sibuk membersihkan bekas puntung rokok sejumlah perokok
ndableg.
Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan
di sini, Subhanallah, di tempat ini juga ada orang-orang terkenal yang
petantang-petenteng karena ketenaran mereka.
Semua berteriak, “Untuk Gaza!” namun siapakah di antara mereka yang teriakannya memenangkan ridha Allah? Hanya Allah yang tahu.
Gaza Tak Butuh Aku
Dari
waktu ke waktu, aku perlu memperingatkan diriku bahwa Al-Quds tidak
membutuhkan aku. Gaza tidak membutuhkan aku. Palestina tidak membutuhkan
aku.
Masjidil Aqsha milik Allah dan hanya membutuhkan
pertolongan Allah. Gaza hanya butuh Allah. Palestina hanya membutuhkan
Allah. Bila Allah mau, sungguh mudah bagiNya untuk saat ini juga, detik
ini juga, membebaskan Masjidil Aqsha. Membebaskan Gaza dan seluruh
Palestina.
Akulah yang butuh berada di sini, suamiku
Dzikrullah-lah yang butuh berada di sini karena kami ingin Allah
memasukkan nama kami ke dalam daftar hamba-hambaNya yang bergerak –
betapa pun sedikitnya – menolong agamaNya. Menolong membebaskan Al-Quds.
Sungguh mudah menjeritkan slogan-slogan, Bir ruh, bid dam, nafdika ya Aqsha… Bir ruh bid dam, nafdika ya Gaza!
Namun sungguh sulit memelihara kesamaan antara seruan lisan dengan seruan hati.
Cara Allah Mengingatkan
Aku berusaha mengingatkan diriku selalu. Namun Allah selalu punya cara terbaik untuk mengingatkan aku.
Pagi
ini aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekedarnya – karena tak
mungkin mandi di tempat dengan air terbatas seperti ini, betapa pun
gerah dan bau asemnya tubuhku.
Begitu masuk ke salah satu bilik,
ternyata toilet jongkok yang dioperasikan dengan sistem vacuum seperti
di pesawat itu dalam keadaan mampheeeeet karena ada dua potongan kuning
coklaaat…menyumbat lubangnya! Apa yang harus kulakukan? Masih ada satu
bilik dengan toilet yang berfungsi, namun kalau kulakukan itu, alangkah
tak bertanggung-jawabnya aku rasanya? Kalau aku mengajarkan kepada
anak-anak bahwa apa pun yang kita lakukan untuk membantu mereka yang fii
sabilillah akan dihitung sebagai amal fii sabilillah, maka bukankah
sekarang waktunya aku melaksanakan apa yang kuceramahkan?
Entah
berapa kali kutekan tombol flush, tak berhasil. Kotoran itu ndableg
bertahan di situ. Kukosongkan sebuah keranjang sampah dan kuisi dengan
air sebanyak mungkin – sesuatu yang sebenarnya terlarang karena semua
peserta kafilah sudah diperingatkan untuk menghemat air – lalu
kusiramkan ke toilet.
Masih ndableg.
Kucoba lagi menyiram…
Masih ndableg.
Tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan tanganku sendiri…
Kubungkus
tanganku dengan tas plastik. Kupencet sekali lagi tombol flush. Sambil
sedikit melengos dan menahan nafas, kudorong tangan kiriku ke lubang
toilet…
Blus!
Si kotoran ndableg itu pun hilang disedot pipa entah kemana…
Lebih
dari 10 menit kemudian kupakai untuk membersihkan diriku sebaik mungkin
sebelum kembali ke ruang perempuan, namun tetap saja aku merasa tak
bersih. Bukan di badan, mungkin, tapi di pikiranku, di jiwaku.
Ada
peringatan Allah di dalam kejadian tadi – agar aku berendah-hati, agar
aku ingat bahwa sehebat dan sepenting apa pun tampaknya tugas dan
pekerjaanku, bila kulakukan tanpa keikhlasan, maka tak ada artinya atau
bahkan lebih hina daripada mendorong kotoran ndableg tadi.
Allahumaj’alni minat tawwabiin…
Allahumaj’alni minal mutatahirin…
Allahumaj’alni min ibadikas-salihin…
29 Mei 2010, 22:20
Santi Soekanto
Ibu rumah tangga dan wartawan yang ikut dalam kafilah Freedom Flotilla to Gaza Mei 2010.
Tulisan ini
diposting pada bulan Mei 2010 di blog sebelumnya