
Jika
dalam hidup ini ada perpisahan, biarlah kematian yang menyambungnya.
Tapi, jika dalam kematian ada perpisahan, biarlah hidup ini memberi
arti yang nyata. ~memaknai “for the rest of my life” dalam ‘kaca mata minus 2.5’-nya Aisya Avicenna~
Berawal
dari sebuah renungan akan beberapa bencana yang melanda Indonesia
akhir-akhir ini. Tercetuslah rentetan kalimat di atas yang pada tanggal
29 Oktober 2010, rangkaian kata itu bertahta sebagai status facebook
saya. “For the Rest of My Life”? Pastinya sudah tidak asing lagi dengan
kalimat ini. Ya, “For the Rest of My Life” adalah judul lagu sendu yang
dinyanyikan oleh Maher Zain, seorang munsyid dari Swedia. Berikut
liriknya.
I praise Allah for sending me you my love You found me home and sail with me And I`m here with you Now let me let you know You`ve opened my heart I was always thinking that love was wrong But everything was changed when you came along And there’s a couple words I want to say For the rest of my life I`ll be with you I`ll stay by your side honest and true Till the end of my time I`ll be loving you.. loving you For the rest of my life Thru days and night I`ll thank Allah for open my eyes Now and forever... I`ll be there for you I know that deep in my heart I feel so blessed when I think of you And I ask Allah to bless all we do You`re my wife and my friend and my strength And I pray we`re together eternally Now I find myself so strong And there’s a couple word I want to say I know that deep in my heart now that you`re here In front of me I strongly feel love And I have no doubt And I`m singing loud that I`ll love you eternally I know that deep in my heart (For The Rest of My Life – Maher Zain)Memang,
lagu ini menceritakan seseorang yang sangat bahagia dan bersyukur pada
Allah Swt karena dikaruniai seorang pendamping hidup yang begitu
dicintainya. Dalam konteks kali ini, saya mencoba memaknai “For the Rest
of My Life” bukan “pendamping hidup”, tapi “kematian”. Ya, “you” dalam
lirik di atas adalah “kematian”. Kematian, sebuah akhir dari siklus
hidup kita di dunia, sekaligus tahapan awal menapaki siklus kehidupan
abadi kita di akhirat kelak.
Mencintai KematianTuhan jamahlah hatiku Yang kering dan hampa tanpa kasih Atas kuasa-Mu ku terlahir Dan hanya pada-Mu ku kembali (Doa – Ungu)Musibah
tengah melanda Indonesia. Banjir bandang di Wasior, gempa dan tsunami
di Mentawai, dan meletusnya Gunung Merapi adalah tiga bencana yang
tengah menjadi sorotan di akhir tahun 2010 ini. Bencana itu tak hanya
menyebabkan kerugian yang besar, tapi juga rasa duka yang mendalam. Duka
karena kematian dan kehilangan. Berita kematian memang selalu menarik
untuk diulas, terlebih salah satu kematian yang paling ‘eksotis’ di
tahun 2010 ini, kematian Mbah Maridjan –juru kunci Merapi-, yang
meninggal dalam posisi sujud saat wedhus gembel tengah mengamuk.
Manusia
sangat akrab dengan kematian sebagaimana ia juga akrab dengan
kehidupan. Mati dan hidup, dua hal yang senantiasa datang dan pergi,
bergiliran. Kadang saya berhenti dan terhenyak, teringat pada
orang-orang yang tidak akan lagi bisa saya jumpai di dunia ini karena
telah berjumpa Sang Pencabut Nyawa. Kematian memang begitu wajar, namun
tidak pernah habis untuk direnungkan.
Detik waktu terus berjalan Berhias gelap dan terang Suka dan duka, tangis dan tawa Tergores bagai lukisan (Rapuh – Opick)
Saat
membaca tulisan ini, kita tentu masih menghirup segarnya udara
kehidupan. Berjuta kenikmatan dan gemerlapnya kehidupan dunia masih
sangat akrab dengan kita. Akan tetapi, siapa bisa memastikan bahwa hidup
kita masih bertahan lebih dari satu tahun, satu bulan, satu minggu,
satu jam, atau sekedar satu kali desahan nafas? Kematian bisa datang
kapan dan di mana saja. Kematian tidak pernah datang terlalu cepat atau
terlalu lambat.
Tak seorang pun yang memungkiri akan datangnya
kematian. Meskipun demikian, dalam praktik kehidupan banyak dari kita
yang tingkah lakunya menunjukkan ketidakyakinan akan datangnya kematian.
Kita masih asyik bergulat dengan kemaksiatan, acuh dengan perintah dan
larangan-Nya, dan tak pernah tersisa sedetik waktupun untuk merenung
bahwa hidup di dunia hanya sementara.
“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!” (HR. Tirmidzi)
Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari
kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak
pelajaran, membingkai hikmah hidup, bahkan menjadi rem cakram agar
terhenti dari penyimpangan.
Jadikan Hidup Kita Berarti!Idealnya
dan memang seharusnya demikian, bahwa setiap aktivitas kita hendaknya
berlandaskan pada niat untuk mendapatkan ridho-Nya, menempatkan cinta
kepada Allah di atas segala, karena hanya dengan cinta itu yang dapat
mengalahkan godaan dunia yang meraja. Cinta itu adalah cinta hakiki yang
membuat manusia melihat dari sudut pandang yang berbeda, menjadikan
hidupnya lebih bermakna dan lebih indah. Mencintai Allah, setulusnya,
dengan sebenar-benar cinta adalah salah satu bekal kita menghadapi
kematian.
Tapi, tak bisa dipungkiri! Dalam perjalanan hidup ini,
hati kita kerapkali terisi oleh cinta selain-Nya, mudah sekali terlena
oleh indahnya dunia, terkadang melakukan sesuatu bukan karena-Nya.
Ujung-ujungnya, tak sadar bahwa kematian semakin mendekat. Kita terlalu
larut dalam buaian nafsu duniawi.
“Dijadikan terasa indah dalam
pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa
perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk
emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik” (Q.S. Ali ‘Imran [3] : 14)
Dunia memang kerap menyuguhkan
kedahsyatan tipuannya. Jangan sampai kita terlena! Jangan sampai amalan
baik kita tertutup oleh maksiat yang tak kita sadari. Sedihnya, saat
nurani yang bersih menjadi terkotori oleh nafsu duniawi, saat ibadah
hanya rutinitas belaka, saat fisik dan pikiran disibukkan oleh dunia,
saat wajah menampakkan kebahagiaan yang semu.
“Dan di antara manusia,
ada yang berkata : ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’. Padahal
sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Mereka menipu
Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri
sendiri tanpa mereka sadari. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah
menambah penyakitnya itu dan mereka mendapat azab yang pedih karena
mereka berdusta.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 8 – 10)
Coba tanyakan pada hatimu! Bagaimanakah kabarnya? Sedang bahagiakah? Menangis? Damai? Atau Merana?
Meski ku rapuh dalam langkah Kadang tak setia kepada-Mu Namun cinta dalam jiwa Hanyalah pada-Mu (Rapuh – Opick)
Sombongnya
kita! Sering bangga pada diri sendiri, padahal sungguh tiada satupun
yang membuat kita lebih di hadapan-Nya selain ketaqwaan. Padahal kita
menyadari bahwa tiap-tiap jiwa pasti akan mati, namun kita masih
bergulat dengan kefanaan. Taqwa? Sudah cukup layakkah kita menyandang
gelar itu?!
Naudzubillah, saat tiada getar ketika asma Allah
disebut, saat tiada sesal ketika kebaikan terlewatkan begitu saja, saat
tiada rasa dosa ketika mendzolimi diri dan saudara yang lainnya. Raga
kita memang belum mati (untuk saat ini), tapi apakah itu pertanda hati
kita yang sudah mati?!
Maafkanlah bila hati Tak sempurna mencintai-Mu Dalam dada, kuharap hanya diri-Mu yang bertahta (Rapuh – Opick)
Mumpung
Allah Swt masih memberi kita kesempatan untuk hidup mari persiapkan
bekal terbaik. "Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
takwa." (QS Al-Baqarah [2]: 197).
Semoga jiwa kita masih memiliki
cahaya cinta itu. Cinta pada Sang Penggenggam kehidupan dan kematian
kita. Semoga, pada saatnya nanti kita meninggalkan dunia yang penuh goda
ini, husnul khotimah pantas menjadi predikat kematian kita! Amin.
Oh Tuhan mohon ampun Atas dosa dan dosa… sempatkanlah… Aku bertobat hidup di jalan-Mu Tuk penuhi kewajibanku Sebelum tutup usia kembali pada-Mu (Akhirnya – Gigi)
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya
Bahan :
- Pisang
- Tepung beras
- Ampas kelapa
- Vanili (1 bungkus kecil)
- Gula pasir (5 sendok makan)
- Teh poci
- Minyak goreng (secukupnya)
Cara membuat:
- Pisang dikupas dan diiris sesuai selera (bisa dibelah dua atau dibentuk kipas)
- Siapkan adonan : tepung ditambahkan air, masukkan ampas kelapa, gula pasir, vanili, dan teh poci. Aduk merata.
- Masukkan pisang ke dalam adonan
- Panaskan minyak, lalu pisang yang sudah bercampur adonan dimasukkan
- Goreng sampai kekuningan. Angkat dan tiriskan
- Pisgoci siap dihidangkan
NB
: “Pisgoci” ini bukan pisang goreng biasa. Tampak dari luar seperti
ada bintik-bintik hitam yang menempel. Itulah teh poci yang dicampur
pada adonan tadi. Saat dinikmati, tak hanya rasa manis dari pisangnya
yang dirasa, tapi juga ada rasa teh dan kelapanya.
Salam “OISSYA...”Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya
Bahan :
-Pisang
-Ubi
-Santan (1 liter)
-Gula Merah (3 butir)
-Gula Pasir (secukupnya)
-Teh Poci (3 sendok makan)
-Vanili (1 bungkus kecil)
-Kayu manis (± 7 cm)
Cara Membuat :
-Pisang dan ubi dikupas dan dipotong sesuai selera
-Panaskan santan, masukkan gula merah
-Masukkan
ubi yang sudah dipotong sambil terus diaduk. Usahakan terus diaduk
sampai santan mendidih dan ubi setengah matang agar santan tidak pecah.
-Setelah ubi agak empuk, masukkan pisang, vanili, kayu manis, dan gula pasir.
-Sementara itu, seduh teh poci dalam air panas. Saring, dan masukkan teh pada masakan.
-Aduk sampai merata.
-Matang, lalu angkat
-Saat
penyajian, tambahkan teh poci (ampas teh kering) pada masakan yang
sudah matang tersebut. Maksudnya, selain untuk menambah aroma, juga bisa
menambah sensasi ‘kriuk’ saat disantap
-Kopoci siap dihidangkan
NB : “Kopoci” ini memang bukan ‘kolak biasa’, karena ada teh sebagai tambahan rasa dan aromanya.
Selamat mencoba!
Salam “OISSYA...”Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya

[N]ever stop fighting!
[O]ptimist!
[V]ision to action!
[E]nthusiasm with good strategy!
[M]apping ur dreams!
[B]e urself!
[E]verything is easy,if u feel easy!
[R]emember Allah.. anytime.. anywhere!!!
~memulai hari ini dengan hamdalah karena Allah masih memberi kesempatan, disusul basmalah karena Allah masih menyiapkan banyak tantangan yang harus ditaklukkan!~
011110
[Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya

kakak pergi dulu ya
assalamualaikum
18:06
wa'alaykumslm
kmana?
18:07
minta doanya semoga terberkahi yah...
jaga diri yah Tik, smga di surga nanti, kita bisa bertemu
~chatting yg misterius dengan seorang sahabat~
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya

berdiri di altar senja...
adakah di sana?
***
Juang Cinta Para Wanita
“Wahai Abu Utsman,” kata perempuan itu, “Sungguh aku mencintaimu.”
Suasana hening sejenak. “Aku memohon, atas nama Allah, agar sudilah kiranya engkau menikahiku,” lanjutnya.
Lelaki yang bernama lengkap Abu Utsman An Naisaburi itu diam. Ada keterkejutan dan kegamangan dalam dirinya tatkala mendengar perkataan perempuan yang datang kepadanya itu. Ia tidak mengenal perempuan ini dengan baik. Namun, tiba-tiba saja perempuan ini datang menemuinya dan menyatakan rasa cintanya yang dalam kepadanya. Bahkan saat itu pula, atas nama Allah, perempuan itu meminta pada Abu Utsman untuk menikahinya. Seakan keterkejutan yang dirasakan Abu Utsman bertumpuk-tumpuk di atmosfir hatinya.
Abu Utsman diam. Memikirkan keputusan apa yang hendak diambilnya. Sebagai seorang pemuda, ia dihadapkan pada sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Sebuah keputusan yang mungkin akan dijalaninya selama lebih dari separuh usianya dan separuh imannya. Selama ini keluarganya senantiasa mendorongnya untuk segera meminang salah seorang perempuan shalihah di wilayah itu. Namun, ia selalu menolak dorongan dari keluarganya itu hingga hari ini. Maka, sampai sekarang ia masih juga membujang. Ia akan mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya, termasuk segala konsekuensi yang menyertainya.
Imam Abul Faraj Abdurahman ibnu Al Jauzi menuliskan dalam salah satu kitabnya, Shaidul Khathir, bahwa Abu Utsman kemudian datang ke rumah si perempuan. Ia mendapati orangtua si perempuan adalah orang yang miskin. Namun, keputusannya tetaplah bulat untuk meminang si perempuan yang datang menyatakan cinta kepadanya itu. Terlebih lagi karena perempuan itu memintanya untuk menikahinya. Ia menyaksikan kebahagiaan yang berlimpah pada orangtua si perempuan mendengar bahwa putrinya dipinang oleh Abu Utsman, lelaki yang berilmu, tampan, shalih, penyabar, setia, jujur, tulus, dan terhormat.
Mereka pun menikah. Hingga akhirnya sang istri itu meninggal dunia lima belas tahun kemudian. Namun, sejak malam pengantin mereka ada kisah yang baru terungkap setelah kematian sang istri. “Ketika perempuan itu datang menemuiku,” kisahnya, “Barulah aku tahu kalau matanya juling dan wajahnya sangat jelek dan buruk. Namun, ketulusan cintanya padaku telah mencegahku keluar dari kamar. Aku pun terus duduk dan menyambutnya tanpa sedikit pun mengekspresikan rasa benci dan marah. Semua demi menjaga perasaannya. Walaupun aku bagai berada di atas panggang api kemarahan dan kebencian.”
Ah, kita jangan marah pada Abu Utsman yang mengharapkan istri yang cantik dan sempurna, tapi kemudian hanya mendapatkan istri juling dan buruk wajah. Itu merupakan sisi manusiawi dari lelaki yang menginginkan kecantikan dan kesempurnaan dari pendamping hidupnya. “Begitulah kulalui lima belas tahun dari hidupku bersamanya hingga dia meninggal,” lanjutnya berkisah. “Maka, tiada amal yang paling kuharapkan pahalanya di akhirat, selain masa-masa lima belas tahun dari kesabaran dan kesetiaanku menjaga perasaannya dan ketulusan cintanya.” Kesetiaan itu adalah bintang di langit kebesaran jiwa, kata Anis Matta.
Sungguh, saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini. Meskipun cinta di antara mereka tidak pernah benar-benar ada dalam masa-masa lima belas tahun perkawinan itu, tapi perjuangan cinta si perempuan sangat luar biasa di mata saya. Meskipun sang perempuan itu tahu bahwa ia bermata juling, meskipun ia tahu bahwa ia hanya anak orang miskin, meskipun ia tahu bahwa ia bukan perempuan berwajah cantik satin, tapi ia memperjuangkan cintanya untuk membersamai orang yang dicintainya itu. Ia berhasil membersamainya dalam masa lima belas tahun hingga maut datang menjemput. Ia memang tidak tahu bahwa selama masa itu sang suami, Abu Utsman An Naisaburi, tidak pernah benar-benar mencintainya. Namun, Abu Utsman membuktikan bahwa ia adalah lelaki yang setia, tulus, sabar, dan senantiasa menjaga perasaan sang istri yang demikian tulus mencintainya. Bagi saya, semua hal itu adalah bagian dari cintanya, hanya saja bentuknya yang sedikit berbeda. Sungguh, saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Ada pula kisah lain dari shahabiyah Rasulullah. Namanya Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah. Ia adalah salah seorang perempuan Madinah dari Bani Aus yang berstatus janda. Khaddam, sang ayah Khansa’, mengawinkannya dengan seorang lelaki yang juga berasal dari Bani Aus. Namun, ia tidak menyukai lelaki itu dan sebenarnya ia telah menyukai lelaki lain. Maka, berangkatlah Khansa’ menemui Rasulullah. Ia menceritakan kasus perselisihannya dengan sang ayah dan mengutarakan hasrat hatinya bahwa ia mencintai lelaki lain itu. Rasulullah pun memanggil sang ayah dan memerintahkan kepadanya untuk memberikan kebebasan kepada putrinya dalam memilih calon suaminya sendiri.
“Sesungguhnya,” tutur para imam hadits dalam kitab mereka, “Ayahnya menikahkan dia, sedangkan dia seorang janda maka ia tidak suka pernikahan itu, kemudian datang kepada Rasulullah. Maka Rasulullah menolak pernikahannya.” Hanya Imam Muslim yang tidak mencatat riwayat dari Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah ini.
Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah pun memilih. Ia memutuskan untuk meninggalkan perkawinan paksaan sang ayah dan menginginkan dinikahi oleh orang yang dicintainya. Dalam Shahifah Amru bin Syaibah, disebutkan bahwa lelaki itu terlebih dahulu meminang Khansa’ dan sudah diterima Khansa’. Nama lelaki itu adalah Abu Lubabah bin Abdil Mundzir. Ia adalah salah seorang sahabat utama yang menghadiri Bai’atul Aqabah kedua, ia adalah wakil Rasulullah di Madinah saat Perang Badar untuk menjaga keamanan dan ketertiban penduduk kota Madinah, anak-anak, kaum perempuan, kebun buah-buahan. Ia juga ditugasi untuk memberi makanan pada warga yang kelaparan dan memenuhi kebutuhan semua warga yang ada, baik anak-anak maupun orang tua sampai pasukan yang berada di jalan Allah itu kembali. Dengan lelaki mulia inilah Khansa’ menjatuhkan pilihannya, ia menikah dengan lelaki yang dicintainya. Ia menikah dengan lelaki yang diperjuangkannya hingga melibatkan keputusan Rasulullah atas pemaksaan sang ayah. Dari pernikahan mereka itu lahirlah seorang perempuan bernama Lubabah.
Pada Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah pula kita berterimakasih atas pelajaran penting tentang larangan pemaksaan menikah dari orang tua jika sang putri tidak menyukai calon suaminya. Dari Khansa’ pula kita belajar tentang hak-hak perempuan dalam syariat Islam dan menjalankan hidupnya sebagai bagian dari sistem struktur masyarakat madani. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Kisah hidup perempuan paling mulia di zamannya pun melakoni episode perjuangan cinta ini.
“Sebenarnya ia orang biasa,” kata perempuan mulia itu. Dr Thaha Husain menuliskan fragmen ini dalam saduran kisahnya yang dinukil oleh Saefulloh Muhammad Satori dalam Romantika Rumah Tangga Nabi. Perempuan mulia ini bernama Khadijah binti Khuwailid. Sedangkan orang yang dibicarakannya adalah Muhammad bin Abdullah yang kala itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. “Saya kenal ibunya. Saya kenal ayahnya, dan saya turut hadir pada waktu ia baru lahir,” terangnya.
Dalam pandangan Khadijah, sosok Muhammad muda adalah sosok dengan kebaikan yang melimpah, kewibawaan lelaki, kepercayaan amanah, dan pesona jiwa yang tak mampu tersembunyikan oleh kerasnya hidup yang dilaluinya. Sebentuk empati pada Muhammad muda menunas di hatinya. Segala kabar miring yang pernah didengarnya dari orang-orang yang mengatakan bahwa kedudukan Muhammad hanyalah seorang penggembala kambing penduduk Mekah tertepis dengan sendirinya menyaksikan amanahnya pada lelaki itu terlaksana dengan gemilang.
Rasa empati di dalam hati Khadijah bertransformasi, lembut, lambat dan menumbuh pelan, pasti. Rasa empati itu semakin lama berbunga cinta. Ia merasakan perasaan manusiawi terhadap lelaki mulia yang menjadi pekerjanya itu. Dan seperti bentuk cinta jiwa lainnya, cinta yang dirasakannya menginginkan balasan dan penghalalan di singgasana pernikahan. Namun, ia masih merasakan keraguan di dalam dirinya untuk membersamai sang lelaki mulia itu. Sebelumnya, ia telah menikah dengan Atiq bin Aid bin Abdullah Al Makhzumi dan Abu Halah Hindun bin Zarrah At Tamimi. Bahkan ia telah memiliki putri yang sudah berada di usia nikah dan seorang putra lagi. Saat itu Khadijah berusia sekitar empat puluh tahun. Selisih usianya dengan Muhammad sekitar lima belas tahun.
Dalam kebimbangan itu, datanglah kawan karibnya yang bernama Nafisah binti Munayyah. Ia adalah kawan Khadijah dimana ia banyak mendengarkan keinginan-keinginan hati Khadijah. Dan kali ini termasuk tentang rasa cintanya terhadap Muhammad dan hasrat hatinya untuk menjadi istri dari lelaki yang dicintainya itu. Nafisah pun mengerti. Ia menawarkan bantuannya untuk menjadi utusan rindu antara Khadijah dan Muhammad.
Segera ditemuinya Muhammad. Ditanyalah lelaki mulia ini alasan-alasan mengapa ia belum juga menikah. Ia juga menjelaskan kepada Muhammad tentang keutamaan-keutamaan bagi orang yang menikah yang didampingi seorang istri yang setia. Muhammad muda termangu membayangkan idealisme yang dijabarkan nafisah dan realita yang dihadapinya di masa lalu dan kini.
“Aku tidak tahu dengan apa aku dapat beristri…?” jawab Muhammad dengan pertanyaan retoris.
“Jika ada seorang perempuan cantik, hartawan, dan bangsawan yang menginginkan dirimu, apakah engkau bersedia menerimanya?” tanya Nafisah balik.
Syaikh Shafiyurahman Al Mubarakfuri dalam Rahiq Al Makhtum menyebutkan bahwa Nafisah binti Munayyah bergegas menemui Muhammad muda dan membeberkan rahasia Khadijah tersebut dan menganjurkannya untuk menikahi Khadijah. Muhammad pun menyetujuinya dan merundingkan hal itu dengan paman-pamannya. Kemudian mereka mendatangi paman Khadijah untuk melamarnya bagi Muhammad. Pernikahan pun segera berlangsung dengan dihadiri oleh Bani Hasyim dan para pemimpin suku Mudhar. Muhammad menyerahkan mahar sebanyak dua puluh ekor unta muda.
“Muhammad,” kata Abu Thalib, sang paman, dalam Romantika Rumah Tangga Nabi, “Adalah seorang pemuda yang mempunyai beberapa kelebihan dan tidak ada bandingannya di kalangan kaum Quraisy. Ia melebihi semua pemuda dalam hal kehormatan, kemuliaan, keutamaan, dan kecerdasan. Walaupun ia bukan termasuk orang kaya, tapi kekayaan itu dapat lenyap. Sebab setiap titipan atau pinjaman pasti akan diminta kembali. Sesungguhnya Muhammad mempunyai keinginan khusus terhadap Khadijah binti Khuwailid, begitu pula sebaliknya…”
Tentu saja kisah cinta Khadijah – Muhammad adalah kisah yang sarat dengan hikmah dan berlimpah berkah. Dua orang mulia bertemu dalam singgasana pernikahan yang sama. Bergemuruh oleh kerja-kerja cinta di antara keduanya. Saling melengkapi di antara keduanya. Dan kematangan serta sikap keibuan Khadijah adalah energi gerak dan penenang jiwa tatkala sang suami memikul amanah langit dan menyampaikan dua kalimat keadilan. Penyiksaan psikis pun bisa dikikis oleh rasa kasih dan sayang Khadijah pada Muhammad, Rasulullah.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Khadijah hanya berdiam diri menunggu takdir cintanya kepada Muhammad. Bisa jadi Rasulullah tetap akan meminang Khadijah. Namun, bisa jadi hal lain yang terjadi, yakni tidak terjadi apa-apa di antara keduanya. Dan tentu ceritanya akan lain jika Khadijah tidak menikah dengan Muhammad. Namun, sejarah cukup membuktikan bahwa takdir telah diciptakan oleh Khadijah dengan mengutarakan rasa cintanya melalui kawan karibnya, dan takdir ciptaannya itu pun berjodoh dengan takdir ilahi. Khadijah memang perempuan mulia, dan kemuliaannya itu tidak mengurangi kekuatan dirinya untuk memperjuangkan rasa cintanya. Dan cinta Khadijah – Muhammad pun mengabdi di langit jiwa sejarah manusia. Semua bermula tatkala perempuan mulia itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Kita seringkali tidak memahami bahwa kehidupan berjalan dalam siklus pilihan, keputusan, dan konsekuensi. Kisah-kisah hidup perempuan-perempuan ini memang berakhir bahagia dalam perjuangan cintanya untuk membersamai lelaki yang dicintainya. Namun, ada juga kisah yang tidak gemilang, bahkan berkesan coretan buram menghitam dalam sejarah perjuangan cinta, jika boleh kita sebut cinta. Mari kita simak kisahnya sebagaimana dituturkan Salim A Fillah dalam Jalan Cinta dengan menukil dari Raudhatul Muhibbin dan Taujih Ruhiyah.
Ini kisah tentang seorang gadis yang sebegitu cantiknya. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman surga.
Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya, dan belum tergambar wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaqnya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri. Bahwa ketaqwaannya telah berulang kali teruji. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu.
Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak, terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti apakah cintanya bersambut sama.
Maka ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu. Dan ia mendapat jawaban. ”Ya”, katanya.
Akhirnya mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya; kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikannya bicara, karena demikianlah kebiasaan yang ada pada keluarganya.
”Maha Suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, ”Yang telah menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan.”
Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. ”Andai saja kau lihat aku”, katanya, ”Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.”
”Betapa inginnya aku”, kata si gadis, ”Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.”
Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. ”Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan.”
Si gadis ikut tertunduk. ”Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan, ”Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan.”
”Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. ”Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”
Ah, perjuangan cinta si perempuan itu tampak nyata tidak indah. Memang benar ia orang yang romantis dan memiliki daya khayal yang tinggi serta kemampuan merangkai kata yang indah. Namun, semuanya berbau aroma syaitan dan nafsu. Kesucian cinta yang seharusnya ada di dalam hatinya dan mengejawantah di dalam laku juangnya ternyata tergerus oleh badai hawa nafsu. Selain persoalan ikhtilath yang terjadi di antara mereka, si perempuan itu tidak menunjukkan juang cintanya dalam bentuk yang halal. Semuanya di luar bingkai pernikahan. Begitu hitam dan memalukan yang mendengar kisahnya. Semua bermula tatkala si perempuan mulia itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
“Di kota Kufah,” tulis Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Mubibbin, “Ada seorang pemuda yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah, dan berijtihad. Suatu hari dia singgap di suatu kaum dari An Nakha’. Di sana pandangannya terpapas dengan seorang gadis yang cantik jelita dari kaum itu, sehingga dia langsung jatuh cinta kepadanya. Dia pun berpikir untuk menikahinya. Dia singgah di tempat yang lebih dekat dengan rumah gadis itu, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan pinangan kepada ayah sang gadis. Namun, dia dikabari ayahnya, bahwa gadis itu sudah dipinang oleh anak pamannya sendiri.”
Lelaki shalih dan perempuan itu ternyata telah saling mencinta. Dan status si perempuan yang telah dipinang membuat mereka tidak bisa bersatu. Gelora cinta dan asmara begitu menggebu di antara keduanya. Tatkala si perempuan sudah demikian merasa berat, maka ia mengirim utusan kepada lelaki itu.
“Aku sudah mendengar tentang besarnya cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika kamu mau, aku bisa menemuimu. Atau jika kamu mau, maka aku bisa mengatur cara agar kamu bisa masuk ke dalam rumahku,” kata utusan itu menirukan pesan si perempuan.
Lagi-lagi, pernyataan cinta dan perjuangan untuk dapat membersamai ini kembali dicoret dengan warna buram menghitam. Keindahan cintanya di antara sepasang manusia itu ternodai oleh niat yang tidak lempang. Terpesong dari jalan cinta rabbani. Namun, ada yang indah dari kisah ini. Tatkala mendengar tawaran dari si perempuan yang sedang mabuk kepayang oleh cinta itu, sang pemuda malah menjawab, “Tidak adakah pilihan di antara dua hal yang dicintai ini? Sesungguhnya aku takut azab hari yang besar jika aku mendurhakai Tuhanku. Sesungguhnya aku takut api neraka yang baranya tidak pernah padam dan tidak surut jilatannya.”
Mendengar jawaban dari lelaki yang dicintainya itu, si perempuan meluncur di titik balik. Ia tersadar atas khilafnya dalam perjuangan cinta yang ia lakukan. Ia sadar dan bertobat. Ia mengabdikan dirinya pada Allah dan hanya beribadah semata. Memisahkan diri dari keluarganya. Namun begitu, ia tetap tidak mampu memadamkan rasa cintanya dan kerinduannya kepada sang pemuda hingga meninggal dalam keadaan seperti itu. Mereka memang akhirnya tidak pernah saling membersamai dalam singgasana pernikahan, tapi masih terasa indah akhirnya. Kesucian diri dari maksiat atas nama cinta. Kisah serupa juga dialami oleh Abdurahman bin Abu Ammar yang dicintai oleh seorang perempuan Mekah yang menyatakan cintanya dan mengajaknya berbuat mesum. Namun, cintanya pada Allah menuntunnya tetap menjaga kesucian diri. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Memperjuangkan cinta bagi seorang perempuan adalah keputusan yang sulit. Di sana dibutuhkan keberanian yang berlipat-lipat dibandingkan dengan perjuangan cinta seorang lelaki. Ada adat, tradisi, dan karakter jiwa yang harus dilawan untuk mampu mengambil keputusan besar itu: memperjuangkan cinta. Rasa malu yang dimiliki perempuan dalam urusan cinta sangatlah mendalam. Oleh karena itu, Rasulullah menjelaskan bahwa kemauan seorang perempuan akan pinangan seorang lelaki adalah dengan diamnya, dalam arti tidak menolak, tanpa perlu mengiyakan dengan rangkaian kata-kata. Namun, kekuatan cinta memang dahsyat dan menggerakkan.
Dalam Shahih-nya, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika berada dalam sebuah majelis Rasulullah, seorang perempuan berdiri dan berkata kepadanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau mau kepadaku?” Dalam kesempatan lain, perempuan yang lain datang pada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah saya datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.”
Hadits tentang perempuan yang pertama diriwayatkan oleh Tsabit Al Bunani dalam Bab Seorang Perempuan Menawarkan Dirinya Kepada Lelaki Shalih. Sedangkan hadits tentang perempuan kedua diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad. Meskipun kedua bentuk penghibahan diri perempuan ini adalah hal yang khusus bagi Rasulullah sebagaimana dicantumkan dalam Surat Al Ahzab ayat 50, tapi menawarkan diri untuk dinikahi lelaki shalih adalah hukum umum yang berlaku untuk semua lelaki shalih.
“Di antara kehebatan Bukhari di sini,” kata Ibnu Al Munir, sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, “Adalah dia tahu bahwa kisah perempuan yang menyerahkan dirinya ini bersifat khusus. Maka, dia beristinbath (menyimpulkan hukum) dari hadits ini untuk kasus yang tidak bersifat khusus, yaitu diperbolehkannya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada lelaki yang shalih karena menginginkan keshalihannya. Hal itu boleh dilakukan.”
“Hadits tadi memuat dalil bolehnya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada laki-laki shalih. Perempuan itu juga boleh memberitahukan bahwa ia mencintai laki-laki tersebut karena keshalihannya, keutamaan yang dimilikinya, keilmuannya, dan kemuliannya. Sungguh ini bukan suatu perangai jelek. Bahkan, ini menunjukkan keutamaan yang dimiliki perempuan itu,” kata Imam Al ‘Aini.
Masih dari Fathul Bari, dalam Kitab Tafsir, diterangkan bahwa perempuan yang menawarkan diri itu adalah Khaulah binti Hakim, dan ada yang mengatakan Ummu Syarik atau Fathimah binti Syuraih. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa perempuan itu adalah Laila binti Hathim, Zainab binti Khuzaimah, dan Maimunah bintul Harits.
“Dari hadits tentang seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah ini,” kata Ibnu Hajar, “Dapat disimpulkan bahwa barangsiapa dari kaum perempuan yang ingin menikah dengan orang yang lebih tinggi darinya, tidak ada yang harus dirasakan malu sama sekali. Apalagi kalau niatnya baik dan tujuannya benar. Katakanlah, umpamanya karena lelaki yang ingin dia tawarkan itu mempunyai kelebihan dalam soal agama, atau karena rasa cinta yang apabila didiamkan saja dikhawatirkan dapat membuatnya terjerumus pada hal-hal yang dilarang.”
Bagi kebanyakan kita, mungkin juga termasuk saya dan Anda, jika mendengar seorang perempuan yang menawarkan diri untuk dinikahi oleh seorang lelaki shalih, mungkin kita akan berkata seperti yang dikatakan oleh putri Anas yang kala itu menyaksikan sebentuk perjuangan cinta itu, “Alangkah sedikit rasa malunya. Sungguh memalukan! Sungguh memalukan!”
Namun, saya lebih suka perkataan yang disampaikan oleh sang ayah, Anas, kepada putrinya itu, “Dia lebih baik daripada kamu. Dia mencintai Rasulullah, lalu dia menawarkan dirinya untuk beliau.”
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2010/juang-cinta-para-wanita/
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya

Listnya dapat dari milis LDK Al-Azzam, semoga posting ini bermanfaat bagi kita semua….
1.dr. Puji Ichtiarti RS Hermina Bekasi Barat dan RS Hermina Jatinegara
2.dr. Yenny Julizir Rs.Anna Bekasi (Suaminya dr. Anak dan sebagai pemilik RS. ANNA)
3.dr. Susi RS Rawamangun
4.dr. Lidya Liliana RS. Mitra Bekasi Barat
5.dr. Lina Meilina Pujiastuti SpOG RS Mitra Keluarga Bekasi Barat
6.dr. Jenny Anggraeni RSIA Hermina Bekasi
7.dr. Nina Martini Somad RSIA Hermina Bekasi
8.Hj. Lina Meilina Spog RS Mitra keluarga Bekasi Barat
9.dr. Sri Redjeki – RS Hermina, Klinik Bella, Klinik Alifia Perumnas III Bulak Kapal Bekasi
10.dr. Koesmaryati – Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi Timur (Muslimah)
11.dr. Ariati RS. siloam cikarang
12.dr Santi (Marlisanti kalau gak salah) RS JMC Buncit Raya
13.dr Husna RS OMC Pulomas
14.dr Ramayanti RSIA Putra Dalima , BSD Serpong
15.dr Hasna, dr.. (bisa dicek di website harapan kita) RS harapan kita
16.dr. Lita Lilik RS Mitra International jatinegara
17.dr Dwiyana Ocviayanti (Ocvi) RS Permata Cibubur
18.dr. Sri Lestari Praktek di RS International Bintaro dan RS Fatmawati.
19.dr. Rudiyanti RS International Bintaro. Praktek setiap hari 10:00-13:00 di RSIB.
20.dr. Wenny Ningsih RS.Honoris Tangerang (Perumahan Taman modern Tangerang), dkt Metropolis Town Square )
21.dr. Lucky Syafitri RSIA Eva Sari di Jl Rawa Mangun (Pramuka) Jak Pus dan RS Thamrin JakPus
22.dr. Suharyanti, Spog Praktek di RS. MMC dan RS Hermina Jatinegara
23.dr. Mutia Prayanti RS Hermina Depok
24.dr. Nelwati RS Hermina Depok
25.dr. Tazkiroh RS ISLAM JAKARTA, Jl. Cempaka putih Tengah I/1 Jakarta Pusat,
Telp.(021) 4250451 – 42801567 (hunting) Fax. (021) 4206681
26.dr. Suharni Kahar, SpOG
27.dr. Isnariani, SpOG
28.dr. Hasnah Siregar RSIA Hermina Jatinegara
29.dr. Roslina Spog RSIA Trimitra Cibinong Jalan Raya Bogor, 1km selatan dari Matahari Cibinong
30.dr. SUSAN MELINDA RSB.Limijati Bandung Jl RE Martadinata atau di Melinda Hospital, Bandung Jl Pajajaran
31.dr. Sofie Kimia Farma Jl Juanda Bandung
32.dr. Dewi S Gaduh Hermina
33.dr. Laila Nurana SPOG Medistra dan Bunda
34.dr. Nana Agustina RS Bersalin Siaga Dua, Pejaten Barat
35.dr. Zanibar Aldy RS Malahayati Medan
36.dr. Ida Farida, SpOG RS Kramat 128 Jakpus dan RS Satyanegara, Sunter
37.dr. Botefilia di RSIA Tambak, Manggarai JakPus.
sumber : http://anissa-alwafaa.blogspot.com/2010_07_01_archive.html
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya

Ya Rabb, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan.Ya Rabb, jangan Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Maafkan kami, ampuni, dan rahmati kami. Engkaulah pelindung kmi. Aamiin.
~Allah sudah memperhitungkan, amal, dan dosa yang kita perbuat!Mungkin Dia telah bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa! Mari kita berbenah dan lebih tunduk pada-Nya~
[Aisya Avicenna]
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya

Bumiku marah... bumiku menangis... bumiku terguncang!
~Semoga masih banyak doa-doa tulus yang dikirim ke Arsy-Nya! Doa dari penduduk bumi yang menyayanginya~
[Aisya Avicenna]
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya

Senin, 25 Oktober 2010. Hari ini jadwalku stand by di Unit Pelayanan Perdagangan (UPP). Minimal seminggu sekali, kami (beberapa staf baru Direktorat Impor) memang mendapat jatah tugas untuk menjadi front liner (layaknya di bank). Tugas kami cukup signifikan dalam menentukan proses importasi. UPP adalah “pintu utama” keluar masuknya perizinan impor di Kementerian Perdagangan. Kami biasa bertugas dari jam 9 sampai jam 5 sore. Semuanya serba online.
Hari ini, rencananya setelah tugas di UPP mau langsung pulang. Tapi ternyata hujan turun dengan lebatnya. Akhirnya, aku naik saja ke lantai 9 (Direktorat Impor). Malah dapat tugas untuk menjawab surat dari importir. Berbahasa Inggris pula. A good challenge for me! Habis Maghrib, jawaban untuk surat itu tinggal editing saja. Setelah pekerjaan selesai, aku putuskan untuk pulang meski air masih terus dimuntahkan dari langit. Saat itu pukul 18.30.
Awalnya mau naik taksi saja karena perut ini tak bisa diajak kompromi. Desminor, hari pertama! Menunggu di dekat pintu gerbang kantor, tapi taksi selalu berisi penumpang. Akhirnya, berjalan menuju tempat biasa menanti Kopaja 502. Subhanallah, banyak juga ‘pesaing’nya. Ternyata sejak tadi mereka juga menunggu kedatangan Kopaja 502. Tak seperti biasanya, Kopaja 502 jarang lewat. Sekalinya lewat, sudah tak ada sisa ruang untuk mengangkut kami yang masih berjajar di sepanjang trotoar. Menunggu dan terus menunggu. Taksi kosong yang sliweran di depanku tak mau berhenti saat aku mencoba menghentikannya. Ada apa ini? Aku merapal doa.
Satu jam berlalu. Kaki rasanya sudah kaku. Perut serasa diremas-remas. Kesabaran dan kekuatan (terutama fisik) tengah diuji! Ya Rabb, semoga hamba kuat. Lahaula walaquwwata ila billah... Berdzikir, sesekali bernasyid lirih...
Di sini aku mengharap ridho-Mu
Di sini aku mengiba rahmat-Mu
Di sini aku tambat munajatku
Di sini aku kembali
(Izzatul Islam)
Ibuk SMS. Mencemaskan keadaanku setelah beliau melihat berita di TV tentang banjir dan kemacetan yang melanda ibukota. Aku ceritakan keadaanku, bukan bermaksud menambah cemas beliau, tapi aku mengharapkan doa terbaik dari bunda tercinta. Tiba-tiba… Brakkk! Di depanku ada empat motor yang tabrakan dan jatuh. Pengendara motor yang tahu kalau motornya agak rusak, langsung marah-marah pada pengendara yang menabrak. Hmm, akhirnya aku berjalan ke arah utara beberapa meter, takut kalau berlama-lama di situ. Tapi sepertinya tidak sampai terjadi perkelahian.
Saat itu masih gerimis. Alhamdulillah, akhirnya bertemu dengan Mbak Prima, teman kantor. Jadi ada teman ngobrol. Mbak Prima mengenalkanku dengan seorang temannya, Mbak Neny. Ternyata Mbak Neny juga mengarah ke daerah Kampung Melayu. Berhubung tidak ada Kopaja 502 yang bisa dinaiki, maka aku dan Mbak Neny sepakat naik bajaj sampai ke Senen. Alhamdulillah, dapat ‘bajaj biru’, jadi cukup nyaman. Mbak Prima pulang berjalan kaki karena kostnya memang dekat dengan kantor.
Alhamdulillah, sampai juga di Senen. Eh, ongkosnya dibayar Mbak Neny dan tak mau diganti. Rezeki di kala hujan! Subhanallah, tambah terkejut lagi karena di Senen jumlah orang yang menunggu angkot juga sangat banyak. Ramai sekali. Awalnya, aku dan Mbak Neny sepakat untuk naik taksi saja. Tapi ternyata tak satu juapun taksi yang mau berhenti saat kami ‘STOP’. Mbak Neny memutuskan untuk naik busway. Aku tak mengikutinya karena jarak shelter busway ke kostku cukup jauh. Aku tetap menunggu angkot atau taksi yang lewat. Angkot 01 tak kunjung lewat. Naik bajaj saja sampai ke Kampung Melayu. Begitu pikirku. Tak lama kemudian, ada ‘bajaj biru’ yang berhenti di depanku. Mau menawarnya, keduluan seorang ibu muda yang berdiri di sampingku.
“Jatinegara berapa, Pak?” tanya ibu itu.
“Dua puluh lima ribu!” jawab sopir bajaj.
Aku mendekati sang ibu, “Ibu mau ke Jatinegara? Saya mau ke Kampung Melayu! Bareng saja Bu!” Ibu itu mengiyakan.
“Pak, ke Kampung Melayu ya? Berapa?” tanyaku pada sang sopir.
“Empat puluh ribu!” jawabnya.
“Tiga puluh ya Pak!” tawarku.
“Tiga lima deh!” jawab sang soper, final!
Sepakat. Tiga puluh lima ribu sampai terminal kampung Melayu. Di dalam bajaj, aku berkenalan dengan ibu muda yang bernama Dina itu. Mbak Dina ternyata akan dijemput suaminya di Kampung Melayu. Wah, enak juga ya kalau dah punya “jemputan”. Hehe... batinku!
But, the fight must go on....!!! Hujan sudah reda, tapi masih menyisakan dingin yang merasuk. Dan tentunya, kemacetan yang kian menggila.
Pak sopir mengambil jalan alternatif saat bajaj sudah memasuki kawasan Salemba. Sampai juga di Matraman. Subhanallah, sepanjang jalan banyak orang yang menunggu angkot. Tak sedikit juga yang berjalan kaki. Setelah melewati Gramedia Matraman, tiba-tiba bajajnya berhenti. Macet. Berulang kali pak sopir berusaha menyalakan, tapi tak kunjung bisa. Akhirnya, aku dan mbak Dina mau tak mau turun di situ. Tiga puluh ribu melayang. Wow, perjalanan masih jauh untuk bisa sampai di terminal Kampung Melayu. Sudah hampir pukul 22.00. Ya Rabb... jadi teringat semasa di Solo. Jam 20.00 sudah tidak boleh ‘berkeliaran’. Melanggar jam malam nih! Deg-degan juga...
Tak ada satupun angkot 01 yang lewat. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan kaki. Alhamdulillah, kaki ini masih kuat untuk melangkah. Kami long march dari Matraman sampai Gang Kelor. Lumayan juga ‘jalan-jalan’nya! Alhamdulillah, di Gang Kelor kami bertemu dengan angkot 06 yang masih kosong dan akhirnya naik angkot itu. Sampai di kampung Melayu, Mbak Dina turun. Masih dengan angkot 06, aku menyusuri jalan Otista yang juga macet. Beberapa penumpang yang mobilnya terjebak di jalur busway, keluar dari mobilnya. Pukul 22.30 sampai jua di dekat ATM BCA Otista. Aku turun di situ.
Aku masih harus berjalan melewati gang-gang kecil untuk bisa sampai di kost. Saat aku menengadah ke atas, ada senyum purnama bertahta di singgasana langit. Subhanallah, indahnya. Jalanan sepi. Aku mempercepat langkah. Ada cemas sekaligus harap, semoga jalan samping kost tidak tergenang banjir. Alhamdulillah, Allah menjawab doaku. Bersyukur sekali ada penjual nasi goreng yang masih mangkal. Akhirnya, aku membeli sebungkus nasi goreng dulu. Lapar nian! Setelah itu, aku masuk gang menuju kostku. Masya Allah, ternyata sore tadi banjirnya parah. Beberapa warga masih terjaga. Mereka membersihkan rumah yang sempat kemasukan air. Ternyata kostku juga. Lantai 1 kebanjiran. Dua kamar milik sahabatku terpaksa ‘dievakuasi’ barang-barangnya. Alhamdulillah kamarku (Redzone) berada di lantai 2, jadinya aman-aman saja. Jam dinding merah bermerk “Ummi” tepat menunjukkan pukul 23.00 saat aku memasuki Redzone. Alhamdulillah... langsung telepon Ibuk. Ternyata Babe dan Ibuk masih terjaga menunggu kabar dariku. Setelah itu makan malam bersama my supertwin yang tengah kelaparan menanti makanan yang aku bawa. Afwan ya!
Subhanallah walhamdulillah, kisah yang luar biasa hari ini! Semoga bisa mengambil hikmahnya. Terus bersabar dan senantiasa bersyukur ya! Allah akan selalu bersama kita... aamiin...
Redzone, 27 Oktober 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya