|
Kang Tef - Aisya - Tasaro |
[Aisya Avicenna]
aslmkm
sore kang tef...
hanya menyapa saja... hehe
[Taufan E. Prast]
Wa'alaikum salam... sore, Ticko... apa kabarmu, terima kasih sudah menyapaku... hehe
[Aisya Avicenna]
alhamdulillah, baik2 saja kang
kang tef pa kabar??
[Taufan E. Prast]
alhamdulillah sehat wal afiat...
[Aisya Avicenna]
alhamdulillah...
[Taufan E. Prast]
syukurlah, jaga kesehatan ya...
[Aisya Avicenna]
insya Allah
kang tef jg
mbak era jg dijagain
hehe
salam yaaa
[Taufan E. Prast]
haha... dia sudah bisa jaga diri, justru aku yang masih liar, hehe...
[Aisya Avicenna]
wkwkwk
[Taufan E. Prast]
lagi nulis apa, Ticko?
[Aisya Avicenna]
nulis Analisis Beban Kerja (di kantor)...
hehe
klo buku insya Allah ada beberapa yg lg mau diselesaiin
doain kang mg lancar...
hehe
coz hrs bg waktu jg buat belajar mau ikut seleksi beasiswa S2
[Taufan E. Prast]
alhamdulillah, amiiiin... aku melihat kesungguhan yang luar biasa pada dirimu... semoga semuanya lancar...
[Aisya Avicenna]
aamiin...
[Taufan E. Prast]
bergeraklah selagi muda dan ada kesempatan...
[Aisya Avicenna]
ni daku jg ada tawaran dari sebuah penerbit di solo.. baru usul tema sih, katanya 85 % mau diterbitin
ni lg diuber2 outlinennya
puyeng jg sih, bnyk yg hrs dikerjakan.. mg bs memprioritaskan
[Taufan E. Prast]
alhamdulillah, pesannya satu, "jaga keseimbangan"
[Aisya Avicenna]
iya
selalu berjuang untuk itu
kadang fisiknya yg gak bisa menyeimbangi
hehe
bagi2 dagingnya dung kang
:):)
masak ketuanya endut, anak buahnya kurus.. xixi
[Taufan E. Prast]
wkekeke... ga ada hubungannya tuh...
[Aisya Avicenna]
ada, berarti harus ada usaha untuk mensejahterakan anak buah, misalnya
bawa makanan atau traktir makan2 sesering mungkin.. apalagi anak kost
seperti aku
hehe
[Taufan E. Prast]
menikahlah, maka engkau akan gemuk, hahaha
[Aisya Avicenna]
hahaha
insya Allah... segera! :):)
[Taufan E. Prast]
Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin.... alhamdulillah... :):)
oke ya, aku ada miting nih...
[Aisya Avicenna]
oke
semoga sukses
NB : Kang Taufan E. Prast adalah ketua FLP Jakarta periode 2011-2013
(pada periode 2009-2011 juga sudah menjabat ding! ^^v). Hmm, dia adalah
salah satu penulis favoritku juga. Tulisan dan kepribadiannya sangat
menginspirasi. Istrinya (Teh Era) juga salah satu inspiratorku.
Alhamdulillah, salah satu rahasia Allah mengirimku ke Jakarta adalah
karena di Jakarta ada mereka. Sosok-sosok yang luar biasa!
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Maret 2011 di blog sebelumnya.
Ahad pagi yang indah. Alhamdulillah, kondisi tubuh sudah kembali stabil
meski belum 100% setelah nge-drop hari Jumat. Awalnya, Aisya berencana
tidak datang ke pertemuan FLP Jakarta kali ini. Mengingat semalam ia
pulang larut karena menghadiri “Indonesia Nasheed Award” di Jakarta
Islamic Book Fair. Jadi, rada capek dan mengantuk. Teringat akan
beberapa pesanan teman-teman FLP Jakarta, Aisya putuskan untuk tetap
datang.
Pesanan itu antara lain:
-Novel “NIBIRU” buat Soson
-Novel “Bumi Cinta” dan “Galaksi Kinanthi” buat Mbak Ayu
-“Something” buat Mbak Ria
-Oleh-oleh dari Wonogiri dan Solo berupa kacang mete dan emping melinjo
buat Kang Tef (pada khususnya) dan teman-teman FLP Jakarta (pada
umumnya)
Walhasil, bawaan Aisya pagi itu superberat! Hmm… Sampai di halaman
masjid At-Tauhid Arif Rahman Hakim UI Salemba, Aisya bersua dengan Yuda
dan seorang temannya. Kami sempat kebingungan waktu mau masuk karena
pintu gerbang untuk masuk ke masjid dikunci. Untungnya ada pak satpam
yang baik hati memberitahu kami kalau harusnya kami lewat jalan samping.
Ternyata di lantai dasar sedang digelar acara Walimatul ‘Ursy dengan
nuansa dekorasi warna MERAH HATI. Pas banget dengan kostum yang Aisya
kenakan. Sebelum masuk masjid, sempat bersua juga dengan Mbak Dina dan
Mbak Iecha yang katanya mau beli minuman buat pembicara.
“Ada Kanjeng tuh di atas!” kata Mbak Iecha
Akhirnya, Aisya dan Yuda naik ke lantai 3.
“Eh, Merah!” kata Kang Arul waktu Aisya tiba-tiba duduk di sampingnya.
Surprise juga karena ada beliau hari itu. Setelah sesaat duduk di dekat
Kang Arul, Aisya pindah posisi duduk di dekat Mbak Era yang hari itu
kayak jeruk (baca : pakai gamis dan jilbab warna oranye). Acara sudah
dimulai. Kang Tef (Kang Taufan E. Prast, ketua FLP Jakarta) sudah unjuk
gigi. Didampingi Mbak Rurie dan Ikal. Awalnya Aisya pengin nulis yang
disampaikan Kang Tef, tapi kalah dengan deru kendaraan. Alhasil, hanya
beberapa kata yang terdokumentasi. Itupun sepotong-sepotong.
Mbak Dina pindah duduk di samping Aisya. Tiba-tiba Mbak Dina
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Taraaaa!!! Bolpoin yang ‘sekujur
tubuh’nya berwarna merah (kecuali tintanya yang berwarna hitam),
akhirnya sah menjadi milik Aisya. Makasih ya Mbak Dina… Tahu aja sih
kalau Aisya suka banget warna merah!
Beberapa saat kemudian, Kang Arul yang tadi ‘adem-ayem’ di belakang,
berdiri dan melangkah ke depan. Gantian Kang Arul nih yang bagi-bagi
motivasi. Oh ya, pada pertemuan kali ini mengangkat tema : “Penulis,
Media, dan Dunia Penerbitan”. Aisya sempat menulis beberapa potong
materi dari Kang Arul di buku diary merahnya ^^. Sosok di sampingnya
juga serius menulis dengan gaya khasnya. Aisya mencoba meniru cara
menulisnya malah ketawa sendiri. Ahh, bu dosen ini memang unik! Satu hal
lagi, dia berujar bahwa hanya dirinyalah yang bisa membaca tulisannya
sendiri. Walhasil, Aisya ‘copy-paste’ saja tulisan dari bu dosen (baca :
Mbak Dina) yang diposting pagi ini di FB.
Berikut adalah resume materi yang disampaikan oleh kedua pemateri. Selamat menikmati...
Untuk menjadi penulis yang sukses diperlukan proses di dalamnya dan
tidak simsalabim begitu mudahnya. Selain berdoa yang tak putus kepada
Allah Swt juga diperlukan beberapa hal yang sebaiknya dikuasai oleh
penulis. Usaha apa sajakah? Usaha tersebut adalah (calon) penulis
sebaiknya mengetahui bagaimana cara menulis yang baik, memahami anatomi
penulisan, mempunyai kemauan dan kemampuan menulis, mendisiplinkan diri
dan meluangkan waktu untuk menulis (misalnya, sehari meluangkan waktu
menulis selama 2-3 jam, sehari menulis tiga kali setelah atau sebelum
makan, ataupun seminggu sekali menulis), serta memiliki komitmen yang
kuat untuk menulis.
Di dalam menjalani proses tersebut, maka diperlukan niat yang lurus.
Niat yang lurus itu juga diimbangi dengan wawasan keislaman (karena FLP
Jakarta itu kaderisasi penulis Islam open minded yang tetap mengacu
kepada etika-etika dan norma-norma keislaman berdasarkan Al Quran dan
Hadits, -red). Nah, untuk mewujudkan niat tersebut, maka kudu dipikirkan
matang-matang dengan akal budi pekerti luhur nan sehat, mau dibawa ke
mana niat tersebut? Mau menjadi profesi penulis yang profesional ataukah
menulis hanya sekadar hobi?
Jika ingin menjadi penulis yang menjadikan kegiatan menulis sebagai
hobi, artinya menulis dilakukan sebagai kegiatan di waktu luang, maka
tak perlu susah payah disiplin meluangkan waktu ataupun keukeuh menulis
tiga kali dalam sehari sebelum atau sesudah makan. Lakukan aktivitas
tersebut dengan diliputi keikhlasan dan bertujuan ibadah hanya kepada
Allah Swt.
Namun, jika memutuskan ingin menjadi penulis sebagai profesi, maka
syarat-syarat seperti komitmen serius menulis, sengaja meluangkan waktu
menulis, mengetahui persyaratan apa saja yang harus dikuasai jika ingin
tulisan dipubliksikan di media online maupun offline, memiliki pangsa
pasar yang kuat, membuat tulisan yang berbeda dan unik dengan
penulis-penulis sebelumnya, dan mengetahui kapan buku akan diterbitkan.
Selain itu, penulis juga harus fokus dengan bidang yang akan ditulisnya
apakah fiksi atau nonfiksi. Saat hendak menulis fiksi atau nonfiksi,
penulis mengumpulkan data terlebih dahulu kemudian barulah dituliskan
dan dipublikasikan. Adapun, data tersebut diperoleh melalui riset yang
sesuai dengan yang diperlukan.
Lebih lanjut, para pemateri memberikan tips pula bagaimana membuat
biodata yang baik kalau kita ingin mengirimkan naskah ke penerbit:
1.Susunlah biodata tersebut menjadi 3 paragraf. Paragraf pertama itu
adalah identitas pribadi: prestasi- sebaiknya menyertakan prestasi
menulis-; dan e-mail/blog yang aktif.
2. Alamat e-mail adalah alamat identitas pribadi penulis. Jadi buatlah e-mail penulis yang mudah diingat dan dikenang.
Beberapa tips ringan lainnya berkaitan dengan tema Penulis, Media, dan Dunia Penerbitan, yaitu:
1. Editor biasanya tidak membaca semua naskah yang dikirimkan kepadanya.
Oleh karena itu buatlah tulisan yang menarik di awal paragraf serta
buatlah naskah yang berbeda dan unik.
2. Jadilah penulis fiksi yang baik dengan mempelajari dan memperkuat
unsur intrinsik karya sastra. Beberapa unsur intrinsik tersebut terdiri
dari tokoh, tema, latar, amanat, dan alur (*kalau masih kurang, silakan
tambahkan sendiri, red).
3. Novel yang berhasil adalah novel yang menarik pembaca untuk membuka dan membaca halaman selanjutnya.
4. Pergunakanlah FB untuk berteman dengan penulis terkenal kemudian
seringlah berinteraksi dengannya, misalnya menaruh jempol atas postingan
status, note, atau link serta memberikan komen yang positif mengenai
hal tersebut. Hati-hati memberikan jempol. memberikan komen atas
note/link/status upload si penulis tersebut. Artinya, jangan asal
menaruh jempol atau beri komentar di sana. Baca kembali postingannya
lalu jika ingin tetap eksis dan tetap dikenal ama si penulis, selama
postingan tersebut emang positif silakan taruh jempolnya atau komennya.
5. Ikutan dan aktif di millist yang berkaitan dengan penulis, media, dan dunia penerbitan.
6. Jangan hanya mengandalkan naskah namun bangunlah jaringan sosial, misalnya ikut FLP Jakarta (red).
Hal-hal di atas adalah beberapa materi yang disampaikan oleh Kang Taufan
dan Kang Arul pada pertemuan ketiga Pramuda Angkatan ke-15 FLP Jakarta.
Adapun, pertemuan selanjutnya (pertemuan keempat) insya Allah akan
dilaksanakan kembali Ahad, 27 Maret 2011, waktunya pukul 10.00-13.00
WIB, tempat di Mesjid At-Tauhid Arif Rahman Hakim. Informasi dan
pematerinya akan disampaikan menyusul kemudian. Pada pertemuan keempat
tersebut masih diberikan kesempatan pendaftaran peserta untuk FLP
Jakarta Angkatan ke-15. Informasi dan pendaftaran, silakan hub. Info
Center FLP Jakarta : 0815.13596928 - 021-93541351 - 021-80370701.
Setelah pertemuan keempat, akan dibagi kelasnya yaitu kelas nonfiksi dan
fiksi. Nah, insya Allah, setelah pembagian kelas tersebut (pertemuan
ke-5), segenap divisi humas dan dokumentasi tidak akan mempublikasikan
materi yang diberikan di kelas tersebut. Oleh karena itu, bagi yang
berminat, menjadi anggota FLP Jakarta, silakan datang dan mendaftar ke
Mbak Yusi dan Mbak Astri pada ke pertemuan 2 minggu setelah Ahad, 13
Maret 2011.
Salam hangat dari kami.
FLP Jakarta
Wassalam
Hmm, begitulah reportase pertemuan ketiga angkatan 15 yang ditulis oleh
Mbak Dinda dengan sedikit revisi dari saya. Semoga bermanfaat…
NB :
- Menjelang Dhuhur, sempat foto-foto menggunakan kamera Kang Arul dan setelah diupload Kang Arul, hasilnya kereeeeen banget!
- Sayang, Mbak Ria tidak datang... sehingga hanya "something" buat Mbak Ria yang belum tersampaikan...
- Maaf ya, kemarin pulang duluan dan hanya pamit secara langsung ke Mbak
Era dan Mbak Astri plus SMS ke Kang Tef karena masih belum fit benar,
jadinya juga nggak bisa ikut ke Jakarta Islamic Book Fair lagi...
Best regards
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Maret 2011 di blog sebelumnya.
|
OMG di toko buku Jogja |
Yang dibutuhkan hanyalah soal waktu
by Kang Arul on Sunday, February 27, 2011 at 6:11pm
Yogya masih basah oleh bekas hujan tadi pagi saat saya menyerumptut teh
pahit hangat; sebuah rutinitas yang harus saya lakukan di pagi hari,
dimanapun; tapi waktu itu udah siang banget, saya ketiduran paginya...
setelah selama dua pekan ini tidur saya hanya antara 2 atau 4 jam saja.
Saya cek gadget saya, memastikan bahwa tidak ada satupun agenda hari ini
yang sempat terlewat. Oh, ternyata ada satu hal janji yang saya
tunaikan di akhir pekan ini, yakni menyantap mpek-mpek di depan
Ambarukmo Plaza... :)
Tapi, sebelum melakukan itu semua, sekitar pukul sembilan saya sudah
berada di lobi hotel ternama di Yogyakarta, deket ke bandara AdiSucipto.
Di sana ada acara penutupan sebuah partai besar. Saya tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan langka ini; berbekal laptop plus kamera saya
pun meluncur ditemani tiga orang teman jurnalis muda. Tujuan saya cuma
satu: memotret sosok petinggi partai, siapa tahu foto ini nantinya bisa
digunakan untuk salah satu laporan jurnalistik saya.
Selepas itu, saya meluncur ke UGM. Hari ini--selain makan mpek-mpkek
itu-- saya punya janji dengan promotor doktoral saya di gedung lengkung.
Ok, kita lewati hal akademis itu, yang penting saya ingin menulis
sebuah kutipan menarik dari sang dosen,"Saya ingin membimbing mahasiswa
yang nantinya akan jadi orang besar dan mengalahkan gurunya. Dulu, saya
belajar dari Gertz (antrpologis Jawa.red), saya baca semua bukunya dan
sekarang saya banngga karena saya bisa lebih pintar dari guru-guru saya.
Memang bisa dibilang terlalu kuno, tapi itulah yang saya inginkan
dengan Anda."
Hmm... nice quotes di hari itu.
Sepanjang perjalanan menuju tempat mpek-mpek, saya selalu berpikir bahwa
sang dosen pembimbing itu sepertinya sedang menyiapkan saya untuk
menjadi "seseorang". Menyiapkan saya untuk bisa memaknai semua hasil
belajar dengan semaksimal mungkin. Menyiapkan saya menjadi orang yang
berbeda sebelum dan sesudah belajar di kampus biru itu nantinya. Tentu
untuk melakukan itu perlu proses, dan proses itu tidaklah mudah dan
gampang. Buktinya proposal saya setahun baru bisa menghasilkan kata
"oke" darinya, walau proposal itu tebalnya hanya 27 halaman.
Proses itulah yang saya perhatikan juga saat saya makan mpek-mpek. Wah,
jangan tanyakan bagaimana lezatnya makanan khas yang satu ini. Saya
hanya mengajak Anda membayangkan di piring saya ada mpek-mpek kapal
selam, lenjer, dan kulit; 3 in 1 plus segelas es sirop . Saya melihat
bahwa tempat ini adalah cabang ketiga yang dibuka oleh merk tersebut;
salah satunya berada di sebelah kiri gerbang UGM. Maaf, saya tidak bisa
menyebutkan merk mpek-mpeknya karena alasan keamanan.. huahahahha
Membuat tiga cabang memang bukanlah pekerjaan yang mudah. Uang yang
banyak belum tentu bisa membuat cabang-cabang usaha dan sukses. Banyak
contoh yang bisa saya berikan untuk mewakili bahwa uang bukanlah penentu
satu-satunya dalam berusaha. Yang saya tahu, keberhasilan panganan ini
terletak pada kualitas or rasa or taste... dan saya yakin untuk
menciptakan itu semua dibutuhkan waktu yang cukup matang.
Kemudian, menjelang sore dan masih menyantap mpek-mpek... lampu merah
gadget saya berkedip. Saya buka... ternyata di sana ada sebuah status FB
dari seorang
info buku terbaru:“OMG!TERNYATA AKU TERLAHIR SUKSES” karya Rulli
Nasrullah (kang arul)&12 Tim Suksesnya (asqa, ayu, bunga,deasy,dina,
*Etika*,iecha,kely,rizka,selvi,suri,ummu=>anak2 nonfiksi FLP
JAKARTA).InsyaAllah bs dbeli dGRAMEDIA ato toko bku lainny dgn hrga
27rb!
~cocok utk MUSLIMAH YG INGIN SUKSES! Ikhwan jg blh bli dink~
saya cek fotonya.. ow ternyata betul, buku OMG! Ternyata Aku Terlahir
Sukses sudah ada di pasaran. Saya cukup terkejut, karena terakhir kabar
yang sampai adalah buku itu akan terbit dan saya sendiri belum pegang
buku itu. Makanya agenda keesokan harinya (Minggu, 27/2) sengaja saya
mencari buku tersebut di toko buku samping UIN Jogya. Ketemu! Saya
tersenyum dan bangga sekali...
Buku ini adalah sebuah jawaban dari proses panjang 12 orang anggota FLP
Jakarta yang berada di grup non-fiksi. Orang-orang yang saya ingat betul
pertama kali saya bimbing di suatu pagi sambil menikmati mie rebus di
sebuah kampus; kemudian berlanjut di rumah dengan kondisi mereka selalu
menagih kolak, ongol-ongol, atau order makanan lainnya. Untuk yang satu
ini saya harus bilang makasih istriku tercinta...
Sejak dahulu bertemu dengan mereka, saya punya harapan yang besar,
sebesar harapan dosen pembimbing saya itu; saya ingin mereka menjadi
penulis yang bisa mengalahkan guru mereka, menghasilkan karya yang luar
biasa, dan tentu saja menjadikan kemampuan menulis untuk berjuang
menyebarkan ilmu.
Saya juga ingin mereka untuk tidak menyerah... karena jika sekalipun
menyerah, percayalah akan sulit untuk menemukan kembali gairah menulis.
Saya juga ingin mereka menyadari bahwa seorang guru atau pembimbing
bukan orang yang bisa menjadikan mereka penulis, namun diri mereka
sendirilah yang menjadi. Merekalah yang bisa menentukan apakah
mewujudkan cita-cita jadi penulis atau sekadar punya keinginan semata.
Mereka jugalah yang akan belajar dari setiap kesusahan demi kesusahan
menyusun sebuah naskah sehingga menjadi buku yang bisa dibaca ratusan,
ribuan, bahkan jutaan pembaca... dan saya percaya buku yang mereka
hasilkan itu bisa membawa mereka masuk syurga. Amin.
Tetapi seperti pengalaman saya menyelesaikan S3, pengalaman dosen
pembimbing saya, pengalaman penjual mpek-mpek yang sudah punya tiga
cabang itu, dan pengalaman 12 orang luar biasa yang menulis buku
tersebut.... bahwa semuanya adalah proses menjadi dan dibutuhkan waktu
untuk mewujudkan itu semua. Tidak instan atau tiba-tiba seperti mengusap
lampu yang langsung keluar jin dengan tiga permintaannya.
Nikmati proses itu, walau kita harus dimarahi, disindir, bahkan dicibir.
Geluti proses itu meski dengan keterbatasan laptop, komputer pc, modem,
buku, dan waktu luang. Pandai-pandailah menjalani proses itu di tengah
kesibukan pekerjaan, tanggung jawab pendidikan, maupun tugas-tugas yang
menumpuk. Hargai proses itu sebagaimana kita menghargai sisa hari yang
diberikan oleh Allah kepada kita untuk hidup.
Karena... semua akan ada waktunya
Bisa satu bulan, bisa satu-dua tahun, atau bahkan bertahun-tahun...
Saya merasa plong... karena satu tugas lagi sudah selesai...dan ini baru
satu langkah bagi mereka untuk menapaki ribuan langkah selanjutnya yang
masih panjang itu. "Dik, percayalah kalian jauh lebih bisa, jauh lebih
hebat, jauh lebih pandai dibandingkan perasaan yang selama ini kalian
yakini.
Sekarang, bagi saya... tinggal saya mencari orang-orang baru untuk
menemani mereka menjalani proses tersebut. Andakah salah satunya? Atau
kalian masih mau menjalani proses itu bersama lagi?
Tulisan ini
diposting pada bulan Februari 2011 di blog sebelumnya.
|
Bunda Nafsiah (foto diambil dari album Kang Taufan E. Prast) |
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Tlh mninggal dunia ibunya Mas Taufan. Tlg kabarin tmen2 yang laen (info by Yusi)"
Sebuah SMS dari Mbak Iecha yang saya terima pukul 19:45:52 tepat saat
saya sampai di kost sepulang dari kantor. Membuat saya kaget dan
terduduk lemas.
***
innalillahi wa inna ilaihi roji‘un. Semoga Allah menerima segala amalan
beliau dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan
keikhlasan. aamiin
***
Pertemuan perdana dengan Bunda saat saya dan beberapa rekan FLP Jakarta
bertandang ke rumah beliau setelah lebaran. Masih teringat jelas, senyum
merekah beliau menyambut kedatangan kami dan bercerita tentang siapa
saja keluarga yang juga hadir saat itu. Pertemuan kedua saat beliau
terbaring sakit di rumah. Setelah acara Studium General FLP Jakarta
angkatan 15, saya dan teman-teman langsung menjenguk beliau. Senyum
tersungging manis saat kami semua mengelilingi beliau yang terbaring.
Beliau begitu bersemangat saat berkisah tentang pengajian yang beliau
rintis. Subhanallah...
Pertemuan ketiga saat saya dan beberapa teman FLP Jakarta menengok
beliau di RS Omni. Saat masuk ruang ICU, saya melihat beliau terbujur
lemah dengan beragam selang dan ventilator. Beliau sempat menatap saya
dan menggenggam erat tangan saya...
Kini, beliau sudah tiada... meskipun begitu, berkesempatan mengenal
beliau adalah salah satu anugerah terindah dari Allah Swt yang diberikan
kepada saya....
***
Membaca postingan dari Mbak Yusi pagi ini, membuat saya menitikkan air mata di Kopaja 502 saat perjalanan ke kantor.
Terimakasih atas nama Taufan E. Prast, Erawati Heru dan Keluarga
by Yusi Rahmaniar on Thursday, February 24, 2011 at 11:39pm
Kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada keluarga besar FLP
DKI Jakarta, rekan-rekan, dan handai taulan. Ibu Nafsiah, ibunda dari
kang Taufan telah berpulang kepada pemilik kita pada hari kamis pukul
18.31, tepat setelah kami menunaikan shalat maghrib. Ibunda sudah
menjalani hampir tiga bulan proses sakit, 21 hari dalam perawatan
intensif dan akhirnya Allah memintanya untuk Pulang. Ibu menghembuskan
nafas terakhir dengan mudah, hanya sesak beberapa saat saja.
Bulan yang panjang dan penuh perjuangan ini terasa sangat bermakna
dengan kehadiran teman-teman di sisi keluarga, memberikan kekuatan moril
yang tidak mungkin kami beli dengan uang.
Tak berlebihan ketika ada pepatah bilang bahwa sahabat adalah orang yang
ada disamping kita saat suka dan duka.Dan rupanya kita telah lulus
dengan predikat cum laude sebagai sahabat, bahkan keluarga.
Mohon Ibunda dapat dimaafkan segala kesalahannya, didoakan kelapangan jalannya, dimudahkan segala urusannya kelak.
***
COPY PASTE CATATAN KANG TAUFAN TENTANG SANG IBU
Seribu Pesan Tak Cukup (1)
by Taufan E. Prast on Tuesday, February 8, 2011 at 1:47pm
Jangan lelah berbuat baik…
“Emaknya udah susah, anaknya jangan sampe…” kata-katanya meledak bagai
petasan cabe. Meletus begitu saja. Aku yang mendengarnya seperti
tersengat. Walaupun kalimat itu bukan untukku. Tapi ruang makan tak
tersekat dengan sumber suara itu...
Yup, itu suara ibuku.
Dia menasihati Bu Bejo, salah satu orang dekat keluargaku. Pernah
membantu di rumah beberapa waktu lamanya. Kepada ibu, hampir tak ada
rahasia Bu Bejo yang terhijab. Karena tahu persis, ibu mempunyai argumen
sendiri bagaimana ’mendidik’ dan ’membuka’ perspektif berpikir ibu tiga
anak itu.
”Udah, sekolah... suruh sekolah!” lanjut ibu.
Saminem begitu nama asli Bu Bejo, janda dengan tiga anak kecil ketika
suaminya meninggal. Tentu terasa berat hidupnya, dengan kebisaan yang
terbatas. Menjadi pembantu rumah tangga saja. Dan ketika semua orang
hanya selesai perhatiannya sampai liang lahat Pak Bejo ditutup tanah
merah dan ditabur air melati serta bunga. Ibu justru baru memulai...
”Anakmu harus sekolah...” singkat!
”Kamu kerja yang bener...” singkat!
Dan waktu bergerak. Dua kalimat singkat itu adalah penguat bagi Bu Bejo
dan motivasi buat anak-anaknya masih kecil. Sisanya... adalah ladang
amal ibu yang sulit digambarkan. Sebuah tindakan yang tak lagi pakai
kata-kata. Hanya eksekusi demi eksekusi... tanpa lelah, tanpa pamrih.
Dan ketika ibu tergolek di rumah sakit, salah satu anak Bu Bejo sudah
bekerja di rumah sakit tempat ibu di rawat. Di sela-sela pekerjaannya,
dia menengok, memijiti, atau malah menyediakan air hangat untukku yang
menunggu...
Sungguh, ada waktu memetik...
Subhanallah...
***
Seribu Pesan tak Cukup (2)
by Taufan E. Prast on Thursday, February 24, 2011 at 12:35pm
Jangan culas!
Konon setiap kali keluarga besar ibuku berkumpul di waktu kecil dulu,
ibu sering memerhatikan satu persatu tingkah laku keponakannya. Memang
tampaknya sepintas lalu, tapi beliau sebetulnya sedang merekam beberapa
perilaku para keponakannya yang banyak itu ketika bermain denganku.
”Nanti kalau habis main diberesin lagi ya…” pesannya.
Alhasil, setelah puas bermain… tentu dengan koleksi mainanku, mereka
akan meninggalkannya dalam keadaan berantakan. Dan akulah yang akan
membereskannya. Tetap dengan tenang, dan mungkin masih tersisa rasa
senang. Entahlah, apakah elan berbagi waktu itu sudah mulai sublim dalam
diriku... aku tak tahu.
Dan ketika selesai membereskan mainan... sering kali koleksi mainanku
itu tercecer. Kurang komplit, ada bagian yang hilang... Maka aku pun
akan mencarinya sampai ketemu hingga kolong dan tempat tersembunyi
lainnya. Selalu demikian, tidak sekali dua kali. Kadang ketemu, kadang
nggak ketemu...
Sedih? Tentu saya sedih...
Menangis? Beberapa kali saya menangis. Terutama bila mainan itu adalah
mainan kesukaanku. Tentu aku masih kecil waktu itu. Paling menyedihkan
adalah manakala mainan itu bukan saja tidak komplit, tapi hilang...
Hilang itu bisa berarti diambil dengan tenang dan riang gembira. Tapi
mengambilnya diam-diam, tanpa pernah ada kalimat untuk meminta. Bahasa
lainnya adalah mengambil milik orang lain dengan sengaja tanpa seizin
pemiliknya. Masih banyak padanan lain dari perilaku tidak terpuji
seperti ini.
Ibuku memilih membawaku ke toko mainan lagi untuk memilih mainan
sesukaku, atau bila tidak memungkinkan, ibuku akan membawakan mainan
yang sama pada hari berikutnya.
”Biarin aja, nanti kamu dapat penggantinya yang lebih bagus...” kata ibu
setiap kali aku kehilangan mainan atau barang kesukaanku. Nyatanya
memang iya... ”Kamu nggak boleh begitu ya...” ujarnya lagi.
Aku terus mengingat kalimat ini sampai hari ini. Kalimat yang sudah
terucap puluhan tahun silam. Saat ibu masih sehat, segar, dan tak ada
slang ventilator di mulutnya yang mulia itu...
Tulisan ini
diposting pada bulan Februari 2011 di blog sebelumnya.
Assalamu'alaikum...
Mau gabung dengan FLP Jakarta? Ikuti Pertemuan Pramuda Angkatan ke-15
FLP Jakarta, Insya Allah akan kembali diselenggarakan di Mesjid ARH
Salemba UI, letaknya di Jalan Kramat. Acara akan diselenggarakan pada
Ahad, 27 Februari 2011, Pukul 09.30-13.00 WIB, dengan pemateri : Arul
Khan (Kang Arul) dan topiknya: Menulis Hobi atau Profesi. Kang Arul
adalah penulis profesional dengan lebih dari 270 buku yang sudah
diterbitkan. Jangan lewatkan kesempatan emas ini...
Info lain : Kunjungilah stand FLP Jakarta yang Insya Allah akan turut
memeriahkan Pameran Kompas Gramedia, Istora Senayan, 26-27 Februari
2011.
Wassalamu'alaikum...
Tulisan ini
diposting pada bulan Februari 2011 di blog sebelumnya.
|
Mas Iwan yang paling kanan (pakai batik) |
Rabu pagi (23 Februari 2011), ada satu ‘notification’ di FB. Mbak Lia Octavia posting sebuah pesan di FLP Jakarta Group.
Teman-teman, aku baru teleponan sama ayahnya Mas Iwan, katanya Mas
Iwan skrg masih ada di RS Bakti Asih, karang Tengah, Ciledug, ruang
Dahlia kamar no. 4. Sampai saat ini keadaannya masih koma. Mas Iwan udah
diperiksa dan katanya pendarahan otak. Kalau teman2 mau jenguk, jam
besuk siang jam 11-13 & jam 18-20. Menurut ayahnya, Mas Iwan harus
dibawa ke RS lain utk dimasukkan ke ICU, tp keluarga masih
membicarakannya.
Innalillahi.. aku syok…
Datang lagi postingan dari Mbak Yusi Rahmaniar
Allah maha Besar... yang memberi ujian bagi makhluknya agar lebih kuat.
Setelah ibunda Kang Taufan yang dirawat, nenek dari Mbak Dina semalam
berpulang ke pangkuanNya. dan pagi ini, Iwan Setiawan, saudara kita, in
Coma di Rumah Sakit Bakti Asih Cileduk, karena pendarahan di otak.
Allah, sungguh engkau maha penyayang. kami mengikhlaskan yang terbaik menurutMu....
Aku langsung nulis di wall FB mas Iwan,
kakakku FLP Jakarta yang sama-sama dari Wonogiri... agak terkejut
juga mendengar kabar pagi ini... semoga Allah segera memberimu
kesembuhan.... semoga sakit yang tengah dirasa sebagai penggugur dosa...
cepat sembuh ya Mas Iwan...
Siangnya, Kang Tef juga posting di grup
~ Iwan buat saya adalah sahabat yang luar biasa... kabar dari Yusi
tadi pagi terus terang bikin saya shock. Semalam saya masih chatting
sama beliau, menanyakan kabar kesehatan saya dan Era, tentu saja tanya
perkembangan ibu saya... Iwan adalah tempat saya banyak belajar, belajar
kesantunan, kerendahatian, dan kerja keras tanpa banyak bicara... hal
yang sama sekali tidak saya miliki dan belum tuntas saya belajar pada
sosok luar biasa ini. Semoga Allah memberikan yang tebaik untukmu
sahabat, karena kamu orang yang baik... Amin.
Mas Iwan Setiawan, sosok pemuda luar biasa. Awalnya cuma sama-sama tahu
di FB. Kami sama-sama dari Wonogiri dan sama-sama anggota FLP Jakarta.
Baru ketemu langsung waktu acara Studium General Angkatan 15. Meski
baru pertama kali bercakap-cakap langsung kami langsung akrab. Mungkin
karena Mas Iwan orangnya sangat supel. Kami bercakap-cakap pakai bahasa
Wonogiri. Ahh, kalau diingat seru juga ngobrol dengan Mas Iwan waktu
itu. Dia menceritakan aktivitasnya dan bak seorang wartawan, Mas Iwan
juga tanya macem-macem tentang sejarah saya bisa merantau ke Jakarta.
Kabar pagi ini tentang kondisi Mas Iwan membuat
saya kaget. Ahad sore Mas Iwan masih komen di status saya waktu membahas
tentang tembang Asmarandana bareng Mas Gendut Pujiyanto. Malahan
Selasa, Mbak Yusi sampai jam 11 malam masih sempat chatting dengan Mas
Iwan. Menurut kabar dari adiknya, Rabu jam 02.00 dini hari Mas Iwan
ditemukan tidak sadarkan diri di depan computer saat sedang mengerjakan
tugas. Mas Iwan segera dilarikan ke rumah sakit. Setelah di scan,
diketahui bahwa ada pendarahan otak. Mas Iwan koma. Alhamdulillah, siang
harinya ada kabar dari Mbak Yusi kalau Mas Iwan sudah siuman.
Sorenya dapat note dari Pak Arya (Wakil Ketua FLP Jakarta) yang layak untuk dijadikan bahan renungan..
YUK BERDOA UNTUK SAUDARA-SAUDARA KITA
Berbicara tentang doa, ada sebuah kisah menarik. Kisah ini diperoleh
ustadz Bobby Herwibowo. Kejadiannya di daerah Timur Tengah. Seorang
pengusaha muda divonis bahwa usianya tidak akan lama lagi. Menurut
perhitungan dokter, tumor yang diderita pengusaha itu amat berbahaya dan
kemungkinan sembuhnya fifty-fifty. Bila operasi berhasil, dia akan
sembuh. Jika tidak, nyawa yang menjadi taruhannya.
Hal ini membuat si pengusaha muda hilang semangat hidup. Pada suatu
ketika dia pergi bersama supirnya. Dalam perjalanan, dia menemukan
sebuah pemandangan yang begitu menakjubkan.
Mobil di parkir dekat tempat pemotongan hewan. Di tempat sampah, nampak
tulang-tulang yang teronggok. Di sanalah si pengusaha melihat sebuah
pemandangan yang menyentuh. Seorang ibu memilah dan memilih
tulang-tulang. Tulang-tulang yang masih dibalut daging walau hanya
sedikit, dipilihnya. Terkadang dijumputnya daging yang masih menempel di
tulang.
Pengusaha itu begitu tersentuh. Dia mudah sekali memperoleh daging,
kapan saja dia mau, berapa pun banyaknya. Tapi ibu itu…harus berjuang.
Itu pun hanya beberapa helai dan jumput daging yang diperolehnya.
Pengusaha itu pun, dengan tertatih-tatih berjalan. Sakit yang diderita
membuat dirinya tidak segesit sewaktu sehat. Dia menemui pemilik rumah
potong hewan itu. Dia katakan, “Tolong berikan ibu ini daging seminggu
dua kali selama setahun. Biayanya biar saya menanggungnya.”
Mendengar janji ini, si ibu terkejut dengan serta merta dia berdoa.
Panjang sekali doa yang dipanjatkan. Salah satu doanya adalah, “Berilah
kesehatan kepada anak muda ini, ya Allah.”
Doa sudah dilantunkan. Anak muda ini kembali ke mobilnya. Namun dengan
gerakan yang berbeda. Dia pergi menuju ke mobilnya dengan langkah yang
gagah, seperti orang yang tidak sedang sakit.
Hari operasi pengusaha itu pun tiba. Sebelum operasi dilakukan, kondisi
kesehatan si pengusaha diperiksa. Betapa terkejutnya si dokter, si
pengusaha ternyata telah sehat seperti sedia kala.
Memang benar bila ada ungkapan “Kamu tidak tahu dari mulut siapakah doa akan dikabulkan.”
Mendoakan orang lain tidak harus diawali dengan kebaikan seseorang
terhadap kita. Tidak ada ruginya mendoakan orang lain. Karena bisa jadi,
orang yang didoakan akan balas mendoakan kita.
Sekali lagi tidak ada ruginya mendoakan orang lain. Karena Rasulullah
saw bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi
saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat
akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.” (HR. Muslim no.
4912)
Kita berdoa untuk orang lain, malaikat akan mendoakan doa yang sama
kepada kita. Bukan sembarangan yang mendoakan kita, malaikat! Doa
malaikat, insya Allah dikabulkan.
Oleh karenanya siapa pun yang mempunyai masalah berdoalah untuk saudara
kita. Bila kita sedang sakit, doakanlah kesembuhan untuk saudara kita
yang sakit. Anda belum bekerja, panjatkanlah doa untuk saudara kita yang
masih menganggur.
Ya Allah…Ya Rabbi…berilah kesembuhan pada saudara-saudara kami yang
sedang sakit saat ini. Berilah rezeki yang halal dan berkah bagi
saudara-saudara kami yang belum bekerja. Berilah jodoh yang shalih dan
shalihah bagi saudara-saudara kami yang belum memperoleh pasangan hidup.
Ya Allah…Ya Rabbi…berilah segala sesuatu yang menjadi keinginan dan
niat baik saudara-saudara kami. Aaamiiin Ya Rabbal ‘Alamin
Informasi terbaru dari Mbak Yusi pagi ini:
Tadi malam saya coba mampir menjenguk mas Iwan. Di Rs Bakti Asih, Cileduk (700 M dari CBD Cileduk).
Ini yang saya baca dari hasil lab dan anamnesa dokter sarafnya mas iwan :
Istilah medis : Terdapat hematoma pada lobus parietal cerebrum dextra = perdarahan yang terjadi pada otak besar sebelah kanan
Artinya : terjadi stroke haemoragik.
Perjalanan penyakitnya : saat sadar dan beraktivitas normal Os mengalami
kesakitan luar biasa di kepala, lalu pingsan. Penurunan kesadaran dan
merasakan lemas pada sisi yang terserang.
Ini terjadi pada mas Iwan, jam dua malam, Rabu lalu. Dari pukul
02.30-14.00 mengalami in comma (koma total), lalu sopporos comma
(bergerak dan bersuara, tapi tidak sadar) sampai saat ini. Dia juga
mengalami “kelupaan” pada sisi kiri tubuhnya, terbukti dengan dia hanya
menggerakan sisi kanannya, kaki kiri dan tangan kiri tidak merespon.
Kemarin sempat merenggut selang infus sampai luka di tangan kiri, dan
sampai sekarang tangan kanannya masih diikat supaya tidak “berontak”.
Sampai saat ini belum bisa dipastikan seberapa berat “kelumpuhan” yang
dialami sisi kiri mas Iwan. Dokter belum bisa memprediksi apakah dia
mampu duduk/berjalan.
Dokter menyarankan beberapa terapi obat yang cukup mahal. Dan sekarang
keluarga mas Iwan agak kebingungan menghadapi ini. Belum lagi kondisi
stroke harus melakukan terapi fisik intensif dalam jangka waktu panjang.
Ditambah dengan kestabilan psikis yang biasanya menjadi masalah utama
pengidap stroke.
Mohon kiranya teman-teman dapat mengumpulkan sedikit dana untuk membantu
kelangsungan pengobatan sahabat kita ini. Bantuan ini sangat dibutuhkan
oleh mas Iwan dan Keluarga.
Boleh dikumpulkan ahad besok atau transfer ke rekening mbak astri/yusi...
BNI kc Rawamangun no. 0200677177 (a.n Yusi Rahmaniar)
Ah, Flp Jakartaku, mungkin kau sedang diuji. Mungkin inilah cara Allah menunjukkan sayangNya padamu…
Ya Rabb, berikan kesembuhan untuk mas Iwan Setiawan yang tiba-tiba pendarahan otak.
Berikan yang terbaik dan berikan kesabaran untuk Ibunda dari Kang Taufan
E. Prast dan Mbak Erawati Heru Wardhani yang sampai saat ini masih
dirawat di ICU RS Omni.
Terima amal ibadah nenek dari saudari kami, Dina Purnama Sari.
Ya Rabb, kuatkanlah kami dengan cinta-Mu...amin
FLP Jakarta adalah keluarga terindahku di kota ini…
Luph u all..
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Februari 2011 di blog sebelumnya.
Ahad, 23 Januari 2011 kembali Aisya melakukan ‘single adventure’. Hmm,
memang sih.. Aisya tuh hobby berpetualang alias jalan-jalan, tapi bukan
sekedar jalan-jalan lho!
Setelah urusan rumah tangga selesai (halah..^^), pukul 09.30 Aisya
berangkat menuju Masjid Al-Ihsaniyah, Kampung Melayu untuk mengikuti
kuliah dhuha. Kuliah ini memang rutin diadakan dua pekan sekali. Sebuah
majelis ilmu yang pesertanya khusus muslimah yang tinggal di kawasan
Jakarta Timur. Kebanyakan sih ibu-ibu juga, sehingga banyak dari mereka
yang juga turut serta membawa sang buah hati. Tak ayal jika banyak
balita yang sliweran di dalam masjid, suara tangis dan gelak tawa
anak-anak, sampai ada muslimah kecil yang mendekati Aisya dan ‘merebut’
snacknya waktu Aisya tengah asyik mencatat. Lucu juga sih... suasana
jadi lebih ‘hidup’.
Kali ini pemateri adalah seorang ustadz yang subhanallah... gaya bicara
ustadz tersebut sangat mirip dengan seorang ustadz yang kerap mengisi
Kajian Sabtu Pagi di Masjid Nurul Huda UNS (mantan kampus Aisya), Ustadz
Abdul Hakim. Suara dan cara penyampaian beliau yang humoris, sangat
mirip! Wah, jadi terkenang dengan masa-masa di kampus nih! Materi kuliah
dhuha ini akan Aisya tulis dalam note terpisah.
Pukul 11.00, kuliah dhuha selesai. Aisya melanjutkan ekspedisinya.
Tujuan selanjutnya adalah toko buku muslim “Al-I’thishom” yang terletak
di kawasan kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Untuk pertama
kalinya Aisya pergi ke sana sendirian. Ah, apa salahnya dicoba! Semoga
tidak tersesat. Aisya ke sana dengan niatan membeli kado walimah untuk
sahabatnya yang hari ini melangsungkan ‘hari jadinya’. Sayang, Aisya
tidak bisa menghadirinya sehingga ia bertekad menebus ketidakhadirannya
dengan sebuah kado spesial.
Aisya menuju shelter busway Kampung Melayu, kemudian naik busway jurusan
Matraman. Transit di shelter Matraman I kemudian naik busway jurusan
Pulo Gadung, turun di shelter UNJ dan akhirnya sampai juga di toko buku
Al-I’thisom. Segera searching buku yang mau dijadikan kado dan
alhamdulillah menemukannya. Selain buku buat kado itu, Aisya juga
membeli dua buah buku (60 Sirah Sahabat Rasulullah Saw, Kontribusi
Muslimah dalam Mihwar Daulah serta majalah Tarbawi edisi terbaru).
Awalnya Aisya juga sempat mau membeli “Agar Telapak Kakimu Menginjak
Surga” (buku muslimah untuk ibu rumah tangga gitu deh, tapi nggak jadi
karena ‘melebihi budget’). Saat sudah sampai di meja kasir dan dihitung
jumlahnya, Aisya mencari uang di dalam tasnya. Seingatnya ada di kantong
kecil dalam tasnya. Memang sengaja tidak dimasukkan ke dompet karena
dipisah. Nihil. Uang beberapa ratus ribu itu tak ada di tempat yang
diekspektasikan Aisya. Ia geledah tasnya. Masya Allah, kemungkinan besar
uang yang sejatinya memang diperuntukkan untuk membeli buku itu
sepertinya ketinggalan di tas yang satunya. Sebelum berangkat tadi,
Aisya memang sempat berganti tas dan sepertinya uang itu ketinggalan di
dalamnya.
Aisya langsung bertanya kepada sang ummahat (baca : ibu) penjaga toko,
di mana ATM terdekat. Sang ibu menjawab bahwa ada ATM di dalam kampus
UNJ yang berarti Aisya harus berjalan cukup jauh dan menyeberang jalan.
Tak apalah, Aisya kembali teringat pada azzamnya, apapun yang terjadi
hari ini harus membeli kado untuk sahabatnya. Adzan berkumandang,
kebetulan hari itu Aisya berhalangan dan kondisi inilah yang menyebabkan
fisik Aisya sedang tidak stabil hari itu. Aisya berjalan kaki menuju
ATM, sempat kaget juga karena gerbang masuk ke kampus digembok.
Alhamdulillah, ada celah yang terbuka dan bisa dimasuki tubuh mungil
Aisya (^^). Setelah mengambil uang, Aisya kembali ke toko buku dan
langsung membayarnya. Tak lupa Aisya meminta maaf pada ibu penjaga toko
yang sangat ramah itu.
Cukup berat juga ‘belanjaan’ Aisya siang itu. Dua
dari empat buku yang dibelinya tadi memang cukup tebal. Saat sudah
berjalan puluhan meter, Aisya bermaksud membaca struk pembeliannya untuk
melihat buku-buku yang dibelinya tadi dapat diskon berapa persen. Akan
tetapi, terkejutlah ia karena ada satu buku yang tidak dibelinya tapi
ada di dalam kantong plastik. Wah, sudah berjalan cukup jauh! Meski
dengan kondisi fisik yang payah (benar-benar lemas), Aisya kembali ke
toko buku dan mengembalikan buku yang bukan menjadi haknya itu.
Alhamdulillah, Allah berkenan memberi petunjuk kalau ada ‘buku asing’
yang tidak sengaja masuk ke dalam kantong plastiknya saat Aisya masih
berada di sekitar lokasi toko. Coba kalau Aisya tahunya saat sudah
sampai di kost, bakal butuh waktu dan tenaga lagi untuk
mengembalikannya.
Pukul 13.00 Aisya sampai di kosnya. Ia segera makan siang dan
beristirahat sejenak. Pukul 13.30, ia melanjutkan ekspedisinya. Sebelum
ke Gramedia Matraman, Aisya berniat memfotocopy buku sahabatnya yang
hari ini mau dikembalikan. Alhamdulillah, ada fotocopy-an yang buka.
Tumben fotocopy-an itu buka di hari Ahad. Aisya merasa beruntung!
Akhirnya Aisya ‘menitahkan’ penjaga fotocopy untuk mengcopy beberapa
halaman yang Aisya tandai. Waktu terus berjalan, sudah jam 14.00 padahal
launching novel “Ranah 3 Warna” akan dimulai pukul 14.30. Mas penjaga
fotocopy ternyata kurang cekatan dalam menjalankan tugasnya. Sabar,
sabar, sabar... Shabrun Jamil... Aisya mengafirmasi dirinya! Akhirnya,
pukul 14.20, selesai juga! Alhamdulillah...
Aisya segera naik angkot 18 menuju terminal Kampung Melayu, dilanjutkan
naik Kopaja 502 menuju Gramedia Matraman. Aisya sempat membaca di dalam
Kopaja 502. Kali ini dia membaca tentang hewan-hewan istimewa dalam
sejarah Nabi dan Rasul. Akhir-akhir ini Aisya memang tengah suka membaca
buku-buku sejarah. Pukul 14.30 lebih Aisya sampai di toko buku terbesar
di Asia Tenggara itu. Aisya merasa beruntung karena tempat tinggalnya
di Jakarta ini sangat dekat dengan tempat-tempat favoritnya, termasuk
toko buku!
Beranda depan Gramedia Matraman kok ramai gitu ya? Ada musik yang
menghentak, mungkin ada pementasan band gitu, pikir Aisya. Saat
melongok-longok di kerumunan, eh.. ternyata ada banner “Ranah 3 Warna”.
Wah, berarti lokasi launchingnya di beranda ini. Tumben! Aisya segera
menuju meja yang menjual novel itu. Aisya membeli dua, yang satu buat
kado milad saudari kembarnya (Keisya). Langsung Aisya buka dan mulai
membaca, karena acara ternyata belum dimulai...
Wah, Aisya tidak
mendapat tempat duduk karena pengunjung yang datang sudah banyak. Kursi
ditata melingkar dan tidak dibuat berjajar seperti saat launching buku
pada umumnya. Jadi ada sisa ruang kosong di depan panggung. Kondisi
Aisya masih lemas, tapi sengaja dikuat-kuatkan! Aisya membaca novel
barunya sambil berdiri diiringi lagu “The Winner”-nya band Platinoem
yang ternyata dalam video klipnya ada penulis novel “Negeri 5 Menara”
ini. Lagunya sangat bersemangat dan inspiratif. Sampai akhirnya Uda
Ahmad Fuadi (sang penulis) menerobos kerumunan, melewati tempat Aisya
berdiri dan acara pun dimulai.
Acara diawali dengan doa yang dibawakan oleh sahabat Uda Fuadi (Aisya
lupa namanya, yang jelas beliau adalah “Atang” Shahibul Menara dalam
“Negeri 5 Menara”). Doa yang cukup menggetarkan hati. Selanjutnya
sambutan oleh Direktur Gramedia. Subhanallah, kesempatan langka nih bisa
bertatap muka dengan sang direktur. Beliau menyampaikan apresiasi atas
terbitnya novel kedua dari trilogi “Negeri 5 Menara” ini. Beliau juga
bertutur bahwa penjualan novel “Negeri 5 Menara” adalah penjualan yang
sangat bombastis dalam 37 tahun terakhir ini. Alhamdulillah, sudah
sembilan kali cetak ulang dengan oplah di atas 155.000 eksemplar dalam
satu tahun. Sungguh pencapaian yang luar biasa!
Seminggu yang lalu bertemu Uda Fuadi dalam acara Studium General FLP
Jakarta angkatan 15, kali ini bertemu beliau lagi dalam kondisi yang
jauh lebih luar biasa. Salut! Beliau adalah kakak tingkat Aisya di FLP
Jakarta. Aisya angkatan 14, sedangkan beliau angkatan 13. Beliau memang
salah satu penulis favorit Aisya!.
Akhirnya Uda Fuadi tampil di panggung. Melihat ada ruang kosong di
depannya dan banyak yang berdiri, Uda Fuadi meminta kami yang berdiri
untuk memanfaatkan ruang kosong itu. Alhamdulillah, awalnya Aisya duduk
di baris kedua, tapi kembali keberuntungan berpihak padanya, ada seorang
penonton yang tiba-tiba berdiri dan pergi. Akhirnya Aisya bisa duduk di
depan, jadi lebih dekat dengan Uda Fuadi. Dengan bantuan HP-nya Aisya
merekam semua yang disampaikan Uda Fuadi. Di sela pemaparannya, beliau
juga menampilkan video-video yang sangat inspiratif tentang “Negeri 5
Menara” dan “Ranah 3 Warna”.
Pada kesempatan kali ini Uda Fuadi bertutur bahwa “Novel ini hanyalah
alat”. Tujuan beliau menuliskan ini adalah untuk berbagi. Sebaik-baik
manusia adalah manusia yang bermanfaat dan setiap manusia mempunyai cara
tersendiri untuk menjadi bermanfaat. MENULIS, itulah pilihan Uda Fuadi
untuk menyebarkan manfaat. Setiap kita bisa menjadi bermanfaat, dengan
cara kita masing-masing. Uda Fuadi juga tak lupa mengucapkan terima
kasih kepada para pembaca. "Tulisan sebagus apapun, jika tidak ada yang
membacanya, maka tulisan tersebut tidak akan ada artinya," begitu kata
Uda Fuadi.
Kata Uda Fuadi, Negeri 5 Menara akan dibuat film dan insya Allah akan
ditayangkan di akhir 2011, pertengahan tahun akan ada casting. Beliau
juga mengulas tentang konsep "Man Jadda Wajada". Lebihkan usaha dari
orang lain. Saat orang lain belajar satu jam, maka tambahkan setengah
jam! Kebaikan yang dilebihkan. Usaha yang lebih maka hasilnya juga
lebih. Pelari terhebat dunia, berhasil lari 100 meter dalam waktu 9,8
detik. Juara 100 meter putra Jawa Timur 11 detik. Selisih juara dunia
dan juara lokal hanya 2 detik! So, lebihkan usaha dari orang lain. Ranah
3 Warna berkisah tentang kelanjutan kisah Alif setelah lulus dari
Pondok Madani. Konsep Ranah 3 Warna menceritakan tentang hikayat impian
kita yang harus dibela habis-habisan. ALL OUT! Salah satu modalnya
adalah SABAR sehingga pada buku kedua ini "mantra"nya "MAN SHABARA
ZHAFIRA", siapa yang bersabar akan beruntung.. Salah satu yang istimewa
dari novel ini adalah mengambil konsep 3 setting tempat dan menggunakan
beberapa bahasa (Minang, Inggris, Arab,dan Perancis).
Alif berusaha habis-habisan. Ternyata “Man Jadda Wajada” tidak cukup
untuk mewujudkan impian Alif. Di saat hampir menyerah, Alif teringat
mantra “Man Shabara Zhafira”. Di antara kerja keras dan doa tidak selalu
langsung mendapatkannya. Ada jaraknya. Dan untuk menempuh jarak itu
dibutuhkan kesabaran. Orang yang sabar biasanya dikasih hadiah oleh
Allah. Tapi sabarnya adalah sabar yang aktif!
Sebelum sesi tanya jawab ada kejutan dari seorang pembaca. Bapak Luki
namanya, beliau adalah salah seorang teman seangkatan Uda Fuadi. Beliau
memberikan foto Uda Fuadi waktu di Bandung tahun 1992. Beliau menjadi
penerima tanda tangan yang pertama. Jauh-jauh dari Indramayu, akhirnya
menjadi penerima tanda tangan pertama. Sabar dan beruntung! “Syukron,
akhi” begitu kata Uda Fuadi saat berpisah dengan Pak Mahfud.
Memasuki sesi tanya jawab. Sayang sekali, meski sudah duduk di depan dan
mengacungkan tangan, tapi Aisya tak mendapat kesempatan untuk bertanya.
1. Pertanyaan pertama dari pembaca berbaju biru : Mengapa ada angka 5, 3, dan 1?
Uda Fuadi menjawab filosofi dari trilogi tersebut.
- Negeri 5 Menara : sekolah SLTA di pesantren. Angka 5 cocok dengan 5 menara impian Shahibul Menara
- Ranah 3 Warna : Masa waktu mahasiswa, ada aat UTS, UAS, fotocopy
catatan, dll. Alif berjuang mati-matian untuk mewujudkan impiannya ke
luar negeri. Perantau yang susah payah, sepatu jarang diganti.
- Dan yang terakhir, ada angka 1 : tentang masa bekerja dan tentang apa
sih tujuan hidup. Kita punya 1 misi dalam hidup : mengabdi! Kita sering
sibuk dengan indahnya dunia. Padahal semuanya hanya satu. Yang terakhir
ini belum ada judulnya.
2. Pertanyaan kedua dari mbak-mbak berbaju merah : Apakah kisah dalam
Negeri 5 Menara benar-benar kisah nyata? Apakah tokoh Togar dalam Ranah
2 Warna benar-benar ada?
Uda Fuadi menjawab bahwa "terinspirasi" itu tidak semuanya dari kisah
nyata. Ibarat rumah, kisah nyata itu sebagai pondasi utamanya, sedangkan
jendela pintu dll sebagai kisah pelengkap, ada yang ditambahi dan
dikurangi. Dalam Ranah 3 Warna, ada tokoh Togar sebagai tokoh yang
sangat menginspirasi Alif untuk menulis. Ternyata tokoh itu memang
benar-benar ada
3. Pertanyaan ketiga tentang konsep belajar sabar dan ikhlas.
Kata Uda Fuadi, belajar ikhlas didapat beliau saat nyantri di Gontor.
Semua guru di sana tidak digaji. Mereka totalitas mengajar, ikhlas
berbagi ilmu, gaji dari Tuhan saja. Para guru itu mengajar
habis-habisan. Ikhlas itu artinya bersih, tidak peduli dengan yang lain.
Bagaimana bisa ikhlas? Tanyakan pada diri sendiri : "What is the
meaning of your life?" Ketika ketemu misinya, tahu konsep hidup, maka
kita akan bisa menemukan ikhlas itu. Sabar itu setelah usaha, bukan
sebelum usaha. Ikhlas, punya impian dan cita-cita, man jadda wajada.
Tawakal itu adalah sabar yang aktif!
4. Pertanyaan keempat : Bagaimana cara menumbuhkan semangat belajar yang
terus-menerus, seperti Alif dan bagaimana cara memahamkan orang tua
tentang impian kita yang kadang bertentangan dengan kemauan orang tua?
Menurut Uda Fuadi, Alif itu tidak rajin. Tapi ia tekun dan selalu
berusaha. Alif sama dengan manusia pada umumnya, ada kalanya ia
mempunyai rasa malas. Bahkan di buku kedua ini banyak menuturkan tentang
jatuh bangun Alif dalam menggapai impiannya. Yang tidak wajar, kita
malas tapi tidak mau mengakui. Kata Reynald Kasali, kalau kita lagi
‘down’ jadilah seperti bola tenis. Saat jatuh, ia memantul. Saat
jatuhnya keras, maka mantulnya juga akan lebih tinggi. Tidak seperti
donat. Yang jatuh, malah lembek dan menempel lantai. Saat Alif sedang
down, ia mengingat masa lalunya yang penuh keceriaan, mengingat
teman-temannya yang penuh semangat. Maka, carilah teman-teman yang
semangat.
Tentang komunikasi dengan orang tua, memang apa yang baik menurut orang
tua memang belum tentu baik menurut kita. Sampaikan dengan baik, atau
bisa juga dengan menyampaikannya lewat orang terdekat kita bisa paman,
kakek, dll. Doa ibu itu luar biasa. Kalau ibu saya tidak mendoakan saya
habis-habisan, mungkin saya juga tidak akan seperti sekarang.
Sampailah di penghujung acara. Acara ditutup dengan sosialisasi
“Komunitas Menara” oleh Uda Fuadi. Komunitas Menara yang mengusung
slogan “Mari Ikhlas Berbagi” saat ini sudah berhasil mendirikan PAUD di
Padang, dan sedang bersiap mendirikan PAUD di Bintaro. Pembelian buku
ini dijadikan donasi juga, jadinya tidak hanya sekedar membaca novel
tapi juga berinvestasi akhirat.
Acara dilanjutkan dengan penandatangan buku (Signing Book) dan foto
bareng Uda Fuadi. Semua pembaca yang akan meminta tanda tangan berjajar
dan dijaga oleh para security. Aisya berada di deret kedua. Kembali ia
beruntung (Ah, memang benar.. “Man Shabara Zhafira”..) tiba-tiba ia
terdorong ke depan dan akhirnya berada di baris pertama dan menjadi
penonton kelima yang mendapat tanda tangan dan foto bersama Uda Fuadi.
Saat berada di samping Uda Fuadi, Aisya sempat berujar kalau sempat
bertemu dengan beliau seminggu yang lalu. Malah jadi ngobrol nih!
Sebelum berpisah, Uda Fuadi sempat menitipkan salam untuk Keisya,
saudari kembar Aisya.
Turun dari panggung, Aisya menunggui rekan-rekan FLP Jakarta yang masih
antri (Ada Kang Arya, Mbak Ria, Mbak Nisa, dan Mbak Eka). Mereka heran
juga karena Aisya hari ini memakai kostum coklat, tidak merah seperti
biasanya. Hehe... Saat sedang asyik menunggu, tiba-tiba Aisya dikejutkan
dengan kehadiran Mbak Suri. “Wah, cari-cari yang berkostum merah kok
nggak ada ya.. feeling aja tadi jalan ke sini. Eh, ketemu juga. Tumben
pakai baju coklat!” Iya ya.. memang Aisya identik dengan warna MERAH!
Akhirnya Aisya bertransaksi buku dengan Mbak Suri, saling mengembalikan
buku yang dipinjam. Mbak Ria cs akhirnya selesai juga dan bergabung
dengan kami. Heboh jadinya! Langsung foto bareng. Seru!
Setelah puas bertegur sapa, Mbak Ria cs ke mushola, Kang Arya pulang.
Aisya dan Mbak Suri ke lantai 2 untuk mencari novel “Rindu Purnama”.
Alhamdulillah, baru beberapa langkah menjejakkan kaki di lantai 2, Aisya
menemukan novel itu. Beruntung! Novel inspiratif ini ditulis oleh dua
penulis favorit Aisya yang kebetulan seminggu yang lalu Aisya bertemu
mereka, Tasaro Gk dan Ahmad Fuadi.
Sampai di beranda depan, antrian pembaca yang berniat minta tanda tangan
sudah mulai berkurang. Aisya punya ide untuk mengantri lagi dan minta
tanda tangan di novel “Rindu Purnama”-nya. Sekaligus minta kata motivasi
di novelnya karena tadi lupa meminta. Mbak Suri juga memintakan kata
motivasi di novel “Ranah 3 Warna”-nya Keisya. Sampai di atas panggung,
Uda Fuadi mengenali Aisya. Aisya sempat ngobrol lagi dan meminta maaf
juga karena minta tanda tangan dua kali. Tapi, Uda Fuadi tetap asyik
diajak ngobrol. “Dream, Fight Ikhlas” itulah tiga kata super yang
dituliskan beliau. “Saling mendoakan, ya!” kalimat yang beliau sampaikan
sebelum kami berpisah.
Menjelang Maghrib, Aisya dan Mbak Suri menuju mushola. Saat sedang
menunggu Mbak Suri sholat Maghrib, Aisya membaca novel “Ranah 3 Warna”.
Tiba-tiba ia teringat, tadi pagi Kang Taufan E. Prast dan beberapa rekan
FLP Jakarta menitipkan salam untuk Uda Fuadi. Astaghfirullah, Aisya
lupa menyampaikannya. Dalam ‘kegelisahannya’, Aisya berdoa dalam hati
“Ya Allah, jika Engkau berkenan.. berikan hamba kesempatan untuk bertemu
kembali dengan Uda Fuadi di tempat ini untuk menyampaikan amanah yang
tadi lupa hamba sampaikan.”
Setelah sholat, Aisya dan Mbak Suri menunggu Mbak Ria , Mbak Nisa, dan
Mbak Eka yang baru mau sholat. Saat sedang bertukar pikiran dengan Mbak
Suri, tiba-tiba ada batita yang menarik tangan Aisya. Aisya geli juga
karena cowok kecil plus keren itu tiba-tiba menarik tangan Aisya,
seperti mengajak Aisya mengikutinya. Mama si kecil juga tertawa geli.
Sampai di pintu luar, batita imut itu melepaskan pegangan tangannya.
Aisya jongkok dan memegang gemas si kecil. Lucu banget! Namanya Gani..
Pengin diculik saja, hehe...
Aisya kembali mendekati Mbak Suri. Mereka duduk di dekat panggung yang
sudah dibereskan. Bersabar menanti Mbak Ria cs yang masih sholat. Eh,
ternyata masih ada Uni Yayi (istri Uda Fuadi) di situ. Aisya kembali
melantunkan doanya agar ia bisa bertemu kembali dengan Uda Fuadi. Allahu
Akbar... Alhamdulillah, selang berapa alam, keluarlah Uda Fuadi dari
dalam Gramedia. Allah mengabulkan doa Aisya! Sabar memang dekat dengan
keberuntungan! Akhirnya, Aisya kembali bercakap-cakap dengan Uda Fuadi
dan menyampaikan amanah dari Kang Tef. Malahan Aisya berkesempatan foto
bersama Uni Yayi dan Uda Fuadi. What a wonderfull day!
Setelah itu kami kembali ke dekat pintu masuk Gramedia Matraman.
Menunggu Mbak Ria yang tak kunjung tiba. Eh, Uda Fuadi dan rombongan
lewat di depan kami. Beliau menyapa, “Kok belum pada pulang?” Kami pun
menjawab serempak, “Sedang menunggu Uni Ria Padusi Manih!”. Uda Fuadi
tersenyum dan berpamitan serta berulang kali mengucapkan terima kasih.
Eh, sampai-sampai beliau sempat kebablasan jalannya dan ketinggalan
rombongan! Hehe...
Akhirnya, Mbak Ria datang juga. Sayang banget dia nggak sempat ikutan
foto bareng dengan Uda Fuadi dan Uni Yayi. Kami langsung keluar Gramed
untuk makan malam. Awalnya Mbak Nisa mau ikut juga, tapi karena Mbak Eka
memutuskan untuk langsung pulang, Mbak Nisa akhirnya ikut pulang karena
rumah mereka memang searah. Akhirnya hanya tinggal Aisya, Mbak Suri,
dan Mbak Ria. Tercetuslah “Dara 3 Warna”! Hehe, kebetulan kostum yang
kami kenakan juga berbeda warnanya. Kami memutuskan makan di Es Teler 77
yang ada di lantai dasar Gramedia Matraman. Mbak Suri memesan bakso,
Mbak Ria memesan mie ayam, sedangkan Aisya memesan nasi goreng Mungil
(porsi anak). Ealah, lha kok piring dan gelas buat Aisya juga dari
plastik. Buat anak-anak sih! Hehe, konyol! Tapi alhamdulillah, porsinya
pas dengan porsi Aisya... ^^v
Setelah makan, kami menyeberang jalan . Sampai di seberang, kami
berpisah. Kebetulan rumah Mbak Suri tidak jauh dari Gramedia. Aisya naik
angkot 01 bareng Mbak Ria karena searah.
Alhamdulillah, hari ini sangat indah... terima kasih Ya Allah, atas banyak nikmat yang Engkau berikan hari ini...
Semangat 2011 : MEMBANGUN KISAH PENUH MAKNA!!!
Jakarta, 24 Januari 2011_05:51
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Januari 2011 di blog sebelumnya.
by Bambang Trim on Saturday, January 15, 2011 at 6:22am
Ada penulis pena terlena
: setiap saat asyik berkarya
Selalu lupa pada pembaca
Merasa karya enak dibaca
Ada penulis pena perdana
: suatu saat menghasilkan karya
Setelah itu tak terdengar nama
Karya pertama dan satu-satunya
Ada penulis pena terpana
: setiap saat asyik bertanya
Mengumpulkan karya sejumlah penulis ternama
Tapi hanya terbuai angan belaka
Ada penulis pena merana
: setiap saat mengeluh menderita
Beridealisme tanpa rencana
Menulis tak dihargai semestinya
Ada penulis pena durjana
: setiap saat mencari celah
Plagiat karya berpuluh jumlah
Naskah orang dibubuhi namanya
Ada penulis pena berdana
: takdir kadang tertolak naskahnya
Terpikat penerbitan swakelola
Menerbitkan sendiri siapa sangka
Ada penulis pena kelana
: setiap saat entah pergi kemana
Backpacker sebutan mengena
Menulis di mana saja dan apa saja
Ada penulis pena bahana
: setiap saat menajamkan karya
Tidak berkompromi dengan kualitas rendah
Menulis naskah mengejutkan dunia
Ada penulis pena bermakna
: setiap saat merenungi cinta
Mengikat makna amat sempurna
Karyanya mulia bertenaga
Engkau penulis yang mana?
Aku penulis pena bukan apa-apa, Na.
untuk para "pendekar penulis" dan Na
:: Bambang Trim
Colomadu, 16 Januari 2011
Tulisan ini
diposting pada bulan Januari 2011 di blog sebelumnya.
Ayo ikuti lomba review keren film Ketika Mas Gagah Pergi berhadiah banyaakkkk banget!
*3 unit smartphone
*10 kaos keren KMGP
*10 buku KMGP bertandatangan asli 4 pemeran utama
*5 paket buku dari Toko Buku Afra
*4 paket busana muslimah Qarmey
Caranya?
# Tulis review KMGP di blogmu dengan backlink ke web FLP: www.flp.or.id dan web KMGP:www.kmgpthemovie.com
#Kirim link tulisanmu beserta biodata, alamat rumahmu, nomor hape ke flp.pusat@gmail.com
# Panjang tulisan bebas
# Wajib follow twiter FLP: @FLPoke IG: @FLPOke Facebook: /ForumLingkarPena
# Sertakan foto kerenmu di blog bersama Potongan tiket bioskop
# Lomba dibuka 22 Januari 2016 dan ditutup 5 Februari 2016
# Pemenang akan diumumkan saat acara Milad FLP ke 19 tanggal 22 Februari 2016
# Keputusan dewan juri tak dapat diganggu gugat.
Ayo, tulis kesan-kesanmu dan menangkan hadiah- hadiah kerennya!
Info lebih lanjut bisa cek www.kmgpthemovie.comdan www.flp.or.id
#NontonKMGP #FilmKeren #KMGP#FLPdukungKMGP #KMGPthemovie
Tuhan, aku harap kau punya waktu beberapa menit untukku. Aku punya beberapa permohonan pada-Mu.
Pada dasarnya, Tuhan, aku mohon bantuan-Mu agar aku dapat menjadi
seorang penulis yang baik. Sebagai awal, bantu aku agar tidak
terus-menerus membandingkan diriku dengan penulis-penulis lain. Aku bisa
hancur kalau terus-menerus melakukan hal seperti ini: Aku adalah
penulis yang lebih baik dari si Alan, lalu kenapa aku tak bisa sukses
seperti dia? Kenapa tulisan-tulisanku tak bisa diangkat ke layar kaca?
Kenapa si Barry yang mendapat perhatian lebih dari penerbit, dan bukan
aku? Apa sih hebatnya si Carol sehingga bisa-bisanya dia mendapat ulasan
sampai dua halaman di majalah New Yorker? Setiap kali aku memutar tv,
yang muncul malah wajah si Dan di setiap talk show. Apa sih yang bikin
dia spesial? Aku juga menulis cerita yang sama seperti mereka, tapi
kenapa sih tulisanku bolak-balik ditolak penerbit?
Di sisi lain, aku takkan mungkin menjadi penulis seperti Frank yang bisa
memakai pengalaman pribadinya dalam tulisan-tulisannya dengan begitu
jujur. Dan si Gloria, dia punya ketajaman mata seorang seniman.
Kalimat-kalimatnya begitu deskriptif dan nyata sehingga aku sadar akan
keterbatasanku. Si Howard juga, dia sangat pro, tulisan yang
kurampungkan sebulan penuh, cuma diselesaikannya dalam sehari dan dengan
santai pula. Tuhan, bantu aku untuk tidak memikirkan kompetisi dengan
penulis lain. Kesuksesan mereka tidak ada hubungannya dengan diriku.
Kami punya cerita masing-masing. Kami punya gaya penulisan
masing-masing. Kami memiliki karir masing-masing. Semakin sering aku
membanding-bandingkan diriku dengan penulis lain, semakin sedikit energi
yang bisa kupakai untuk menghasilkan karya tulis yang baik. Akhirnya
aku cuma mengeluh akan kemampuan dan tulisan-tulisanku, dan hal ini
hanya akan menghancurkan diriku sendiri.
Flannery O’Conner bilang bahwa setiap orang yang berhasil melewati masa
kecilnya memiliki bahan untuk menulis sepanjang hidupnya. Aku percaya
akan hal ini, Tuhan. Aku percaya bahwa setiap insan yang memiliki hasrat
menulis fiksi, di dalam dirinya masing-masing tertanam kisah-kisah yang
tidak akan pernah habis untuk dituliskan.
Bantu aku, Tuhan, untuk selalu jujur setiap duduk di depan laptop-ku.
Bukan…bukan maksudku aku harus menulis non-fiksi. Fiksi adalah sederet
kebohongan. Tapi biarlah fiksi-ku memiliki kebenarannya sendiri.
Saat karakter tokoh dalam tulisanku berbicara, bantu aku untuk
mendengarnya dan menuliskan apa yang kudengar itu. Biarkan aku
menggambarkannya, bukan dengan kalimat yang kukutip dari buku-buku lain,
tapi dari apa yang ada di benakku. Tolong Tuhan, jangan biarkan aku
menyepelekan pembacaku. Terkadang, hal ini justu menjadi godaan bagiku.
Jika aku tak bisa menulis novel remaja tanpa menggurui, lebih baik aku
tak menulis novel jenis ini. Jika aku anggap kisah gothik, misteri, dan
koboi adalah sampah dan pembacanya adalah idiot, maka aku tak akan
menghasilkan suatu tulisan yang baik dan mendapat kepuasan dari tulisan
seperti ini. Biarlah aku menulis sesuatu yang kuhargai, dan biarlah aku
menghargai orang-orang yang nantinya akan menjadi pembacaku.
Tuhan, biarlah sebuah kamus selalu berada di dekat-dekatku. Saat aku
tidak yakin akan penulisan sebuah kata, aku akan membuka kamus. Begitu
pun jika aku tak yakin akan arti sebuah kata, bantu aku agar tidak malas
membuka kamus. Memeriksa penulisan dan definisi sebuah kata membutuhkan
kerendahan hati, Tuhan. Kerendahan hati membuatku terjaga. Saat
kerendahan hatiku dalam kondisi yang baik, setiap kesuksesan dan
kegagalan yang datang akan lebih gampang kuterima. Aku dapat menyadari
bahwa tulisanku tak akan pernah sempurna, dan kesempurnaan bukanlah
tujuan utamaku. Yang bisa kulakukan adalah menulis sebaik mungkin.
Aku bisa begitu keras terhadap diriku sendiri, Tuhan. Jika aku
menghasilkan tulisan 5 halaman setiap hari, lalu aku berkata pada diriku
bahwa aku bisa menambahkannya hingga mencapi 6, 8, atau 10 halaman.
Jika aku menulis suatu peristiwa tanpa mencari elemen utamanya, aku
menuduh diriku sebagai orang yang ceroboh; jika aku melakukan riset, aku
menyalahkan diriku telah membuang waktu yang bisa kupakai untuk
merampungkan naskahku. Jika aku menulis ulang, aku menyebutnya
percuma—cuma buang waktu. Jika aku tidak menulis ulang aku menyebut
diriku pemalas. Penyiksaan diri semacam ini tidak produktif. Beri aku,
Tuhan, keberanian untuk melalui hidupku tanpa hal-hal itu.
Bantu aku, Tuhan, untuk menjadi penulis yang bertumbuh. Ada banyak
kesempatan untuk mencapai hal ini, untuk memperoleh keahlian dan
pengetahuan dengan berlatih dan membuka mataku lebar-lebar. Setiap buku
yang kubaca akan memberikan sebuah pelajaran jika aku mau menerimanya
dengan lapang dada. Jika aku membaca tulisan yang lebih baik dari
karyaku, biarlah aku dapat belajar darinya. Jika aku membaca karya tulis
yang begitu buruk, baiklah aku belajar dari kekurangannya. Berikan aku
keberanian untuk mengambil resiko. Ada satu titik di masa awal karir
kepenulisanku, dimana aku menghasilkan tulisan tak bermutu, tulisan yang
tak menantangku, tulisan yang tak lagi dapat kuhargai, tulisan yang tak
lagi dapat membuatku bertumbuh. Aku melakukannya karena rasa takut. Aku
takut mengambil resiko, baik secara ekonomi dan artistik, aku takut
menghasilkan tulisan yang tidak akan diterbitkan. Aku hanya dapat
bertumbuh jika aku rela mengembangkan diriku, mengambil resiko.
Terkadang aku gagal, tentu saja, tapi bantu aku untuk selalu ingat bahwa
aku selalu dapat belajar dari kegagalan itu, yang akan memberikan
keuntungan bagiku dalam jangka panjang. Dan jika aku mengambil resiko
dan ternyata gagal lagi, biarlah aku tetap ingat agar pada akhirnya
memoriku dapat meringankan rasa sakit akan kegagalan itu.
Bantu aku untuk membuka diri pada pengalaman, Tuhan. Ada saatnya Tuhan,
kala sebutir pil hijau di pagi hari bisa meningkatkan energi dan
semangat menulisku. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku hanya meminjam
energiku untuk esok hari, sehingga tengaku terkuras habis. Ada kalanya
juga, saat pil-pil dan minuman berenergi itu menyempitkan pandanganku
seperti seekor kuda yang ditutup matanya. Aku pikir aku membutuhkan hal
itu untuk menulis, Tuhan, tapi kemudian aku sadar bahwa aku dapat
menulis lebih baik tanpa bantuan benda-benda itu.
Beritau aku juga, kapan tanggung jawabku sebagai penulis berawal dan
berakhir. Bantu aku untuk berkonsentrasi pada segala hal dalam karirku
yang dapat kukendalikan dan melepaskan hal-hal yang berada di luar
kendaliku. Setelah aku mengirimkan naskahku pada penerbit, biarlah aku
melupakannya hingga naskah itu sampai pada tujuannya. Mampukan aku untuk
mengambil langkah sepantasnya, Tuhan, tanpa harus menghabiskan energiku
untuk mencemaskan nasib naskahku. Tugas utamaku adalah menulis. Tugas
keduaku adalah menawarkan tulisanku. Apa yang terjadi setelah itu adalah
urusan orang lain. Jangan biarkan aku lupa, Tuhan, bahwa penerimaan dan
penolakan bukanlah segalanya. Imbalan utama dari setiap kerja seni
adalah pekerjaan itu sendiri. Sukses ada dalam setiap proses, bukan
dalam hasilnya. Jika aku menulis dengan baik, aku adalah seorang yang
sukses. Kemakmuran dan ketenaran mungkin saja menyenangkan tapi bukan
menjadi hal utama. Biarkan aku merasakan penolakan sebagai sebuah proses
untuk mendapatkan pengakuan. Biarkan aku menerima kebuntuan sebagai
sebuah proses kreatif. Pada akhirnya, Tuhan, bantu aku untuk dapat
menerima hal-hal di luar kendaliku. Dan bantu aku untuk senantiasa
mengucap syukur, Tuhan, bahwa aku adalah seorang penulis, bahwa aku
melakukan pekerjaan yang begitu kucintai, dan aku tak membutuhkan ijin
siapa pun untuk melakukannya. Terima kasih untuk semuanya. Dan terima
kasih telah mendengarkanku.
[share from Ernita Die tj's note "Doa Seorang Penulis")
Tulisan ini
diposting pada bulan Januari 2011 di blog sebelumnya.
Sekilas “Cinta Adinda”
Adinda Khoirunnisa. Seorang muslimah perantau yang tengah berjuang
mencari pendamping hidup. Suatu hari, Adinda hendak menghadiri
pernikahan Adelia, sahabat karibnya di Jogja. Sehari setelah acara
pernikahan tersebut, saat cahaya mentari datang… suara gemuruh
terburu-buru menyapa pagi. Merapi menggeliat. Awan panas meluncur.
Menghambur tak beraturan. Beberapa daerah terkena hujan abu vulkanik.
Pagi itu hujan abu turun sampai di bumi Jogja.
Adinda urung kembali ke kota rantaunya. Ia bergegas ke Klaten, menemui
sang kakek yang tinggal di sana. Alhamdulillah, kakeknya selamat. Akan
tetapi, Merapi semakin mengamuk. Masyarakat diminta meninggalkan rumah.
Mereka harus mengungsi. Seorang relawan bergelang merah membantu mereka
memapah sang kakek yang lumpuh.
Ternyata gelang merah itu menjadi tanda akhir dari cinta Adinda
Bagaimana kisah Adinda?
Lalu, siapakah relawan bergelang merah itu?
***
Temukan jawabannya di Kumpulan Cerpen “BE STRONG INDONESIA” yang ditulis
bersama rekan-rekan yang tergabung dalam #writersforindonesia ini…
Selain cerpen di atas, ada juga 15 cerpen pilihan lainnya… Hmm, penasaran?
1. Tanggal 11 Bulan Juni, penulis Winda Joeanita
2. Matahari Setelah Hujan, penulis: Ninit Yunita
3. Membuka Luka Lama’, penulis: Arif Zunaidi
4. Pelangi, Penulis: Hindraswari Enggar
5. Senja Dalam Senyuman, Penulis: Agustina Wulandari
6. Cinta Adinda, penulis: Aisya Avicenna
7. ‘Hidup dan Daging Rendang’, penulis: Irhayati Harun
8. Jalan simpang dua, penulis: Yudiono
9. ‘Nusantara’, penulis: Andrika Permatasari
10. ‘Semesta Maya’, penulis: Feby Indirani
11. ‘Senyum Kecil dari Sang Cahaya’, penulis: Theresa Levana
12. ‘Rumah Ini’, penulis: echaimutenan
13. Ada Malaikat Pencabut Nyawa, penulis: Ade HK
14. Saat Mencintai Dunia Maya, penulis: Syarifah Bachrum
15. Ketika Jauh, penulis: Triana Dewi
16. Surat Untuk Surya, penulis: Papyruz
Hasil penjualan dari kumpulan cerpen ini akan didonasikan seluruhnya
(100%) untuk korban bencana alam di Indonesia, yang akan disalurkan
melalui lembaga terpercaya.
Buat teman-teman yang berminat membeli kumpulan cerpen ini sekaligus
memberikan donasi bagi saudara-saudara kita yang membutuhkan, silakan
SMS ke : 08999344753. Harga : Rp 45.000,-
Format SMS: Nama_Alamat lengkap_Jumlah Pesanan kirim ke 08999344753
Bisa pesan dulu, soal pembayaran… nanti bisa menyusul… (saya konfirmasi via SMS)
Beli buku sekaligus beramal? Yuk, mari…
Be Strong Indonesia!!!
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya