ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB. SAHABAT, TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG SAYA INI. SEMOGA BERMANFAAT DAN MAMPU MEMBERIKAN INSPIRASI. BAGI SAYA, MENULIS ADALAH SALAH SATU CARA MENDOKUMENTASIKAN HIDUP HINGGA KELAK SAAT DIRI INI TIADA, TAK SEKADAR MENINGGALKAN NAMA. SELAMAT MEMBACA! SALAM HANGAT, ETIKA AISYA AVICENNA.
Tampilkan postingan dengan label Resensi Film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi Film. Tampilkan semua postingan

REVIEW FILM BUNDA, KISAH CINTA DUA KODI : BELAJAR MENJADI MUSLIMAHPRENEUR YANG SUKSES





“Tidak mudah menjadi wanita yang sukses dalam berbisnis, apalagi dia seorang muslimah”
 
Tagline Film “Bunda, Kisah Cinta Dua Kodi” di atas memang tepat untuk menggambarkan perjalanan hidup Tika (Acha Septriasa), seorang muslimah tangguh dalam membangun bisnis dan mempertahankan keharmonisan keluarga. Film yang pernah dibuat versi dokumenternya oleh sutradara muda Ali Budiyanto ini memang terinspirasi oleh kisah nyata Bunda Tika Kartika, owner Keke Busana. Ali Budiyanto kembali didaulat Inspira Picture untuk menggarap  film layar lebarnya bersama dengan  Bobby Prasetyo.

REVIEW FILM AAC 2 : TUJUH PENYEBAB BAPER, LIMA SCENE SPESIAL, DAN TIGA HAL ANEH DALAM FILM AYAT-AYAT CINTA 2

"Yang paling layak untuk dicintai adalah cinta itu sendiri.
Yang paling layak untuk dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri.”

Itulah sepenggal kalimat yang Fahri (Fedi Nuril) sampaikan saat debat ilmiah tentang konflik di Timur Tengah yang berlangsung di Universitas Edinburg. Kalimat apik tersebut berasal dari pemikiran Syekh Badiuzzaman Said Nursi, seorang ulama Turki. Debat ini menjadi salah satu scene paling menarik bagi saya karena apa yang Fahri sampaikan mampu meluruskan pandangan tentang Islam bagi seluruh peserta yang hadir.

REVIEW FILM “CHRISYE” : JEJAK PERJALANAN SANG LEGENDARIS





Di manapun, kapanpun, gue akan kejar kebahagiaan hidup gue.”
-Chrisye-

Itulah sepenggal kalimat penuh semangat dari Chrisye (Vino G. Sebastian) kepada adik bungsunya, Vicky (Pasha Chrismansyah) saat ia dan kawan-kawannya di Gipsy Band mendapat kesempatan untuk bermusik di Amerika. Sayang, impian itu hampir pupus kala sang Ayah (Ray Sahetapi) dengan tegas melarangnya. Menurut ayahnya, karir seorang musisi tidak bagus, apalagi musisi di Indonesia tidak begitu dihargai.

‘MANIS’-NYA FILM DUKA SEDALAM CINTA


Setelah film “Ketika Mas Gagah Pergi” berhasil menguras air mata penontonnya -termasuk saya- setahun lalu, serta membuat ratusan ribu pasang mata terinspirasi karenanya, kini kita akan kembali bersua dengan Mas Gagah (Hamas Syahid) dan Dek Manis Gita (Aquino Umar) dalam sekuel film KMGP berjudul “Duka Sedalam Cinta” (DSC) yang juga akan mempersilakan butiran bening air mata tumpah tak terkira.

AHAD SERU BERSAMA JEMBATAN PENSIL


"Setiap anak diberikan kelebihan dan kekurangan. Buat apa sombong kalau di antara kelebihan kita juga ada kekurangan."

Itulah salah satu pesan yang saya dapat saat sepekan lalu tepatnya pada hari Ahad (24/9) saat nonton bareng (nobar) film "Jembatan Pensil" di CGV Blitz, Dmall Depok bersama anak-anak yatim Depok yang digelar Institut Ibu Profesional (IIP) Depok bekerja sama dengan Komunitas Pecinta Film Islami (KOPFI). Sebelum memutuskan untuk nonton, saya melihat trailer filmnya. Duh, nonton trailernya aja dah bikin baper dan penasaran.

Film "Jembatan Pensil" bercerita tentang persahabatan lima orang anak, yakni Ondeng (Didi Mulya), Azka (Azka Marzuki), Yanti (Permata Jingga), Nia (Nayla D. Purnama), dan Inal (Angger Bayu). Ondeng memiliki keterbatasan mental, sementara Inal tuna netra. Tapi keterbatasan itu tidak menyurutkan ikatan persahabatan mereka. Meski sering kena bully dari Attar (Vickram Priyono), Ondeng dan keempat sahabatnya tidak menghiraukannya dan tetap bersikap baik pada Attar. Mereka bersekolah di SD Towea yang berada di tepi pantai.


Rumah Azka, Inal, Yanti, dan Nia jauh dari sekolah sehingga untuk sampai ke sekolah mereka harus berjalan kaki dan melewati jembatan yang rapuh. Sementara itu, Ondeng akan menunggu mereka di ujung jembatan sambil mengawasi mereka menyeberang dan memastikan semuanya selamat. Meskipun Ondeng memiliki keterbelakangan mental tetapi hatinya baik. Satu hal lagi, Ondeng juga pintar menggambar.

Kisah dimulai saat Pak Guru (Andi Bersama) mengabarkan ke para murid bahwa anaknya, Aida (Alisia Rininta) akan pulang dan membantunya mengajar. Anak-anak sangat antusias dengan hadirnya guru baru. Ondeng dan kawan-kawannya pun semakin semangat.

Keesokan harinya saat Aida datang dan turun tari kapal, tasnya jatuh ke laut. Ini menjadi awal pertemuannya dengan Gading (Kevin Julio). Gading membantu Aida mengambil tasnya. Aida yang kebingungan karena dia tidak mendapatkan mobil sewa yang bisa mengantarnya ke rumah, akhirnya Aida naik kapal nelayan milik Gading dan Bapaknya Ondeng.

Saat kapal merapat esok harinya, Ondeng telah berdiri di tepi dermaga menunggu Bapaknya. Ondeng melakukannya setiap hari karena dia sangat menyayangi Bapaknya, Ondeng takut kehilangan Bapaknya karena Sang Ibu sudah meninggal dunia. Setelah Ondeng bertemu Bapaknya dan ikut ke pasar ikan, ia pun berangkat naik mobil box. Aida ikut Ondeng. Aida ikut turun ketika tiba-tiba Ondeng turun dan berkata akan menjemput teman-temannya.

Aida terkejut saat menyaksikan Azka, Inal, Yanti, dan Nia harus menyeberangi jembatan rapuh dengan menggantung sepatu di pundak. Mereka tidak memakai sepatu saat ke sekolah agar sepatunya tetap awet. 😥😥😥

Kedekatan Gading dan Aida tidak disetujui Ibu Aida, Bu Farida (Meriam Belina). Bu Farida, yang notabene perajin songket, lebih memilih Arman (Agung Saga) karena dia memiliki peternakan sapi.

Meski begitu, Gading tetap membantu Aida termasuk saat mengajar. Kehadiran Aida memberi warna baru dalam kegiatan sekolah Ondeng dan kawan-kawannya. Aida, dibantu Gading, sering mengajak mereka belajar dari alam. Hingga suatu ketika, Aida menantang anak-anak untuk menuliskan mimpi mereka. Mimpi sederhana Ondeng adalah ingin membuatkan jembatan untuk keempat sahabatnya. Ondeng menggambar jembatan impiannya, yang ia namakan Jembatan Pensil. Ondeng pun menabung untuk mewujudkan impiannya. 😭😭😭

Ondeng sangat menyayangi Bapaknya. Pernah sang Bapak berkata bahwa cintanya seperti sebutir jagung, ditanam akan berkembang, dari sebutir menjadi puluhan kemudian berkembang jadi ratusan, ribuan, jutaan, milyaran bahkan sampai tak terhingga.

Ondeng sangat terpukul ketika suatu hari Bapaknya tenggelam dan meninggal dunia saat melaut. Gading meyakinkan Ondeng bahwa ia akan tetap menjaga Ondeng seperti keluarganya sendiri. Akhirnya Ondeng mau tinggal bersama Gading.

Suatu hari,  saat Azka, Inal, Nia, dan Yanti menyeberang, jembatannya roboh sehingga mereka berempat jatuh ke sungai. Ondeng yang menunggu mereka di seberang jembatan langsung menyebur ke sungai dan menolong keempat temannya. Akhirnya mereka berlima terlambat datang ke sekolah. Saat itu sedang upacara. Dengan berlari mereka menuju sekolah, Ondeng menggendong Inal. Saat sampai, mereka langsung berdiri tegak dan hormat pada bendera karena saat itu memang sedang upacara, padahal seragam mereka basah kuyup. 😭😭😭

Masyaa Allah kisah perjuangan mereka sangat luar biasa. Film ini sangat cocok ditonton bersama keluarga, sangat direkomendasikan untuk ditonton keluarga. Para orang tua bisa mengajak anak-anaknya karena banyak pesan moral yang bisa diambil dari film ini dan insya Allah bisa memotivasi anak-anak untuk lebih bersemangat saat menuntut ilmu.  Dalam film ini kita akan disuguhi pemandangan yang sangat menakjubkan di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Banyak scene pemandangan indah  seperti laut, pantai, dan juga goa-goa bersejarah yang belum banyak kita ketahui.
Sebelum dimulai, ngemil dulu bareng adik-adik

Pada saat nobar ini juga dihadiri oleh Azka dan sang sutradara film (Hasto Broto). Pasca nonton, ada bagi-bagi doorprize dan foto bareng.

Oh iya, apakah Ondeng berhasil mewujudkan impiannya?

Ada satu perkataan inspiratif yang disampaikan Gading pada anak-anak, "Sebatang pensil kita bisa menuliskan apa saja di atas kertas. Hal baik maupun hal buruk. Meski tulisan itu bisa dihapus, tp kebaikan atau keburukan itu akan membekas. Demikian juga manusia, baik dan buruknya perbuatan pasti akan meninggalkan bekas di mata orang lain."

**

Malam hari setelah nobar, saya mengirim DM di IG Didi (@ondidimulya), pemeran Ondeng. Alhamdulillah, Didi menjawab beberapa pertanyaan saya dengan sangat ramah.

Ternyata film "Jembatan Pensil" ini adalah film keduanya, sebelumnya ia pernah membintangi film "23.59" pada tahun 2014 di bawah Rudi Soedjarwo.

Didi berujar bahwa semua scene dalam film ini sangat berkesan dan selain pemandangan alam di sana bikin kangen, kerja sama dengan kru dan masyarakat di sana juga baik semua menyambut dengan antusias yang positif.

Adegan yang paling membuat Didi selalu mengingatnya sampai sekarang adalah saat adegan yang mengharuskannya nyebur tenggelem di mana dia gak pintar berenang hanya bisa mengapung saja dan scene saat naik sampan, belajarnya dadakan langsung dengan nelayan lokal di sana tapi alhamdulillah berjalan lancar

Harapan Didi dengan adanya film Jembatan Pensil ini adalah yang pasti dapat diterima dengan baik bagi penikmat film di Indonesia dan bisa menginspirasi semua penonton lewat cerita dari film Jembatan Pensil ini, sekaligus supaya bisa membuka jalan bagi Didi untuk bisa berkarya lagi
Yuk, jangan lupa nonton film Jembatan Pensil!

Aisya Avicenna

#IbuProfesionalDepok
#kelasminatmenulisiipdepok
#nobariipdepok
#NHWtestimonifilmJembatanPensil

FILM BUKAN CINTA MALAIKAT JADI OBAT RINDU

Poster Film "Bukan Cinta Malaikat"


Saat pertama melihat trailer film yang digarap oleh rumah produksi Ganesa Perkasa Films ini, saya langsung jatuh cinta. Pasalnya, film ini mengambil latar di Mekah dan Madinah. Membaca sinopsis cerita juga cukup menarik. Akhirnya saya dan suami yang sama-sama sangat merindukan untuk kembali ke dua tanah suci itu, bertekad untuk melihat film bergenre drama religi tersebut.

Dalam Mihrab Cinta



Stasiun Pekalongan. Itulah permulaan setting dari film ini. Berlanjut diarahkan ke dalam kereta yang akan menuju Kediri, dan kisah itu pun dimulai. Di dalam kereta itu, duduklah seorang muslimah cantik berjilbab ungu yang sedang menangis. Selang berapa lama, masuklah sosok pemuda berambut gondrong sebahu. Pemuda gondrong itu mencocokkan tiket dan tempat duduknya di kereta itu, dan ternyata ia duduk bersebelahan dengan muslimah itu.
Kehadiran pemuda gondrong itu mengejutkan sang muslimah. Buru-buru pemuda itu mengatakan kalau ia adalah orang baik-baik, kebetulan ia duduk di situ dan ia menawarkan kepada sang muslimah untuk memilih duduk di dekat jendela atau tetap di tempatnya sekarang. Muslimah cantik itu akhirnya bergeser. Sang pemuda meletakkan tasnya di bagasi atas kemudian ia duduk di samping sang muslimah.

Saat kereta masih melaju, pemuda gondrong itu berpindah tempat di bangku sebelah yang sudah kosong karena penumpangnya sudah turun. Baru beberapa saat memejamkan mata, pemuda gondrong itu melihat seorang bapak yang hendak mengambil tas milik sang muslimah. Si pemuda gondrong langsung menghardik sang pencuri. Muslimah berjilbab ungu itu terbangun. Tambah kaget ketika sebilah pisau terarah padanya.
Ya, pencuri itu mengancam akan menusuknya kalau pemuda gondrong itu berbuat macam-macam.


Terjadi perkelahian. Telapak tangan sang pemuda sempat terkena pisau. Berdarah. Pencuri berhasil kabur. Muslimah itu segera membebat tangan pemuda gondrong yang terluka dengan sapu tangannya. Pemuda gondrong itu bercerita kalau ia akan nyantri di Pesantren Al-Furqon, Kediri yang ternyata pesantren tersebut adalah milik ayah sang muslimah berjilbab ungu. Subhanallah...

Sampailah mereka di Stasiun Kediri. Di pintu keluar, mereka saling menyebutkan nama. Pemuda gobdrong itu bernama Syamsul Hadi (Dude Herlino) dan sang muslimah berjilbab itu bernama Zidna Ilma atau Zizi (Meyda Sefira). Zizi pulang ke Kediri karena mendapat kabar kalau ayahnya meninggal dunia.

Kehidupan pesantren sangat dinikmati oleh Syamsul, sampai akhirnya ia dituduh sebagai pencuri oleh sahabatnya sendiri, Burhan (Boy Hamzah). Waktu itu, Syamsul dan Burhan hendak makan bersama, tapi dompet Burhan ketinggalan di kamarnya dan ia meminta Syamsul untuk mengambilnya. Syamsul akhirnya mengambil dompet Burhan di dalam almari, saat itu ternyata teman-teman pesantren yang bertugas sebagai bagian keamanan tengah berjaga di dalam kamar Burhan. Syamsul dituduh mencuri. Ia diarak, dipukuli, dan dimasukkan ke dalam gudang. Hilangnya beberapa uang di pesantren memang menimbulkan keresahan, sehingga saat Syamsul ketahuan membuka almari Burhan dan mengambil dompetnya, anggapan mereka Syamsul-lah pencuri yang tengah dicari selama ini.

Saat dimintai menjadi saksi, ternyata Burhan mangkir kalau dialah yang menyuruh Syamsul mengambil dompetnya. Syamsul bersumpah bahwa dia bukan pencurinya. Burhan juga bersumpah bahwa apa yang dikatakannya barusan adalah benar. Padahal maksud Burhan, yang dikatakannya barusan adalah : “Penjahat pasti akan melakukan segala cara untuk menutupi kejahatannya.” (kalau yang sudah baca novelnya, pasti ngeh saat adegan ini).

Digundhuli. Itulah hukuman yang dijatuhkan pada Syamsul. Tak hanya itu, Syamsul didepak dari pesantren. Ayahnya (El Manik) datang menjemput. Marah-marah. Sampai di rumah, Syamsul masih dihujani kemarahan oleh sang ayah dan kakak-kakaknya. Hanya ibu (Ninik L. Karim) dan adik perempuannya, Nadia (Tsania Marwah) yang membela.

“Ya Allah, kalau keluarga sendiri sudah tidak percaya... Apa gunanya hidup?” Begitulah kira-kira doa Syamsul dalam keterpurukannya. Keesokan harinya Nadia menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan Syamsul. Syamsul pergi dari rumah. Ibundanya syok. Tetapi, sang ayah membiarkannya.
Syamsul pun sampai di kota Semarang. Ia makan di pinggir jalan.. Pada adegan inilah lagu berikut terlantun manis...

Terhempas aku dalam fitnah
Yang mendera jiwa dan mencebik sukma
Tetapi ku tak tentu arah
Hingga sebekas menguntum langgaku
Dalam mihrab cinta ku regup firman-Nya
Terangi jalanku ku sujud pada-Nya
Dalam mihrab cinta prahara dan asa
Putus duka lara ku pasrah pada-Nya
Ku berdiam dendam yang membara
Ku pasrahkan semua pada yang kuasa
Ku yakin tiada satu jua hentikan kuasa-Nya
Untuk mengubah segalanya
Dalam mihrab cinta ku regup firman-Nya
Terangi jalanku ku sujud pada-Nya
Dalam mihrab cinta prahara dan asa
Putus duka lara ku pasrah pada-Nya
(Rino – Prahara dan Asa)


Uang di dompet Syamsul tinggal beberapa ribu rupiah. Akhirnya, ia nekat mencopet di dalam bus. Ketahuan. Ia dikejar-kejar penumpang dan beberapa orang yang berada di sekitar lokasi. Syamsul dihajar dan diserahkan ke kantor polisi. Ia menginap di hotel prodeo. Wajahnya menghias koran lokal. Dan sampai jua di Pekalongan. Keluarganya membaca koran tersebut. Sang ayah merutukinya. Ibunda dan Nadia masih belum percaya, karena nama pencuri yang disebut dalam koran itu bukan Syamsul, tapi Burhan.
Di hotel prodeo itulah, Syamsul mendapatkan ‘petuah bijak’ dari dua orang yang katanya ‘pencopet handal’. Salah satu dari mereka berkata, “Kalau mau jadi pencopet itu mentalnya harus kuat. Terus, jangan mencopet lebih dari dua kali pada hari yang sama.” Hihi, lucu banget waktu bagian ini... Dalam mencopet juga ada ‘rumus’nya ternyata.

Nadia menjenguk Syamsul di penjara. Nadia masih tak percaya kalau kakaknya benar-benar menjadi pencopet sekarang. Syamsul menjelaskan pada Nadia kalau hal itu dilakukannya karena terpaksa. Atas permintaan Syamsul, akhirnya Syamsul dibebaskan Nadia. Syamsul akhirnya menghirup udara kebebasannya. Saat tengah asyik berjalan bersama Nadia, tiba-tiba Syamsul berlari dan naik ke sebuah angkot, meninggalkan Nadia. Nadia menangis dan terduduk di pinggir jalan. Dari pintu angkot, Syamsul sempat berteriak menyuruh Nadia pulang saja.

Patung selamat datang... Ternyata Syamsul merantau ke Jakarta.. Pada adegan ini, lagunya Afgan terlantun...

Demi cinta ku pergi
Tinggalkanmu relakanmu
Untuk cinta tak pernah
Ku sesali saat ini
Ku alami ku lewati
Suatu saat ku kan kembali
Sungguh sebelum aku mati
Dalam mihrab cinta ku berdoa semoga

Suatu hari kau kan mengerti
Siapa yang paling mencintai
Dalam mihrab cinta ku berdoa pada-Nya

Karena cinta ku ikhlaskan
Segalanya kepada-Nya
Untuk cinta tak pernah
Ku sesali saat ini
Ku alami ku lewati

Suatu saat ku kan kembali
Sungguh sebelum aku mati
Dalam mihrab cinta ku berdoa semoga

Suatu hari kau kan mengerti
Siapa yang paling mencintai
Dalam mihrab cinta ku berdoa padaNya
(Afgan – Dalam Mihrab Cinta)


Di ibukota, Syamsul tinggal di sebuah kontrakan kecil. Ia mencoba melamar pekerjaan, tapi gagal dan gagal lagi. Akhirnya, terpaksa ia mencopet. Uniknya, Syamsul mencatat identitas dan jumlah uang yang dicopetnya pada sebuah buku khusus. Sampai akhirnya, ia juga menemukan foto gadis yang dicopetnya (Silvy – Asmirandah) bersama Burhan (teman pesantren yang memfitnahnya). Mengetahui hal itu, Syamsul pun memiliki niat untuk “membongkar” rahasia Burhan pada Silvy.

Bermodal KTP Silvy, dengan mengenakan sepeda motor yang dipinjamnya, Syamsul menuju perumahan elite. Saat mau memasuki lokasi perumahan, Syamsul diduga sebagai ustadz (guru ngajinya Della) oleh satpam yang menjaga. Ya, karena waktu itu Syamsul memang mengenakan peci putih dan sangat santun.
Seharusnya, Syamsul akan ke rumah Silvy. Tapi ia memilih untuk mengunjungi rumah si kecil Della. Tak disangka, Syamsul diterima sebagai guru ngajinya Della. Tambah terkejut lagi, ternyata Silvy adalah guru privat Matematikanya Della.

Sampai di sini, aku senyum-senyum sendiri. Yang satu jago matematika, yang satu jago ngaji... Hihihi... (dasar Thicko! –sensor-)

Silvy akhirnya tahu siapa Burhan sebenarnya. Ia menolak lamaran Burhan. Burhan ternyata sudah dikeluarkan dari pesantren karena ternyata ia adalah seorang pencuri dan dengan keji memfitnah Syamsul.
Syamsul bertaubat. Ia sungguh-sungguh berdoa pada Allah agar mengampuninya. Kehidupan Syamsul berubah. Ia menjadi ustadz yang cukup terpandang. Hasil copetannya ia pulangkan kepada pada pemiliknya via pos. Tak lupa ia juga membelikan jilbab buat ibu dan Nadia. Pada Silvy, Syamsul akhirnya mengaku kalau dialah yang mencuri dompetnya. Silvy menangis saat mengetahuinya, tapi ibunya (Elma Theana) tetap menyukai Syamsul dan mengharapkan Syamsul bisa menjadi menantunya.

Syamsul menjadi ustadz yang cukup dikenal. Ia masuk TV, keluarganya melihatnya. Bahagia... bersyukur...Akhirnya, sang ibu dan adiknya menemui Syamsul ke Jakarta. Zizi dan kakaknya (pimpinan pesantren) juga turut serta. Saat itulah keluarga Silvy juga datang. Pada waktu Zizi hendak pulang, tasnya ketinggalan di rumah Syamsul, saat itulah Zizi mendengar penuturan Ayah dan ibu Silvy yang berniat menjadikan Syamsul sebagai menantunya. Zizi patah hati...

Syamsul akhirnya akan menikah dengan Silvy. Beberapa hari sebelum hari bahagia itu datang, Allah berkehendak lain. Silvy mengalami kecelakaan. Ia meninggal. Syamsul sangat syok. Ayah Silvy (Izur Muchtar) sempat meminta Syamsul menikahi jasadnya. Oh...

Syamsul  kembali ke Pekalongan. Ia masih belum bisa melupakan Silvy. Suatu hari Zizi datang dan membawakan oleh-oleh dari Kediri. Zizi turut prihatin dengan kondisi Syamsul. Beberapa hari kemudian, kakak Zizi datang untuk menyampaikan maaf sekaligus mengundang Syamsul untuk datang ke pesantren di Kediri, selain itu juga meminta Syamsul bersedia menikah dengan Zizi.


Akhirnya, Syamsul datang ke Kediri. Saat itu, Syamsul bilang.. “Saya datang ke sini dengan dua misi...” Hihi, aku geli juga mendengar penuturan Syamsul. Ya, misi pertama adalah silaturahim ke ‘mantan’ pesantren yang sempat mengeluarkannya. Dan misi kedua adalah untuk melamar Zizi...

Happy Ending deh...

Film ini memang diadaptasi dari novel “Dalam Mihrab Cinta” karya Habiburahman El-Shirazy (Kang Abik). Ada yang berbeda dengan film ini dibanding film-film sebelumnya yang juga diadaptasi dari novel Kang Abik (Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2). Pada film ini, tokoh utama (Syamsul Hadi), tidak tercermin sebagai tokoh yang ‘sempurna’ (seperti Fahri dan Azzam). Film yang juga disutradarai Kang Abik ini menampilkan kisah yang begitu bagus dan memang mencerminkan realitas sosial di sekeliling kita. Nasihat yang ada dalam film ini juga menyentuh sekali.

Beberapa hikmah yang bisa didapat dari film ini :
1. Tetap berkata jujur apapun keadaan kita. Meski kita difitnah, yakinlah bahwa Allah Maha Tahu segalanya. “Becik ketitik olo ketoro”. Setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya.
2. Apa yang kita dapatkan adalah implikasi dari apa yang telah kita berikan. Jika kita memberikan ‘kebaikan’, maka ‘kebaikan’ pulalah yang kita dapatkan.
3. Saat kita sudah sukses, jangan melupakan orang-orang yang berada di balik kesuksesan kita, terlebih keluarga kita.
4. Tak hanya saat melakukan kesalahan, sebaiknya kita senantiasa memohon ampunan pada Allah Swt. Karena bisa jadi saat kita menilai perbuatan kita sudah baik (dalam pandangan kita), ternyata perbuatan itu tidak ada nilainya di hadapan Allah. Istighfar, itulah salah satu obat hati.
5. Tentang jodoh, memang belum tentu seseorang yang ‘baru akan’ menikah dengan kita, itu benar-benar jodoh yang dipilihkan Allah. Jodoh itu misterius, hadirnya tak terduga. Semua sudah diatur-Nya sedemikian rupa. Tidak akan datang terlambat atau terlampau cepat, jodoh kita akan datang pada saat yang tepat!
6. “Karena sebaik-baik rencana, tetap rencana-Nya yang terbaik”. Begitulah kata Syamsul Hadi dalam film itu. So, selalu positive thinking yuk pada Allah...
7. Dll.... Bagi yang sudah nonton, silakan ditambahkan sendiri... ^^v

NB : Buat saudari-saudariku yang rebutan tissu saat menonton ini, jangan lupa kisah kita hari itu ya...Semoga kita bisa mengambil hikmah dari film ini (Kalibata, 24 Desember 2010)

Tak pernah terlintas di benakku
Saat pertama kita bertemu
Sesuatu yang indah
Tumbuh dalam gundah
Harum dan merekah
Tulus hatimu membuka mataku
Tegar jiwamu hapus raguku
Membuncah di hati
Harapan yang suci
Menyatukan janji
Bunga-bunga cinta indah bersemi
Di antara harap pinta pada-Nya
Tuhan tautkanlah cinta di hati
Berpadu indah
Dalam mihrab cinta...
(Asmirandah dan Dude Herlino – Bunga-Bunga Cinta)


Aisya Avicenna


Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya 

Film KMGP Menjadi Inspirasi Dakwah Masa Kini


"Jika kita tidak setuju dengan suatu kebaikan yang belum kita pahami, cobalah untuk bisa menghargainya."


Kalimat yang dilontarkan Gagah (Hamas Syahid Izzuddin) dalam sebuah adegan di film “Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP) tersebut agaknya bisa menjadi renungan bagi kita bersama, khususnya saya pribadi. Terkadang kita terburu menjudge perubahan seseorang dengan opini subjektif yang mengarah pada prasangka buruk. Padahal kita tak sepenuhnya tahu bahwa yang bersangkutan sedang berusaha untuk memperbaiki dirinya. Mencoba selalu berbaik sangka (husnudzon) dan belajar menghargai sesuatu yang mungkin belum kita pahami sebaiknya semakin ditumbuhkan dalam diri kita. Sepakat?
Itulah salah satu inspirasi yang saya dapat setelah menonton film KMGP. Nyatanya, film yang diadaptasi dari novel fenomenal berjudul sama karya Bunda Helvy Tiana Rosa tersebut membuat semangat saya semakin meletup. Semangat untuk berhijrah menjadi pribadi lebih baik lagi. Sesuai dengan hastag saya akhir-akhir ini : #HijrahLebihBarokah dan #FromMOVEONtoMOVEUP

Film KMGP bisa menjadi inspirasi bagi dakwah masa kini. Meski kisah KMGP ditulis di era tahun 90-an, tapi film KMGP sendiri bisa mengangkat kondisi kekinian di mana kedekatan dengan gadget dan beberapa dialog alay ala ABG gaul zaman sekarang juga mewarnai film ini. Film KMGP menjadi inspirasi untuk berdakwah dengan gagah, santun dan penuh keteladanan. Hal ini dicontohkan sosok Mas Gagah lewat sikapnya menghadapi Ibunda (Wulan Guritno) dan adiknya Gita (Aquino Umar) yang sulit menerima perubahannya, lewat kata-kata santun saat diejek sahabat lamanya, lewat tindakan nyata saat membantu kegiatan sosial para preman yang pernah mencoba berbuat jahat padanya.

Inspirasi dakwah juga ditunjukkan lewat peran Yudi (Masaji Wijayanto) yang melakukan ceramah anti mainstream di kendaraan umum. Adakah pegiat dakwah di zaman sekarang yang mau dan tak malu melakukan hal itu? Pertentangan Yudi dengan Abahnya (Mathias Muchus) yang tidak setuju dengan aksi dakwah Yudi yang ‘aneh’ tersebut menjadikan pelajaran juga bagi kita bahwa tantangan dakwah memang sangat besar, bahkan bisa berasal dari orang-orang terdekat. Pada zaman sekarang kita dituntut untuk semakin kreatif dalam menebar kebaikan lewat berbagai media dan beragam cara. Sesuai dengan Alquran dan Sunnah tentunya!

Sosok Mas Gagah bisa menjadi trendsetter bagi pemuda zaman sekarang. Cerdas dalam berilmu, santun dalam berkata, tegas dalam bersikap, peduli pada sesama, dan cinta Alquran. Pemeran Mas Gagah (Hamas) adalah seorang penghafal Alquran sesuai dengan karakter yang diperankannya karena film KMGP memang berusaha totalitas untuk menampilkan sosok Mas Gagah persis seperti dalam novelnya.

Film yang dibintangi oleh empat tokoh utama pendatang baru yakni Hamas Syahid Izzuddin, Aquino Umar, Masaji Wijayanto, dan Izzah Ajrina ini semakin memukau dengan dukungan akting Mathias Muchus, Wulan Guritno, Epi Kusnandar, Nungki Kusumastuti, Ustadz Salim A. Fillah, Irfan Hakim, Joshua, Virzha, Miranti de Marelle, dan lain-lain. Setidaknya ada 30-an artis yang menjadi cameo dalam film ini. Saya sangat menikmati akting Aquino Umar (Noy) yang begitu natural memerankan sosok Gita. Noy sangat totalitasi menjiwai perannya sebagai seorang adik dan ABG gaul yang sedang mencari jati diri. Adegan-adegan dan alur kisah dalam film ini bisa membuat penonton heran, tertawa, bahkan menangis. Apalagi saat "Rabbana" sebagai soundtrack dari film ini terlantun, emosi penonton akan semakin dipermainkan.

Saya juga sangat menyukai setting lokasi di Ternate yang tersaji indah di film KMGP. Nuansa alam Ternate ditampilkan dengan memesona. Serius, jadi ingin ke sana. Insya Allah 50% keuntungan dari film KMGP ini akan didedikasikan sebagai program kemanusiaan, di antaranya untuk pendidikan anak-anak di wilayah Indonesia Timur dan Palestina. Film yang disutradari oleh Firmansyah (Kang Immank) ini juga menjadi film pertama yang mengangkat Palestina. Pasti penasaran kan, mengapa dan kapan Shireen Sungkar berteriak lantang, "Kita tidak bisa hanya diam menyaksikan kebiadaban di Palestina!"

Sayangnya, teknik editing film masih kurang pas karena saya menangkap ada adegan yang lompat. Ada juga adegan atau scene yang terlalu cepat berganti seperti saat Mas Gagah akan pergi ke Ternate, tiba-tiba sudah kembali lagi hanya berbeda penampilan (berganti baju dan berjenggot lebih tebal). Saya menjadi bertanya-tanya, "Mas Gagah di Ternate cepat amat, di sana ngapain saja ya?" Prolog film (narasi yang disampaikan Gita di awal) terlalu panjang. Potongan scene di akhir film yang kemudian menunjukkan cuplikan adegan dan akhirnya film berakhir, juga terkesan mendadak sehingga saya sempat berujar, "Kok sudah selesai ya?" Meskipun begitu, akhir kisah sangat membuat saya penasaran karena ternyata akan ada KMGP session 2. Ah, wajib ditonton juga nih! Semoga segera tayang ya.


Setiap karya memang tak ada yang sempurna. Untuk sampai ke tahap difilmkan seperti sekarang, KMGP butuh perjuangan yang luar biasa dan kita semua patut untuk mengapresiasinya. Barakallahu khususnya untuk pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) sekaligus guru besar saya dalam menulis, Bunda Helvy Tiana Rosa. Semoga kian banyak penulis FLP pada khususnya yang bisa mengikuti jejak juang beliau dalam melahirkan karya luar biasa seperti KMGP. KMGP telah berhasil menjadi film bernafaskan Islam pertama yang lahir dari patungan para pembaca yang telah bertahun-tahun menantikan sang novel difilmkan. Apalagi KMGP menjadi film pertama yang berani mengangkat tentang Palestina. Masya Allah, salut untuk semua pihak yang telah berjamaah untuk mencipta film yang anti mainstream seperti KMGP. Insya Allah film KMGP bisa menjadi jalan cinta dalam menumbuhkan semangat dan inspirasi baru dalam berdakwah di era masa kini. 

***
Serunya Gala Premiere Film KMGP di Plaza Senayan

Jakarta, sehari setelah nonton Gala Premiere Film KMGP di Plaza Senayan..

Salam cinta,
Aisya Avicenna


~ Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Jakarta dan Divisi Penulis Komunitas One Day One Juz (ODOJ) 

Daftar Tulisan

Motivasi (343) Coretan (233) Dunia Muslimah (140) Puisi (114) RomantiCouple (82) Artikel (76) Kepenulisan (49) Tips (46) FLP (41) Mutiara Kata (41) TraveLova (35) Catatan Mamiko (25) Dunia Parenting (23) Cerpen (20) Inspirasi Bisnis (19) Resensi Buku (17) Buku Aisya Avicenna (13) Dunia Anak (13) Flash Fiction (9) Resensi Film (8) Cerbung (5)