Home / All post
Jalan CINTA Para Penulis
Ketika huruf bisa tersusun menjadi kata, ketika kata dapat tertautkan menjadi kalimat, dan ketika kalimat berhasil terangkai menjadi tulisan yang inspiratif. Ketika itulah akan terasakan suatu kebahagiaan yang luar biasa (Aisya Avicenna)
Setiap orang sebenarnya mampu menulis. Seseorang yang buta huruf sekalipun, sebenarnya mampu menulis hanya saja ia tidak berlatih atau dilatih untuk menulis. Setiap manusia yang bisa menulis seharusnya bersyukur akan kemampuannya tersebut. Allah SWT membekali setiap manusia dengan tiga potensi dasar yakni : ruh, akal, dan fisik. Manusia dibekali akal untuk berpikir. Salah satu cara untuk menuangkan buah pikiran adalah dengan menulis. Pikiran merupakan unsur yang paling mendukung dalam menulis. Bisa dikatakan bahwa menulis adalah proses berpikir paling kreatif. Dengan menulis, kita bisa menumpahkan semua beban perasaan kita, sehingga pikiran yang sebelumnya terasa keruh akan bisa menjadi jernih. Selain itu, kita bisa berbagi pengetahuan kepada orang lain sehingga tulisan kita bisa mendatangkan manfaat bagi sesama. Itulah esensi dari suatu ibadah dan menulis adalah salah satu amal ibadah.
Walaupun kelihatannya mudah, pada prakteknya tidak semua orang mudah melakukan aktivitas menulis ini. Banyak di antaranya yang justru mengalami kesulitan pada waktu pertama kali hendak menulis. Terkadang mereka mengalami kebuntuan ide/gagasan, tengah enggan/malas, merasa tidak bisa, tidak berbakat, tidak mampu atau tidak kompeten, takut, dan lain-lain. Jika kita ingin menjadi penulis handal yang produktif dalam berkarya, maka semua hambatan ini harus dikikis habis.
Menjadi seorang penulis handal memang butuh perjuangan. Seorang penulis juga harus ditempa melewati beragam proses yang tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setiap proses yang ditapaki penuh dengan konsekuensi. Akan tetapi, bukan berarti hal ini menjadi sesuatu yang tidak mungkin dicapai, hanya saja diperlukan kesungguhan dan kerja keras untuk menjadi seorang penulis handal. Berikut dipaparkan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seseorang yang ingin menjadi penulis hebat nan isnpiratif. Kuncinya adalah ‘CINTA’.
[C]ukuplah Allah sebagai Tujuan
Islam memandang umat manusia sebagai makhluk yang mulia. Lalu, apa tugas manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT? Allah SWT menerangkan bahwa tugas manusia di bumi adalah untuk beribadah. "Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan." (QS. Adz-Dzariyat [56] : 57). Ibadah dalam Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Melaksanakan semua perintah yang tertulis dalam Al-Qur`an dan As Sunnah serta menjauhkan larangan yang tertulis di dalam keduanya adalah ibadah. Ibadah mencakup semua aktifitas manusia bila diiringi dengan niat yang benar untuk mencapai ridha Allah SWT. Sholat, zakat, dan infaq adalah ibadah. Sampai-sampai memalingkan mata dari pandangan yang harampun termasuk ibadah. Tak ada pemisahan antara ibadah dan aktivitas keduniaan dalam Islam. Semua perbuatan menjadi ibadah di sisi Allah bila diniatkan semata-mata karena mencari dan mencapai ridha-Nya. Hadist 1 Arba’in berikut menjadi pengingat akan esensi niat dalam setiap amal kita.
Dari Amirul Mu’minin Abi Hafsh Umar ibn Al Khaththaab Radhiyallahu ‘Anhu, berkata: "Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, 'Sesungguhnya amal-amal itu bergantung kepada niatnya. Dan setiap orang memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikejarnya atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia (niatkan) hijrah kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, nilai suatu perbuatan dalam pandangan Islam dilandasi niatnya, bukan dari hasilnya. Hasil suatu perbuatan berada di tangan Allah SWT dan karenanya ganjaran perbuatan seseorang tidak tergantung pada hasilnya, tetapi pada niat yang ada di dalam hati. Niat yang benar juga harus dilanjutkan dalam amal yang benar pula. Setelah niat seseorang telah lurus, amal yang dilakukan pun tidak boleh melanggar rambu-rambu yang benar. Tidak ada kamus ‘menghalalkan segala cara’ dalam mencapai apa yang diinginkan. Seorang muslim tidak dibenarkan menggunakan cara yang tidak disukai Allah SWT demi mengapai tujuan dan cita-citanya.
Demikian halnya dengan menulis. Aktivitas menulis akan bernilai ibadah jika diniatkan semata-mata mencari ridha Allah SWT. Merangkai kata demi kata sehingga menghasilkan karya dengan menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan itulah visi mulia seorang penulis. Ia menegakkan kalimat Allah melalui pena, menuliskan bait demi bait kebenaran, dengan harapan banyak yang akan terinspirasi dari tulisan itu untuk senantiasa berbuat baik, Karena tiada balasan yang lebih pantas dari kebaikan selain kebaikan pula. Hendaknya setiap penulis selalu memperbaharui niatnya, jangan sampai kehilangan orientasi dalam menulis. Selayaknya setiap penulis meyakinkan dirinya bahwa ia menulis untuk menebarkan kebaikan, saling mengingatkan, dan tentunya mengharapkan ridha-Nya. Saat menulis, jangan berharap adanya popularitas dan keuntungan finansial semata. Memang, dengan menulis hal itu bisa saja kita dapatkan. Tapi yakinlah, saat itu diniatkan pada awalnya dan ternyata berhasil didapatkan, maka kita akan kehilangan satu investasi besar, yakni investasi akhirat.
Telah disebutkan bahwa menulis juga termasuk bagian dari ibadah. Bahkan menjadi suatu amal yang sangat bermanfaat dan menjadi investasi akhirat jika tulisan itu bermuatan pesan moral yang diamalkan oleh orang banyak sehingga bisa mengubah karakter manusia yang kurang baik menjadi bermoral dan berbudi luhur. Nah, dari sini bisa kita lihat betapa pentingnya menulis. Di dalam tulisan bisa kita sampaikan apa saja yang kita mau sehingga orang lain bisa membacanya, mengamalkannya, dan terinspirasi karenanya.
[I]nspirasi Datang, Jangan Dibuang!
Inspirasi adalah nyawa dalam kehidupan kita. Inspirasi bagaikan oase di tengah padang gurun yang meranggas tertelan panas. Ia hadir dalam setiap jiwa manusia dan menjadikannya sebagai penyejuk. Inspirasi bagai nyawa dalam diri seseorang. Ia bisa saja jadi semangat tak berkarat, bagai aliran listrik yang menjalar cepat dan hebat. Ia mampu menghentakkan motivasi. Membangkitkan yang lemah. Mengubah kondisi terbatas menjadi teratas.
Tidak peduli kita suka menulis, serajin apa kita menulis, selalu ada waktu dimana kita memang membutuhkan inspirasi untuk mendapatkan gagasan atau tema dari tulisan kita. Kebanyakan justru inspirasi didapat dari luar diri kita, karena bisa jadi pikiran kita memang sudah cukup letih atau jenuh untuk menggali topik atau tema apa yang hendak kita tulis.
Inspirasi itu tidak akan datang jika hanya ditunggu. Inspirasi ada karena dicari atau diciptakan. Sumber inspirasi bisa didapat dari mana saja, baik dari internal maupun eksternal penulis.
1. Sumber Internal
Inspirasi bisa datang dari dalam diri penulis. Lewat pemikirannya yang mendalam dari hasil renungan (kontemplasi) yang dilakukannya. Atau bisa melalui kepekaan panca inderanya. Oleh karena itu, seorang penulis harus sensitif terhadap lingkungan sekitarnya. Apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan seharusnya bisa menjadi inspirasi dahsyat yang bisa melahirkan karya atau tulisan.
2. Sumber Eksternal
Banyak sekali sumber inspirasi yang berasal dari luar. Berikut beberapa sumber inspirasi yang bisa didapat seorang penulis.
a. Al Qur’an
Segala inspirasi ada di dalam Al Qur’an. Jika tidak menemukan inspirasi dari Al Qur’an, bisa jadi kita belum mengenal atau cukup berinteraksi dengan Al Qur’an. Kita boleh mengambil inspirasi dari manapun, selama inspirasi tersebut tidak melanggar syariat dan nilai Al Qur’an. Agama Islam tidak membatasi kita mendapatkan hikmah dari mana pun, selama rujukan utama kita Al Qur’an dan As Sunnah.
b. Siroh Nabawiyah
Sebaik-baik kisah yang patut dijadikan inspirasi adalah kisah Rasulullah SAW, keluarga Rasul, sahabat-sahabat Rasul, dan orang-orang terpilih yang menjadi “kekasih” Allah SWT. Tentunya banyak inspirasi yang bisa kita dapatkan dari kisah mereka.
c. Orang lain
Orang di sekeliling kita bisa dijadikan sumber inspirasi yang menarik. Coba perhatikan mereka, pastinya ada beberapa yang memiliki karakter yang unik. Ini bisa kita gali lebih dalam. Karakter seperti suka marah, bisa kita jadikan tulisan bertemakan sifat marah, bagaimana mengatasinya, dan lain sebagainya. Orang lain yang dimaksud juga bisa berasal dari tokoh inspiratif yang sukses atau bisa juga penulis tenar.
d. Lingkungan
Lingkungan sekitar kita adalah sumber inspirasi yang bagus. Nuansa alam seperti pantai, pegunungan, lembah, dan sebagainya bisa menjadi daya tarik untuk setting tulisan kita. Bahkan lingkungan kumuh di pinggiran kota juga bisa menjadi bahan tulisan.
e. Buku/Bacaan
Menulis dan membaca adalah kebiasaan yang saling tertaut. Banyak wawasan baru yang akan kita dapatkan dengan banyak membaca. Belajar dari karya orang lain sesungguhnya juga membuat kita belajar bagaimana proses kreatif mereka terbentuk. Memperbanyak bahan bacaan akan membuat wawasan kita menjadi lebih luas. Banyak hal baru yang akan kita dapatkan dari membaca, seperti ragam kehidupan dengan segala pernik dan maknanya, penggunaan bahasa dan pemakaian kata-katanya, gaya penulisan dan lain sebagainya. Membaca majalah, koran, novel, cerpen, lirik lagu, puisi, ensiklopedia, buku-buku nonfiksi, peribahasa, komik, atau apa saja juga bisa memicu datangnya inspirasi.
f. Blog
Caranya mudah saja, kita tinggal blog walking ke blog-blog yang bagus. Kita bisa belajar banyak dari proses kreatif penulis blog tersebut atau bisa melihat dari segi ide atau gagasan di setiap tulisan yang ada di blog.
g. Film
Dari film kita juga bisa mendapat banyak inspirasi sebagai bahan tulisan kita, misalnya kita bisa menulis tentang karakter tokohnya atau situasi dan kondisi yang kita olah ulang sedemikian rupa untuk ditulis. Bisa juga kita membuat resensi film dan dikirimkan ke media.
h. Peristiwa
Setiap saat dan dimanapun kita pasti tak bisa lepas dari peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. Nah coba kita pilah-pilah, mana yang kira-kira menarik untuk dijadikan tema tulisan. Peristiwa sehari-hari yang sepertinya biasa saja, tapi bila kita kemas dengan gaya penulisan yang asyik, tentunya menjadi menarik untuk dibaca oleh orang lain.
i. Seni
Seni, baik itu seni lukis, seni musik atau lainnya, merupakan salah satu sumber inspirasi yang kaya makna. Seperti misalnya kalau kita lihat lukisan yang indah. Menggambarkan apa lukisan itu, apa maksud dari goresan lukisan itu, bisa kita jadikan ide untuk menulis.
Inspirasi sering datang tak diundang. Oleh karena itu, segera dokumentasikan setiap inspirasi yang singgah dalam benak kita. Kita menyadari bahwa kemampuan otak kita dalam menampung informasi memang sangat terbatas sehingga kita harus mampu menyiasatinya. Jangan sampai inspirasi yang bagus terbuang sayang hanya gara-gara kita tidak segera mendokumentasikannya. Tuliskan setiap inspirasi yang kita dapatkan! Oleh karena itu, setiap saat jangan lupa membawa alat tulis dan catatan kecil. Atau bisa juga kita memanfaatkan sarana lain, seperti handphone untuk mengabadikan inspirasi kita. Semoga inspirasi-inspirasi itu bisa melahirkan tulisan-tulisan inspiratif juga.
[N]ulis… Nulis... Nulis…
Ada tiga kunci utama untuk menjadi seorang penulis. Kunci pertama, menulis. Kunci kedua, menulis. Kunci ketiga, menulis. Nah, mudah saja kan? Hanya saja seorang penulis kerap terbebani dalam mengawali sebuah tulisan, merasa kesulitan dalam mengembangkan inspirasi atau ide yang didapat ke dalam tulisan yang enak dibaca, atau bingung menuliskan ending dari tulisan. Berikut ada beberapa tips yang semoga bisa membantu kita dalam menulis.
1. Mulailah Menulis Apa Saja
Misal kita akan menulis dengan tema “Isra’ Mi’raj”. Saat menulis, jangan ‘menyiksa diri’ dengan kebingungan harus mulai menulis dari mana. Apa yang sedang dipikirkan saat itu tentang Isra’ Mi’raj, tulis saja! Tak perlu runtut dengan harus menulis dari sejarahnya atau dalil-dalil yang berkenaan dengan peristiwa ini. Kita bisa saja menulis tentang Rasulullah SAW. Lambat laun kita akan menemukan kesesuaian dan alur tulisan kita sehingga akan dihasilkan tulisan yang utuh. Sebelum menulis, ada baiknya kita membuat kerangka tulisan agar tulisan kita terarah dan tidak keluar dari ide dasar atau tema. Saat awal-awal menulis draft, janganlah mengubah kata-kata atau tanda baca. Lupakan dulu tata bahasa, pemilihan kalimat, diksi, dan semua pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah! Kita akan membutuhkannya ditahap selanjutnya. Yang sekarang harus dilakukan adalah mengalirkan semua gagasan yang terpikirkan di otak. Tuliskan semua ide yang bergelora dalam pikiran, tidak masalah kalau ide-ide itu tidak saling berkaitan.
2. Mencari Waktu yang Tepat
Memilih waktu yang tepat akan sangat membantu kita dalam menulis. Misalnya, kita memilih waktu di tengah malam. Saat suasana hening, akan membuat hati dan pikiran kita menjadi tenang. Pikiran kita bisa fokus dan konsentrasi. Selain itu, dalam setiap aktivitas keseharian kita, ada kalanya kita memiliki waktu luang. Manfaatkan waktu luang itu untuk menorehkan tulisan. Untuk menjadi penulis yang efektif, kita harus mulai berkomitmen terhadap waktu. Pilihlah waktu luang satu-dua jam tiap hari, untuk menulis.
3. Menciptakan Kondisi yang Nyaman
Saat menulis, pilihlah tempat yang membuat kita nyaman dalam menulis. Kurangi sebanyak mungkin gangguan dari luar. Kalau kita suka mendengarkan musik, bisa juga menggunakan musik sebagai backsound selama kita menulis. Belahan kanan otak kita akan menjadi aktif bila terstimulasi oleh musik. Karenanya, pilihlah musik-musik favorit, agar mood menulis tetap terjaga. Hadirnya musik yang sesuai dengan suasana hati, akan membuat tulisan yang kita buat menjadi semakin hidup.
4. Mengedit dan Menulis Ulang
Pada tahap inilah kita bisa mengedit dan menyusun setiap kalimat agar lebih tertata dan sistematis. Ukirlah setiap paragraf, dan pastikan tiap kalimat berada di tempat yang cocok. Ambil thesaurus, lalu cari kata-kata yang seharusnya menggunakan istilah lain. Lihat ensiklopedia, dan masukkan data-data yang sepertinya layak untuk dimasukkan. Perhatikan tata bahasa, dan usahakan tulisan yang dibuat tidak membuat jemu yang membaca.
5. Membaca Ulang
Setelah tulisan sudah terangkai dengan baik, baca ulang dengan teliti! Apakah ada yang perlu ditambahkan lagi? Apakah ada kata-kata yang kurang tepat atau ada kalimat yang salah? Kalau iya, perbaiki kembali tulisan tersebut. Menulis memang butuh kesabaran. Jangan mudah mengeluh!
[T]eruslah Berlatih tanpa Mengenal Letih!
Menulis itu adalah keterampilan. Setiap keterampilan pastinya memerlukan latihan. Latihan yang rutin. Sedikit demi sedikit, tapi sering dilakukan! Latihan dalam menulis memang butuh waktu, maka harus menyiapkan waktu khusus untuk menulis. Jangan menunggu siap. Jangan menunggu mood. Tapi harus menyiapkan waktu dan menyiapkan diri sebaik-baiknya.
Latihan menulis dapat dilakukan seorang diri. Ada baiknya juga bila dilakukan bersama. Misalnya dengan mengikuti pelatihan kepenulisan atau dengan bergabung dalam komunitas penulis. Dengan berlatih bersama dengan orang-orang yang memiliki visi yang sama, yakni visi untuk menjadi seorang penulis, maka akan bisa membangkitkan semangat kita untuk terus berkarya. Kalau perlu, milikilah seorang writer coach, seseorang yang bisa memandu kita dalam menulis, mengkritisi tulisan kita, dan bisa memberikan kita motivasi untuk terus menulis.
Menulis jelas membutuhkan motivasi. Bahkan motivasi atau niat dalam menulis ini memegang peranan penting. Sebab, jika kita kehilangan motivasi, segalanya akan ikut hilang. Miliki motivasi positif dalam menulis! Jangan pernah merasa jenuh atau lelah dalam menulis. Karena menulis akan membuat kita kaya. Kaya ilmu, kaya hati, kaya amal, dan bisa juga kaya harta. Dengan menulis, pengetahuan kita akan bertambah karena kita juga dituntut untuk banyak membaca dan mencari inspirasi. Itulah yang dimaksud kaya ilmu. Menulis juga merupakan wujud sedekah. Sedekah memang tak selalu identik dengan uang sebagai sarana yang disedekahkan. Menulis adalah sedekah kata. Kita memberi sesuatu kepada orang lain lewat rangkaian kata yang kita tuliskan. Hal inilah yang membuat seorang penulis menjadi kaya hati karena banyak memberi lewat tulisan-tulisannya. Menulis adalah wujud amal yang bernilai ibadah jika tulisan yang dihasilkan adalah tulisan yang menginspirasi dan menebar kebaikan. Itulah kaya amal. Pintu rezeki banyak macamnya. Tulisan pun bisa mendatangkan rezeki. Misal, jika dibukukan dan banyak diminati serta dibeli pembaca (best seller), tentunya akan mendatangkan banyak pendapatan bagi penulisnya. Penulis pun bisa kaya harta! Akan tetapi, jangan jadikan hal yang satu ini sebagai motivasi utama. Tetaplah menjadi penulis yang bersahaja, yang tetap menjadikan ridha Allah SWT sebagai tujuan utama.
Panggillah rasa lelahmu, dan ajaklah bermain dan bercanda, karena bila lelah itu karena LILLAH, maka insya Allah akan bernilai pahala dan diganjar surga (Burhan Sodiq).
[A]badikan Karya pada Tempatnya
“Khairunnas anfa’uhum linnas” yang artinya “Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” Menjadi penulis, mungkin inilah salah satu cara yang menjadikan kita pribadi yang bermanfaat. Tulisan sebagai hasil karya kita tidak ada gunanya kalau hanya untuk konsumsi sendiri, tapi kalau dipublikasikan lewat berbagai media yang ada, maka karya tersebut akan bisa mendatangkan manfaat untuk diri kita dan orang lain. Kalau ada yang baik dalam tulisan itu maka akan menjadi penebar kebaikan dan terhitung sebagai amal jariyah. Sebaik-baik tulisan adalah tulisan yang dipublikasikan (Taufan E. Prast).
Dewasa ini begitu banyak media yang bisa dijadikan sasaran untuk mempublikasikan tulisan kita, baik itu media cetak maupun elektronik.
1. Media Cetak
Media cetak sekarang banyak ragamnya, baik berupa koran, majalah, buletin, dan lain sebagainya. Banyak peluang terbuka bagi seorang penulis untuk mempublikasikan karyanya lewat media cetak. Tulisan tersebut dapat berupa opini, artikel, resensi, puisi, cerpen, dan lain-lain. Misalnya saja ketika akan memasukkan sebuah puisi di koran mingguan yang menerbitkan puisi seminggu sekali. Maka akan terdapat sekitar empat kesempatan di setiap minggunya. Belum lagi, jika dikalikan banyaknya koran yang sekarang beredar. Banyak sekali kesempatan, tinggal bagaimana kita memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
2. Media Elektronik
Media elektronik yang bisa dijadikan sasaran untuk mempublikasikan tulisan kita juga banyak ragamnya. Blog misalnya. Ada baiknya seorang penulis memiliki blog pribadi karena dengan begitu ia memiliki tempat khusus untuk menyalurkan inspirasi-inspirasinya sekaligus sebagai sarana untuk berlatih menulis. Karena blog bisa diakses banyak orang, tidak menutup kemungkinan akan semakin banyak juga yang akan memberikan masukan pada tulisan-tulisan kita. Bisa juga lewat catatan di Facebook, bahkan dari status-status yang kita update di Facebook tersebut. Kita bisa menuliskan sesuatu yang inspiratif lewat status Facebook. Tulisan berwujud naskah atau skenario bisa juga terpublikasikan lewat cerita yang ditayangkan di televisi atau film layar lebar. Saat ini banyak film layar lebar atau sinetron yang diangkat dari novel atau tulisan. Sebut saja, ada film Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi, dan Sang Pemimpi.
Dalam membidik media memang perlu kecermatan dari seorang penulis. Jika ingin menerbitkan tulisannya menjadi sebuah buku, seorang penulis harus cermat dalam memilih penerbit dan memahami persyaratan yang ditetapkan penerbit pada setiap naskah yang masuk pada penerbit tersebut, seperti genre dari penerbit, kriteria tulisan (font, jumlah halaman, spasi, ukuran dan jenis huruf), cara pengiriman naskah (via email atau pos), dan lain-lain. Oleh karena itu, media mapping (pemetaan media) memang penting untuk dilakukan oleh seorang penulis.
Tulislah apa yang ada
Karya adalah anugerah
Tetap menulis sejak kini
Menulislah yang terbaik…
Ya, menulislah yang terbaik. Diawali dengan niat yang baik, dilakukan dengan latihan sebaik-baiknya, dan diabadikan dalam prasasti karya yang terbaik. Menulis bisa menjadi sarana untuk mengubah diri sendiri. Kita juga bisa mengubah paradigma dan akhlak seseorang lewat tulisan-tulisan kita. Menulislah dengan hati. Menulislah dengan CINTA. Jadikan tulisan kita sebagai sesuatu yang pantas untuk kita tinggalkan kelak jika nyawa sudah tak lagi ada. Kita pasti akan mati, tapi semoga karya kita akan abadi dan akan membawa kita ke surga-Nya di akherat nanti. Amin.
***
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
Dalam Mihrab Cinta
Stasiun Pekalongan. Itulah permulaan setting dari film ini. Berlanjut diarahkan ke dalam kereta yang akan menuju Kediri, dan kisah itu pun dimulai. Di dalam kereta itu, duduklah seorang muslimah cantik berjilbab ungu yang sedang menangis. Selang berapa lama, masuklah sosok pemuda berambut gondrong sebahu. Pemuda gondrong itu mencocokkan tiket dan tempat duduknya di kereta itu, dan ternyata ia duduk bersebelahan dengan muslimah itu.
Kehadiran pemuda gondrong itu mengejutkan sang muslimah. Buru-buru pemuda itu mengatakan kalau ia adalah orang baik-baik, kebetulan ia duduk di situ dan ia menawarkan kepada sang muslimah untuk memilih duduk di dekat jendela atau tetap di tempatnya sekarang. Muslimah cantik itu akhirnya bergeser. Sang pemuda meletakkan tasnya di bagasi atas kemudian ia duduk di samping sang muslimah.
Saat kereta masih melaju, pemuda gondrong itu berpindah tempat di bangku sebelah yang sudah kosong karena penumpangnya sudah turun. Baru beberapa saat memejamkan mata, pemuda gondrong itu melihat seorang bapak yang hendak mengambil tas milik sang muslimah. Si pemuda gondrong langsung menghardik sang pencuri. Muslimah berjilbab ungu itu terbangun. Tambah kaget ketika sebilah pisau terarah padanya.
Ya, pencuri itu mengancam akan menusuknya kalau pemuda gondrong itu berbuat macam-macam.
Terjadi perkelahian. Telapak tangan sang pemuda sempat terkena pisau. Berdarah. Pencuri berhasil kabur. Muslimah itu segera membebat tangan pemuda gondrong yang terluka dengan sapu tangannya. Pemuda gondrong itu bercerita kalau ia akan nyantri di Pesantren Al-Furqon, Kediri yang ternyata pesantren tersebut adalah milik ayah sang muslimah berjilbab ungu. Subhanallah...
Sampailah mereka di Stasiun Kediri. Di pintu keluar, mereka saling menyebutkan nama. Pemuda gobdrong itu bernama Syamsul Hadi (Dude Herlino) dan sang muslimah berjilbab itu bernama Zidna Ilma atau Zizi (Meyda Sefira). Zizi pulang ke Kediri karena mendapat kabar kalau ayahnya meninggal dunia.
Kehidupan pesantren sangat dinikmati oleh Syamsul, sampai akhirnya ia dituduh sebagai pencuri oleh sahabatnya sendiri, Burhan (Boy Hamzah). Waktu itu, Syamsul dan Burhan hendak makan bersama, tapi dompet Burhan ketinggalan di kamarnya dan ia meminta Syamsul untuk mengambilnya. Syamsul akhirnya mengambil dompet Burhan di dalam almari, saat itu ternyata teman-teman pesantren yang bertugas sebagai bagian keamanan tengah berjaga di dalam kamar Burhan. Syamsul dituduh mencuri. Ia diarak, dipukuli, dan dimasukkan ke dalam gudang. Hilangnya beberapa uang di pesantren memang menimbulkan keresahan, sehingga saat Syamsul ketahuan membuka almari Burhan dan mengambil dompetnya, anggapan mereka Syamsul-lah pencuri yang tengah dicari selama ini.
Saat dimintai menjadi saksi, ternyata Burhan mangkir kalau dialah yang menyuruh Syamsul mengambil dompetnya. Syamsul bersumpah bahwa dia bukan pencurinya. Burhan juga bersumpah bahwa apa yang dikatakannya barusan adalah benar. Padahal maksud Burhan, yang dikatakannya barusan adalah : “Penjahat pasti akan melakukan segala cara untuk menutupi kejahatannya.” (kalau yang sudah baca novelnya, pasti ngeh saat adegan ini).
Digundhuli. Itulah hukuman yang dijatuhkan pada Syamsul. Tak hanya itu, Syamsul didepak dari pesantren. Ayahnya (El Manik) datang menjemput. Marah-marah. Sampai di rumah, Syamsul masih dihujani kemarahan oleh sang ayah dan kakak-kakaknya. Hanya ibu (Ninik L. Karim) dan adik perempuannya, Nadia (Tsania Marwah) yang membela.
“Ya Allah, kalau keluarga sendiri sudah tidak percaya... Apa gunanya hidup?” Begitulah kira-kira doa Syamsul dalam keterpurukannya. Keesokan harinya Nadia menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan Syamsul. Syamsul pergi dari rumah. Ibundanya syok. Tetapi, sang ayah membiarkannya.
Syamsul pun sampai di kota Semarang. Ia makan di pinggir jalan.. Pada adegan inilah lagu berikut terlantun manis...
Terhempas aku dalam fitnah
Yang mendera jiwa dan mencebik sukma
Tetapi ku tak tentu arah
Hingga sebekas menguntum langgaku
Dalam mihrab cinta ku regup firman-Nya
Terangi jalanku ku sujud pada-Nya
Dalam mihrab cinta prahara dan asa
Putus duka lara ku pasrah pada-Nya
Ku berdiam dendam yang membara
Ku pasrahkan semua pada yang kuasa
Ku yakin tiada satu jua hentikan kuasa-Nya
Untuk mengubah segalanya
Dalam mihrab cinta ku regup firman-Nya
Terangi jalanku ku sujud pada-Nya
Dalam mihrab cinta prahara dan asa
Putus duka lara ku pasrah pada-Nya
(Rino – Prahara dan Asa)
Uang di dompet Syamsul tinggal beberapa ribu rupiah. Akhirnya, ia nekat mencopet di dalam bus. Ketahuan. Ia dikejar-kejar penumpang dan beberapa orang yang berada di sekitar lokasi. Syamsul dihajar dan diserahkan ke kantor polisi. Ia menginap di hotel prodeo. Wajahnya menghias koran lokal. Dan sampai jua di Pekalongan. Keluarganya membaca koran tersebut. Sang ayah merutukinya. Ibunda dan Nadia masih belum percaya, karena nama pencuri yang disebut dalam koran itu bukan Syamsul, tapi Burhan.
Di hotel prodeo itulah, Syamsul mendapatkan ‘petuah bijak’ dari dua orang yang katanya ‘pencopet handal’. Salah satu dari mereka berkata, “Kalau mau jadi pencopet itu mentalnya harus kuat. Terus, jangan mencopet lebih dari dua kali pada hari yang sama.” Hihi, lucu banget waktu bagian ini... Dalam mencopet juga ada ‘rumus’nya ternyata.
Nadia menjenguk Syamsul di penjara. Nadia masih tak percaya kalau kakaknya benar-benar menjadi pencopet sekarang. Syamsul menjelaskan pada Nadia kalau hal itu dilakukannya karena terpaksa. Atas permintaan Syamsul, akhirnya Syamsul dibebaskan Nadia. Syamsul akhirnya menghirup udara kebebasannya. Saat tengah asyik berjalan bersama Nadia, tiba-tiba Syamsul berlari dan naik ke sebuah angkot, meninggalkan Nadia. Nadia menangis dan terduduk di pinggir jalan. Dari pintu angkot, Syamsul sempat berteriak menyuruh Nadia pulang saja.
Patung selamat datang... Ternyata Syamsul merantau ke Jakarta.. Pada adegan ini, lagunya Afgan terlantun...
Demi cinta ku pergi
Tinggalkanmu relakanmu
Untuk cinta tak pernah
Ku sesali saat ini
Ku alami ku lewati
Suatu saat ku kan kembali
Sungguh sebelum aku mati
Dalam mihrab cinta ku berdoa semoga
Suatu hari kau kan mengerti
Siapa yang paling mencintai
Dalam mihrab cinta ku berdoa pada-Nya
Karena cinta ku ikhlaskan
Segalanya kepada-Nya
Untuk cinta tak pernah
Ku sesali saat ini
Ku alami ku lewati
Suatu saat ku kan kembali
Sungguh sebelum aku mati
Dalam mihrab cinta ku berdoa semoga
Suatu hari kau kan mengerti
Siapa yang paling mencintai
Dalam mihrab cinta ku berdoa padaNya
(Afgan – Dalam Mihrab Cinta)
Di ibukota, Syamsul tinggal di sebuah kontrakan kecil. Ia mencoba melamar pekerjaan, tapi gagal dan gagal lagi. Akhirnya, terpaksa ia mencopet. Uniknya, Syamsul mencatat identitas dan jumlah uang yang dicopetnya pada sebuah buku khusus. Sampai akhirnya, ia juga menemukan foto gadis yang dicopetnya (Silvy – Asmirandah) bersama Burhan (teman pesantren yang memfitnahnya). Mengetahui hal itu, Syamsul pun memiliki niat untuk “membongkar” rahasia Burhan pada Silvy.
Bermodal KTP Silvy, dengan mengenakan sepeda motor yang dipinjamnya, Syamsul menuju perumahan elite. Saat mau memasuki lokasi perumahan, Syamsul diduga sebagai ustadz (guru ngajinya Della) oleh satpam yang menjaga. Ya, karena waktu itu Syamsul memang mengenakan peci putih dan sangat santun.
Seharusnya, Syamsul akan ke rumah Silvy. Tapi ia memilih untuk mengunjungi rumah si kecil Della. Tak disangka, Syamsul diterima sebagai guru ngajinya Della. Tambah terkejut lagi, ternyata Silvy adalah guru privat Matematikanya Della.
Sampai di sini, aku senyum-senyum sendiri. Yang satu jago matematika, yang satu jago ngaji... Hihihi... (dasar Thicko! –sensor-)
Silvy akhirnya tahu siapa Burhan sebenarnya. Ia menolak lamaran Burhan. Burhan ternyata sudah dikeluarkan dari pesantren karena ternyata ia adalah seorang pencuri dan dengan keji memfitnah Syamsul.
Syamsul bertaubat. Ia sungguh-sungguh berdoa pada Allah agar mengampuninya. Kehidupan Syamsul berubah. Ia menjadi ustadz yang cukup terpandang. Hasil copetannya ia pulangkan kepada pada pemiliknya via pos. Tak lupa ia juga membelikan jilbab buat ibu dan Nadia. Pada Silvy, Syamsul akhirnya mengaku kalau dialah yang mencuri dompetnya. Silvy menangis saat mengetahuinya, tapi ibunya (Elma Theana) tetap menyukai Syamsul dan mengharapkan Syamsul bisa menjadi menantunya.
Syamsul menjadi ustadz yang cukup dikenal. Ia masuk TV, keluarganya melihatnya. Bahagia... bersyukur...Akhirnya, sang ibu dan adiknya menemui Syamsul ke Jakarta. Zizi dan kakaknya (pimpinan pesantren) juga turut serta. Saat itulah keluarga Silvy juga datang. Pada waktu Zizi hendak pulang, tasnya ketinggalan di rumah Syamsul, saat itulah Zizi mendengar penuturan Ayah dan ibu Silvy yang berniat menjadikan Syamsul sebagai menantunya. Zizi patah hati...
Syamsul akhirnya akan menikah dengan Silvy. Beberapa hari sebelum hari bahagia itu datang, Allah berkehendak lain. Silvy mengalami kecelakaan. Ia meninggal. Syamsul sangat syok. Ayah Silvy (Izur Muchtar) sempat meminta Syamsul menikahi jasadnya. Oh...
Syamsul kembali ke Pekalongan. Ia masih belum bisa melupakan Silvy. Suatu hari Zizi datang dan membawakan oleh-oleh dari Kediri. Zizi turut prihatin dengan kondisi Syamsul. Beberapa hari kemudian, kakak Zizi datang untuk menyampaikan maaf sekaligus mengundang Syamsul untuk datang ke pesantren di Kediri, selain itu juga meminta Syamsul bersedia menikah dengan Zizi.
Akhirnya, Syamsul datang ke Kediri. Saat itu, Syamsul bilang.. “Saya datang ke sini dengan dua misi...” Hihi, aku geli juga mendengar penuturan Syamsul. Ya, misi pertama adalah silaturahim ke ‘mantan’ pesantren yang sempat mengeluarkannya. Dan misi kedua adalah untuk melamar Zizi...
Happy Ending deh...
Film ini memang diadaptasi dari novel “Dalam Mihrab Cinta” karya Habiburahman El-Shirazy (Kang Abik). Ada yang berbeda dengan film ini dibanding film-film sebelumnya yang juga diadaptasi dari novel Kang Abik (Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2). Pada film ini, tokoh utama (Syamsul Hadi), tidak tercermin sebagai tokoh yang ‘sempurna’ (seperti Fahri dan Azzam). Film yang juga disutradarai Kang Abik ini menampilkan kisah yang begitu bagus dan memang mencerminkan realitas sosial di sekeliling kita. Nasihat yang ada dalam film ini juga menyentuh sekali.
Beberapa hikmah yang bisa didapat dari film ini :
1. Tetap berkata jujur apapun keadaan kita. Meski kita difitnah, yakinlah bahwa Allah Maha Tahu segalanya. “Becik ketitik olo ketoro”. Setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya.
2. Apa yang kita dapatkan adalah implikasi dari apa yang telah kita berikan. Jika kita memberikan ‘kebaikan’, maka ‘kebaikan’ pulalah yang kita dapatkan.
3. Saat kita sudah sukses, jangan melupakan orang-orang yang berada di balik kesuksesan kita, terlebih keluarga kita.
4. Tak hanya saat melakukan kesalahan, sebaiknya kita senantiasa memohon ampunan pada Allah Swt. Karena bisa jadi saat kita menilai perbuatan kita sudah baik (dalam pandangan kita), ternyata perbuatan itu tidak ada nilainya di hadapan Allah. Istighfar, itulah salah satu obat hati.
5. Tentang jodoh, memang belum tentu seseorang yang ‘baru akan’ menikah dengan kita, itu benar-benar jodoh yang dipilihkan Allah. Jodoh itu misterius, hadirnya tak terduga. Semua sudah diatur-Nya sedemikian rupa. Tidak akan datang terlambat atau terlampau cepat, jodoh kita akan datang pada saat yang tepat!
6. “Karena sebaik-baik rencana, tetap rencana-Nya yang terbaik”. Begitulah kata Syamsul Hadi dalam film itu. So, selalu positive thinking yuk pada Allah...
7. Dll.... Bagi yang sudah nonton, silakan ditambahkan sendiri... ^^v
NB : Buat saudari-saudariku yang rebutan tissu saat menonton ini, jangan lupa kisah kita hari itu ya...Semoga kita bisa mengambil hikmah dari film ini (Kalibata, 24 Desember 2010)
Tak pernah terlintas di benakku
Saat pertama kita bertemu
Sesuatu yang indah
Tumbuh dalam gundah
Harum dan merekah
Tulus hatimu membuka mataku
Tegar jiwamu hapus raguku
Membuncah di hati
Harapan yang suci
Menyatukan janji
Bunga-bunga cinta indah bersemi
Di antara harap pinta pada-Nya
Tuhan tautkanlah cinta di hati
Berpadu indah
Dalam mihrab cinta...
(Asmirandah dan Dude Herlino – Bunga-Bunga Cinta)
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
Maaf, Aku Menolakmu karena Mencintainya!
“Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya meminang,” kata Rasulullah mengandaikan sebuah kejadian sebagaimana dinukil Imam At Tirmidzi, “Maka, nikahkanlah dia.” Rasulullah memaksudkan perkataannya tentang lelaki shalih yang datang meminang putri seseorang.
“Apabila engkau tidak menikahkannya,” lanjut beliau tentang pinangan lelaki shalih itu, “Niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” Di sini Rasulullah mengabarkan sebuah ancaman atau konsekuensi jika pinangan lelaki shalih itu ditolak oleh pihak yang dipinang. Ancamannya disebutkan secara umum berupa fitnah di muka bumi dan meluasnya kerusakan.
Bisa jadi perkataan Rasulullah ini menjadi hal yang sangat berat bagi para orangtua dan putri-putri mereka, terlebih lagi jika ancaman jika tidak menurutinya adalah fitnah dan kerusakan yang meluas di muka bumi. Kita bisa mengira-ngira jenis kerusakan apa yang akan muncul jika seseorang yang berniat melamar seseorang karena mempertahankan kesucian dirinya dan dihalang-halangi serta dipersulit urusan pernikahannya. Inilah salah satu jenis kerusakan yang banyak terjadi di dunia modern ini, meskipun banyak di antara mereka tidak meminang siapapun.
Mari kita belajar tentang pinangan lelaki shalih dari kisah cinta sahabat Rasulullah dari Persia, Salman Al Farisi. Dalam Jalan Cinta, Salim A Fillah mengisahkan romansa cintanya. Salman Al Farisi, lelaki Persia yang baru bebas dari perbudakan fisik dan perbudakan konsepsi hidup itu ternyata mencintai salah seorang muslimah shalihah dari Madinah. Ditemuinya saudara seimannya dari Madinah, Abud Darda’, untuk melamarkan sang perempuan untuknya.
“Saya,” katanya dengan aksen Madinah memperkenalkan diri pada pihak perempuan, “Adalah Abud Darda’.”
“Dan ini,” ujarnya seraya memperkenalkan si pelamar, “Adalah saudara saya, Salman Al Farisi.” Yang diperkenalkan tetap membisu. Jantungnya berdebar.
“Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya,” tutur Abud Darda’ dengan fasih dan terang.
“Adalah kehormatan bagi kami,” jawab tuan rumah atas pinangan Salman, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada putri kami.” Yang dipinang pun ternyata berada di sebalik tabir ruang itu. Sang putri shalihah menanti dengan debaran hati yang tak pasti.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili putrinya. ”Tapi, karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman.”
Ah, romansa cinta Salman memang jadi indah di titik ini. Sebuah penolakan pinangan oleh orang yang dicintainya, tapi tidak mencintainya. Salman harus membenturkan dirinya dengan sebuah hukum cinta yang lain, keserasaan. Inilah yang tidak dimiliki antara Salman dan perempuan itu. Rasa itu hanya satu arah saja, bukan sepasang.
Salman ditolak. Padahal dia adalah lelaki shalih. Lelaki yang menurut Ali bin Abi Thalib adalah sosok perbendaharaan ilmu lama dan baru, serta lautan yang tak pernah kering. Ia memang dari Persia, tapi Rasulullah berkata tentangnya, “Salman Al Farisi dari keluarga kami, ahlul bait.” Lelaki yang bertekad kuat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus diri seharga 300 tunas pohon kurma dan 40 uqiyah emas. Lelaki yang dengan kecerdasan pikirnya mengusulkan strategi perang parit dalam Perang Ahzab dan berhasil dimenangkan Islam dengan gemilang. Lelaki yang di kemudian hari dengan penuh amanah melaksanakan tugas dinasnya di Mada’in dengan mengendarai seekor keledai, sendirian. Lelaki yang pernah menolak pembangunan rumah dinas baginya, kecuali sekadar saja. Lelaki yang saking sederhana dalam jabatannya pernah dikira kuli panggul di wilayahnya sendiri. Lelaki yang di ujung sekaratnya merasa terlalu kaya, padahal di rumahnya tidak ada seberapa pun perkakas yang berharga. Lelaki shalih ini, Salman Al Farisi, ditolak pinangannya oleh perempuan yang dicintanya.
Salman ditolak. Alasannya ternyata sederhana saja. Dengarlah. “Namun, jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan,” kata si ibu perempuan itu melanjutkan perkataannya. Anda mengerti? Si perempuan shalihah itu menolak lelaki shalih peminangnya karena ia mencintai lelaki yang lain. Ia mencintai si pengantar, Abud Darda’. Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak.
Ada juga kisah cinta yang lain. Abu Bakar Ash Shiddiq meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia ingin mempererat kekerabatannya dengan Sang Rasul dengan pinangan itu. Saat itu usia Fathimah menjelang delapan belas tahun. Ia menjadi perempuan yang tumbuh sempurna dan menjadi idaman para lelaki yang ingin menikah. Keluhuran budi, kemuliaan akhlaq, kehormatan keturunan, dan keshalihahan jiwa menjadi penarik yang sangat kuat.
“Saya mohon kepadamu,” kata Abu Bakar kepada Rasulullah sebagaimana dikisahkan Anas dalam Fatimah Az Zahra, “Sudilah kiranya engkau menikahkan Fathimah denganku.” Dalam riwayat lain, Abu Bakar melamar melalui putrinya sekaligus Ummul Mukminin Aisyah.
Mendapat pinangan dari lelaki shalih itu, Rasulullah hanya terdiam dan berpaling. “Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” kata beliau dalam riwayat lain. “Hai Abu Bakar, tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah. Yang terakhir ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat. Maksud Rasulullah dengan menunggu keputusan adalah keputusan dari Allah atas kondisi dan keadaan itu, apakah menerima pinangan itu atau tidak.
Ketika Umar bin Khathab mendengar cerita ini dari Abu Bakar langsung, ia mengatakan, “Hai Abu Bakar, beliau menolak pinanganmu.”
Kemudian Umar mengambil kesempatan itu. Ia mendatangi Rasulullah dan menyampaikan pinangannya untuk menikahi Fathimah binti Muhammad. Tujuannya tidak terlalu berbeda dengan Abu Bakar. Bahkan jawaban yang diberikan Rasulullah kepada Umar pun sama dengan jawaban yang diberikan kepada Abu Bakar. “Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” ujar beliau. “Tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah.
Ketika Abu Bakar mendengar cerita ini dari Umar bin Khathab langsung, ia mengatakan, “Hai Umar, beliau menolak pinanganmu.”
Kita bisa membayangkan itu? Dua orang lelaki paling shalih di masa hidup Rasulullah pun ditolak pinangannya. Abu Bakar adalah sahabat paling utama di antara seluruh sahabat yang ada. Kepercayaannya kepada Islam dan kerasulan begitu murni, tanpa reverse ataupun setitis keraguan. Karena itulah ia mendapat julukan Ash Shiddiq. Ia adalah lelaki yang disebutkan Al Qur’an sebagai pengiring jalan hijrah Rasulullah di dalam gua. Ia adalah dai yang banyak memasukkan para pembesar Mekah dalam pelukan Islam. Ia adalah pembebas budak-budak muslim yang senantiasa tertindas. Ia adalah lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya untuk jihad, dan hanya menyisakan Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh keluarganya. Ia adalah orang yang ingin diangkat sebagai kekasih oleh Rasulullah. Ia adalah salah satu lelaki yang telah dijamin menginjakkan tumitnya di kesejukan taman jannah. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.
Sementara, siapa tidak mengenal lelaki shalih lain bernama Umar bin Khathab. Ia adalah pembeda antara kebenaran dan kebathilan. Ia dan Hamzah lah yang telah mengangkat kemuliaan kaum muslimin di masa-masa awal perkembangannya di Mekah. Ia lelaki yang seringkali firasatnya mendahului turunnya wahyu dan ayat-ayat ilahi kepada Rasulullah. Ia adalah lelaki yang dengan keberaniannya menantang kaum musyrikin saat ia akan berangkat hijrah, ia melambungkan nama Islam. Ia lelaki yang sangat mencintai keadilan dan menegakkannya tatkala ia menggantikan posisi Rasulullah dan Abu Bakar di kemudian hari. Ia pula yang di kemudian hari membuka kunci-kunci dunia dan membebaskan negeri-negeri untuk menerima cahaya Islam. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.
Mari kita simak kenapa pinangan dua lelaki shalih ini ditolak Rasulullah. Ketika itu, Ali bin Abi Thalib datang menemui Rasulullah. Shahabat-shahabatnya dari Anshar, keluarga, bahkan dalam sebuah riwayat termasuk pula dua lelaki shalih terdahulu mendorongnya untuk datang meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia menemui Rasulullah dan memberi salam.
“Hai anak Abu Thalib,” sapa Rasulullah pada Ali dengan nama kunyahnya, ”Ada perlu apa?”
Simaklah jawaban lugu yang disampaikan Ali kepada Rasulullah sebagaimana dinukil Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat. “Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah,” katanya lirih hampir tak terdengar. Dengar dan rasakan kepolosan dan kepasrahan dari setiap diksi yang terucap dari Ali bin Abi Thalib itu. Kepolosan dan kepasrahan seorang pecinta akan cintanya yang demikian lama. Ia menggunakan pilihan kata yang sangat lembut di dalam jiwa, “Terkenang.” Kata ini mewakili keterlamaan rasa dan gelora yang terpendam, bertunas menembus langit-langit realita, transliterasi rasa.
“Ahlan wa sahlan!” kata Rasulullah menyambut perkataan Ali. Senyum mengiringi rangkaian kata itu meluncur dari bibir mulia Rasulullah. Kita tidak usah sebingung Ali memahami jawaban Rasulullah. Jawaban itu bermakna bahwa pinangan Ali diterima oleh Rasulullah seperti yang dipahami rekan-rekan Ali.
Mari kita biarkan Ali dengan kebahagiaan diterima pinangannya oleh Rasulullah. Mari kita melihat dari perspektif yang lebih fokus untuk memahami penolakan pinangan dua lelaki shalih sebelumnya dan penerimaan lelaki shalih yang ini. Kita boleh punya pendapat tersendiri tentang masalah ini.
Ketika Rasulullah menjelaskan alasan kepada Abu Bakar dan Umar berupa penolakan halus, kita tidak bisa menerimanya secara letter lijk. Sebab bisa jadi itu adalah bahasa kias yang digunakan Rasulullah. Misalnya ketika Rasulullah mengatakan bahwa Fathimah masih kecil, tentu saja ini tidak bisa diterjemahkan sebagai kecil secara harfiah, sebab saat itu usia Fathimah sudah hampir delapan belas tahun. Sebuah usia yang cukup matang untuk ukuran masa itu dan bangsa Arab. Sementara Rasulullah sendiri berumah tangga dengan Aisyah pada usia setengah usia Fathimah saat itu. Maka, kita harus memahami kalimat penolakan itu sebagai bahasa kias.
Saat Rasulullah meminta Abu Bakar dan Umar bin Khathab untuk menunggu keputusan, ini juga diterjemahkan sebagai penolakan sebagaimana dipahami dua lelaki shalih itu. Jadi, pernyataan Rasulullah itu bukan pernyataan untuk menggantung pinangan, sebab jika pinangan itu digantung, tentu saja Umar dan Ali tidak boleh meminang Fathimah. Pernyataan itu adalah sebuah penolakan halus.
Atau bisa jadi, saat itu Rasulullah punya harapan lain bahwa Ali bin Abi Thalib akan melamar Fathimah. Beliau tahu sebab sejak kecil Ali telah bersamanya dan banyak bergaul dengan Fathimah. Interaksi yang lama dua muda mudi sangat potensial menumbuhkan tunas cinta dan memekarkan kuncup jiwanya. Ini dibuktikan dari pernyataan Rasulullah untuk meminta dua lelaki shalih itu menunggu keputusan Allah tentang pinangannya. Jadi, dalam hal ini kemungkinan Rasulullah mengetahui bahwa putrinya dan Ali telah saling mencintai. Sehingga Rasulullah pun punya harapan pada keduanya untuk menikah. Rasulullah hanya sedang menunggu pinangan Ali. Di masa mendatang sejarah membuktikan ketika Ali dan Fathimah sudah menikah, ia berkata kepada Ali, suaminya, “Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda.” Saya yakin kita tahu siapa yang dimaksud oleh Fathimah. Ini perspektif saya.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan singkat Ali, “Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah.” Satu kalimat itu sudah mewakili apa yang diinginkan Ali. Rasulullah sangat memahami ini. Beliau adalah seseorang yang sangat peka akan apa-apa yang diinginkan orang lain dari dirinya. Beliau memiliki empati terhadap orang lain dengan demikian kuat. Beliau memahami bentuk sempurna keinginan seseorang seperti Ali dengan beberapa kata saja.
Dan jawaban Rasulullah pun menunjukkan hal yang serupa, “Ahlan wa sahlan!” Ungkapan sambutan selamat datang atas sebuah penantian.
Jadi, dengan perspektif ini, kita akan memahami bahwa lelaki shalih yang datang untuk meminang bisa ditolak pinangannya, tanpa akan menimbulkan fitnah di muka bumi ataupun kerusakan yang meluas. Wanita shalihah yang dipinang Salman Al Farisi telah menunjukkan kepada kita, bahwa ia mencintai Abud Darda’ dan menolak pinangan lelaki shalih dari Persia itu. Rasulullah pun telah menunjukkan pada kita bahwa ia menolak pinangan dua lelaki tershalih di masanya karena Fathimah mencintai lelaki shalih yang lain, Ali Bin Abu Thalib. Di sini, kita belajar bahwa cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan.
Mari kita dengarkan sebuah kisah yang dikisahkan Ibnu Abbas dan diabadikan oleh Imam Ibnu Majah. Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. “Wahai Rasulullah,” kata lelaki itu, “Seorang anak yatim perempuan yang dalam tanggunganku telah dipinang dua orang lelaki, ada yang kaya dan ada yang miskin.”
“Kami lebih memilih lelaki kaya,” lanjutnya berkisah, “Tapi dia lebih memilih lelaki yang miskin.” Ia meminta pertimbangan kepada Rasulullah atas sikap yang sebaiknya dilakukannya. “Kami,” jawab Rasulullah, “Tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pernikahan bagi dua orang yang saling mencintai, lam nara lil mutahabbaini mitslan nikahi.”
Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak. Di telinga dan jiwa lelaki ini, perkataan Rasulullah itu laksana setitis embun di kegersangan hati. Menumbuhkan tunas yang hampir mati diterpa badai kemarau dan panasnya bara api. Seakan-akan Rasulullah mengatakannya khusus hanya untuk dirinya. Seakan-akan Rasulullah mengingatkannya akan ikhtiar dan agar tiada sesal di kemudian hari.
“Cinta itu,” kata Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul Ma’rah fi ‘Ashrir Risalah, “Adalah perasaan yang baik dengan kebaikan tujuan jika tujuannya adalah menikah.” Artinya yang satu menjadikan yang lainnya sebagai teman hidup dalam bingkai pernikahan.
Dengan maksud yang serupa, Imam Al Hakim mencatat bahwa Rasulullah bersabda tentang dua manusia yang saling mencintai. “Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai,” kata Rasulullah, “Seperti halnya pernikahan.” Ya, tidak ada yang lebih indah. Ini adalah perkataan Rasulullah. Dan lelaki ini meyakini bahwa perkataan beliau adalah kebenaran. Karena bagi dua orang yang saling mencintai, memang tidak ada yang lebih indah selain pernikahan. Karena cintalah yang menghapus fitnah di muka bumi dan memperbaiki kerusakan yang meluas, insya Allah.
Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan.
Sumber : www.dakwatuna.com
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
Lukisan Cinta untuk Ibunda
Lunglai
Tubuhnya lemah terkulai
Sisa butiran keringat masih tampak berkilau di dahinya Perjuangan hidup mati menggadaikan nyawa baru saja berakhir
Semburat pucat di wajah pun perlahan lenyap
Senyumnya mengembang
Bibirnya melafadzkan hamdalah
Tak lama, dua sosok mungil itu ada di hadapan
Dipeluknya bergantian dengan segenap kehangatan kasih sayang
Padahal dirinya masih tampak letih
Matanya berbinar-binar bahagia
Tak henti-henti menyapa buah hati tercinta
Kembar
Luar biasa bahagia rasanya
Tetes air bening pun mengalir dari sudut mata
Air mata bahagia
Bagai melepas kerinduan yang teramat dalam
Pipi yang masih kemerah-merahan itu dicium
Dua kepala mungil dibelai dengan manja
Bayi kembar itu sedikit menggeliat
Subhanallah, betapa indahnya ciptaan-Mu, ya Rabb..
Lirih hatinya berkata saat menatap sang buah hati
Dua pasang mata itu memang belum bisa melihat dengan sempurna
Namun batin kedua bayi merah itu meyakini
Mereka berada di tangan seseorang yang sangat mencintai
Aura cinta memancar dari kedalaman jiwa
Menyelimuti sang buah hati yang baru saja menyapa dunia
Dengan lengkingan tangis memecah sunyi
Indah… bahkan teramat indah!
Bunda tak pernah kenal lelah menjaga dan menyayangi
Bunda jua yang mengajarkan makna kasih sayang dan cinta sejati
Bunda bagaikan pelabuhan cinta
Senyum kesabarannya selalu menjadi penawar resah, gundah bahkan amarah
Cinta Bunda memang cinta yang sangat indah
Kini...
Dua puluh tiga tahun pun berlalu setelah bayi kembar itu menyapa dunia
Jemari itu tak lagi lentik
Kulitnya pun kunjung keriput
Namun tak pernah cinta luruh dari dirinya
Disemainya doa hanya untuk Ananda tercinta
Selalu di setiap waktu
Terima kasih Ananda haturkan tuk Bunda tercinta
Sungguh tiada mampu Ananda membalas segala jasa
Mungkin hanya ini kuasa Ananda tuk lukiskan cinta
Melalui rangkaian kata yang terpahat menjadi karya
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
Sesal yang (Semoga) Berguna
Pekerjaan
sudah selesai, mau pulang tapi kalau jam segini nanggung! Bisa nggak
dapat Maghrib. Akhirnya mendengarkan nasyid dan menulis... Salah satu
nasyid favorit yang didengar adalah nasyid berikut ini...
Sering kumerasa bertakwa pada-Mu
Tapi itu hanya perasaan saja
Sering ku berdosa pada-Mu Illahi
Tapi sering ku mengingkarinya
Seringku mengingat cinta-Mu Illahi, tapi sering ku menjauhinya
Seringku terlena dengan dunia ini..
Hingga menjadi hamba yang merugi..
Hari demi hari terus kulalui
Dalam keadaan sepinya hati ini
Ku mengharap cinta Illahi
Dapat bersemi di hati
Hari ini kuingin berubah
Ke arah yang lebih baik lagi…
Ku akan mengabdi pada Illahi
Agar cinta-Mu terus di hati..
(Sesal – Heru Herdiana)
***
Senja pergi, gelap datang menjelma malam
Di keheningan dengan jeritan doa
Mengerang penyesalan mencurahkan hati kepada-Nya
Meminta ampunan ketika malam telah lengang
Di relung kesunyian bersama penyesalan di dasar jiwa yang pasrah
Penuh keharuan yang menyesak dada
Menanti keabadian ampunan-Nya di ruang penyesalan
Yang memuat segala keindahan harapan yang telah melalaikan
Hati terlena dalam buaian nafsu yang membelenggu
Dalam kenangan yang membekas
Di malam ini kuletakkan tangan di atas penyesalan
Yang telah lama terpendam di jiwa
Melingkupi relung hati
Yang tenggelam di dasar kalbu yang sunyi
Malam penyesalan
Untuk kusingkapkan segala dosa
Menyerahkan jiwa ragaku
Sambil mengulurkan kedua tangan
Mengharap berada dalam genggaman-Mu
Karena hanya dalam kuasa-Mu
Aku menuju keheningan yang abadi
Menjelang Maghrib @ My Office
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
Sering kumerasa bertakwa pada-Mu
Tapi itu hanya perasaan saja
Sering ku berdosa pada-Mu Illahi
Tapi sering ku mengingkarinya
Seringku mengingat cinta-Mu Illahi, tapi sering ku menjauhinya
Seringku terlena dengan dunia ini..
Hingga menjadi hamba yang merugi..
Hari demi hari terus kulalui
Dalam keadaan sepinya hati ini
Ku mengharap cinta Illahi
Dapat bersemi di hati
Hari ini kuingin berubah
Ke arah yang lebih baik lagi…
Ku akan mengabdi pada Illahi
Agar cinta-Mu terus di hati..
(Sesal – Heru Herdiana)
***
Senja pergi, gelap datang menjelma malam
Di keheningan dengan jeritan doa
Mengerang penyesalan mencurahkan hati kepada-Nya
Meminta ampunan ketika malam telah lengang
Di relung kesunyian bersama penyesalan di dasar jiwa yang pasrah
Penuh keharuan yang menyesak dada
Menanti keabadian ampunan-Nya di ruang penyesalan
Yang memuat segala keindahan harapan yang telah melalaikan
Hati terlena dalam buaian nafsu yang membelenggu
Dalam kenangan yang membekas
Di malam ini kuletakkan tangan di atas penyesalan
Yang telah lama terpendam di jiwa
Melingkupi relung hati
Yang tenggelam di dasar kalbu yang sunyi
Malam penyesalan
Untuk kusingkapkan segala dosa
Menyerahkan jiwa ragaku
Sambil mengulurkan kedua tangan
Mengharap berada dalam genggaman-Mu
Karena hanya dalam kuasa-Mu
Aku menuju keheningan yang abadi
Menjelang Maghrib @ My Office
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
Backpackeran ke Walimahan
Ahad, 19 Desember 2010 sedari pagi sampai
Maghrib saya dan enam saudari saya plus MR saya menghadiri sebuah acara
yang kami namakan ‘rihlah ruhiyah’. Acaranya sangat seru. Bersama
hampir 50-an lebih akhwat dan ikhwan, kami mengikuti acara ini. Semacam
ESQ-lah! Hanya saja biayanya relatif murah. Tapi, kualitasnya tidak
kalah! Insya Allah, saya sudah berazzam dalam diri saya, suatu saat saya
akan mengemas ‘hasil’ dari acara ini lewat tulisan-tulisan saya.
Ditunggu ya! Pada acara ini, kami juga diajak nasyidan. Salah satu
nasyid yang paling saya sukai adalah “Jejak”-nya Izzatul Islam.
Menapaki langkah-langkah berduri Menyusuri rawa, lembah dan hutan Berjalan di antara tebing jurang Smua dilalui demi perjuangan Letih tubuh di dalam perjalanan Saat hujan dan badai merasuki badan Namun jiwa harus terus bertahan Karna perjalanan masih panjang Kami adalah tentara Allah, siap melangkah menuju ke medan juang Walau tertatih kaki ini berjalan Jiwa perindu syahid tak akan tergoyahkan Wahai tentara Allah bertahanlah,, Jangan menangis walau jasadmu terluka Sebelum engkau bergelar syuhada Tetaplah bertahan dan bersiap siagalah
Tulisan ini tidak akan menceritakan reportase acara itu, tapi pasca acara ini. Setelah sholat Maghrib di masjid, kami berdelapan meninggalkan tempat acara yang berlokasi di salah satu universitas swasta di Jakarta Timur. Awalnya, kami akan pulang dulu dan bersiap-siap untuk menghadiri walimahan seorang alumni STIS. Saya baru kenal dengan kedua mempelai saat mengikuti Dauroh Al-Qur’an yang diadakan alumni STIS. Tapi MR saya berujar, daripada kemalaman, lebih baik kami langsung berangkat ke lokasi yang letaknya memang lumayan jauh dari situ. Dua orang saudari, memutuskan untuk pulang saja karena ada agenda lain. Tinggal berenam. Awalnya, saya dan ukhti N mau pulang karena waktu itu kami mengenakan jilbab kaos dan tas punggung. Eh ya, ukhti P juga mengenakan jilbab kaos dan pakai kaos juga sih. Hanya saja dia pakai jaket dan tas 'cantik'. Ukhti Y dan W juga agak kurang PD dengan penampilan masing-masing. Mmm, pada salah kostum!
Bismillahirrahmanirrahim, akhirnya dengan niatan untuk silaturahim karena sudah lama tidak bertemu dengan kedua mempelai yang kini bertugas di BPS Maluku, kami berangkat juga ke Gedung BKKBN naik taksi. MR duduk di depan, sedang kami berlima duduk di belakang. Seru juga! Sepanjang perjalanan, kami berusaha ‘mengafirmasi diri’ sebagai aplikasi dari ‘rihlah ruhiyah’ yang seharian ini kami dapatkan. Intinya, harus senantiasa POSITIVE THINKING!
Dengan mengenakan tas punggung, jilbab kaos, dan sandal serupa sandal gunung (sering dibilang sih 'sepatu sendal'), akhirnya saya datang ke walimatul ‘ursy tersebut. Hihi, lucu juga sih! Backpackeran ke walimahan. Agar terkesan berbeda, jilbab kaos yang bertali itu, saya tarik talinya sehingga ada serutan di kedua ujungnya. Kesannya jadi berbeda. Kreatifitas memang muncul di saat yang kepepet. Untungnya saja sandal yang serupa sandal gunung itu berwarna krem, jadi ya tetap terlihat ‘cantik’ (sandalnya!). Sampai di gedung BKKBN, ada ide lagi. Tas punggung milik saya, ukhti N dan MR saya dititipkan ke mbak-mbak yang menunggu kado dan souvenir. Beres deh! MR saya juga pakai tas punggung, tapi 'kecil dan cantik' sih ^^v. Jadi, sebenarnya tidak perlu dititipkan. Setelah menitipkan tas, akhirnya kami bisa melenggang ke dalam lokasi walimatul ‘ursy. Hihi... Unforgetable moment!
Setelah mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, kami menuju lokasi makan malam. Eh, bertemu dengan adik-adik STIS. Sebagian memang mengenali saya. Akhirnya kami bercengkerama, ada seorang dari mereka yang malah meminta saya mengoreksi tulisannya. Kebetulan dia lolos dalam sebuah kompetisi penulisan yang akan dibukukan, bersama saya juga! Pukul 20.30 kami akhirnya pulang naik taksi lagi. Kos kami dan rumah MR cukup berdekatan. Alhamdulillah, tidak ada yang mempermasalahkan penampilan kami. Hanya saja, awalnya kami memang sempat under estimate pada diri kami sendiri. Alhamdulillah, kami bisa mengatasinya dan melewati acara istimewa malam ini serta bisa membawa oleh-oleh inspirasi yang luar biasa. Selain itu, saat pulang, saya sempat mengambil mawar dan melati yang memang boleh diambil ^^v.
Mawar merah berduri itu akhirnya kini menghiasi REDZone dan saat memandangnya memberi kesan tersendiri bagi saya...
Backsong waktu nulis ini “Teman Sejati”-nya Brother yang juga kami nyanyikan waktu penutupan acara “rihlah ruhiyah” petang tadi.
Selama ini
Kumencari-cari
Teman yang sejati
Buat menemani
Perjuangan suci
Bersyukur kini
Pada-Mu Illahi
Teman yang dicari
Selama ini
Telah kutemui
Dengannya di sisi
Perjuangan ini
Senang diharungi
Bertambah murni
Kasih Illahi
Kepada-Mu Allah
Kupanjatkan doa
Agar berkekalan
Kasih sayang kita
Kepadamu teman
Ku pohon sokongan
Pengorbanan dan pengertian
Telah kuungkapkan
Segala-galanya...
Kepada-Mu Allah
Kupohon restu
Agar kita kekal bersatu
Kepadamu teman
Teruskan perjuangan
Pengorbanan dan kesetiaan
Telah kuungkapkan
Segala-galanya
Itulah tandanya
Kejujuran kita
(Brother - Teman Sejati)
REDZone, 20 Desember 2010
Aisya Avicenna
NB : Untuk saudari-saudariku, semoga ukhuwah kita di 'lingkaran cinta' ini semakin erat... Ana ukhibuki fillah...
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
Menapaki langkah-langkah berduri Menyusuri rawa, lembah dan hutan Berjalan di antara tebing jurang Smua dilalui demi perjuangan Letih tubuh di dalam perjalanan Saat hujan dan badai merasuki badan Namun jiwa harus terus bertahan Karna perjalanan masih panjang Kami adalah tentara Allah, siap melangkah menuju ke medan juang Walau tertatih kaki ini berjalan Jiwa perindu syahid tak akan tergoyahkan Wahai tentara Allah bertahanlah,, Jangan menangis walau jasadmu terluka Sebelum engkau bergelar syuhada Tetaplah bertahan dan bersiap siagalah
Tulisan ini tidak akan menceritakan reportase acara itu, tapi pasca acara ini. Setelah sholat Maghrib di masjid, kami berdelapan meninggalkan tempat acara yang berlokasi di salah satu universitas swasta di Jakarta Timur. Awalnya, kami akan pulang dulu dan bersiap-siap untuk menghadiri walimahan seorang alumni STIS. Saya baru kenal dengan kedua mempelai saat mengikuti Dauroh Al-Qur’an yang diadakan alumni STIS. Tapi MR saya berujar, daripada kemalaman, lebih baik kami langsung berangkat ke lokasi yang letaknya memang lumayan jauh dari situ. Dua orang saudari, memutuskan untuk pulang saja karena ada agenda lain. Tinggal berenam. Awalnya, saya dan ukhti N mau pulang karena waktu itu kami mengenakan jilbab kaos dan tas punggung. Eh ya, ukhti P juga mengenakan jilbab kaos dan pakai kaos juga sih. Hanya saja dia pakai jaket dan tas 'cantik'. Ukhti Y dan W juga agak kurang PD dengan penampilan masing-masing. Mmm, pada salah kostum!
Bismillahirrahmanirrahim, akhirnya dengan niatan untuk silaturahim karena sudah lama tidak bertemu dengan kedua mempelai yang kini bertugas di BPS Maluku, kami berangkat juga ke Gedung BKKBN naik taksi. MR duduk di depan, sedang kami berlima duduk di belakang. Seru juga! Sepanjang perjalanan, kami berusaha ‘mengafirmasi diri’ sebagai aplikasi dari ‘rihlah ruhiyah’ yang seharian ini kami dapatkan. Intinya, harus senantiasa POSITIVE THINKING!
Dengan mengenakan tas punggung, jilbab kaos, dan sandal serupa sandal gunung (sering dibilang sih 'sepatu sendal'), akhirnya saya datang ke walimatul ‘ursy tersebut. Hihi, lucu juga sih! Backpackeran ke walimahan. Agar terkesan berbeda, jilbab kaos yang bertali itu, saya tarik talinya sehingga ada serutan di kedua ujungnya. Kesannya jadi berbeda. Kreatifitas memang muncul di saat yang kepepet. Untungnya saja sandal yang serupa sandal gunung itu berwarna krem, jadi ya tetap terlihat ‘cantik’ (sandalnya!). Sampai di gedung BKKBN, ada ide lagi. Tas punggung milik saya, ukhti N dan MR saya dititipkan ke mbak-mbak yang menunggu kado dan souvenir. Beres deh! MR saya juga pakai tas punggung, tapi 'kecil dan cantik' sih ^^v. Jadi, sebenarnya tidak perlu dititipkan. Setelah menitipkan tas, akhirnya kami bisa melenggang ke dalam lokasi walimatul ‘ursy. Hihi... Unforgetable moment!
Setelah mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, kami menuju lokasi makan malam. Eh, bertemu dengan adik-adik STIS. Sebagian memang mengenali saya. Akhirnya kami bercengkerama, ada seorang dari mereka yang malah meminta saya mengoreksi tulisannya. Kebetulan dia lolos dalam sebuah kompetisi penulisan yang akan dibukukan, bersama saya juga! Pukul 20.30 kami akhirnya pulang naik taksi lagi. Kos kami dan rumah MR cukup berdekatan. Alhamdulillah, tidak ada yang mempermasalahkan penampilan kami. Hanya saja, awalnya kami memang sempat under estimate pada diri kami sendiri. Alhamdulillah, kami bisa mengatasinya dan melewati acara istimewa malam ini serta bisa membawa oleh-oleh inspirasi yang luar biasa. Selain itu, saat pulang, saya sempat mengambil mawar dan melati yang memang boleh diambil ^^v.
Mawar merah berduri itu akhirnya kini menghiasi REDZone dan saat memandangnya memberi kesan tersendiri bagi saya...
Backsong waktu nulis ini “Teman Sejati”-nya Brother yang juga kami nyanyikan waktu penutupan acara “rihlah ruhiyah” petang tadi.
Selama ini
Kumencari-cari
Teman yang sejati
Buat menemani
Perjuangan suci
Bersyukur kini
Pada-Mu Illahi
Teman yang dicari
Selama ini
Telah kutemui
Dengannya di sisi
Perjuangan ini
Senang diharungi
Bertambah murni
Kasih Illahi
Kepada-Mu Allah
Kupanjatkan doa
Agar berkekalan
Kasih sayang kita
Kepadamu teman
Ku pohon sokongan
Pengorbanan dan pengertian
Telah kuungkapkan
Segala-galanya...
Kepada-Mu Allah
Kupohon restu
Agar kita kekal bersatu
Kepadamu teman
Teruskan perjuangan
Pengorbanan dan kesetiaan
Telah kuungkapkan
Segala-galanya
Itulah tandanya
Kejujuran kita
(Brother - Teman Sejati)
REDZone, 20 Desember 2010
Aisya Avicenna
NB : Untuk saudari-saudariku, semoga ukhuwah kita di 'lingkaran cinta' ini semakin erat... Ana ukhibuki fillah...
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
BYE-BYE!
Pada tulisan kali ini, saya akan mencoba menceritakan sebuah coretan
‘sejarah’ yang terukir dalam hidup saya pada hari Sabtu, 18 Desember
2010. Pukul 16.30, kaki ini menapaki shelter busway Masjid Agung yang
terletak di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Saat itu saya habis
mengikuti sebuah acara yang sangat luar biasa! Ah, mungkin sekarang
belum saatnya untuk diceritakan. Kalau yang sudah baca novel
“Nibiru”-nya Kang Tasaro GK, aktivitas saya seharian itu ibarat Dacca
Suli yang tengah melatih ‘pughaba’-nya di Bhepomany. Hehe, yang belum
baca “Nibiru”, segera baca aja deh! Saya juga belum selesai. Baru sampai
bab 5. Karena memang butuh waktu yang ‘pas’ untuk membaca Nibiru.
Selain karena pesan tersirat yang harus dicari. Novel ini juga
dilengkapi dengan Bahasa Kedhalu yang sangat misterius, teka-teki yang
mesti dipecahkan! Kok jadi promosi Nibiru? Lanjut dengan kisah sejarah
di hari Sabtu kemarin.
Dari halte busway tersebut saya naik busway sampai shelter Dukuh Atas jurusan Pulo Gadung. Saya turun di shelter Matraman untuk transit dan selanjutnya naik busway jurusan PGC. Saat naik busway jurusan PGC inilah mungkin peristiwa itu terjadi, entah di haltenya atau di buswaynya. Sabtu itu saya memang sengaja mengenakan tas punggung karena bawa si T-ONE (nama laptop mini saya). Sepanjang perjalanan sejak berangkat dari kos tadi pagi, tas itu selalu saya gendong di depan. Agar aman, pikir saya.
Saat berada di shelter Matraman, calon penumpang busway jurusan PGC memang membludak. Masuk ke buswaynya juga berdesak-desakan. Saya berdiri, tak dapat tempat duduk. Waktu itulah saya menyadari. Retsleting tas saya terbuka. Degh! Saya langsung merogoh ke dalam retsleting itu untuk memastikan sebuah barang yang tadi saya taruh di situ. Benar saja, barang itu tidak saya temukan.
Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Allaahumma laa ya'tii bilhasanaati illaa anta wa laa yadzhabu bissayyi'aati illaa anta wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah.
Sesunggguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah tiada yang mendatangkan kebaikan-kebaikan selain-Mu, dan tiada yang menghilangkan kejahatan-kejahatan selain-Mu pula. Tiada daya upaya dan kekuatan selain dengan Allah.
Saya berusaha untuk tenang. Hmm, mungkin saya memasukkan barang itu ke retsleting yang lain. Sampai di shelter Gelanggang Remaja, saya turun. Sambil berjalan keluar shelter, saya geledah tas saya. Nihil. Blackberry itu sudah berpindah tangan.
Saya terkenang dengan kejadian sekitar empat tahun yang lalu. Saat itu saya baru semester dua di Jurusan Matematika FMIPA UNS. Entah tanggal berapa, pagi itu saya tiba di Solo setelah mudik. HP Nokia 2100 saya dicopet orang saat perjalanan Wonogiri-Solo. Sampai di kos, saya sholat Dhuha dan pasca itu saya menangis. Mengapa saya menangis? Ya, karena menurut saya (waktu itu), HP tersebut sangat berharga karena saya beli sendiri dari hasil saya mengajar privat. Saya sedih sekali waktu itu. Kalau diingat sekarang sih, saya malah tersenyum.
Kali ini, apakah saya menangis karena Blackberry itu hilang? Ya, setelah sampai di kos, saya keluarkan semua barang di tas punggung saya tersebut. Hasilnya tetap nihil. Waktu Maghrib datang, setelah sholat Maghrib itulah saya menangis. Mengapa saya menangis? Apakah saya bersedih? Ya, saya menangis. Tapi saya menangis karena bahagia. Lhoh, mengapa saya malah bahagia? Ya, karena peristiwa tersebut menandakan bahwa Allah masih sangat sayang dengan saya. Allah masih ‘perhatian’ dengan saya. Saya sangat bersyukur akan hal ini. Karena saya yakin, setiap kejadian pasti ada hikmahnya dan setiap yang ada pada diri kita (khususnya yang sifatnya materi, itu hanyalah titipan dari Allah yang sewaktu-waktu dapat diambil-Nya kembali).
Setelah itu, saya telepon Norma (my supertwin) dan menceritakannya. Dia memberi saya motivasi, hampir sama dengan self motivation yang saya lakukan pada diri saya sendiri. Pembahasan tentang Blackberry yang hilang hanya berlangsung beberapa menit, malahan obrolan berlanjut pada rencana pembuatan buku yang akan segera kami realisasikan tahun depan. Kami telepon-teleponan sambil ketawa-ketiwi dan saling menyemangati. Hmm, saling mentransfer energi positif-lah, begitu istilahnya!
Malam itu, saya meminta Norma menceritakan pada keluarga di rumah karena kebetulan dia pas lagi mudik. Mengapa saya tidak menceritakan sendiri? Pertama, saya tidak ingin ibuk dan Babe terlalu ‘kepikiran’. Kedua, kalau saya telepon ibuk/Babe dalam kondisi seperti itu, malahan saya akan menangis sedih!
Keesokan harinya ibuk SMS, “AW2, sdang pa mbk? Kt D’Nung kmarin HP mbk Tic diambil orang y?diiklaskan aja y (blm rjekinya)”. Langsung saya balas, “Wa’alaykumslm. Lagi di nikahan temen. Iya, mam, pasti banyak hikmahnya kok... Ibuk membalas lagi, “Iya, ambil hikmahnya aja ya!”. Aku balas lagi, “Insya Allah, diganti dengan yang lbh baik kok..”.
Alhamdulillah, keluarga memang sumber ‘kekuatan’ kita yang luar biasa. Menyikapi kejadian ini, saya mencoba merenung dan mengklasifikasi hikmah di balik kejadian ini ke dalam tiga hal.
1. Kejadian ini adalah UJIAN bagi saya.
- Daripada menyebutnya ‘musibah’, saya lebih suka menyebutnya dengan ‘ujian’. Ya, seperti saat kita sekolah dulu, ‘ujian’ adalah salah satu sarana kita untuk ‘naik kelas’. Ujian adalah sebuah tantangan yang harus kita taklukkan. Kalau kita berhasil melewatinya, maka kita akan menjadi pemenang!
“Tidak ada satu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(Q.S. At-Taghabun : 11).
2. Kejadian ini adalah TEGURAN bagi saya.
Allah menegur saya karena bisa jadi saya sering lalai. Mungkin saat punya BB itu, ada beberapa hal yang telah saya lakukan yang membuat Allah ‘tidak suka’, misalnya saja :
- Lebih suka buka BB daripada buka Al-Qur’an
- Lebih suka BBM-an daripada menambah hafalan Qur’an
- Mungkin saja, tanpa saya sadari, ada rasa riya’ dalam diri karena memiliki BB itu
- Dulunya BB ini adalah hadiah dari tiga orang yang cukup berpengaruh dalam hidup saya di Jakarta. Bisa jadi, tanpa disadari, dulu saat pertama kali menerimanya, saya kurang bersyukur atau saya berterima kasih hanya secara lisan. Sedang batin berujar, “Kok cuma BB Gemini sih?” Bisa jadi seperti itu.
Itulah asumsi-asumsi sebagai bahan muhasabah saya, bisa jadi kenyataannya lebih banyak dari itu. Astaghfirullah... saatnya untuk berbenah!!!
Allahummarzuqnii nafsan muthma'innatan tu'munu biliqaa'ika wa tardhaa biqadhaa'ika
Ya Allah, berilah kami hati yang tenang, yang beriman akan saat perjumpaan dengan-Mu dan ridha menerima segala ketetapan-Mu
3. Kejadian ini adalah NIKMAT bagi saya
- Tanpa bermaksud memutuskan tali silaturahim (saya tidak pernah berpikir untuk itu!), saya pernah berdoa pada Allah karena beberapa waktu yang lalu saya sempat mendapat ‘gangguan’. Awalnya, saya memang akan ganti nomor HP saja. Tapi kemudian saya berpikir, kalau hanya gara-gara ‘gangguan’ itu saya sampai ganti nomor HP, berarti saya ‘kalah’! Akhirnya, saya memohon pada Allah agar diberi cara yang terbaik. Mungkin, cara inilah yang Allah berikan sebagai solusi. Allah mengirimkan seseorang yang tidak saya kenal dan mengambil BB itu tanpa sepengetahuan saya. Lebih tepatnya, BB sekaligus nomor M3 saya. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk tidak menggunakan nomor 085647122037 lagi. Semoga saja ‘gangguan’ itu tidak datang lagi. Aamiin...
- Selain itu, saya bisa menghemat uang lebih banyak. Saat memakai BB, saya harus mengeluarkan Rp 30.000,- per minggu untuk biaya aktivasi. Memang sih, dari segi pemanfaatan internet sangat membantu, tapi ternyata boros juga! Sekarang, mungkin saya akan bisa lebih berhemat. Bisa menabung lebih banyak!
- Alhamdulillah, hanya BB saja yang diambil. Padahal pada tempat yang sama juga ada dompet yang berisi uang dan ATM. Di retsleting sebelahnya juga ada laptop mini saya yang selalu setia menemani saya menulis.
- Akan ada ‘kejutan’ yang luar biasa dari Allah pasca kejadian ini. Saya sangat yakin akan hal itu!
Allahumma ajirnii fii mushiibatii wakhluf lii khairamminhaa
Ya Allah berilah kami pahala dalam musibahku ini dan berilah pengganti yang lebih baik (HR. Muslim)
Masih banyak sih sebenarnya point-point sebagai derivasi dari tiga klasifikasi di atas. Pada intinya saya sangat yakin bahwa di setiap kejadian pasti mengandung pelajaran. Kejadian itu sebagai ujian agar saya senantiasa pantang menyerah dalam menghadapi tantangan. Kejadian itu sebagai teguran agar saya sadar akan kesalahan dan segera bertaubat memohon ampunan. Kejadian itu sebagai nikmat sehingga saya harus bersyukur agar pahala-lah yang tercatat dan agar nikmat itu tambah berlipat-lipat.
REDZone, 20 Desember 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
Dari halte busway tersebut saya naik busway sampai shelter Dukuh Atas jurusan Pulo Gadung. Saya turun di shelter Matraman untuk transit dan selanjutnya naik busway jurusan PGC. Saat naik busway jurusan PGC inilah mungkin peristiwa itu terjadi, entah di haltenya atau di buswaynya. Sabtu itu saya memang sengaja mengenakan tas punggung karena bawa si T-ONE (nama laptop mini saya). Sepanjang perjalanan sejak berangkat dari kos tadi pagi, tas itu selalu saya gendong di depan. Agar aman, pikir saya.
Saat berada di shelter Matraman, calon penumpang busway jurusan PGC memang membludak. Masuk ke buswaynya juga berdesak-desakan. Saya berdiri, tak dapat tempat duduk. Waktu itulah saya menyadari. Retsleting tas saya terbuka. Degh! Saya langsung merogoh ke dalam retsleting itu untuk memastikan sebuah barang yang tadi saya taruh di situ. Benar saja, barang itu tidak saya temukan.
Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Allaahumma laa ya'tii bilhasanaati illaa anta wa laa yadzhabu bissayyi'aati illaa anta wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah.
Sesunggguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah tiada yang mendatangkan kebaikan-kebaikan selain-Mu, dan tiada yang menghilangkan kejahatan-kejahatan selain-Mu pula. Tiada daya upaya dan kekuatan selain dengan Allah.
Saya berusaha untuk tenang. Hmm, mungkin saya memasukkan barang itu ke retsleting yang lain. Sampai di shelter Gelanggang Remaja, saya turun. Sambil berjalan keluar shelter, saya geledah tas saya. Nihil. Blackberry itu sudah berpindah tangan.
Saya terkenang dengan kejadian sekitar empat tahun yang lalu. Saat itu saya baru semester dua di Jurusan Matematika FMIPA UNS. Entah tanggal berapa, pagi itu saya tiba di Solo setelah mudik. HP Nokia 2100 saya dicopet orang saat perjalanan Wonogiri-Solo. Sampai di kos, saya sholat Dhuha dan pasca itu saya menangis. Mengapa saya menangis? Ya, karena menurut saya (waktu itu), HP tersebut sangat berharga karena saya beli sendiri dari hasil saya mengajar privat. Saya sedih sekali waktu itu. Kalau diingat sekarang sih, saya malah tersenyum.
Kali ini, apakah saya menangis karena Blackberry itu hilang? Ya, setelah sampai di kos, saya keluarkan semua barang di tas punggung saya tersebut. Hasilnya tetap nihil. Waktu Maghrib datang, setelah sholat Maghrib itulah saya menangis. Mengapa saya menangis? Apakah saya bersedih? Ya, saya menangis. Tapi saya menangis karena bahagia. Lhoh, mengapa saya malah bahagia? Ya, karena peristiwa tersebut menandakan bahwa Allah masih sangat sayang dengan saya. Allah masih ‘perhatian’ dengan saya. Saya sangat bersyukur akan hal ini. Karena saya yakin, setiap kejadian pasti ada hikmahnya dan setiap yang ada pada diri kita (khususnya yang sifatnya materi, itu hanyalah titipan dari Allah yang sewaktu-waktu dapat diambil-Nya kembali).
Setelah itu, saya telepon Norma (my supertwin) dan menceritakannya. Dia memberi saya motivasi, hampir sama dengan self motivation yang saya lakukan pada diri saya sendiri. Pembahasan tentang Blackberry yang hilang hanya berlangsung beberapa menit, malahan obrolan berlanjut pada rencana pembuatan buku yang akan segera kami realisasikan tahun depan. Kami telepon-teleponan sambil ketawa-ketiwi dan saling menyemangati. Hmm, saling mentransfer energi positif-lah, begitu istilahnya!
Malam itu, saya meminta Norma menceritakan pada keluarga di rumah karena kebetulan dia pas lagi mudik. Mengapa saya tidak menceritakan sendiri? Pertama, saya tidak ingin ibuk dan Babe terlalu ‘kepikiran’. Kedua, kalau saya telepon ibuk/Babe dalam kondisi seperti itu, malahan saya akan menangis sedih!
Keesokan harinya ibuk SMS, “AW2, sdang pa mbk? Kt D’Nung kmarin HP mbk Tic diambil orang y?diiklaskan aja y (blm rjekinya)”. Langsung saya balas, “Wa’alaykumslm. Lagi di nikahan temen. Iya, mam, pasti banyak hikmahnya kok... Ibuk membalas lagi, “Iya, ambil hikmahnya aja ya!”. Aku balas lagi, “Insya Allah, diganti dengan yang lbh baik kok..”.
Alhamdulillah, keluarga memang sumber ‘kekuatan’ kita yang luar biasa. Menyikapi kejadian ini, saya mencoba merenung dan mengklasifikasi hikmah di balik kejadian ini ke dalam tiga hal.
1. Kejadian ini adalah UJIAN bagi saya.
- Daripada menyebutnya ‘musibah’, saya lebih suka menyebutnya dengan ‘ujian’. Ya, seperti saat kita sekolah dulu, ‘ujian’ adalah salah satu sarana kita untuk ‘naik kelas’. Ujian adalah sebuah tantangan yang harus kita taklukkan. Kalau kita berhasil melewatinya, maka kita akan menjadi pemenang!
“Tidak ada satu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(Q.S. At-Taghabun : 11).
2. Kejadian ini adalah TEGURAN bagi saya.
Allah menegur saya karena bisa jadi saya sering lalai. Mungkin saat punya BB itu, ada beberapa hal yang telah saya lakukan yang membuat Allah ‘tidak suka’, misalnya saja :
- Lebih suka buka BB daripada buka Al-Qur’an
- Lebih suka BBM-an daripada menambah hafalan Qur’an
- Mungkin saja, tanpa saya sadari, ada rasa riya’ dalam diri karena memiliki BB itu
- Dulunya BB ini adalah hadiah dari tiga orang yang cukup berpengaruh dalam hidup saya di Jakarta. Bisa jadi, tanpa disadari, dulu saat pertama kali menerimanya, saya kurang bersyukur atau saya berterima kasih hanya secara lisan. Sedang batin berujar, “Kok cuma BB Gemini sih?” Bisa jadi seperti itu.
Itulah asumsi-asumsi sebagai bahan muhasabah saya, bisa jadi kenyataannya lebih banyak dari itu. Astaghfirullah... saatnya untuk berbenah!!!
Allahummarzuqnii nafsan muthma'innatan tu'munu biliqaa'ika wa tardhaa biqadhaa'ika
Ya Allah, berilah kami hati yang tenang, yang beriman akan saat perjumpaan dengan-Mu dan ridha menerima segala ketetapan-Mu
3. Kejadian ini adalah NIKMAT bagi saya
- Tanpa bermaksud memutuskan tali silaturahim (saya tidak pernah berpikir untuk itu!), saya pernah berdoa pada Allah karena beberapa waktu yang lalu saya sempat mendapat ‘gangguan’. Awalnya, saya memang akan ganti nomor HP saja. Tapi kemudian saya berpikir, kalau hanya gara-gara ‘gangguan’ itu saya sampai ganti nomor HP, berarti saya ‘kalah’! Akhirnya, saya memohon pada Allah agar diberi cara yang terbaik. Mungkin, cara inilah yang Allah berikan sebagai solusi. Allah mengirimkan seseorang yang tidak saya kenal dan mengambil BB itu tanpa sepengetahuan saya. Lebih tepatnya, BB sekaligus nomor M3 saya. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk tidak menggunakan nomor 085647122037 lagi. Semoga saja ‘gangguan’ itu tidak datang lagi. Aamiin...
- Selain itu, saya bisa menghemat uang lebih banyak. Saat memakai BB, saya harus mengeluarkan Rp 30.000,- per minggu untuk biaya aktivasi. Memang sih, dari segi pemanfaatan internet sangat membantu, tapi ternyata boros juga! Sekarang, mungkin saya akan bisa lebih berhemat. Bisa menabung lebih banyak!
- Alhamdulillah, hanya BB saja yang diambil. Padahal pada tempat yang sama juga ada dompet yang berisi uang dan ATM. Di retsleting sebelahnya juga ada laptop mini saya yang selalu setia menemani saya menulis.
- Akan ada ‘kejutan’ yang luar biasa dari Allah pasca kejadian ini. Saya sangat yakin akan hal itu!
Allahumma ajirnii fii mushiibatii wakhluf lii khairamminhaa
Ya Allah berilah kami pahala dalam musibahku ini dan berilah pengganti yang lebih baik (HR. Muslim)
Masih banyak sih sebenarnya point-point sebagai derivasi dari tiga klasifikasi di atas. Pada intinya saya sangat yakin bahwa di setiap kejadian pasti mengandung pelajaran. Kejadian itu sebagai ujian agar saya senantiasa pantang menyerah dalam menghadapi tantangan. Kejadian itu sebagai teguran agar saya sadar akan kesalahan dan segera bertaubat memohon ampunan. Kejadian itu sebagai nikmat sehingga saya harus bersyukur agar pahala-lah yang tercatat dan agar nikmat itu tambah berlipat-lipat.
REDZone, 20 Desember 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
PUJIAN
Direktorat Impor, selamat siang...”
Salah
satu aktivitasku di kantor adalah menjawab telepon yang sebagian besar
berasal dari pelaku usaha. Kebanyakan dari mereka menanyakan proses
perizinan yang sedang mereka ajukan atau menanyakan kebijakan di bidang
perdagangan yang tengah berlaku. Sebagai ‘civil servant’, inilah fungsi
kehumasan dan pelayanan yang sekaligus memberiku dua kesempatan besar,
yakni kesempatan untuk berinteraksi dengan para pelaku usaha (khususnya
importir) dan kesempatan untuk mengharuskan diri menguasai regulasi
bidang perdagangan (khususnya bidang impor) agar bisa menjawab setiap
pertanyaan yang masuk.
Seperti kemarin siang, saat sedang asyik berkutat dengan data kepegawaian, telepon di ruang kerjaku berdering. Sebenarnya, yang mengangkat telepon bisa siapa saja yang berada di ruang itu. Tapi biasanya kami bergiliran mengangkatnya. Berhubung tak ada yang kunjung mengangkat, akhirnya aku berdiri dan berjalan ke tempat telepon yang berjarak satu meter dari tempat dudukku. Setelah menjawab pertanyaan dari seberang yang ternyata menanyakan tentang perpanjangan sebuah regulasi impor, eh gantian HP-ku yang berdering. Berawal 021...
Ternyata dari sebuah perusahaan obat yang cukup terkenal di negeri ini. Ya, kebetulan aku juga mendapat amanah dari pimpinan untuk menghandle beberapa perusahaan yang dokumennya belum lengkap saat mengajukan permohonan dalam sebuah regulasi.. Puluhan perusahaan aku kirimi email yang menyatakan dokumen apa yang masih kurang dan perlu dikirim softcopy-nya. Nah, di email itu, tak lupa aku mencantumkan nomor HP-ku sebagai contact person bagi perusahaan yang hendak bertanya atau konfirmasi. Beberapa perusahaan langsung merespon email tersebut dan ada beberapa yang meneleponku untuk konfirmasi. Termasuk perusahaan obat itu.
Beliau menanyakan apakah dokumen yang dikirim sudah sesuai dengan permintaan atau belum. Beliau juga minta penjelasan alur selanjutnya setelah dokumen itu dikirim. Aku mencoba menjelaskan kepada beliau. Tak kusangka, di akhir pembicaraan kami beliau berujar dengan kalimat yang penuh nada keramahan, bahwa baru pertama kalinya (selama beliau berinteraksi dengan instansi pemerintah), ada pemberitahuan secara rinci lewat email dan menyertakan nomor HP sebagai contact person-nya. Beliau sangat mengapresiasi kinerja ini.
Alhamdulillah... segala puji hanya tertuju pada-Nya!
Menghadapi pujian, aku langsung teringat halaman 169 kitab Al Hikam yang aku baca tadi pagi. Pada halaman itu, Ibnu ‘Athaillah berujar :
“Ketika orang mukmin dipuji, ia malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ia dapati pada dirinya.
Kemudian dilanjutkan ulasan singkat oleh Imam Sibawaih El-Hasany sebagai berikut:
Biarkanlah orang terpesona oleh warna pelangi kesadaranmu, asal engkau tetap melekat dengan langit-Nya. Setiap pujian yang datang kepadamu adalah sebab orang melihat warna-Nya tercermin padamu. Jadi, anggaplah itu sebagai cara mereka memuji-Nya melaluimu, bukan untukmu. Sebab, tidak ada pujian yang layak diberikan kepada selain-Nya. Atau perlakukanlah pujian orang kepadamu sebagai alat mengoreksi segala bentuk kelemahan, kekurangan, aib, cela, dan sifat burukmu. Dengan begitu, engkau akan senantiasa malu kepada-Nya sebab semua yang melekat kepadamu. Berharaplah pujian-Nya kepadamu, sebab hanya pujian-Nya yang bisa membuatmu tenteram. Jangan bersikap sok layak bila dosa atau kesalahanmu masih banyak!
Paginya baca, siangnya mengalami. Semoga aku bisa mengambil banyak hikmah dari sekelumit peristiwa ini. Jangan sampai pujian-pujian itu menanamkan benih riya dalam diri. Astaghfirullah, semoga terhindar! Jangan sampai mudah tersanjung, bisa tersandung lho. Ya, karena pujian sejatinya adalah ujian.
REDZone, 16 Desember 2010. 03:12
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya

Seperti kemarin siang, saat sedang asyik berkutat dengan data kepegawaian, telepon di ruang kerjaku berdering. Sebenarnya, yang mengangkat telepon bisa siapa saja yang berada di ruang itu. Tapi biasanya kami bergiliran mengangkatnya. Berhubung tak ada yang kunjung mengangkat, akhirnya aku berdiri dan berjalan ke tempat telepon yang berjarak satu meter dari tempat dudukku. Setelah menjawab pertanyaan dari seberang yang ternyata menanyakan tentang perpanjangan sebuah regulasi impor, eh gantian HP-ku yang berdering. Berawal 021...
Ternyata dari sebuah perusahaan obat yang cukup terkenal di negeri ini. Ya, kebetulan aku juga mendapat amanah dari pimpinan untuk menghandle beberapa perusahaan yang dokumennya belum lengkap saat mengajukan permohonan dalam sebuah regulasi.. Puluhan perusahaan aku kirimi email yang menyatakan dokumen apa yang masih kurang dan perlu dikirim softcopy-nya. Nah, di email itu, tak lupa aku mencantumkan nomor HP-ku sebagai contact person bagi perusahaan yang hendak bertanya atau konfirmasi. Beberapa perusahaan langsung merespon email tersebut dan ada beberapa yang meneleponku untuk konfirmasi. Termasuk perusahaan obat itu.
Beliau menanyakan apakah dokumen yang dikirim sudah sesuai dengan permintaan atau belum. Beliau juga minta penjelasan alur selanjutnya setelah dokumen itu dikirim. Aku mencoba menjelaskan kepada beliau. Tak kusangka, di akhir pembicaraan kami beliau berujar dengan kalimat yang penuh nada keramahan, bahwa baru pertama kalinya (selama beliau berinteraksi dengan instansi pemerintah), ada pemberitahuan secara rinci lewat email dan menyertakan nomor HP sebagai contact person-nya. Beliau sangat mengapresiasi kinerja ini.
Alhamdulillah... segala puji hanya tertuju pada-Nya!
Menghadapi pujian, aku langsung teringat halaman 169 kitab Al Hikam yang aku baca tadi pagi. Pada halaman itu, Ibnu ‘Athaillah berujar :
“Ketika orang mukmin dipuji, ia malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ia dapati pada dirinya.
Kemudian dilanjutkan ulasan singkat oleh Imam Sibawaih El-Hasany sebagai berikut:
Biarkanlah orang terpesona oleh warna pelangi kesadaranmu, asal engkau tetap melekat dengan langit-Nya. Setiap pujian yang datang kepadamu adalah sebab orang melihat warna-Nya tercermin padamu. Jadi, anggaplah itu sebagai cara mereka memuji-Nya melaluimu, bukan untukmu. Sebab, tidak ada pujian yang layak diberikan kepada selain-Nya. Atau perlakukanlah pujian orang kepadamu sebagai alat mengoreksi segala bentuk kelemahan, kekurangan, aib, cela, dan sifat burukmu. Dengan begitu, engkau akan senantiasa malu kepada-Nya sebab semua yang melekat kepadamu. Berharaplah pujian-Nya kepadamu, sebab hanya pujian-Nya yang bisa membuatmu tenteram. Jangan bersikap sok layak bila dosa atau kesalahanmu masih banyak!
Paginya baca, siangnya mengalami. Semoga aku bisa mengambil banyak hikmah dari sekelumit peristiwa ini. Jangan sampai pujian-pujian itu menanamkan benih riya dalam diri. Astaghfirullah, semoga terhindar! Jangan sampai mudah tersanjung, bisa tersandung lho. Ya, karena pujian sejatinya adalah ujian.
REDZone, 16 Desember 2010. 03:12
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
Kejutan di Sepertiga Malam
Ku memohon dalam sujudku pada-Mu
Ampunkanlah sgala dosa dalam diri
Ku percaya Engkau bisa meneguhkan pendirianku... keimananku
Engkau satu cinta yang slamanya aku cari
Tiada waktu ku tinggalkan
Demi cintaku kepada-Mu
Walau sribu rintangan yang menghadang dalam diri
Kuteguhkan hati ini ... hanya pada-Mu kupasrahkan
Oh Tuhan, slamatkanlah hamba ini
Dari segala fatamorgana dunia
Oh Tuhan, jauhkanlah hamba ini
Dari hidup yang sia-sia
(Star Five–Satu Cinta)
Pukul
02.02 tepat saat Star Five terlantun dari winamp-nya si T-ONE (nama
Acer 10 inchiku)! Angka yang bagus ya... 2 Februari (kalau dua digit
pertama diartikan tanggal, menyusul dua digit selanjutnya jika diartikan
sebagai bulan). Hmm, mengingatkan diri ini bahwa 2 Februari sebentar
lagi datang menghampiri. Lantas mengapa? Ya, sebagai momentum muhasabah
bahwa waktu memang terus berjalan dan tidak bisa dihentikan, sedangkan
sejauh dan ‘setua’ ini bagaimana waktu itu dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya padahal jatah usia semakin sedikit saja. Memang sih,
berubah itu tidak harus menunggu adanya momentum. Setiap saat kita harus
berubah menjadi lebih baik jika ingin menjadi pribadi yang beruntung.
Alhamdulillah, pagi ini dibangunkan Allah menjelang pukul 12 malam. Setelah sholat tahajud, dilanjutkan baca Al-Qur’an, menyelesaikan Q.S. Al-Furqon. Ayat yang paling berkesan adalah ayat ke-74 yang merupakan doa yang sering kita panjatkan setelah shalat (baik wajib atau sunnah) purna ditegakkan. Buka kembali ya... Setelah tilawah, berniat mencari camilan yang ada di kulkas. Sepertinya masih punya camilan yang belum tandas dimakan. Setelah camilan yang dimaksud itu berpindah ke tangan, aku melihat ada bungkusan coklat di atas kulkas.
To : Etika Suryandari
........................................... (alamat kosku)
Alhamdulillah, ternyata isinya pesanan buku yang aku order dari salah satu teman di FLP Jakarta. Akhirnya, “SAKINAH BERSAMAMU”-nya Mbak Asma Nadia di sepertiga malam ini secara resmi menjadi pendatang baru di perpus pribadiku, AL-FIRDAUS. Ahlan wa sahlan... ^^v
Wah, kejutan nih! Ada keterkaitan dengan ayat cinta-Nya yang aku baca barusan... Hmm, semoga buku ini menjadi ‘jawaban’ atas doa tadi. Bahwa salah satunya, aku harus belajar dari pengalaman orang lain (yang terangkum apik dalam buku yang berisi 17 cerita dan 17 pembahasan seputar ujian dalam rumah tangga ini), sebelum aku menjalani ‘kisah penuh makna’ itu suatu saat nanti.
Okey, saatnya membaca dan mengambil beragam hikmah dari buku tersebut!
RENUNGAN
Istri yang sholihah memang benar, bidadari di dunia ini. Permata yang amat berharga. Hiasan yang amat menawan. Peneguh yang amat kokoh.
Istri yang sholihah, berbalut ilmu, berselimut akhlak.
Istri yang sholihah, menembus qolbu karena semua yang ia lakukan berasal dari ketulusan hati, dari keikhlasan jiwa.
Istri yang sholihah adalah rizki yang tak ternilai dari Allah yang menggenggam segala kemuliaan, pemberi segala kebahagiaan.
Wahai kaum muslimin, pilihlah wanita sholihah dengan mensholihkan diri.
Wahai wanita sholihah, jadilah pribadi yang indah karena Allah semata.
~Tausyah Aa’ Gym sebelum nasyid “Wanita Sholihah”-nya The Fikr yang terdengar saat mengakhiri tulisan ini~
Sepertiga malam yang indah,
REDZone, 10 Muharram 1432 H
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya

Alhamdulillah, pagi ini dibangunkan Allah menjelang pukul 12 malam. Setelah sholat tahajud, dilanjutkan baca Al-Qur’an, menyelesaikan Q.S. Al-Furqon. Ayat yang paling berkesan adalah ayat ke-74 yang merupakan doa yang sering kita panjatkan setelah shalat (baik wajib atau sunnah) purna ditegakkan. Buka kembali ya... Setelah tilawah, berniat mencari camilan yang ada di kulkas. Sepertinya masih punya camilan yang belum tandas dimakan. Setelah camilan yang dimaksud itu berpindah ke tangan, aku melihat ada bungkusan coklat di atas kulkas.
To : Etika Suryandari
........................................... (alamat kosku)
Alhamdulillah, ternyata isinya pesanan buku yang aku order dari salah satu teman di FLP Jakarta. Akhirnya, “SAKINAH BERSAMAMU”-nya Mbak Asma Nadia di sepertiga malam ini secara resmi menjadi pendatang baru di perpus pribadiku, AL-FIRDAUS. Ahlan wa sahlan... ^^v
Wah, kejutan nih! Ada keterkaitan dengan ayat cinta-Nya yang aku baca barusan... Hmm, semoga buku ini menjadi ‘jawaban’ atas doa tadi. Bahwa salah satunya, aku harus belajar dari pengalaman orang lain (yang terangkum apik dalam buku yang berisi 17 cerita dan 17 pembahasan seputar ujian dalam rumah tangga ini), sebelum aku menjalani ‘kisah penuh makna’ itu suatu saat nanti.
Okey, saatnya membaca dan mengambil beragam hikmah dari buku tersebut!
RENUNGAN
Istri yang sholihah memang benar, bidadari di dunia ini. Permata yang amat berharga. Hiasan yang amat menawan. Peneguh yang amat kokoh.
Istri yang sholihah, berbalut ilmu, berselimut akhlak.
Istri yang sholihah, menembus qolbu karena semua yang ia lakukan berasal dari ketulusan hati, dari keikhlasan jiwa.
Istri yang sholihah adalah rizki yang tak ternilai dari Allah yang menggenggam segala kemuliaan, pemberi segala kebahagiaan.
Wahai kaum muslimin, pilihlah wanita sholihah dengan mensholihkan diri.
Wahai wanita sholihah, jadilah pribadi yang indah karena Allah semata.
~Tausyah Aa’ Gym sebelum nasyid “Wanita Sholihah”-nya The Fikr yang terdengar saat mengakhiri tulisan ini~
Sepertiga malam yang indah,
REDZone, 10 Muharram 1432 H
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
Daftar Tulisan
Motivasi
(343)
Coretan
(233)
Dunia Muslimah
(140)
Puisi
(114)
RomantiCouple
(82)
Artikel
(76)
Kepenulisan
(49)
Tips
(46)
FLP
(41)
Mutiara Kata
(41)
TraveLova
(35)
Catatan Mamiko
(25)
Dunia Parenting
(23)
Cerpen
(20)
Inspirasi Bisnis
(19)
Resensi Buku
(17)
Buku Aisya Avicenna
(13)
Dunia Anak
(13)
Flash Fiction
(9)
Resensi Film
(8)
Cerbung
(5)