Saudaraku, sejenak membayangkan euforia kegembiraan para sahabat ketika
Baginda Rasulullah Saw dengan wajah berseri memberitakan kabar gembira
tentang diterimanya taubat Ka'ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ah dan
Hilal bin Umayah Al-Waqifi yang lupa menyiapkan diri untuk ikut perang
Tabuk. Kesabaran mereka dalam menerima iqab dari Rasulullah SAW berupa
boikot dan penghilangan sebagian hak-haknya selama 50 hari berbuah
manis, Allah SWT menerima taubat mereka.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka,
hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu
luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta
telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah
melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar
mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima
taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Taubah:118)
Saudaraku, mereka tidak berpaling sedikitpun. Surat bujukan untuk
berkhianat terhadap Allah Swt dan Rasulullah Saw pun dicabik-cabik dan
dibakar demi mendapatkan ridho dan ampunan-Nya. Dan kisah ini menjadi
bagian penting pembelajaran tentang keteguhan, ketsiqohan, kesabaran
tentang bagaimana menerima pahit manisnya dinamika dakwah ini.
Saudaraku, kisah tersebut menjadi pelajaran bahwa bersabar itu jauh
lebih baik, walaupun sesak dada ini dalam menerima sebuah keputusan,
walaupun dunia seakan menyempit, tetap teguhlah bersama janji yang kau
ucapkan, sehingga kita termasuk orang-orang yang dimaksudkan dalam
firman-Nya: "Dari antara orang-orang yang beriman, ada orang-orang yang
benar dalam berjanji kepada Allah." (Q.S. Al-Ahzab : 23)
Saudaraku, ketika Allah menegur kita karena sebuah maksiat, kadang
teguran itu tidak datang langsung, terkadang Allah menegur lewat orang
lain.
Astaghfirullahaladzim…
La haula wala Quwwata illa billah….
Teringat sebuah saran dari seorang sahabat tadi pagi.
“Tik, baca tulisannya Pak Cah deh di http://cahyadi-takariawan.web.id/ judulnya “Menyublimkan Kepedihan”. Bagus!”
Akhirnya saya cari tulisan itu dan perkenankan untuk saya sharingkan
dalam catatan kali ini. Benar-benar menjadi bahan renungan yang sangat
mendalam.
***
MENYUBLIMKAN KEPEDIHAN
Sesungguhnyalah epos setiap pahlawan dan pejuang selalu menyimpan
kisah-kisah kepedihan. Karena semua pahlawan, semua orang besar, tidak
bisa menghindarkan diri dari keterbatasan dirinya yang tidak dimengerti
publik. Kebesaran nama dirinya telah menyihir opini masyarakat, seakan
dia adalah manusia tanpa cela, serba sempurna dan serba tidak ada
kekurangannya. Di titik ini, setiap pejuang ditempatkan secara terasing,
di posisi yang tidak dia kehendaki.
Ada pejuang yang memilih menjaga citra diri dengan mencoba menjadikan
dirinya sesuai harapan publik. Tentu ini tidak mudah. Dia adalah magnet
bagi kamera media. Omongannya, responnya, perbuatannya, tindakannya,
adalah sebuah berita. Semua mata memandang kepadanya, dimanapun ia
berada. Tak ada ruang privat lagi bagi orang seperti dirinya. Media bisa
masuk ke semua ruang-ruang pribadinya.
Dengan pilihan ini, ia harus menjadi seseorang seperti yang diharapkan
publik. Bukan menjadi dirinya sendiri yang memiliki banyak keterbatasan.
Namun ia harus menjadi hero, menjadi superman, menjadi seseorang yang
selalu diidolakan semua kalangan masyarakat. Tak ada kesempatan bagi
dirinya untuk menjadi dirinya sendiri, menjadi manusia biasa yang bisa
menangis, bisa salah, bisa lupa, bisa khilaf, bisa berbuat dosa. Dia
dipaksa menjadi seseorang seperti harapan masyarakat terhadap sosok
pahlawan dan pejuang. Bahwa para pahlawan selalu tampil elegan, tanpa
cela, tanpa cacat. Sedikitpun.
Celakanya, para pemuja sosok pahlawan ini hampir tidak bisa membedakan
mana sosok manusia biasa yang tengah berusaha menjadi pejuang atau
pahlawan, dengan manusia pilihan yang Tuhan takdirkan menjadi Nabi. Bagi
seorang Nabi utusan Tuhan, dirinya mendapatkan dukungan Ketuhanan
secara penuh. Karena semua perkataan dan perbuatannya adalah hukum untuk
diikuti oleh pemeluk agama sang Nabi. Berbeda dengan manusia yang
lainnya, kendati dia adalah seseorang yang berusaha menempatkan diri
dalam barisan para pejuang dan para pahlawan, namun tetap saja dia
adalah manusia biasa.
Sebuah harapan yang berlebihan bahkan absurd. Saat dunia telah sangat
lama ditinggalkan oleh Nabi terakhir, akhirnya menjadi defisit
keteladanan dan contoh kebaikan. Dunia muak dengan kemunafikan dan
kepura-puraan yang sering ditampakkan banyak aktor politik dan banyak
pejabat publik. Masyarakat menghendaki dan mencoba mengidentifikasi
tokoh-tokoh yang bisa menjadi sumber inspirasi dan keteladanan dalam
kehidupan. Sangat langka. Begitu menemukan beberapa gelintir orang yang
dianggap masih memiliki harapan untuk menjadi panutan, maka harapan
mereka menjadi berlebihan dan tidak masuk akal.
Para pejuang ini telah dipajang dalam bingkai harapan yang sangat ideal.
Tak boleh berdebu, mereka bersihkan setiap hari dengan puji-pujian dan
sejuta doa. Para pejuang ini yang akan menjadi penyelamat bangsa, akan
menjadi harapan perubahan bagi Indonesia. Sebuah obsesi yang lahir dari
dahaga berkepanjangan akan munculnya sosok keteladanan dari para
pahlawan. Sangat lama masyarakat menunggu para pahlawan yang akan
mensejahterakan rakyat Indonesia dan membebaskan masyarakat dari
kebodohan, kemiskinan, kelaparan, ketertinggalan dan keterbelakangan.
Para pejuang telah ditempatkan pada posisi yang mustahil melakukan
kesalahan. Mereka tidak ditolerir memiliki kelemahan, bukan hanya untuk
diri pribadinya. Namun juga bagi isteri, anak-anak dan semua
keluarganya. Masyarakat mudah mengalami kekecewaan fatal bahkan
keputusasaan apabila melihat ada kekurangan pada diri sang hero, atau
pada isteri dan anak-anaknya. Keteladanan dituntut untuk selalu
dipenuhi, bahkan oleh anak-anak yang tidak banyak mengerti beban orang
tua mereka yang terlanjurkan diidolakan sebagai sosok pahlawan super.
Isterinya harus super, anak-anaknya harus super, keluarga besarnya harus
super. Betapa berlebihan tuntutan ini.
Namun ada pula para pejuang yang memilih menikmati menjadi dirinya
sendiri apa adanya. Seorang manusia yang penuh kelemahan dan
keterbatasan. Di tengah kelemahan dan keterbatasan diri, ia mencoba
menjadi seseorang yang memberikan kemanfaatan bagi orang lain.
Memberikan kontribusi kebaikan sekuat kemampuan yang dia miliki. Waktu,
tenaga, pikiran, harta benda dia curahkan untuk melakukan hal terbaik
yang bisa dia sumbangkan bagi perbaikan bangsa dan negara. Mungkin tidak
terlalu memuaskan masyarakat, mungkin tidak heroik, mungkin tidak
dielu-elukan oleh para pemuja kepahlawanan. Namun ia selalu berusaha
memberikan yang terbaik
Dia melihat dunia dengan dua kacamata pada saat bersamaan. Satu kacamata
idealis, dia memiliki visi yang sangat jelas tentang hal-hal ideal yang
harus dilakukan dan harus terjadi bagi bangsa dan negara. Satu lagi
kacamata realis, bahwa dia melihat Indonesia tidak cukup diubah oleh
keteladanan beberapa sosok pahlawan. Indonesia hanya memerlukan
kebersamaan untuk melakukan perubahan, memerlukan konsistensi untuk
menegakkan aturan, memerlukan kedisiplinan untuk menjalankan agenda
kebangsaan dan kenegaraan. Indonesia memerlukan harmoni dari pagelaran
orkestra berbangsa dan bernegara.
Dia tidak mau terkurung ke dalam sosok pahlawan ideal seperti yang
digambarkan masyarakat. Benarkah perubahan Indonesia harus dimulai dari
sosok-sosok profan yang tak memiliki sedikitpun kekurangan, cacat,
kelemahan dan kesalahan ? Bukankah itu hanya layak dinisbatkan kepada
para Nabi dan Rasul yang dimuliakan Tuhan dengan tugas-tugas Ketuhanan ?
Dia merasa hanyalah manusia biasa yang berusaha melakukan perubahan ke
arah kebaikan, semaksimal kemampuan yang dia miliki. Namun dia
mengetahui ada sejumlah sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya yang akan
sulit dipahami oleh publik.
Sering terbersit dalam kesendiriannya, apakah hanya ada dua pilihan
menjalani kehidupan bagi bangsa Indonesia? Pilihan menjadi pahlawan
super hero yang dipuja-puja seluruh masyarakat, dan pilihan menjadi
pecundang yang dicela oleh semua media, tanpa sisa? Tidak adakah pilihan
menjadi diri sendiri yang jujur apa adanya, menjadi seseorang yang
penuh keteterbatasan dan kelemahan, namun selalu berusaha menyumbangkan
kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara? Dimanakah tempat orang-orang
seperti ini? Apa nama dan nilai mereka ini? Menjadi pahlawan ataukah
pecundang?
Menjadi super hero tanpa cela betapa sangat sulitnya. Siapa yang akan
sanggup menempati posisi seperti ini, siapa yang akan merelakan dirinya
berada dalam sebuah suasana pencitraan, untuk memenuhi harapan dahaga
masyarakat akan sosok-sosok keteladanan? Menjadi pejuang tanpa kelemahan
dan kekurangan, betapa beratnya. Menjadi pahlawan tanpa sedikitpun
tercemar oleh cela yang dilakukan oleh dirinya, isteri, anak-anak dan
keluarga besarnya, siapa sanggup menempuhnya? Inilah episode kepedihan
setiap pahlawan dan pejuang.
Saya berusaha memilih sesuatu yang masuk akal dan sesuai hati nurani.
Saya bukan seorang pahlawan, bukan seorang super hero, bukan seorang
super man, atau semacam itu. Saya hanyalah seorang anak bangsa yang
memiliki teramat sangat banyak kekurangan, kelemahan, keterbatasan dan
hal-hal tidak ideal. Dari sudut pandang apapun. Namun saya sangat
meyakini bahwa kebaikan besar bermula dari kebaikan-kebaikan kecil. Saya
sangat meyakini hal-hal luar biasa bisa bermula dari konsistensi
melakukan hal-hal yang biasa.
Terserah orang menyebut apa terhadap hal yang saya lakukan. Saya
berjalan pada sebuah keyakinan, pada sebuah arah tujuan. Saya berjalan
pada sebuah bingkai cita-cita perubahan, namun saya hanyalah seorang
manusia yang penuh keterbatasan. Isteri saya hanyalah seorang perempuan
biasa, sangat biasa, yang memiliki sangat banyak kekurangan. Anak-anak
saya hanyalah anak-anak yang terlahir dari sejarah pernikahan, dan
mereka menjadi dirinya yang tidak bisa dibebani dengan harapan orang
atas ayah mereka. Namun dengan segala titik kelemahan dan kekurangan
kemanusiaan tersebut, saya selalu berusaha melakukan hal-hal baik yang
mampu saya lakukan. Memproduksi kebajikan semaksimal kesanggupan yang
ada pada saya.
Tidak bolehkah memiliki pilihan sederhana seperti ini? Haruskah kita
memilih menjadi pahlawan tanpa cela, atau sekalian memilih menjadi
pecundang yang dicela serta dilaknat seluruh media? Sedih sekali hidup
kita, jika terbelenggu oleh “apa kata orang kepada kita”. Sedih sekali,
jika hidup kita harus menyesuaikan dengan selera media. Sempit sekali
dunia, jika kita harus menjadi sosok-sosok utopis yang diimpikan para
pemuja epos kepahlawanan dunia. Hingga orang tidak berani berbuat dan
berkata apa-apa, karena takut dilaknat media. Hingga orang takut
melakukan upaya perbaikan semampu yang dia bisa, karena takut dicela
massa.
Setiap hari berseliweran sms, mengkonfirmasi berita ini dan itu di media
massa. Mencela, melaknat, mencaci maki, menghakimi semau sendiri,
memastikan keburukan orang, mengimani berita media massa tentang
perilaku seseorang. Sms berseliweran tanpa tuan, menghakimi tanpa
persidangan, memutuskan tanpa penjelasan, memastikan tanpa pertanyaan,
menuduh tanpa kelengkapan persyaratan, membunuh karakter tanpa alasan.
Semua orang ketakutan, semua orang gelisah, tiarap, takut dirinya tengah
dirilis media. Takut dirinya tengah dibicarakan koran. Takut dirinya
menjadi berita utama di sms yang berseliweran setiap detik, setiap
kesempatan.
Seakan dunia telah kiamat, saat seseorang pejuang dituduh melakukan
kesalahan. Seakan kebaikan telah hilang, saat sosok pahlawan yang
diidamkan teropinikan melakukan pelanggaran. Hancur sudah dunia
kepahlawanan, habis sudah sejarah para pejuang, tamat sudah riwayat para
pembela kebenaran. Hari ini juga semua jiwa telah binasa. Kita menjadi
orang yang berlebih-lebihan melihat, menanggapi, mengomentari segala
sesuatu. Baru running text, baru rilis koran, baru kilas berita televisi
dan cybermedia. Tiba-tiba sms sudah menyebar kemana-mana. Tiba-tiba
kepercayaan sudah sirna. Tiba-tiba kehangatan sudah tiada. Berpuluh
tahun kita merajutnya. Hilang sesaat begitu saja?
Inilah sisi kepedihan dalam setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan.
Setiap pahlawan, setiap pejuang selalu dihadapkan kepada kondisi-kondisi
kemanusiaan yang sulit dimengerti para pemuja mereka. Media telah
menghukum tanpa ampunan. Headline setiap hari. Heboh, bombastis,
sinistis. Mematikan hati yang terlalu ciut menerima kritik dan lontaran
tajam. Mematikan semangat yang terlampau dingin untuk melakukan berbagai
kebajikan. Cita-cita dan tujuan seakan sudah terlupakan oleh opini
koran dan berita harian.
Silakan tidur dan berhenti dari kebaikan, maka para setan akan pesta
pora merayakan kemenangan. Silakan menyesal menempuh jalan panjang
bernama kebajikan, tempuh jalan lain yang lebih menyenangkan
pemberitaan. Hanya itukah tujuan kita? Mendapat pujian, mendapat
pengakuan, mendapat ucapan selamat dan penghargaan atas kesantunan,
kesalehan, kebaikan, kejujuran, dan kebersihan yang ditampilkan? Tidak
siap mendengar kritik tajam, caci maki, cemoohan masyarakat dan media
massa? Tidak kuat mendengar ledekan, tertawaan, gunjingan, dan kekesalan
orang?
Adakah anda rasakan kesedihan yang saya tuliskan ? Kesedihan di setiap
epos kepahlawanan dan kepejuangan. Kesedihan yang tidak bisa dibagi
dengan para pemuja pahlawan. Kesedihan yang harus dikunyah dan dinikmati
sendiri oleh setiap orang yang berjuang dalam kebaikan. Jika anda
merasakan, saya ajak anda menyublimkan kesedihan itu menjadi sebuah
karya nyata, sekecil apapun yang kita bisa.
Menyublimkan kepedihan menjadi amal kebaikan berkelanjutan yang kita
lakukan dalam setiap tarikan nafas. Jangan menguapkannya, karena jika
diuapkan kesedihan hanya akan hilang namun tidak menghasilkan karya. Ya,
anda harus menyublimkan kepedihan ini menjadi sesuatu yang sangat
berarti. Menjadi sesuatu yang menyemangati diri. Menjadi sesuatu yang
menasihati. Menjadi sesuatu yang bernilai abadi. Menjadi sesuatu yang
bernama kontribusi.
Setiap cemoohan dan ejekan akan menambah kesedihan di hati para pejuang.
Setiap ketidakberhasilan akan menggoreskan kegetiran pada dada setiap
pejuang. Kesedihan itu harus disublimasi menjadi karya yang berarti.
Setiap hari kita telah terbiasa menumpuk kelelahan, kesedihan,
kegetiran, kepedihan, dari yang terkecil hingga yang paling dalam.
Menyublimkan kegetiran akan mengubahnya menjadi kerja nyata bagi bangsa
dan negara. Apa artinya dipuji-puji jika tidak memiliki kontribusi yang
berkelanjutan? Apa salahnya dicaci maki jika itu memacu kontribusi yang
lebih berarti bagi perbaikan?
Mari bekerja di ladang-ladang amal kita yang sangat luas tanpa batas.
Silakan mencela bagi yang hobi mencela. Silakan melaknat bagi yang gemar
melakukannya. Silakan berhenti dan menepi bagi yang sudah tidak
memiliki kepercayaan lagi. Sekecil apapun langkah kebaikan kita lakukan,
pasti tetap menjadi kontribusi yang berarti bagi negeri. Keyakinan ini
tak bisa ditawar lagi. Tuhan telah mengumandangkan, hal jaza-ul ihsan
illal ihsan. Apakah kita tetap juga tidak memahami?
Kita serahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Mengerti.
Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan 9 April 2011
***
"Berjuanglah untuk kebaikan dan kebenaran, sepahit dan sesulit apapun.
Bersatulah dalam jama'ah, sebenci dan sekecewa apapun, karena berjama'ah
lebih baik daripada sendirian. Bangkitlah ketika jatuh dan jangan
menyerah. Peganglah prinsip kita, selama itu benar. Bertausyiahlah
setiap saat, agar saudaramu merasa memiliki dan dimiliki. Jangan
tinggalkan yang dibelakangmu, tunggu dengan kesabaran dan keikhlasan.
(Imam Hasan Al Banna)
Deepest Contemplation…
Saat senggang dan pikiran leluasa merenung…
Jakarta, 14042011
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com
Tulisan ini
diposting pada bulan April 2011 di blog sebelumnya.