ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB. SAHABAT, TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG SAYA INI. SEMOGA BERMANFAAT DAN MAMPU MEMBERIKAN INSPIRASI. BAGI SAYA, MENULIS ADALAH SALAH SATU CARA MENDOKUMENTASIKAN HIDUP HINGGA KELAK SAAT DIRI INI TIADA, TAK SEKADAR MENINGGALKAN NAMA. SELAMAT MEMBACA! SALAM HANGAT, ETIKA AISYA AVICENNA.
Tampilkan postingan dengan label FLP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FLP. Tampilkan semua postingan

Dulu Menulis, Kini Menulis, Sampai Nantipun Menulis

Oleh : Aisya Avicenna *)

Tahun Millenium sebagai Tahun Pijakan Pertama
Tahun 2000 yang juga dikenal sebagai tahun millenium menjadi momentum kelahiran Forum Lingkar Pena (FLP) DKI Jakarta. Saat itu ketua pertamanya adalah Saifulah M. Satori yang juga membawahi ketua cabang lainnya, yakni : Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Meski kegiatan-kegiatannya masih menumpang dengan kegiatan FLP Pusat, sedikit demi sedikit FLP Jakarta mulai memperkenalkan diri pada khalayak.
Tahun 2002, FLP DKI Jakarta memasuki kepengurusan periode kedua di bawah pimpinan Azimah Rahayu. FLP DKI Jakarta mengalami perkembangan yang semakin pesat. Pada kepengurusan kali ini, FLP DKI Jakarta menggabungkan semua cabang. Untuk wilayah Tangerang, Bekasi, Bogor, dan Depok sudah tidak di bawah pimpinan ketua FLP DKI Jakarta lagi. Karya yang dilahirkan FLP DKI Jakarta juga semakin banyak. Masyarakat juga semakin berminat untuk bergabung dengan FLP.
Tahun 2004 FLP berganti kepengurusan lagi. Di bawah komando Andi Tenri Dala, pada periode ini terjadi perubahan yang cukup signifikan terkait pembagian wilayah, cabang, dan ranting.
Tahun 2007 kepemimpinan beralih ke Billy Antoro. Periode keempat FLP ini lebih berorientasi secara eksternal, berbeda dengan periode pertama, kedua, dan ketiga yang memang lebih berorientasi secara internal pada pondasi organisasi, struktur, dan pola kaderisasi. Pada periode ini FLP DKI Jakarta mencoba lebih mengenalkan eksistensi dirinya di berbagai media yang ada. Menulis dan terus menulis.

Ruhnya di Masjid, Semangatnya Berbagi
Pada tahun 2010 ini, kepengurusan FLP DKI Jakarta memasuki periode ke-5. Taufan E. Prast-lah yang diberi amanah sebagai ketua. Misi kepengurusan kali ini adalah menjadikan FLP DKI Jakarta yang penuh motivasi, melapangkan komunikasi, dan merajut silaturahmi. Seperti visi awal berdirinya FLP pada tahun 2007, yakni membangun Indonesia cinta membaca dan menulis serta membangun jaringan penulis berkualitas di Indonesia. FLP DKI Jakarta juga turut sepakat untuk menjadikan menulis sebagai salah satu proses pencerahan umat. Itulah mengapa disebut bahwa ruhnya FLP itu di masjid, selain karena tempat pertemuan rutin anggota FLP DKI Jakarta juga dilakukan di Masjid Amir Hamzah, Taman Ismail Marzuki.
Seburuk-buruknya tulisan anggota FLP Jakarta, pasti di dalamnya mengandung hikmah dan pelajaran. Tulisan yang mencerahkan, tulisan yang berpondasi pada Islam, dan tulisan yang mampu menebarkan kebaikan adalah tulisan-tulisan yang menjadi barometer karya anggota FLP Jakarta. Tulisan sebagai interpretasi dari semangat berbagi kebaikan lewat rangkaian kata yang berpadu menjadi karya yang inspiratif.
Pada tanggal 17-18 Juli 2010 di Palm Hill, Cikereteg, Bogor dilantiklah anggota terbaru FLP DKI Jakarta. Mereka dilantik menjadi anggota muda FLP Jakarta angkatan 14. Kini, FLP DKI Jakarta dengan pendatang barunya semoga juga memberi warna baru yang beriring dengan prestasi baru juga. Selain itu, semoga keanggotaan baru ini dapat menjadi sarana kompetisi untuk saling meningkatkan kompetensi masing-masing, mengingat persaingan di dunia kepenulisan juga semakin ketat.

Karya yang Menjadi Warisan
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, penulis mati meninggalkan karya. Itulah yang menjadi harapan setiap penulis yang ada di FLP DKI Jakarta. Biarlah tulisan-tulisannya itu menjadi harta paling berharga untuk diwariskan. Biarlah karya-karya itu menjadi pemberat timbangan amal di hari akhir kelak. Harapannya, semoga seiring berjalannya waktu, FLP DKI Jakarta juga semakin maju dan produktif dalam mencetak penulis berikut karya-karyanya yang mampu memberi pencerahan bagi para pembaca. Karena menulis adalah sarana berinvestasi di akhirat yang bisa mendatangkan pahala yang berlipat. Dulu menulis, kini menulis, dan sampai nantipun akan terus semangat untuk merangkai tulisan terbaik.

Referensi : Modul Pelatihan Pramuda Angkatan 14

*) Penulis esai ini adalah Aisya Avicenna. Pemilik nama asli Etika Suryandari, S.Si ini berprofesi sebagai statistisi, penulis dan juga entrepreneur. Senang membaca, mengoleksi buku, dan berpetualang. Anggota Muda angkatan ke-14 FLP DKI Jakarta ini, mempunyai blog di : www.thickozone.blogspot.com

Ditulis dalam rangka mengikuti LOMBA INTERNAL FLP DKI JAKARTA




Tulisan ini diposting pada bulan Agustus 2010 di blog sebelumnya

Aisya Avicenna dan Andrea Hirata


Sabtu, 10 Juli 2010 pukul 15.30 (ba’da Asar), mobil Toyota Yaris berwarna silver meluncur di kawasan Jalan Otista Raya. Mobil tersebut berisikan 4 orang muslimah yang baru saja menyelesaikan agenda rutin pekanannya. Empat sekawan itu meluncur menuju kawasan Senayan. Jakarta Book Fair tujuannya. Selly, sang pengemudi, seorang alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Izzah, duduk di samping Selly, seorang alumnus salah satu sekolah tinggi di Jakarta Timur. Nia, duduk di belakang Izzah, juga seorang alumnus salah satu sekolah tinggi di Jakarta Timur (teman sekelas Izzah). Aisya, duduk di samping Nia, seorang alumnus Universitas Nomor Satu di Surakarta.
Alhamdulillah, sore yang indah dalam balutan ukhuwah. Sepanjang perjalanan, sesekali mereka bercanda. Sesekali Aisya juga senyum-senyum sendiri. Wehh! Pasalnya (pasal berapa nih?), saat itu Aisya juga tengah membaca novel barunya, “THE LOST SIMBOK” karangan ‘Kawan-kawan dan Baim Lenon’ yang konon lucu banget. Mengisahkan petualangan seorang simbok yang tersesat. Novel ini merupakan novel plesetan dari buku “THE LOST SYMBOL”. Hehehe, benar-benar lucu! Wajib dibaca biar bisa senyum-senyum sendiri juga!
Sekitar pukul 16.00, mereka sudah memasuki kawasan Senayan. Sempat bingung juga mencari pintu masuk ke Gelora Bung Karno, akhirnya ketemu juga setelah muter-muter. Saatnya hunting buku!!!

 
Aisya langsung menuju stand Mizan. Sedangkan Izzah, Selly, dan Nia terpencar entah kemana. Novel “Padang Bulan” dan “Existere” langsung diambil Aisya. Kedua novel ini adalah titipan dari saudari kembar dan salah satu temannya. Ada SMS masuk dari Izzah, “Kalian ada di mana?”. Wehh, pada berpencar nih ceritanya! Aisya membalasnya. Kemudian, ia pun melanjutkan pencarian. BUKU!!! Alhamdulillah, buku-buku yang menjadi ‘sasaran tembak’nya berhasil didapatkan. Senja datang, Maghrib-pun menjelang. Dengan menenteng satu tas kresek besar berisi buku-buku setebal 5-10 cm plus menggendong tas punggung yang tak beda jauh isinya, Aisya menuju mushola. Bertemulah ia dengan Izzah dan Nia. Selly sudah pulang karena hendak ke Jogja sore itu.
Setelah sholat Maghrib, mereka sempat hunting buku lagi. Aisya juga sempat bertemu dengan Mbak Era (istri Kang Taufan) dan bundanya. Aisya sempat berujar, “Mbak, barusan saya beli buku ‘Doa-doa Enteng Jodoh’ lho! Hehe”. Mbak Era dan Kang Taufan adalah penulis dari buku itu. Asyik juga ya bisa menulis berdua, jadi terinspirasi ^^v!!! Setelah puas hunting bukunya, kami bertiga menuju panggung utama. Aisya surprise sekali tatkala ada sosok seseorang yang tak asing lagi baginya! IKAL!!! Tapi ini bukan Ikal-nya Andrea Hirata. Ikal yang rambutnya juga rada-rada ikal ini adalah salah satu sahabat perjuangan Aisya di Pramuda FLP angkatan 14. Ikal berada di divisi fiksi, kalau Aisya kan di divisi Nonfiksi. Ikal ternyata mendapat kesempatan untuk membacakan puisi Andrea Hirata di novel “Padang Bulan”. Saat sedang asyik menikmati puisi yang dibacakan Ikal, pandangan Aisya juga tertuju pada sosok yang juga begitu ia kenal, yakni Kang Taufan E. Prast (kepala suku FLP Jakarta nih!) dan Soson Rollin Pande (sahabat perjuangan Aisya di FLP juga).


Bulan di atas kota kecilku yang ditinggalkan zaman
Orang asing Orang asing Seseorang yang asing Berdiri di dalam cermin Tak kupercaya aku pada pandanganku Begitu banyak cinta telah mengambil dariku Aku kesepian Aku kesepian di keramaian Mengeluarkanmu dari ingatan Bak menceraikan angin dari awan Takut Takut Aku sangat takut Kehilangan seseorang yang tak pernah kumiliki Gila, gila rasanya Gila karena cemburu buta Yang tersisa hanya kenangan Saat kau meninggalkanku sendirian Di bawah rembulan yang menyinari kota kecilku yang ditinggalkan zaman Sejauh yang dapat kukenang Cinta tak pernah lagi datang (Padang Bulan, halaman 198)

Berdiri. Tempat duduk sudah penuh! Ya sudahlah. Padahal biasanya kalau ada acara semisal bedah buku atau launching buku, Aisya selalu memilih tempat duduk paling depan. Selain bisa lebih konsentrasi, ia bisa dengan cepat mengajukan pertanyaan atau mendapat doorprise. Hehe!


Setelah pembacaan puisi, sang MC yang ternyata bernama Dita itu mengatakan bahwa sebentar lagi Andrea Hirata akan hadir. Dan benar saja, dengan diiringi lagu “Cinta Gila”, lagu ciptaannya yang dinyanyikan bersama Ungu, Andrea Hirata memasuki panggung utama. Wah, Ikal bertemu Pak Cik Ikal juga tuh! Ikal turun dari panggung dan langsung bergabung bersama Soson dan Aisya yang berdiri di sebelah Mbak Era dan ibunya. Kang Taufan tadi kemana ya??? Sementara itu, Izzah dan Nia duduk di dekat taman.


Alhamdulillah, impian Aisya bertemu Andrea Hirata akhirnya tidak hanya sekedar impian. Dengan penampilan khasnya, berkaos plus topi yang bertengger di kepalanya, Andrea Hirata membuat nuansa Jakarta Book Fair semakin meriah. Penonton pun semakin banyak. Andrea Hirata menjelaskan secara singkat tentang novel terbarunya, Dwilogi “Padang Bulan” dan “Cinta di Dalam Gelas”. Saat sesi tanya jawab, banyak yang antusias untuk bertanya. Termasuk Aisya! Dari jawaban atas pertanyaan demi pertanyaan yang terlontar dari penonton, Aisya menjadi tahu beberapa ‘rahasia’ di balik novel dwilogi tersebut. Ternyata novel itu lahir setelah Andrea Hirata melakukan riset budaya Melayu selama 3 tahun! Meski waktu menulis novelnya hanya butuh waktu 3 minggu. Luar biasa! VISIONER. Itulah penilaian Aisya pada Andrea Hirata karena ternyata novel dwilogi ini sudah digagasnya saat pembuatan novel Laskar Pelangi! Andrea Hirata berujar bahwa novel dwilogi ini merupakan jawaban atas ‘kekecewaan’ pembaca akan novel “Maryamah Karpov”. Pada dwilogi ini pembaca akan tahu asal-muasal nama ‘Maryamah Karpov’ tersebut.


Di tengah-tengah acara, sempat Aisya, Soson, dan Ikal menginterpretasikan cover novel “Cinta dalam Gelas”. Aisya jadi tahu siapa saja 4 orang yang dimaksud dalam cover itu. Selain itu, rasa penasaran Aisya pada salah satu bab di novel “Cinta dalam Gelas”, yakni di halaman 196 akhirnya terjawab sudah! Tiga orang peserta maju untuk membaca halaman 196 dengan diiringi musik rap! Nge-rap euy!! Seru juga...Lucu!
Judul “Padang Bulan” ternyata terinspirasi dari nama sebuah lapangan di kampung halaman Andrea Hirata, sedangkan judul “Cinta dalam Gelas” terinspirasi dari ‘segelas kopi’. Hmm, baca aja deh novel dwilogi tersebut! BAGUS!!! SERIUS nih!


Subhanallah, pada bulan Ramadhan nanti Andrea Hirata akan meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studinya di luar negeri (lupa nih nama univeristasnya). Andrea Hirata mendapatkan beasiswa untuk memperdalam sastra. Ia benar-benar ingin belajar tentang ‘menulis dan sastra’, begitu katanya! Dia berujar dirinya memang tidak mempunyai bassic sastra yang bagus, karena ia memang orang ekonomi. Padahal kan novel-novelnya tuh dah ‘nyastra’ banget ya! Hmm... Saat ini novel tetralogi Laskar Pelangi juga sudah diterbitkan dalam edisi internasional dan sudah beredar di beberapa negara. Sungguh luar biasa!


Berorientasi pada karya dan mempersembahkan yang terbaik pada pembaca, itulah visi Andrea Hirata! Saat menulis, ia akan ‘tenggelam’ di dalam tulisannya. Merasuk ke dalam jiwanya... Terbang bersamanya... ^^v


Sastra sungguh sebuah keindahan yang asing Seperti surga di dalam hutan Seperti sumur jernih yang ditinggalkan Seperti kekasih yang merindu...

 
Hmm, Andrea Hirata sempat berpuisi.
Setelah acara selesai, penonton diberi kesempatan untuk meminta tanda tangan dan foto bersama Andrea Hirata. Senangnya...

OPEN YOUR MIND! Pesan Andrea Hirata pada Aisya Avicenna. So inspiring! Makasih buat Andrea Hirata yang mau diajak berbicara meski begitu singkat. Aisya sempat menyampaikan salam dari saudari kembarnya, Keisya Avicenna!
Jakarta, 120710_03:40
Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya

Rekam Jejak Tugas Akhir Aisya Avicenna


Prolog : Jumat, 8 Juli 2010 pukul 08:47 update status FB “Terjebak sejenak, menyeruak, kemudian tersontak! "CINTA"... aku menemukannya!!! ^^v”. Banyak yang penasaran dengan status tersebut. Inilah saatnya saya menjawabnya. Jumat pagi itu saya masih ‘disibukkan’ dengan Tugas Akhir Pramuda angkatan 14 FLP Jakarta, awalnya saya sudah punya konsep tulisan yang berjudul “Kaya dengan Kata”, sudah hampir jadi (75 %-lah). Saya masih merasa belum sreg dengan tulisan saya itu. Nah, dalam perjalanan menuju ke kantor, di dalam Kopaja 502, saya terus memikirkan tugas saya yang belum kunjung jadi tersebut. Akhirnya, EUREKA!!! Saya menemukan formula “CINTA” untuk tulisan saya. Jadilah Tugas Akhir saya berjudul “Jalan Cinta Para Penulis”.
***
JALAN CINTA PARA PENULIS

Ketika huruf bisa tersusun menjadi kata, ketika kata dapat tertautkan menjadi kalimat, dan ketika kalimat berhasil terangkai menjadi tulisan yang inspiratif. Ketika itulah akan terasakan suatu kebahagiaan yang luar biasa
(Aisya Avicenna)

Setiap orang sebenarnya mampu menulis. Seseorang yang buta huruf sekalipun, sebenarnya mampu menulis hanya saja ia tidak berlatih atau dilatih untuk menulis. Setiap manusia yang bisa menulis seharusnya bersyukur akan kemampuannya tersebut. Allah SWT membekali setiap manusia dengan tiga potensi dasar yakni : ruh, akal, dan fisik. Manusia dibekali akal untuk berpikir. Salah satu cara untuk menuangkan buah pikiran adalah dengan menulis. Pikiran merupakan unsur yang paling mendukung dalam menulis. Bisa dikatakan bahwa menulis adalah proses berpikir paling kreatif. Dengan menulis, kita bisa menumpahkan semua beban perasaan kita, sehingga pikiran yang sebelumnya terasa keruh akan bisa menjadi jernih. Selain itu, kita bisa berbagi pengetahuan kepada orang lain sehingga tulisan kita bisa mendatangkan manfaat bagi sesama. Itulah esensi dari suatu ibadah dan menulis adalah salah satu amal ibadah.
Walaupun kelihatannya mudah, pada prakteknya tidak semua orang mudah melakukan aktivitas menulis ini. Banyak di antaranya yang justru mengalami kesulitan pada waktu pertama kali hendak menulis. Terkadang mereka mengalami kebuntuan ide/gagasan, tengah enggan/malas, merasa tidak bisa, tidak berbakat, tidak mampu atau tidak kompeten, takut, dan lain-lain. Jika kita ingin menjadi penulis handal yang produktif dalam berkarya, maka semua hambatan ini harus dikikis habis.
Menjadi seorang penulis handal memang butuh perjuangan. Seorang penulis juga harus ditempa melewati beragam proses yang tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap proses yang ditapaki penuh dengan konsekuensi. Akan tetapi, bukan berarti hal ini menjadi sesuatu yang tidak mungkin dicapai, hanya saja diperlukan kesungguhan dan kerja keras untuk menjadi seorang penulis handal. Berikut dipaparkan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seseorang yang ingin menjadi penulis hebat nan isnpiratif. Kuncinya adalah ‘CINTA’.

[C]ukuplah Allah sebagai Tujuan
Islam memandang umat manusia sebagai makhluk yang mulia. Lalu, apa tugas manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT? Allah SWT menerangkan bahwa tugas manusia di bumi adalah untuk beribadah. "Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan." (QS. Adz-Dzariyat [56] : 57). Ibadah dalam Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Melaksanakan semua perintah yang tertulis dalam Al-Qur`an dan As Sunnah serta menjauhkan larangan yang tertulis di dalam keduanya adalah ibadah. Ibadah mencakup semua aktifitas manusia bila diiringi dengan niat yang benar untuk mencapai ridha Allah SWT. Sholat, zakat, dan infaq adalah ibadah. Sampai-sampai memalingkan mata dari pandangan yang harampun termasuk ibadah. Tak ada pemisahan antara ibadah dan aktivitas keduniaan dalam Islam. Semua perbuatan menjadi ibadah di sisi Allah bila diniatkan semata-mata karena mencari dan mencapai ridha-Nya. Hadist 1 Arba’in berikut menjadi pengingat akan esensi niat dalam setiap amal kita.
Dari Amirul Mu’minin Abi Hafsh Umar ibn Al Khaththaab Radhiyallahu ‘Anhu, berkata: "Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, 'Sesungguhnya amal-amal itu bergantung kepada niatnya. Dan setiap orang memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikejarnya atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia (niatkan) hijrah kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, nilai suatu perbuatan dalam pandangan Islam dilandasi niatnya, bukan dari hasilnya. Hasil suatu perbuatan berada di tangan Allah SWT dan karenanya ganjaran perbuatan seseorang tidak tergantung pada hasilnya, tetapi pada niat yang ada di dalam hati. Niat yang benar juga harus dilanjutkan dalam amal yang benar pula. Setelah niat seseorang telah lurus, amal yang dilakukan pun tidak boleh melanggar rambu-rambu yang benar. Tidak ada kamus ‘menghalalkan segala cara’ dalam mencapai apa yang diinginkan. Seorang muslim tidak dibenarkan menggunakan cara yang tidak disukai Allah SWT demi mengapai tujuan dan cita-citanya.
Demikian halnya dengan menulis. Aktivitas menulis akan bernilai ibadah jika diniatkan semata-mata mencari ridha Allah SWT. Merangkai kata demi kata sehingga menghasilkan karya dengan menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan itulah visi mulia seorang penulis. Ia menegakkan kalimat Allah melalui pena, menuliskan bait demi bait kebenaran, dengan harapan banyak yang akan terinspirasi dari tulisan itu untuk senantiasa berbuat baik, Karena tiada balasan yang lebih pantas dari kebaikan selain kebaikan pula. Hendaknya setiap penulis selalu memperbaharui niatnya, jangan sampai kehilangan orientasi dalam menulis. Selayaknya setiap penulis meyakinkan dirinya bahwa ia menulis untuk menebarkan kebaikan, saling mengingatkan, dan tentunya mengharapkan ridha-Nya. Saat menulis, jangan berharap adanya popularitas dan keuntungan finansial semata. Memang, dengan menulis hal itu bisa saja kita dapatkan. Tapi yakinlah, saat itu diniatkan pada awalnya dan ternyata berhasil didapatkan, maka kita akan kehilangan satu investasi besar, yakni investasi akhirat.
Telah disebutkan bahwa menulis juga termasuk bagian dari ibadah. Bahkan menjadi suatu amal yang sangat bermanfaat dan menjadi investasi akhirat jika tulisan itu bermuatan pesan moral yang diamalkan oleh orang banyak sehingga bisa mengubah karakter manusia yang kurang baik menjadi bermoral dan berbudi luhur. Nah, dari sini bisa kita lihat betapa pentingnya menulis. Di dalam tulisan bisa kita sampaikan apa saja yang kita mau sehingga orang lain bisa membacanya, mengamalkannya, dan terinspirasi karenanya.

[I]nspirasi Datang, Jangan Dibuang!
Inspirasi adalah nyawa dalam kehidupan kita. Inspirasi bagaikan oase di tengah padang gurun yang meranggas tertelan panas. Ia hadir dalam setiap jiwa manusia dan menjadikannya sebagai penyejuk. Inspirasi bagai nyawa dalam diri seseorang. Ia bisa saja jadi semangat tak berkarat, bagai aliran listrik yang menjalar cepat dan hebat. Ia mampu menghentakkan motivasi. Membangkitkan yang lemah. Mengubah kondisi terbatas menjadi teratas.
Tidak peduli kita suka menulis, serajin apa kita menulis, selalu ada waktu dimana kita memang membutuhkan inspirasi untuk mendapatkan gagasan atau tema dari tulisan kita. Kebanyakan justru inspirasi didapat dari luar diri kita, karena bisa jadi pikiran kita memang sudah cukup letih atau jenuh untuk menggali topik atau tema apa yang hendak kita tulis.
Inspirasi itu tidak akan datang jika hanya ditunggu. Inspirasi ada karena dicari atau diciptakan. Sumber inspirasi bisa didapat dari mana saja, baik dari internal maupun eksternal penulis.
1. Sumber Internal
Inspirasi bisa datang dari dalam diri penulis. Lewat pemikirannya yang mendalam dari hasil renungan (kontemplasi) yang dilakukannya. Atau bisa melalui kepekaan panca inderanya. Oleh karena itu, seorang penulis harus sensitif terhadap lingkungan sekitarnya. Apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan seharusnya bisa menjadi inspirasi dahsyat yang bisa melahirkan karya atau tulisan.
2. Sumber Eksternal
Banyak sekali sumber inspirasi yang berasal dari luar. Berikut beberapa sumber inspirasi yang bisa didapat seorang penulis.
a. Al Qur’an
Segala inspirasi ada di dalam Al Qur’an. Jika tidak menemukan inspirasi dari Al Qur’an, bisa jadi kita belum mengenal atau cukup berinteraksi dengan Al Qur’an. Kita boleh mengambil inspirasi dari manapun, selama inspirasi tersebut tidak melanggar syariat dan nilai Al Qur’an. Agama Islam tidak membatasi kita mendapatkan hikmah dari mana pun, selama rujukan utama kita Al Qur’an dan As Sunnah.
b. Siroh Nabawiyah
Sebaik-baik kisah yang patut dijadikan inspirasi adalah kisah Rasulullah SAW, keluarga Rasul, sahabat-sahabat Rasul, dan orang-orang terpilih yang menjadi “kekasih” Allah SWT. Tentunya banyak inspirasi yang bisa kita dapatkan dari kisah mereka.
c. Orang lain
Orang di sekeliling kita bisa dijadikan sumber inspirasi yang menarik. Coba perhatikan mereka, pastinya ada beberapa yang memiliki karakter yang unik. Ini bisa kita gali lebih dalam. Karakter seperti suka marah, bisa kita jadikan tulisan bertemakan sifat marah, bagaimana mengatasinya, dan lain sebagainya. Orang lain yang dimaksud juga bisa berasal dari tokoh inspiratif yang sukses atau bisa juga penulis tenar.
d. Lingkungan
Lingkungan sekitar kita adalah sumber inspirasi yang bagus. Nuansa alam seperti pantai, pegunungan, lembah, dan sebagainya bisa menjadi daya tarik untuk setting tulisan kita. Bahkan lingkungan kumuh di pinggiran kota juga bisa menjadi bahan tulisan.
e. Buku/Bacaan
Menulis dan membaca adalah kebiasaan yang saling tertaut. Banyak wawasan baru yang akan kita dapatkan dengan banyak membaca. Belajar dari karya orang lain sesungguhnya juga membuat kita belajar bagaimana proses kreatif mereka terbentuk. Memperbanyak bahan bacaan akan membuat wawasan kita menjadi lebih luas. Banyak hal baru yang akan kita dapatkan dari membaca, seperti ragam kehidupan dengan segala pernik dan maknanya, penggunaan bahasa dan pemakaian kata-katanya, gaya penulisan dan lain sebagainya. Membaca majalah, koran, novel, cerpen, lirik lagu, puisi, ensiklopedia, buku-buku nonfiksi, peribahasa, komik, atau apa saja juga bisa memicu datangnya inspirasi.
f. Blog
Caranya mudah saja, kita tinggal blog walking ke blog-blog yang bagus. Kita bisa belajar banyak dari proses kreatif penulis blog tersebut atau bisa melihat dari segi ide atau gagasan di setiap tulisan yang ada di blog.
g. Film
Dari film kita juga bisa mendapat banyak inspirasi sebagai bahan tulisan kita, misalnya kita bisa menulis tentang karakter tokohnya atau situasi dan kondisi yang kita olah ulang sedemikian rupa untuk ditulis. Bisa juga kita membuat resensi film dan dikirimkan ke media.
h. Peristiwa
Setiap saat dan dimanapun kita pasti tak bisa lepas dari peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. Nah coba kita pilah-pilah, mana yang kira-kira menarik untuk dijadikan tema tulisan. Peristiwa sehari-hari yang sepertinya biasa saja, tapi bila kita kemas dengan gaya penulisan yang asyik, tentunya menjadi menarik untuk dibaca oleh orang lain.
i. Seni
Seni, baik itu seni lukis, seni musik atau lainnya, merupakan salah satu sumber inspirasi yang kaya makna. Seperti misalnya kalau kita lihat lukisan yang indah. Menggambarkan apa lukisan itu, apa maksud dari goresan lukisan itu, bisa kita jadikan ide untuk menulis.

Inspirasi sering datang tak diundang. Oleh karena itu, segera dokumentasikan setiap inspirasi yang singgah dalam benak kita. Kita menyadari bahwa kemampuan otak kita dalam menampung informasi memang sangat terbatas sehingga kita harus mampu menyiasatinya. Jangan sampai inspirasi yang bagus terbuang sayang hanya gara-gara kita tidak segera mendokumentasikannya. Tuliskan setiap inspirasi yang kita dapatkan! Oleh karena itu, setiap saat jangan lupa membawa alat tulis dan catatan kecil. Atau bisa juga kita memanfaatkan sarana lain, seperti handphone untuk mengabadikan inspirasi kita. Semoga inspirasi-inspirasi itu bisa melahirkan tulisan-tulisan inspiratif juga.

[N]ulis… Nulis... Nulis…
Ada tiga kunci utama untuk menjadi seorang penulis. Kunci pertama, menulis. Kunci kedua, menulis. Kunci ketiga, menulis. Nah, mudah saja kan? Hanya saja seorang penulis kerap terbebani dalam mengawali sebuah tulisan, merasa kesulitan dalam mengembangkan inspirasi atau ide yang didapat ke dalam tulisan yang enak dibaca, atau bingung menuliskan ending dari tulisan. Berikut ada beberapa tips yang semoga bisa membantu kita dalam menulis.
1. Mulailah Menulis Apa Saja
Misal kita akan menulis dengan tema “Isra’ Mi’raj”. Saat menulis, jangan ‘menyiksa diri’ dengan kebingungan harus mulai menulis dari mana. Apa yang sedang dipikirkan saat itu tentang Isra’ Mi’raj, tulis saja! Tak perlu runtut dengan harus menulis dari sejarahnya atau dalil-dalil yang berkenaan dengan peristiwa ini. Kita bisa saja menulis tentang Rasulullah SAW. Lambat laun kita akan menemukan kesesuaian dan alur tulisan kita sehingga akan dihasilkan tulisan yang utuh. Sebelum menulis, ada baiknya kita membuat kerangka tulisan agar tulisan kita terarah dan tidak keluar dari ide dasar atau tema. Saat awal-awal menulis draft, janganlah mengubah kata-kata atau tanda baca. Lupakan dulu tata bahasa, pemilihan kalimat, diksi, dan semua pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah! Kita akan membutuhkannya ditahap selanjutnya. Yang sekarang harus dilakukan adalah mengalirkan semua gagasan yang terpikirkan di otak. Tuliskan semua ide yang bergelora dalam pikiran, tidak masalah kalau ide-ide itu tidak saling berkaitan.
2. Mencari Waktu yang Tepat
Memilih waktu yang tepat akan sangat membantu kita dalam menulis. Misalnya, kita memilih waktu di tengah malam. Saat suasana hening, akan membuat hati dan pikiran kita menjadi tenang. Pikiran kita bisa fokus dan konsentrasi. Selain itu, dalam setiap aktivitas keseharian kita, ada kalanya kita memiliki waktu luang. Manfaatkan waktu luang itu untuk menorehkan tulisan. Untuk menjadi penulis yang efektif, kita harus mulai berkomitmen terhadap waktu. Pilihlah waktu luang satu-dua jam tiap hari, untuk menulis.
3. Menciptakan Kondisi yang Nyaman
Saat menulis, pilihlah tempat yang membuat kita nyaman dalam menulis. Kurangi sebanyak mungkin gangguan dari luar. Kalau kita suka mendengarkan musik, bisa juga menggunakan musik sebagai backsound selama kita menulis. Belahan kanan otak kita akan menjadi aktif bila terstimulasi oleh musik. Karenanya, pilihlah musik-musik favorit, agar mood menulis tetap terjaga. Hadirnya musik yang sesuai dengan suasana hati, akan membuat tulisan yang kita buat menjadi semakin hidup.
4. Mengedit dan Menulis Ulang
Pada tahap inilah kita bisa mengedit dan menyusun setiap kalimat agar lebih tertata dan sistematis. Ukirlah setiap paragraf, dan pastikan tiap kalimat berada di tempat yang cocok. Ambil thesaurus, lalu cari kata-kata yang seharusnya menggunakan istilah lain. Lihat ensiklopedia, dan masukkan data-data yang sepertinya layak untuk dimasukkan. Perhatikan tata bahasa, dan usahakan tulisan yang dibuat tidak membuat jemu yang membaca.
5. Membaca Ulang
Setelah tulisan sudah terangkai dengan baik, baca ulang dengan teliti! Apakah ada yang perlu ditambahkan lagi? Apakah ada kata-kata yang kurang tepat atau ada kalimat yang salah? Kalau iya, perbaiki kembali tulisan tersebut. Menulis memang butuh kesabaran. Jangan mudah mengeluh!

[T]eruslah Berlatih tanpa Mengenal Letih!
Menulis itu adalah keterampilan. Setiap keterampilan pastinya memerlukan latihan. Latihan yang rutin. Sedikit demi sedikit, tapi sering dilakukan! Latihan dalam menulis memang butuh waktu, maka harus menyiapkan waktu khusus untuk menulis. Jangan menunggu siap. Jangan menunggu mood. Tapi harus menyiapkan waktu dan menyiapkan diri sebaik-baiknya.
Latihan menulis dapat dilakukan seorang diri. Ada baiknya juga bila dilakukan bersama. Misalnya dengan mengikuti pelatihan kepenulisan atau dengan bergabung dalam komunitas penulis. Dengan berlatih bersama dengan orang-orang yang memiliki visi yang sama, yakni visi untuk menjadi seorang penulis, maka akan bisa membangkitkan semangat kita untuk terus berkarya. Kalau perlu, milikilah seorang writer coach, seseorang yang bisa memandu kita dalam menulis, mengkritisi tulisan kita, dan bisa memberikan kita motivasi untuk terus menulis.
Menulis jelas membutuhkan motivasi. Bahkan motivasi atau niat dalam menulis ini memegang peranan penting. Sebab, jika kita kehilangan motivasi, segalanya akan ikut hilang. Miliki motivasi positif dalam menulis! Jangan pernah merasa jenuh atau lelah dalam menulis. Karena menulis akan membuat kita kaya. Kaya ilmu, kaya hati, kaya amal, dan bisa juga kaya harta. Dengan menulis, pengetahuan kita akan bertambah karena kita juga dituntut untuk banyak membaca dan mencari inspirasi. Itulah yang dimaksud kaya ilmu. Menulis juga merupakan wujud sedekah. Sedekah memang tak selalu identik dengan uang sebagai sarana yang disedekahkan. Menulis adalah sedekah kata. Kita memberi sesuatu kepada orang lain lewat rangkaian kata yang kita tuliskan. Hal inilah yang membuat seorang penulis menjadi kaya hati karena banyak memberi lewat tulisan-tulisannya. Menulis adalah wujud amal yang bernilai ibadah jika tulisan yang dihasilkan adalah tulisan yang menginspirasi dan menebar kebaikan. Itulah kaya amal. Pintu rezeki banyak macamnya. Tulisan pun bisa mendatangkan rezeki. Misal, jika dibukukan dan banyak diminati serta dibeli pembaca (best seller), tentunya akan mendatangkan banyak pendapatan bagi penulisnya. Penulis pun bisa kaya harta! Akan tetapi, jangan jadikan hal yang satu ini sebagai motivasi utama. Tetaplah menjadi penulis yang bersahaja, yang tetap menjadikan ridha Allah SWT sebagai tujuan utama.
Panggillah rasa lelahmu, dan ajaklah bermain dan bercanda, karena bila lelah itu karena LILLAH, maka insya Allah akan bernilai pahala dan diganjar surga (Burhan Sodiq).

[A]badikan Karya pada Tempatnya
“Khairunnas anfa’uhum linnas” yang artinya “Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” Menjadi penulis, mungkin inilah salah satu cara yang menjadikan kita pribadi yang bermanfaat. Tulisan sebagai hasil karya kita tidak ada gunanya kalau hanya untuk konsumsi sendiri, tapi kalau dipublikasikan lewat berbagai media yang ada, maka karya tersebut akan bisa mendatangkan manfaat untuk diri kita dan orang lain. Kalau ada yang baik dalam tulisan itu maka akan menjadi penebar kebaikan dan terhitung sebagai amal jariyah. Sebaik-baik tulisan adalah tulisan yang dipublikasikan (Taufan E. Prast).
Dewasa ini begitu banyak media yang bisa dijadikan sasaran untuk mempublikasikan tulisan kita, baik itu media cetak maupun elektronik.
1. Media Cetak
Media cetak sekarang banyak ragamnya, baik berupa koran, majalah, buletin, dan lain sebagainya. Banyak peluang terbuka bagi seorang penulis untuk mempublikasikan karyanya lewat media cetak. Tulisan tersebut dapat berupa opini, artikel, resensi, puisi, cerpen, dan lain-lain. Misalnya saja ketika akan memasukkan sebuah puisi di koran mingguan yang menerbitkan puisi seminggu sekali. Maka akan terdapat sekitar empat kesempatan di setiap minggunya. Belum lagi, jika dikalikan banyaknya koran yang sekarang beredar. Banyak sekali kesempatan, tinggal bagaimana kita memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
2. Media Elektronik
Media elektronik yang bisa dijadikan sasaran untuk mempublikasikan tulisan kita juga banyak ragamnya. Blog misalnya. Ada baiknya seorang penulis memiliki blog pribadi karena dengan begitu ia memiliki tempat khusus untuk menyalurkan inspirasi-inspirasinya sekaligus sebagai sarana untuk berlatih menulis. Karena blog bisa diakses banyak orang, tidak menutup kemungkinan akan semakin banyak juga yang akan memberikan masukan pada tulisan-tulisan kita. Bisa juga lewat catatan di Facebook, bahkan dari status-status yang kita update di Facebook tersebut. Kita bisa menuliskan sesuatu yang inspiratif lewat status Facebook. Tulisan berwujud naskah atau skenario bisa juga terpublikasikan lewat cerita yang ditayangkan di televisi atau film layar lebar. Saat ini banyak film layar lebar atau sinetron yang diangkat dari novel atau tulisan. Sebut saja, ada film Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi, dan Sang Pemimpi.
Dalam membidik media memang perlu kecermatan dari seorang penulis. Jika ingin menerbitkan tulisannya menjadi sebuah buku, seorang penulis harus cermat dalam memilih penerbit dan memahami persyaratan yang ditetapkan penerbit pada setiap naskah yang masuk pada penerbit tersebut, seperti genre dari penerbit, kriteria tulisan (font, jumlah halaman, spasi, ukuran dan jenis huruf), cara pengiriman naskah (via email atau pos), dan lain-lain. Oleh karena itu, media mapping (pemetaan media) memang penting untuk dilakukan oleh seorang penulis.
Tulislah apa yang ada
Karya adalah anugerah
Tetap menulis sejak kini
Menulislah yang terbaik…
Ya, menulislah yang terbaik. Diawali dengan niat yang baik, dilakukan dengan latihan sebaik-baiknya, dan diabadikan dalam prasasti karya yang terbaik. Menulis bisa menjadi sarana untuk mengubah diri sendiri. Kita juga bisa mengubah paradigma dan akhlak seseorang lewat tulisan-tulisan kita. Menulislah dengan hati. Menulislah dengan CINTA. Jadikan tulisan kita sebagai sesuatu yang pantas untuk kita tinggalkan kelak jika nyawa sudah tak lagi ada. Kita pasti akan mati, tapi semoga karya kita akan abadi dan akan membawa kita ke surga-Nya di akherat nanti. Amin.



Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya

Aisya Avicenna dalam "Perempuan-Perempuan Menulis Cinta"


Sabtu, 3 Juli 2010 pukul 09.00 Aisya keluar dari Alfamart di Jalan Otista Raya dengan membawa bungkusan berisi sebotol aqua dan sebungkus roti. Kemudian ia menunggu bus 921 di bawah pohon yang ia tak tahu namanya. Sambil mengeluarkan mushaf kecil, ia melanjutkan hafalannya yang harus disetorkan hari ini. Ia akan berpetualang ke Jakarta Book Fair. Sendirian.
Aisya berkata dalam hati, kalau pukul 09.15, bus 921 tak kunjung datang, ia akan naik taksi. Meski harus merogoh Rp 25.000,- untuk sampai ke Gelora Bung Karno, tak masalah baginya. Asal cepat sampai. Karena ba’da Dhuhur ada agenda yang sangat penting sehingga waktu terasa sangat berharga. Alhamdulillah, selang berapa lama bus tua impor dari Jepang bernomor 921 akhirnya menunjukkan batang hidungnya di Jalan Otista Raya (emangnya bus punya hidung ya? Hehe). Aisya tak mendapat tempat duduk. Sekitar waktu berjalan selama 20 menit, Aisya turun di depan Senayan. Ahh, tempat ini mengingatkannya tatkala tes CPNS Kemendag akhir September 2009 silam.
Sampai jualah di Jakarta Book Fair. Senangnya! Hunting buku dimulai. Sedang asyik hunting buku di stand Mizan, Aisya bertemu dengan Mas Ratno Fadilah. Dia adalah ‘foto model’ di novel ‘Ayat Amat Cinta’. Wajahnya memang rada mirip dengan Fahri. Hehe. Mas Ratno pernah menjadi pembicara waktu pertemuan di Masjid Amir Hamzah, TIM. Waktu menunjukkan pukul 11.00. Sudah puas hunting buku. Aisya melangkah menuju panggung utama untuk mengikuti talkshow “Perempuan-Perempuan Menulis Cinta”. Seperti biasa, duduk di depan dan bersiap dengan pulpen dan note kecil.
Sebelum dimulai, sang MC yang ternyata adalah Bang Boim Lebon menantang penonton untuk mengomentari Novel “2012-an” dan menyampaikan apa yang akan dilakukannya jika 2012 akan kiamat. Aisya salah satu penonton yang kena tunjuk Bang Boim. Apa yang akan dilakukan Aisya Avicenna kalau kiamat terjadi tahun 2012. Ditanyakan sendiri saja ya (Aisya lagi pengin bikin penasaran!).
Ada 4 pembicara yang dihadirkan dalam acara ini. Mereka adalah :
1.Ifa Avianty (penulis novel “Facebook on Love”)
2.Sinta Yudisia (penulis novel “Existere”)
3.Nova Ayu Maulita (penulis novel “Sakura”)
4.Tria Barmawi (penulis novel “A Message of Love”).
Penasaran seperti apa isi novelnya??? Baca sendiri aja ya!!! ^^v
Saat sesi tanya jawab, Aisya mendapat kesempatan menjadi penanya terakhir meski tangannya sudah terangkat sejak dulu. Lhoh! Sejak MC mulai mempersilahkan penonton untuk bertanya, gitu maksudnya.


Ada 3 pertanyaan yang diajukan Aisya


1. Selain sebagai seorang penulis, tentunya keempat pembicara di depan juga memiliki aktivitas lain. Bekerja, mengurus rumah tangga, dan lain sebagainya. Nah, bagaimana memanajemen waktu antara aktivitas menulis dengan aktivitas tersebut?
Keempat pembicara itu memiliki jawaban yang hampir sama, yakni menyediakan waktu khusus untuk menulis dan memanfaatkan waktu luang di tengah-tengah aktivitas mengurus rumah tangga untuk menulis. Hmm, semoga nanti bisa memanajemen waktu dengan baik saat sudah berumah tangga, batin Aisya! Pokoknya, menulis jalan terus!


2. Tertuju kepada Mbak Nova Ayu Maulita, penulis novel Sakura. Kan tadi Mbak bilang, Mbak bisa ke Jepang salah satunya berkat doa Bang Boim. Aisya juga minta didoain ya biar bisa ke Jepang! Hehe... Bang Boim pun ikutan menyeletuk dan mendoakan. Makasih Bang!!!


3. Tertuju kepada Mbak Ifa Avianty. Kalau Mbak Ifa menjadikan Facebook sebagai setting untuk novelnya. Nah, Aisya berencana membuat blog sebagai setting novelnya. Novel itu bercerita tentang sebuah kejadian yang ia alami karena adanya blog tersebut. Tapi, Aisya bingung mencari ending kisahnya karena kisahnya juga belum sampai pada endingnya. Nah, bagaimana ya membuat endingnya?
Mbak Ifa pun menjawab, itu adalah otoritas penulis dalam membuat ending kisahnya. Kalau menunggu ending dari kisah nyatanya, lalu kapan novel itu akan jadi? Intinya, terserah penulis untuk membuat ending kisahnya seperti apa.
Hmm, tapi kayaknya memang harus nunggu ending kisah ini dulu deh (minimal 1 tahun lagi), karena sampai sekarang belum ada inspirasi bikin endingnya seperti apa. (hehe... ^^v moga HAPPY ENDING). Dan lagi juga harus banyak berlatih menulis fiksi. Karena Aisya tuh kalau nulis fiksi masih terlalu ‘lugas’, diksinya kurang ‘cantik’. Hehe.. Yaaa… begitulah! Setiap proses harus dinikmati!

Senangnya, Aisya bisa berdiri di samping Bang Boim dan keempat penulis itu. Aisya pun mendapat kesempatan memilih hadiah. Dan pilihannya tertuju pada novel Sakura. Mbak Nova secara langsung menyerahkan novel itu pada Aisya. Ia juga mendapat sebuah pin Existere dari Mbak Sinta Yudisia.
Acara pun selesai. Aisya kembali ke atas panggung untuk menyapa keempat pembicara lagi. Meminta tanda tangan dan kata inspiratif dari mereka.
Turun dari panggung, eh... ada Fatih Beeman (sempat ngobrol dan minta tanda tangan plus kata inspiratif dari penulis “Beginilah Seharusnya Hidup” dan “Beginilah Seharusnya Cinta” ini), Azzura Dayana, dan Kang Taufan E. Prast! Ketemu lagi dengan Mas Ratno Fadilah. Sempat juga minta tanda tangan di novel “2012-an” pada Kang Taufan dan Mas Ratno. Begitulah kalau para penulis lagi kumpul. Rame!!!
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Segera kembali ke Otista. Alhamdulillah tidak terlambat!
Nice single adventure today!!!
Jakarta, 120710_06:11
Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya

Bumi Cinta Aisya


Kamis, 17 Juni 2010 pukul 16.30 akhirnya Aisya berhasil keluar dari kantornya. Rencana awal jam 16.15 mau izin pulang, tapi mendadak pukul 16.00 kepala seksi meminta Aisya mengerjakan sebuah surat persetujuan impor sementara. Kaseksi berujar, kalau surat ini sudah selesai, kamu boleh pulang! Alhamdulillah, dalam waktu kurang dari 10 menit Aisya berhasil menyelesaikannya, padahal biasanya bisa memakan waktu lebih dari itu. Sekitar pukul 16.45 Aisya sudah berada di dalam bajaj menuju kantor Badan Pusat Statistik (BPS) untuk bertemu dengan sahabat SMA-nya. Wah, padahal janjian jam 16.30. Udah telat pake acara macet, jadinya tambah telat. Untungnya sahabat Aisya itu mau setia menunggu. Kemacetan lumayan parah terjadi di dekat shelter busway Pasar Baru. Sebenarnya Aisya ingin turun di situ saja. Tapi, sopir bajajnya melarang karena kalau turun di situ, harus mencari celah jalan dulu karena jalanan di daerah itu dibatasi oleh pagar terali. Aisya menuruti saran sopir bajaj.
Aisya turun di tempat sahabat SMA Aisya menunggu. Sebut saja namanya Nurul. Wahh... ternyata kalau mau naik busway antriannya panjang sekali. Akhirnya Aisya dan Nurul sepakat untuk naik taksi saja. Mereka pun meluncur menuju pusat kota Jakarta, melewati Masjid Istiqlal, Tugu Monas, dan Patung Selamat Datang di Bundaran HI sampai akhirnya tiba juga di Plaza Semanggi.
Awalnya bingung juga menuju lokasi digelarnya “Si Windu Expo 2010”. Setelah berjalan asal ke suatu tempat, akhirnya ditemukanlah beberapa tanda yang meyiratkan bahwa di sekitar situlah lokasi exponya. Tanda-tanda itu antara lain : spanduk berwarna putih-kuning-hitam yang berdiri berjajar, laskar kepanduan, dan pasangan keluarga samara yang berseliweran. Alhamdulillah, sampai jualah di tempat itu.
Aisya dan Nurul langsung mengunjungi beberapa stand di Expo itu. Stand yang berisi buku-buku tak luput dari jejak Aisya. Mulai dari stand Indiva, Al-I’thisom, dan Tarbawi Press. Akhirnya Aisya membeli 4 buah buku yang sangat inspiratif menurutnya. Keempat buku itu antara lain :
1. Beginilah Seharusnya Cinta! (buku ini buah karya dari Fatih Beeman, ketua FLP Jatinangor, harganya tidak sampai Rp 20.000,00 kok! Berisi kisah-kisah inspiratif)
2. Agar Pasangan Seindah Impian (Hmm, jangan tersenyum dulu! Aisya membeli ini bukan hanya karena harganya yang hanya Rp 10.000,00, tapi juga karena sampulnya berwarna MERAH, warna favoritnya! Hehe, selain itu juga karena setelah dilihat di daftar isi, materi yang disajikan buku ini insya Allah akan sangat bermanfaat di masa yang akan datang. Jika saat itu tiba... ^^v)
3. Sepuluh Bersaudara Bintang Al Qur’an (Hmm, buku yang satu ini harganya Rp 25.000,00. Kenapa Aisya membelinya? Karena buku ini berisi kisah inspiratif keluarga Ustadzah Wirianingsih dan Ustadz Tamim dalam mendidik buah hati mereka sehingga kesepuluh anaknya bisa menghafal Al Qur’an. Memberikan inspirasi tersendiri bahwa sebuah keluarga dakwah dengan banyaknya aktivitas yang dimiliki, tetap bisa menjadikan anak-anak sebagai bintang. Hmm, semoga suatu saat bisa demikian! Yang penting azzam sudah ada, tinggal ACTION!)
4. Membangun Ruh Baru (Nah, Aisya memang sudah sejak lama mengincar buku ini, alhamdulillah dipertemukan juga. Bahkan dengan harga yang sangat miring!)
Selain itu, waktu berkunjung ke stand Indiva, Aisya juga mendapat Majalah Gizone GRATIS! Rezeki euy... Alhamdulillah, pulang dengan membawa 5 koleksi baru di perpus pribadi Aisya, AL FIRDAUS (Semangat menuju 1000 koleksi di tahun 2010).
Pukul 19.30 Aisya dan Nurul sudah standby di aula. Awalnya mereka ragu apa memang benar akan ada bedah novel “BUMI CINTA” karena di ruangan itu masih sepi. Aisya pun memberanikan diri berjalan ke dekat panggung untuk bertanya kepada seorang panitia akhwat yang berdiri di dekat situ. Dari akhwat itu, Aisya mendapat informasi bahwa memang benar akan ada bedah novel “BUMI CINTA” di ruangan itu. Aisya dan Nurul akhirnya memutuskan untuk tetap berada di tempat, bahkan Aisya berhasil mengajak Nurul untuk duduk di garda terdepan. Hehe...
Pukul 19.45 akhirnya acara bedah novel-pun dimulai. Diawali dengan pembukaan oleh MC dan dilanjutkan dengan tilawah. Setelah itu, naiklah Habiburahman El Shirazy (Kang Abik) ke atas panggung. Lurus dengan posisi duduk Aisya. Strategis euy! Pada kesempatan ini, Kang Abik menuturkan sekilas tentang kisah dari novel “BUMI CINTA” tersebut.
“BUMI CINTA” menceritakan seorang mahasiswa asal Indonesia bernama Muhammad Ayyas yang mengadaan thesis di kota Moskow, Rusia. Lewat tokoh Ayyas beliau ingin menyampaikan konsep Ma’rifatullah yang beliau gambarkan saat Ayyas menjadi salah satu pembicara dalam seminar yang menafikan adanya Tuhan. Selain itu, novel ini juga menceritakan tentang Palestina lewat kisah Linor yang awalnya seorang penganut Yahudi, ternyata ia adalah keturunan Palestina. Lewat novel ini, Kang Abik ingin membuka wacana pembaca bahwa memang ada hubungan yang erat antara Palestina dan Rusia. Sekarang ini, penduduk yang berada di Israel adalah orang-orang Yahudi yang dulunya hijrah dari Rusia.
Hanya sekitar 10 menit Kang Abik memaparkan sekilas tentang kisah dari novel “BUMI CINTA” tersebut. Selanjutnya beliau lebih suka jika ada dialog interaktif saja. Akhirnya, dibukalah sesi tanya jawab. Aisya tak mau melewatkan kesempatan ini. Ia pun mengangkat tangan. Alhamdulillah, ia diberi kesempatan pertama untuk bertanya. Aisya mengajukan tiga buah pertanyaan. Apa pertanyaannya??? Beginilah jawabannya :
1. Dalam pembuatan novel, ada 3 jenis ending cerita yang digunakan :
a. Ending tertutup => semua kisah sudah diselesaikan, pembaca tahu secara jelas tentang akhir ceritanya
b. Ending terbuka => penulis memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menyelesaikan sendiri kisah yang ada dalam novel tersebut. Pembaca diberi kebebasan berimajinasi untuk melanjutkan ceritanya.
c. Ending setengah tertutup => sebagian permasalahan diselesaikan oleh penulisnya, sebagian yang lain diselesaikan oleh pembaca.
Pada novel BUMI CINTA ini, Kang Abik menuturkan bahwa beliau menggunakan ending setengah tertutup. Sehingga pada akhir kisah di novel tersebut, tidak disebutkan lagi apakah Linor mati atau tidak, Ayyas jadi menikah dengan Linor atau tidak, dsb. Kata Kang Abik, kecenderungan pembaca di Indonesia menyukai ending kisah yang tertutup karena bisa mengikis rasa penasaran.
Atas pertanyaan pertama Aisya itu, Kang Abik akhirnya membuka kartu bahwa kemungkinan novel itu akan ada kelanjutannya. Tapi memang belum digarap. Mungkin juga akan dibuat dalam versi kisah yang lain. Tunggu saja!
2. Kang Abik menuturkan bahwa ide lahirnya novel “BUMI CINTA” ini berasal dari 2 sumber :
a. Masukan dari pembaca, terutama para ibu yang menginginkan anak-anak muda bisa membentengi dirinya dari pergaulan bebas
b. Saat kunjungan ke Jerman bersama seorang mahasiswa Indonesia yang berada di sana. Mahasiswa tersebut ternyata tinggal di sebuah asrama yang ditempati secara heterogen (bercampur) antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, mahasiswa tersebut mampu menjaga keimanannya dan tetap memiliki ghiroh keislaman yang tinggi di tengah fenomena pergaulan bebas di negara Eropa.
Oleh karena itu, lahirlah tokoh Ayyas. Dari tokoh Ayyas tersebut, tentunya kita bisa mengambil hikmah yang besar. Ayyas, dengan godaan seperti itu (pergaulan bebas di Rusia) saja masih mampu mempertahankan izzah dan keimanannya. Lantas, bagaimana dengan kita? Harusnya kita lebih mampu mempertahankan keimanan dan kesucian Islam kita.
Kata Kang Abik, beliau sering ditanya oleh pembaca, “Adakah orang seperti Ayyas?”. Beliaupun menjawab, “Ada.”
3. Sebagai jawaban atas pertanyaan ketiga dari Aisya, Kang Abik bercerita bahwa hikmah besar yang beliau dapatkan ketika menulis novel ini adalah beliau tergembleng untuk lebih bersabar. Beliau menuturkan bahwa penulisan novel ini paling berat di antara novel-novel beliau sebelumnya. Kok bisa terberat? Berikut pengakuannya.
a. Pada novel Ayat-ayat Cinta (AAC), Kang Abik begitu mudahnya menjadikan Mesir sebagai setting tempatnya karena beliau sudah 7 tahun tinggal di sana. Beliau mengaku, saat pulang ke Indonesia beliau lebih hafal setiap sudut kota Kairo daripada kota kelahirannya. Pada saat penulisan AAC, Kang Abik belum menikah, sehingga beliau mempunyai waktu 24 jam untuk menulis, 24 jam bersama Fahri, 24 jam bersama Aisha (bukan Aisya Avicenna lho!), dan 24 jam bersama Maria. Nah, pada novel “BUMI CINTA” ini, Kang Abik harus melakukan riset selama 6 bulan, karena beliau memang belum pernah ke Moskwa, Rusia. Akhirnya beliau mencari orang yang pernah tinggal di Moskwa, bahkan beliau terbang ke Malaysia untuk menemui seorang guru dari Indonesia yang pernah mengajar di Moskwa selama 6 tahun. Dari riset tersebut, Kang Abik merasa seolah-olah sudah pernah ke sana.
b. Novel “BUMI CINTA” ini ditulis di tengah-tengah kesibukan penyelesaian film Ketika Cinta Bertasbih (KCB), sehingga novel ini terselesaikan dalam waktu 1 tahun. Saat sedang melaksanakan haji, Kang Abik juga sempat menyelesaikan novel ini. Ketika sedang berada di Mina, setelah lempar jumroh, Kang Abik lebih memilih berdiam diri di maktab untuk menulis daripada hanya sekedar jalan-jalan. Sekitar 20% dari novel ini dikerjakan di Mekah dan Madinah.
Kang Abik berpesan : menulis adalah suatu jenis pekerjaan yang biasa dilakukan dalam kondisi sepi! Menulis memberikan pelajaran bahwa penulisnya harus mampu menertibkan diri, membuat jadwal, dan mampu menentukan kapan tulisannya selesai. Menulis butuh KONSENTRASI dan KESENDIRIAN!
Aisya sangat puas dengan jawaban Kang Abik. Penanya selanjutnya adalah seorang ikhwan bernama Yogo Pandito. Lewat pertanyaan dari Akh Yogo, Kang Abik kembali membuka kartu bahwa pada bulan Ramadhan nanti akan ada KCB versi sinetron yang akan mengisahkan kehidupan rumah tangga Azzam dan Anna pasca menikah. Hmm, jadi penasaran! Kang Abik juga menyampaikan bahwa saat ini sudah ada Production House (PH) yang menawari beliau untuk memfilmkan “BUMI CINTA”. Akan tetapi, masih perlu banyak pertimbangan, terutama masalah setting tempat.
Lanjut ke penanya ketiga. Seorang ikhwan yang tidak menyebutkan namanya. Dari pertanyaan beliau, Kang Abik menjawab bahwa dalam membuat novel, penulis harus mampu menguasai ceritanya dari awal sampai akhir. Setelah cerita itu menyatu utuh dalam pikiran, maka langkah selanjutnya adalah menuliskannya... SAMPAI SELESAI!!!
Hmm, lagi-lagi Kang Abik buka kartu! Beliau menceritakan bahwa novel original Ayat-ayat Cinta karya beliau adalah mahar yang beliau berikan pada sang istri. SO SWEET banget ya! Maharnya sebuah maha karya! Beliau memberikan mahar berupa novel tersebut karena terinspirasi oleh kisah seorang ulama yang memiliki seorang putri yang sangat sholihah dan cerdas, bahkan ilmunya serupa dengan sang ayah. Ulama tersebut berpikir keras, siapa ya pemuda yang pantas untuk menjadi pendamping putrinya. Di antara sekian banyak pemuda yang menjadi muridnya, ada seorang pemuda pendiam yang ternyata secara diam-diam pemuda itu mensyarahkan kitab yang ditulis gurunya (ulama tersebut). Suatu hari si pemuda menyodorkan hasil karyanya pada sang guru untuk dimintai koreksi beliau. Ulama tersebut sangat terperanjat karena murid pendiamnya ternyata sangat cerdas, bahkan ulama tersebut merasa belajar lebih banyak lagi dari tulisan yang dibuat pemuda itu. Akhirnya ulama menawarkan untuk menikahkan putrinya dengan pemuda itu dengan mahar tulisan yang telah dibuatnya. Pemuda itu pun tak menolaknya. Hmm, so inspiring!
Kang Abik sangat meyakini akan janji Allah, bahwa Allah akan memberikan banyak rezeki setelah menikah. Iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui (Q.S. An-Nur: 32)
Sebelum menikah, Kang Abik mempunyai sepeda motor Jupiter Z hasil kredit. Setelah menikah, ternyata novel Ayat-ayat Cinta yang awalnya hanya diterbitkan oleh Republika dalam bentuk potongan-potongan kisah, malah menjadi MEGA BEST SELLER di mana-mana. Istri Kang Abik pun mengatakan bahwa maharnya adalah mahar yang termahal dan sangat luar biasa! MAHAR SEBUAH MAHA KARYA! So AMAZING!!!
Pertanyaan selanjutnya datang dari seorang ikhwan lagi. Beliau menanyakan mengapa novel Kang Abik selalu menggunakan kata “CINTA”. Kang Abik pun menjawab bahwa menurut Ibnu Qayyim, “CINTA ADALAH SALAH SATU KEBUTUHAN DASAR MANUSIA”. Semua orang ingin dicintai. Orang sejahat apapun pasti perlu cinta. Semua orang juga ingin mencintai. Sasaran utama novel ini adalah para remaja. Tema cinta adalah tema yang paling bisa membuat remaja tergerak untuk memperhatikan.
Sesi tanya jawab sudah selesai. Weh, Aisya jadi satu-satunya penanya akhwat nih! Dasar.. ^^v! Kang Abik pun turun dari panggung bersama sang moderator. Aisya dan Nurul membuntuti. Hmm, akhirnya setelah tiba di salah satu stand yang menjual novel “BUMI CINTA”, Kang Abik berkenan berbagi tanda tangan.
Aisya sempat berfoto dengan Kang Abik. Beliau juga berkenan memberikan tanda tangan dan tulisan berupa pesan inspiratif di blocknote milik Aisya. Aisya saat itu tidak membawa novel “BUMI CINTA” karena pada awalnya ia tidak mengetahui kalau akan ada bedah novel di expo itu. But, it’s OK, never mind!
Kang Abik berpesan pada Aisya :
“JADILAH MUSLIMAH YANG BERPRESTASI”
Mantap euy! Terima kasih Kang Abik...
Alhamdulillah, segala puji hanya tertuju bagiMu Ya Allah...
Satu lagi impian Aisya terwujud!!
Semakin bersemangat untuk terus berkarya dan menjadi muslimah yang berprestasi!

TARBIYAH MADAH HAYAH!!!
KEEP FIGHT!!!!
Backsong : BERGEGASLAH_SUARA PERSAUDARAAN
Ketika kudaratkan kaki di Hanadi
Kulihat ribuan wajah penuh cinta dan harapan
Kerinduan akan sebuah tempat persinggahan
Ditengah hiruk pikuk gemuruh panas pulau Batam

Pelabuhan hati - hati yang gersang
Dengan merindu kedamaian dan uluran kasih sayang
Peraduan jiwa - jiwa yang lelah
Sekedar melepas beban di dada yang terus bertambah

Duhai kawan kujaga slalu kuatkan azzam di hati
yang kini hidup mereka dalam curahan kasih Illahi
Duhai kawan agar tak lapuk usiamu
Sirna ditelan masa dalam lumpur debu anganmu

Jadikanlah Allah sebagai tujuan
Sandaran hati nurani agar terhempas keraguan
Jadikanlah Rasulullah teladan
Panutan hidup manusia hingga sampai akhir zaman

Jadikanlah ia sebagai Hajar
Jadikanlah ia sebagai Mariam
Jadikanlah ia sebagai Hathijah
Wanita perkasa penuh keaguangan

Jadilah dikau sebijak Lukman Hakim
Jadilah dikau setegar Ibrahim
Jadilah dikau sekasih Muhammad
Rosul akhir zaman panutan umat

Dalam penantian panjang… Menunggu senyuman mentari menghias pagi!
Jakarta, 170610_00:00 (midnight)
Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan Juni 2010 di blog sebelumnya

Aisya Avicenna : Penulis Inspiratif Milik Negeri Ini


PENGENALAN POTENSI DAN PROFESI KEPENULISAN
Ahad, 7 Februari 2010
Bersama : R.W. Dodo
***

Aisya Avicenna : Penulis Inspiratif Milik Negeri Ini
Oleh : Aisya Avicenna*)

Pukul 09.00 berangkat dari kost dengan naik Kopaja 502 menuju satu tujuan : Masjid Amir Hamzah yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki. Sempat kebingungan juga mencari lokasi masjid yang ternyata terletak di pojokan. Alhamdulillah, akhirnya berada di tengah-tengah para calon penulis nih! Ya, inilah pertemuan perdana bagi saya. Saat Studium General Pramuda FLP angkatan 14 tidak bisa hadir dan pada saat pertemuan perdana dua pekan yang lalu juga tidak bisa mengikutinya. Alhamdulillah, kali ini bisa datang. Pada pertemuan kali ini, dimoderatori oleh Mas Andi yang cukup kocak. Pemateri hari ini adalah Mas R.W.Dodo.
Mas R.W. Dodo sangat atraktif dalam menyampaikan materi. Kami diajak mengenali potensi masing-masing sebagai penulis. Kami diminta menyiapkan tiga lembar kertas kosong.
- Pada kertas pertama, kami berpura-pura diberi uang 1.5 M. Dalam waktu 5 menit kami harus menuliskan apa saja yang akan kita belanjakan dari uang sebesar itu.
- Pada kertas kedua, kami harus menuliskan point-point potensi yang membuat kami optimis akan menjadi penulis, sebanyak-banyaknya!
- Pada kertas ketiga, kami diminta menuliskan hal-hal yang sekiranya menghambat kami jika menjadi penulis, ditulis sejujur-jujurnya!
Setelah itu, lembar kertas tersebut dipindah pada peserta pramuda lain yang duduk dalam lingkaran. Masing-masing peserta menilai milik peserta lain
- Pada lembar pertama, jika yang akan dilakukan dengan uang 1.5 M adalah hal yang bersifat keduniawian, maka diberi tanda silang. Jika bersifat ibadah, maka diberi tanda bintang!
- Pada lembar kedua, jika potensinya positif dan tidak lebay, diberi tanda bintang.
- Pada lembar ketiga, jika terlalu lebay maka diberi tanda silang.
Pesan Mas RW. Dodo yang perlu diingat:
1. Tentukan strategi menulis sejak awal, ingin menjadi penulis sebagai profesi atau menulis sebagai hoby, karena kedua hal ini akan sangat mempengaruhi kinerja kita dalam dunia kepenulisan Strategi untuk penulis yang “pure” berbeda dengan strategi bagi penulis yang sambil bekerja.
2. Penulis harus memahami bahasa dan strategi mempublikasikan tulisan. Lakukan selling market, cermati apa yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.
3. Tingkatkan tulisan kita dari segi kualitas dan kuantitas!
4. Kitalah yang menggali potensi diri kita. SEMANGAT MENULIS!!!
5. Idealis dan ego jangan disamakan. Idealisme harus diarahkan.
Tipe penulis :
a. Egois : mementingkan diri sendiri, misal : berambisi tulisannya best seller
b. Idealis : buku ini dibutuhkan orang lain
Jangan memaksakan orang untuk sesuai dengan pikiran kita!
6. Niatkan untuk perubahan orang lain dulu, baru niatkan pada diri sendiri.
7. Jangan mendzolimi orang lain, pilih topik yang sesuai : pendidikan, sosial, momen (misal : Piala Dunia)
8. Miliki figur penulis yang sesuai dengan Anda (misal : untuk figur penulis yang sambil bekerja : Kang Abik, Andrea Hirata, dll)
Muhasabah Seorang Penulis
1. Periksa Niatmu!
Niatkan menulis untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT, niat lillahi ta’ala
Miliki rasa keikhlasan dalam menulis, keterpanggilan jiwa, bukan semata-mata untuk finansial/popularitas. Buatlah karya yang menghipnotis pembaca!
2. Tingkatkan Ilmumu!
Untuk bisa berbagi ilmu lewat tulisan, seorang penulis harus memiliki ilmu dulu! Ilmu dapat, pahala terus berjalan! Menulis adalah skill. Menulis bukan semata-mata bakat. Jadikan aktivitas menulis sebagai kebiasaan, bukan membiasakan menulis.
3. Perkaya Kemampuanmu!
Banyak-banyak berlatih! Rancang tokoh yang mengikat dan setting yang menyentuh pembaca!
4. Nikmatilah Prosesmu!
Jadilah penikmat proses! Dikirim ke penerbit tapi ditolak?? Ya sudah, itu adalah proses. Jangan menyerah!
Hmm, alhamdulillah. Saya jadi tersadar!!! Saatnya bermetamorfosis untuk menjadi seorang penulis yang lebih baik. Hingga suatu saat nanti, Aisya Avicenna menjadi salah satu penulis inspiratif milik negeri ini yang bisa menghasilkan karya-karya yang mampu menggerakkan banyak orang. PELAN TAPI PASTI!!!


Tulisan ini diposting pada bulan Mei 2010 di blog sebelumnya

Kau, Bagian dari Impian yang Menjadi Nyata


KE-FLP-AN
Ahad, 24 Januari 2010
Bersama : Taufan E. Prast
Keterangan : TIDAK HADIR!
***
Kau, Bagian dari Impian yang Menjadi Nyata
Oleh : Aisya Avicenna*)

“Menjadi Penulis Inspiratif”
Inilah salah satu impian saya!
“Bergabung dengan FLP”
Ini juga salah satu impian saya!

Alhamdulillah, impian itu tak hanya sekedar mimpi. Karena pada akhirnya saya berkesempatan bergabung dengan komunitas penulis yang sejak lama saya impikan. Forum Lingkar Pena (FLP). Mungkin inilah salah satu rahasia Allah yang telah mengirim saya ke kota Jakarta ini. Pasca lulus kuliah di UNS Solo bulan September 2009, saya mengikuti tes CPNS Kementerian Perdagangan di Jakarta pada bulan yang sama. Alhamdulillah, bulan Oktober saya dinyatakan diterima dan pada bulan Desember saya resmi menjadi pendatang baru di ibukota ini. Bukan bermaksud menambah kepadatan kota Jakarta lho ya!
Bermula dari membaca salah satu profil FB teman saya yang merupakan anggota FLP Solo. Saya baca profil teman saya tersebut, dia baru berteman dengan FLP Jakarta. Wah, saya langsung add FLP Jakarta. Alhamdulillah, selang berapa lama langsung di-approve! Terima kasih buat adminnya! Saya membaca profil FLP Jakarta. Wah… ternyata lagi pembukaan anggota baru. Langsung saya tanya-tanya bagaimana caranya. Sebenarnya ada Studium General di UNJ pada tanggal 17 Januari 2010 dilanjutkan pertemuan perdana tanggal 24 Januari 2010 di Masjid Amir Hamzah TIM, akan tetapi pada saat itu saya tidak bisa menghadiri kedua agenda tersebut karena harus pulang ke Wonogiri (kota kelahiran saya). Ya sudah, tapi ternyata masih ada kesempatan untuk mengikuti pertemuan selanjutnya. Alhamdulillah, akhirnya impian menjadi anggota FLP menjadi kenyataan!!! Senangnya…
Saya mengenal FLP sejak di bangku SMA. Saya memang suka menulis sejak SD. Bahkan sejak SD sampai kuliah, saya selalu ditunjuk sebagai sekretaris (hehe… profesinya kan nulis terus!). Saya pernah menjadi juara lomba sinopsis kala masih berseragam putih merah. Saat sudah memakai putih abu-abu, saya menjadi salah satu staff redaksi di majalah sekolah, BASSIC nama majalahnya. BASSIC: Bacaan Asyik Siswa-Siswi Creatif! Saat bergelar mahasiswa, saya kembali berkecimpung dalam dunia kepenulisan. Selama hampir 3 tahun saya memegang amanah menjadi staff redaksi, pimpinan redaksi, dan pimpinan umum pada majalah lembaga tingkat jurusan di kampus saya. LINIER, nama majalah jurusan Matematika FMIPA UNS yang saya kelola. Saya juga bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) tingkat fakultas yang bernama SCIENTA, mengasuh majalah SCIENTA dan bulletin GALAXY. Saya juga pernah menjadi Menteri Departemen Informasi dan Komunikasi BEM FMIPA UNS yang mengelola bulletin REAKTOR yang terbit tiap bulannya. Reportase kegiatan mahasiswa yang saya tulis telah beberapa kali dimuat di media massa, seperti : Solopos, Suara Merdeka, dan Joglosemar.
Berkecimpung dengan dunia jurnalistik dan bertemu beberapa penulis inspiratif di kota Solo seperti Mbak Afifah Afra dan Mbak Izzatul Jannah yang notabene juga aktivis FLP, membuat saya bermimpi suatu saat nanti saya akan seperti mereka, bahkan harus lebih baik! Oleh karena itu, saya bertekad untuk menjadi anggota FLP. Awalnya, saya berniat menjadi anggota FLP Solo. Akan tetapi, mengingat aktivitas saya di kampus yang demikian padatnya, akhirnya keinginan itu hanya sekedar niatan saja. Hingga pada akhirnya saya hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan FLP Jakarta yang pada periode ini diketuai oleh Kang Taufan E. Prast! Jaya terus FLP!!!
Sebuah yel-yel inspiratif yang selalu menjadi motivasi bagi saya dalam menulis. Gubahan dari reff lagu “Jangan Menyerah”-nya D’Massiv yang saya buat secara mendadak waktu mengisi training kepenulisan di salah satu fakultas di mantan kampus saya dulu :
Tulislah apa yang ada
Karya adalah anugerah
Tetap menulis sejak kini
Menulislah yang terbaik…

FLP ADALAH HADIAH TUHAN UNTUK INDONESIA (TAUFIQ ISMAIL)

Tulisan ini diposting pada bulan Mei 2010 di blog sebelumnya

Buat Etika, Ada yang Mulia Dalam Namamu...


Ahad, 23 Mei 2010 Pukul 08.00 sarapan nasi pecel sambil melihat film kartun favorit, Doraemon. Kali ini film imut asal Jepang tersebut mengisahkan tentang Nobita yang disidang oleh Giant dan Suneo. Nobita diejek Giant dan Suneo bahwa yang dikatakannya tentang adanya monster berwujud dinosaurus hanya omong kosong belaka. Akhirnya, dengan bantuan Dorami (adik Doraemon), Nobita bisa membuktikan omongannya. Hayah, kok malah nyeritain Doraemon. Pukul 08.30 akhirnya berangkat berpetualang!!!
Keluar kost langsung menuju jalan Otista Raya. Alhamdulillah, langsung naik angkot 06 menuju Pasar Rebo. Turun di bawah fly-over dekat Pasar Rebo. Weleh, bingung juga selanjutnya kan naik 510 (berdasarkan petunjuk jalan dari Mba Iecha), tapi bus 510-nya kok ga ada. Pandangan kuedarkan di sekeliling. Malu bertanya sesat di jalan. Akhirnya, bertanya ke penjual koran setelah sebelu
mnya beli korannya dulu. Hehe, taktik! Akhirnya bapak penjual koran itu menunjukkan letak jalur bus 510. Sip, langsung nyebrang jalan (sambil sedikit lari tentunya, maklum... Jakarta!). Di seberang jalan, pas lampu merah, ada 510 berhenti. Langsung naik! Trus mencari kondektur (Lhah, malah cari kondektur dulu daripada tempat duduk). Kondekturnya ternyata bergelayutan di pintu belakang. Langsung kutanya, ”Pak, lewat UIN Ciputat kan?”.
Kondektur itu pun menjawab, ”Oh, Mbak naik 510 yang dari sana!” (sambil menunjuk jalan di sebelah timur)

Akhirnya aku turun lagi dan menyeberang jalan. Saat sampai di seberang, ada ibu-ibu yang mendekati dari arah belakang.
”Mau naik 510 ya Mbak. Saya juga. Bareng aja”
Plong.. alhamdulillah...

Sampai di seberang jalan, berjalan ke arah timur agak jauh. Jalannya becek.. ga ada ojek.. weleh 3x! Akhirnya ketemu juga dengan bis 510. Penuh! Bergelayutan deh. Road to Ciputat!
Sambil bergelayutan, tengok kanan-kiri, cari UIN Ciputat. Setelah kurang lebih 15 menit sampai juga... Alhamdulillah...
Agenda di UIN kali itu ”meeting” bersama 8 orang yang sangat inspiratif di beranda Fakultas Dakwah UIN. Ada tender bisnis yang ha
rus digarap dan aku bagian dari tim tersebut. Bisnis apa??? Hmm, kalau yang ini masih dirahasiakan. Doakan sukses ya!
Saat adzan berkumandang, kami mengakhiri meeting itu. Lanjut ke masjid kampus UIN Syarif Hidayatullah untuk sholat trus makan siang di depan warung depan masjid.
Setelah sholat, berpisah dengan rekan-reka
n. Aku naik angkot 02 putih menuju terminal Lebak Bulus. Sebenarnya mau menuju Kampung Melayu (tujuan utama ke Gramedia Matraman), tanya sopir angkotnya, ternyata dia ga tahu. Weleh... akhirnya turun di dekat terminal Lebak Bulus. Eh, ada Kopaja 20. Tanya ke kondektur, ”Bisa ke Kampung Melayu?”
”Bisa, tapi turun di Mampang.”
Mendung bergelayut. Gelap. Tapi mendung ga selalu berarti hujan kan? Hanya mendung memberikan asumsi pada kita bahwa probabilitas hujan akan turun lebih besar (ga perlu diuji hipotesis kok! Hehe..).
Kopaja 20 yang mengangkutku akhirnya sampai di Mampang juga. Langsung aku didepak. Hehe, ga ding. Ironis banget! Yang bener, aku langsung turun untuk ganti bis. Eh, ada Kopaja 602 jurusan Tanah Abang. Aku pikir pastinya Kopaja ini lewat Kampung Melayu. Seiring berjalannya waktu, aku mulai curiga. Karena Kopaja 602 ini malah menuju ke arah Kuningan. Berarti ga lewat Kampung
Melayu dung! Ya sudahlah, mau turun juga ga enak banger. Hujan turun deras sekali. Beberapa ruas jalan terendam setinggi mata kaki. Banjir euy. Tapi aku sangat menikmati perjalanan ini. Hehe... Pada akhirnya aku turun di depan Blok A Tanah Abang. Jalan kaki lewat jembatan kecil, air masih setinggi mata kaki. Untungnya, trotoar jembatan lebih tinggi dari jalan sehingga tak perlu berbasah-basah ria! Hujan masih turun rintik-rintik.
Gamang.. Mau ke Gramedia Matram
an harus naik Kopaja 502. Tapi kalau naik Kopaja 502 makan waktu lama plus harus siap basah-basahan. Akhirnya, di tengah kemacetan depan Blok A Tanah Abang, ada sebuah taksi yang ikut-ikutan berada di barisan itu. Hehe... Langsung aku ketok kaca jendela sopirnya. Dibuka sang sopir.
”Pak ke Matraman ya?? Gramedia!”
“Ya..”

Langsung masuk ke taksi. Awalnya taksi berjalan begitu pelan. Macet di tengah banjir. Tapi alhamdulillah, bisa keluar dari kemacetan dan melaju menuju Gramedia Matraman. Untungnya ongkosnya ga terlalu mahal (dah ketar-ketir nih... jatah beli buku kan bisa berkurang!)
Sampai jualah di Gramedia Matraman. Inilah salah satu tempat “nongkrong” favorit saya (buka rahasia nih). Selain bukunya komplit, bisa baca buku sampai puas (meski pada kenyataannya ga pernah merasa puas!
).
Langsung meluncur ke Lantai 3. Memilah dan memilih beberapa buku yang wajib dibeli, tentunya disesuaikan dengan budget yang sudah dipatok sendiri (Ingat! Usahakan selalu ”besar tiang daripada pasak”...hehe... terus rajin menabung dan membeli buku... ^^v).
Setelah beberapa buku sudah dibeli (kali ini terpaksa juga beli ”Muslim Padat Karya” juga. Lha penulisnya pelit.. ga mau ngasih gratisan!! Peace boz!), lanjut turun ke lantai 2. Rencana mau bayar di kasir. Eh, ternyata ada BINCANG BUKU bersama Tasaro GK, penulis novel Muhammad : Lelaki Penggenggam
Hujan. Tertarik. Wah, dah penuh... Akhirnya berdiri di deretan belakang. Selang berapa menit, alhamdulillah ada yang meninggalkan tempat. Bisa duduk deh (meski posisinya juga masih di belakang... ga papalah!).
Wah, dah telah nih!!! (agak nyesel : mode on). Tapi alhamdulillah masih ada kesempatan sharing dengan Kang Tasaro. Beliau cerita tentang reaksi penolakan ibunya saat beliau mengungkapkan keinginannya untuk menuliskan novel tentang Muhammad. Ibunya langsung bilang, ”OJO!!!” (Jangan!!!). Tapi akhirnya, Tasaro berhasil menuliskan novel itu dan mendedikasikan novel tersebut pada ibunya (bisa dibaca pada halaman awal novel tersebut)
Dedikasi buku : Kudedikasikan buku ini segenap hati untuk perempuan berbalung baja UMI DARIYAH, Engkau pernah begitu khawatir ketika aku memulai proyek ini. “Bahaya Le. Bagaimana kalau kamu nanti dicerca orang-orang?” tanyamu. Kujawab begini hari ini, “Ibu, jika kelak ada orang yang salah paham dengan terbitnya buku ini, aku yakin itu terjadi karena mereka mencintai Kanjeng Rasul. Dan, percayalah Ibu, aku menulis buku ini, disebabkan alasan yang sama
Hmm, awalnya saya mengenal Tasaro hanya dari seorang teman (inisal ”FC”) yang katanya mau mewawancarai Tasaro untuk komunitas yang kami kelola. Penasaran. Akhirnya, tahu juga kalau Tasaroa adalah seorang penulis novel tentang Muhammad. Tadi sempat mau beli novel itu, tapi akhirnya tertuju pada pilihan buku yang lain. Tasaro G.K lahir di Gunung Kidul, 1 September 1980. Tasaro pernah menjadi wartawan selama lima tahun. Penghargaan yang pernah diperoleh : FLP Award (2006), Penghargaan Menpora (2006), Juara Cerbung Femina (2006), Juara Skenario Nasional Direktorat Film (2006 & 2007), Penghargaan Adikarya Ikapi, 2009, Anugerah Pena (2009). Kini menjalani profesi sebagai editor, dan penulis tentunya! Sudah punya seorang istri, namanya Alit Tuti Taufiq, dan seorang anak : Senandika Himada (nama Himada terinspirasi dari nama Rasulullah SAW dan menjadi judul pada Bab I : Himada! Himada!). Hmm... mangtabz!
Pada bincang buku kali ini, Tasaro juga mengisahkan bahwa sosok yang memberi kritikan terbesar pada novelnya adalah sang editornya.
Pada kesempatan itu, juga ada testimoni dari seorang pengunjung yang beragama Kristen. Beliau sangat mengapresiasi novel karya Kang Tasaro tersebut..
Wah, karena keasyikan, jadi lupa belum bayar!
Akhirnya melangkah ke kasir. Membayar. Trus ke mushola untuk sholat Asar. Setelah sholat, pengin langsung pulang karena udah ada konser di perut (padahal masih sore). Antara kaki dan kepala tidak sinkron. Perut mengatakan : Pulang aja, dah laper! Isi kepala mengatakan : Ikut bincang buku lagi aja! Mumpung ada Kang Tasaro. Ternyata Menang isi kepala. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke lantai 2, melanjutkan bincang buku dengan Kang Tasaro. Rasa lapar langsung ku ’binasakan’, diganti rasa penasaran dan semangat untuk meraup inspirasi dari Kang Tasaro. Sampai di TKP, sudah sampai ke sesi pembagian doorprize. Walah, meski dah angkat tangan, tetap aja ga ditunjuk. Bukan rezekiku kali ya dapat kaos dan tasnya. Hehe...
Pada pembagian doorprize ini, ada seorang peserta yang diminta Kang Tasaro untuk membaca Jejaring Muhammad (setelah kubaca sendiri... DAHSYAT!!!)
Baca ya... nih.. (tapi yang lengkap ada di bukunya.. ini hanya sebagian...)
**
JEJARING MUHAMMAD
Pukul 00.55. Saya masih asyik dengan Facebook. Saya ketakutan. Kepala saya seperti digerayangi kengerian. Merinding. Seperti ada yang memperhatikan saya. Sumpah, ini bukan soal jin tomang, kuntilanak, sundel bolong, suster ngesot, dan pasukannya. Ini lebih… spiritual. . Saya seperti merasakan kehadiran Tuhan. Apapun itu. Media apa pun itu. Ini benar-benar sangat spiritual. Mengerikan, tapi juga menenangkan.
Semua bermula dari kementokan.
Saya tidak sanggup bergerak setelah novel itu sampai di halaman folio 252 spasi satu. Ada yang salah. Saya tahu ada yang salah. Menuliskan kisah Muhammad SAW bukan sekedar mengumpulkan sudut pandang Haikal, Martin Lings, Tariq Ramadhan, karen Armstrong, Ibnu Hisyam , dan para penulis yang memahat namanya pada dinding sejarah Muhammad. Tidak. Bukan sesederhana itu. Sebab, saya telah melakukannya dan tetap saja merasa ada yang salah.
Malam itu, sampai pukul 00.00, editor saya bertandang ke rumah. Sedari Maghrib kami berbincang banyak. Dia pemuda fantastik yang sudah tidak butuh pujian. Orang memanggilmu filsuf muda, saya menjulukinya santri gaul.
“Apa yang akan kita bahas malam ini?” tanyanya.
Saya tahu dia bingung. Naskah saya belum berkembang. Padahal, penerbit ingin naskah ni sudah launching awal Januari 2010. Saya katakan kepadanya, saya merasa ada yang salah. Kami kemudian sedikit sekali berbicara tentang teknis naskah. Kami lebih banyak berbincang tentang hidup dan tentang Muhammad.
Dia meyakinkan saya, tidak ada yang kebetulan. Kami saling mengenal sungguh dengan cara baik. Saya tahu dia, dia tahu saya. Tapi kami belum pernah bertemu. Hingga ada seseorang yang membuat kami tak sanggup lagi menampik “jejaring” itu; kami memang harus saling mengenal. Sebelum penerbit meminta dia menjadi editor saya, sudah sejak lama saya memintanya secara pribadi. Dulu dia selalu menolak. Tiga kali saya minta, tiga kali dia menolak.
Ini tentang Muhammad SAW.
Setelah berbulan-bulan saya menggeluti segala literature tentang Muhammad SAW, saya merasa menyerah. Tak sanggup lagi. Saya merasa terkait dengan Rasulullah. Terkait secara emosional. Yang saya lakukan hanyalah menovelkan kisah hidupnya. Itu tidak cukup. Saya benar-benar menyerah. Salman Faridi, petinggi Penerbit Bentang salah orang ketika mendatangi saya dan meminta saya menulis novel tentang Muhammad SAW.
Salah orang. Saya ini Muslim yang payah sekali. Kualitas keimanan saya belum juga membaik. Saya kadang terlalu rasional. Tidak merasa terkait dengan Tuhan. Shalat sekadarnya saja. Doa tidak dibarengi percaya. Ini benar-benar kecelakaan. Salman salah orang.
Malam tadi, ketika sang editor, Fahd Djibran, pamitan, saya berkata, “Seperti pembuat keris, tampaknya saya butuh sebuah ‘ritual’ khusus. Entah apa itu. Sesuatu yang membuat saya yakin untuk menyelesaikan proyek ini.”
Setelah dia benar-benar pulang, saya merenung. Apa sebenarnya yang terjadi pada saya? Sejak kecil saya selalu meyakini Allah dengan cara sendiri. Lingkungan tidak menjanjikan sebuah pemahaman tauhid yang paripurna. Tapi saya tahu, saya terjaga. Entah bagaimana, bisa. Bahkan saya cuma sesekali ikut TPA. Saya bisa membaca hijaiyah umur 22. Sangat terlambat. Tapi entah bagaimana, saya merasa terjaga. Saya tidak menjadi penyembah keris, pohon, atau klenik lainnya. Saya percaya Allah. Saya menghindari makanan yang diharamkan. Begitu saja. Tanpa ilmu sama sekali.
Kemudian waktu berjalan cepat. Saya tumbuh. Sisi spiritual saya tidak tertatah. Maksiat… oh… maksiat. Mungkinkah itu yang membangun tembok antara saya dan Tuhan. Saya tetap sadar Dia mengelilingi saya dengan “matanya”. Tapi saya tidak terlalu peduli. Saya malas belajar lagi untuk mendekati-Nya. Saya hanya menggulirkan hari-hari. Saya tahu saya religius. Minimal sebagai pengarang, saya tidak menulis dengan gaya Fredy S, atau model Nick Carter (bacaan saya waktu SMP). Tapi religiusitas itu sampai di situ saja. Sampai pada tahap saya tidak mau panen royalti di akhirat nanti. Royalti keburukan. Tidak lebih dari itu.
Saya berpikir lagi. Ada apa dengan saya? Ini kesalahan besar. Orang yang semacam saya, mengapa menulis tentang Muhammad SAW? Siapa saya? Saya bentangkan lagi apa pun yang pernah terjadi pada hidup saya. Perlahan tetapi pasti, saya merasa ada keanehan-keanehan. Iseng saya mengecek koleksi buku saya. Tiga buku tentang Muhammad SAW saya ambil. Sekedar ingin tahu, saya mengecek halaman awalnya. Dulu saya punya kebiasaan mencatatkan tanggal, bulan, dan tahun membeli buku.
Seketika saya merasa ada yang tidak biasa. Tiga buku itu : Muhammad sang Pembebas, saya beli pada 12 November 2003, Muhammad sang Nabi pada 14 November, dan Dialah Muhammad pada 20 Muhammad 2003. Dahi saya berkerut. Saya merasa tidak akrab dengan Rasulullah, tidak berkoneksi dengan baik, tidak mengenalnya. Namun, bagaimana mungkin enam tahun lalu, dalam sebulan saya membeli buku tebal-tebal tentang beliau?
Jeda pembelian buku itu memperlihatkan sebuah antusiasme. Tiga buku itu pun sangat lusuh. Artinya saya tidak membelinya sebagai koleksi. Saya benar-benar membacanya. Jadi, enam tahun lalu saya pernah begitu cinta kepada Muhammad SAW. Sesuatu yang selama bertahun-tahun kemudian mongering. Bahkan saya lupa pernah begitu penasaran terhadap dirinya.
“Keanehan” itu lalu saya beritahukan kepada Fahd melalui SMS, Dia membalas dengan sebuah perintah yang membuat saya shock. “Masih ingat diskusi kita tentang cahaya Tuhan yang ditampakkan kepada Musa? Bacalah Surat Tha Ha/Muhammad (20) ayat 12 dan 14, malam ini juga. Lihat maknanya. Perhatikan konfigurasi angkanya. Tidak ada peristiwa yang kebetulan, bukan?”
Saya belum mandi. Belum berwudu. Merasa kotor. Tapi saya tidak peduli. Saya raih Al Qur’an. Lalu mencari dua ayat itu.
“Sungguh, Aku adalah Tuhanmu, maka lepaskan kedua terompahmu. Karena sesungguhnya engkau berada di lembah suci, Tuwa.” (Q.S. 20 : 12)
“Sungguh aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakan sholat untuk mengingat Aku.” (Q.S. 20 :14)
Perlahan tapi sangat pasti, saya merasa ada yang menggerayangi kulit kepala saya. Merinding bukan main. Sedikit histeris ketika akhirnya sadar, angka-angka itu! 12… 14… 20. Tanggal-tanggal itu!
Setelah saya curhat tentang tembok antara saya dengan Tuhan, tidak ada koneksi antara saya dengan Rasulullah, seperti seketika ayat-ayat itu disorongkan ke depan mata saya, “LEPASKAN TEROMPAHMU!” Lepaskan duniamu, logikamu, rasionalitasmu, kesombonganmu! (saat menuliskan ini, air mata saya meleleh, tangis saya muncrat dengan suara jelek sekali).
“Kita tidak pernah tahu apa yang menggerakkan Mas Tasaro membeli buku-buku tentang Muhammad pada tanggal 12, 14, dan 20 dalam satu bulan yang sama. Aku juga tidak tahu (si)apa yang menggerakkan untuk membuka Al-Qur’an surah 20 ayat 12 dan 14 dan menyarankanmu membacanya.”
Itu SMS dari Fahd setelah saya mengabarinya sesuatu yang jarang terjadi, “Fahd, akhirnya aku menangis!”
Setelah detik itu lalu saya mengurai lagi apa yang sebenarnya telah mengantar saya ke hari ini. Sebuah jejaring raksasa pada sebuah nama, sebuah konsep, sebuah keagungan: MUHAMMAD. Yah… ini semua… 29 tahun ini… semua sedang menuju sebuah titik : MUHAMMAD
-bersambung-
Tasaro GK
**
SUBHANALLAH!!!!
***
Setelah acara selesai, aku langsung beli bukunya Kang Tasaro. Trus berjalan ke panggung, minta tanda tangan, kata inspiratif, dan foto bareng deh!!!
Pada halaman depan buku Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan itu, Kang Tasaro menuliskan :
”Buat ETIKA… Ada yang mulia dalam namamu…”
Sempat ngobrol sebentar dan memperkenalkan diri. Kang Tasaro bercerita kalau novel ini digarap dalam waktu 6 bulan. Setelah itu sedikit ”memaksa” Kang Tasaro untuk menuliskan lagi kata inspiratif buatku.
”Menulis sampai mati” (Tasaro GK).
Makasih banget ya Kang Tasaro!!!
***
Pulang dari Gramed langsung update status :
”Laksana burung yg pergi pagi dan pulang di senja hari dgn perut kenyang! Alhamdulillah, seharian ni berPETUALANG yg sungguh INSPIRATIF, pulang bw bnyk "oleh-oleh".. Pngalaman, proyek bisnis, buku2, ilmu, ukhuwah, ktmu ma pnulis trkenal, dll. Terima kasih Ya Allah.. Siap ditulis dan upload d blog.. Jgn lp brknjung k zona inspirasi Aisya Avicenna => THICKO ZONE ^^v”
***
Dalam perjalanan ke kost, membaca cover belakang novel setebal 540-an itu...
Kashva pergi dari Suriah, meninggalkan Khosrou, sang penguasa Persia, tempatnya mengabdikan hidup demi menemukan lelaki itu : Muhammad, Al-Amin yang kelahirannya akan membawa rahmat bagi semesta alam, pembela kaum papa, penguasa yang adil kepada rakyatnya. Kehidupan Kashva setelah itu berubah menjadi pelarian penuh kesakitan dan pencarian yang tiada henti terhadap sosok yang dijanjikan. Seorang Pangeran Kedamaian yang dijanjikan oleh semua kitab suci yang dia cari dari setiap ungkapan ayat-ayat Zardhusht sampai puncak-puncak salju di perbatasan India, Pegunungan Tibet, biara di Suriah, Istana Heraklius, dan berakhir di Yatsrib, sang Kota Cahaya. Hasrat dalam diri Kashva sudah tak terbentung lagi. Keinginannya untuk bisa bertemu dengan Muhammad demikian besar hingga tak ada sesuatu pun yang membuatnya jerih. Bahkan maut yang mengintai dari ujung pedang tentara Khosrou tak juga meyurutkan kerinduannya bertemu Muhammad. Kisah pencarian Kashra yang syahdu dalam novel ini akan membawa kita menelusur Jazirah Arab, India, Barrus, hingga Tibet.
Bagaimana kisah selengkapnya???
Hmm, aku akan segera menemukan jawabannya!!!
Bacaan wajib pekan ini nih...
”Buat ETIKA… Ada yang mulia dalam namamu…”
Tulisan Kang Tasaro itu menginspirasi untuk lebih mengenal siapa sejatinya diri ini. Karena ... dengan begitu akan mengenal Allah SWT dan orang-orang yang dicintaiNya, termasuk Rasulullah SAW..

Jakarta, 24 Mei 2010, 17:07
Aisya Avicenna


Tulisan ini diposting pada bulan Mei 2010 di blog sebelumnya