Surya kembali memancarkan cahayanya yang cerah. Pukul 07.00 seperti biasa Aisya melangkah ke Jalan Otista Raya untuk menunggu armada yang akan mengantarkannya ke tempatnya merangkai karya. Subhanallah, jam segini Jalan Otista Raya sudah sangat padat. Macet...
Dengan sedikit berlari Aisya menyeberang jalan sambil menerobos kendaraan yang sedang menunggu lampu merah berganti hijau. Alhamdulillah, bisa sampai seberang dengan selamat. Saat tengah asyik menunggu, Aisya sempat melihat Nita, sahabatnya di kantor yang tengah mengendarai Mio putihnya. Beberapa saat kemudian disusul Mbak Sulis yang juga rekan kerjanya dibonceng sang ayah. Aisya merenung, sebenarnya ia pengin juga sih naik motor ke kantor. Tapi ia teringat larangan orang tuanya. Sejak kecelakaan yang menimpa saudari kembarnya dulu, sejak itu pula supertwin dilarang naik motor. Yaaa... ga papa lah. Toh banyak hikmah yang bisa diambil. Terlebih di Jakarta ini, kalau dipikir-pikir ngeri juga kalau bawa motor. Rawan! Mending naik angkot, bisa duduk sambil baca buku atau merapal hafalan. Pokoknya, nurut aja deh sama nasihat orang tua!
Alhamdulillah, akhirnya ada Kopaja 502 yang bisa dinaiki. Sudah penuh. Aisya pun turut serta dalam deretan penumpang yang mengikhlaskan kakinya sebagai penopang. Berdiri plus berdesak-desakan! Wah, tidak bisa baca buku nih! Hmm, moment ini dimanfaatkan untuk berkontemplasi dan mencari inpirasi! Tak lupa Aisya tetap waspada dengan mendekap tas merah hatinya erat-erat.
Selang berapa saat Kopaja 502 berhenti di kawasan Gramedia Matraman. Terjadi kemacetan yang luar biasa. Brakk... sepertinya ada sepeda motor yang menyenggol Kopaja 502 itu dari sisi kanan. Tiba-tiba pak sopir yang berkaos hijau itu mengeluarkan tangan kanannya. Sejurus kemudian ia memukul kepala berbalut helm milik seorang bapak yang tengah mengendarai sepeda motor (Mukul helm apa ga sakit ya Pak???). Merasa diperlakukan seenaknya, bapak itu pun berusaha memukul balas. Apa daya tangan tak sampai, akhirnya hanya angin yang terkena bogem mentahnya. Tak berhenti sampai di situ, sumpah serapah dan semua isi kebun binatang beradu suara dari kedua bapak itu. Istri sang pengendara yang duduk di boncengan, berusaha menenangkan sang suami dengan menutup kaca helm merahnya dan mengguncang-guncang bahu sang suami agar tenang. Tapi upayanya tidak membuahkan hasil. Sang suami kembali menaikkan kaca helmnya dan mengeluarkan sumpah serapahnya. Kasihan tuh kaca helm, naik-turun terus (lucu juga...sang istri menurunkan kaca, sang suami menaikkannya... berulang kali). Akhirnya arus kembali stabil. Kopaja 502 melaju kencang meninggalkan sang pengendara yang pastinya masih dongkol luar biasa. Kejadian yang bikin miris. Astaghfirullah...
Sampai di Patung Tugu Tani, posisi Aisya masih terjepit di tengah penumpang lainnya. Ia bersiap turun, akhirnya ia merangsek melangkah maju. Ia merasa ada yang memegang tasnya saat ia berada di dekat pintu. Sampai jualah di depan kantor Kementerian Perdagangan. Aisya berhasil turun. Tiba-tiba dari arah belakang ada yang memanggil... "Mbak... mbak...". Aisya menoleh. Seseorang menjulurkan tangannya lewat pintu dan menyodorkan sebuah charger.
Lantas, ia berjinjit mengambilnya. Ia tak sempat melihat si pemilik tangan itu. Aisya masih kaget yang baru saja terjadi. Saat sampai di trotoar, jantung Aisya berdegup kencang karena tas merah hatinya terbuka. Gantungan bergambar bendera Palestina berbentuk hati itu sudah berpindah ke tengah. Retlesting tas telah bergeser. Aisya menggeledah tasnya. Alhamdulillah, HPnya masih ada. Dompet merah bermotif mawar juga masih ada. Nah, hanya saja ada satu dompet yang tidak ada. Dompet itu berisi 5 flash disk. Flash disk pertama berkapasitas 8 GB yang berisi foto-foto dan file pindahan dari laptop supertwin-nya (flash disk ini milik Izzah, teman kostnya). Flash disk kedua berkapasitas 2 GB yang berisi peraturan bea cukai dan foto-foto waktu dinas ke surabaya (untungnya sudah di back-up filenya). Flash disk ketiga berkapasitas 2 GB juga berisi file-file kantor (alhamdulillah juga sudah di back up). Flash disk keempat berkapasitas 1 GB berisi tulisan-tulisan Aisya (alhamdulillah, sebagian sudah di back up di T-ONE -Aisya's red notebook-, tapi 3 tulisannya pagi ini yang ia tulis dari jam 3 sampai jam 6 pagi belum sempat dipindah ke T-ONE, tadi pagi langsung disimpan di flash disk. Hiks... semangat nulis lagi lah!!! Rencana hari ini upload 3 tulisan terpaksa dipending dulu). Flash disk kelima bukan sembarang flash disk, karena ini flash disk yang bisa dipakai internetan. Modem!!! Hiks, padahal masih banyak pulsa internetnya. Udahlah... nabung! Trus beli lagi... ^^v. Seingatnya, selain berisi 5 flash disk tadi, dompet coklat itu juga berisi Handy Clean mungil, minyak angin kecil, dan selembar kartu namanya.
Aisya berharap dompet coklat itu bukan diambil pencopet, tapi tertinggal di kostnya. Karena seingatnya, dompet itu sempat ia keluarkan dari tasnya pagi ini sebelum berangkat ke kantor karena ada 1 flash disk yang belum ia masukkan. Semoga saja dompet coklat itu tertinggal. Tapi, kalaupun dompet itu yang diambil pencopet, ia sudah berusaha mengikhlaskannya. Coba kalau yang hilang HP-nya atau dompet merahnya yang berisi 3 ATM (dua ATM Share Muamalat : yang satu berisi donasi untuk acara Ramadhan Berbagi LBQ Al Utsmani dan yang satu berisi tabungan masa depannya ^^v, serta satunya ATM BRI sebagai pintu masuk gaji bulanannya), KTP, serta sejumlah uang yang rencananya hari ini akan ditransfer ke rekening Muamalat... hmm...harus banyak-banyak bersyukur!!!
***
*Rasa kehilangan, hanya akan ada.. Jika kau pernah merasa memilikinya...(Letto)*
Semua adalah milik Allah, dan semua akan kembali pada-Nya...
***
Kalau memang dompet beserta isinya itu masih menjadi rezekiku, ia pasti 'kembali' atau Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Aamiin...
Jakarta, 4 Agustus 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Agustus 2010 di blog sebelumnya
Home / All post
Mawar untuk Ibu

Seorang pria berhenti di toko bunga untuk memesan seikat karangan bunga yang akan dikirimkan kepada sang Ibu yang tinggal 250 km darinya. Begitu keluar dari mobilnya, ia melihat seorang gadis kecil berdiri di trotoar jalan sambil menangis tersedu-sedu. Pria itu bertanya mengapa gadis kecil itu menangis dan gadis kecil itu pun menjawab, “Saya ingin membeli setangkai mawar merah untuk ibu saya. Tetapi saya hanya mempunyai uang lima ratus rupiah, sedangkan harga mawar itu seribu rupiah.” Pria itu tersenyum dan berkata, “Ayo ikut aku, aku akan membelikan bunga yang kau mau.”
Kemudian, ia membelikan gadis kecil itu setangkai mawar merah, sekaligus memesan karangan bunga untuk dikirimkan kepada ibunya. Ketika selesai dan hendak pulang, ia menawarkan diri untuk mengantarkan gadis itu pulang ke rumah. Gadis kecil itu melonjak gembira, “Ya, tentu saja. Maukah kakak mengantar saya ke tempat ibu?”
Kemudian mereka berdua menuju tempat yang ditunjuk gadis kecil itu, yaitu pemakaman umum. Setibanya di sana gadis kecil itu meletakkan bunganya pada sebuah kuburan yang masih basah. Melihat itu, hati si pria menjadi trenyuh dan teringat akan sesuatu. Bergegas ia kembali menuju toko bunga tadi dan membatalkan kirimannya. Ia mengambil karangan bunga yang telah dipesannya dan mengendarai sendiri mobilnya sejauh 250 km menuju ke rumah ibunya.
***
Untuk bundaku yang selalu memahat kata “LUPH YOU” di setiap akhir SMS-nya…
Ananda semakin mencintaimu, bunda….
Jakarta, 2 Agustus 2010_16:22
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Agustus 2010 di blog sebelumnya
Nahkoda

“Hey nahkoda! Mengapa perahumu tak kunjung kau tambatkan? Ombak semakin kencang dan kau masih terayun-ayun di tengah samudera nan luas ini,” hardiknya membuyarkan lamunanku. “Sebentar kawan, jangan tergesa! Aku ingin menambatkannya di pulau itu. Sepertinya ada seseorang yang sudah lama ingin berlayar menuju pulau impiannya, akan kuantarkan dia ke tempat yang paling diimpikannya itu!” jawabku tegas.
[AA]
Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya
Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya
Allah Selalu Ada

Alhamdulillah, malam ini bisa bangun sebelum jam 23.00. Sudah menjadi kebiasaan semenjak mengerjakan skripsi semasa kuliah dulu. Ba’da Isya langsung tidur. Berhubung sekarang jam 20.00 baru tiba dri kantor, biasanya tidurny ajam 20.30 (setelah makan malam). Jam 10 atau 11 malam diusahakan bangun. Jam 03.00 tidur lagi sampai jam 04.00. Pada waktu itu serasa kelelahan fisik sirna. Pikiran juga lebih fresh! Ini mah versi pengalaman saya, kalau ada yang punya kebiasaan lain ya monggo... ^^v. Ba’da sholat tahajud, melaksanakan amanah baru yakni membangunkan seorang ibu muda yang tinggal di Bogor. Mbak yang satu ini baru saja melahirkan anak pertamanya. Kebetulan minggu ini suaminya sedang dinas di luar kota, sehingga saya diamanahi untuk misscalled beliau agar senantiasa terjaga untuk menjaga sang buah hati. Jadi turut merasakan pengalaman menjadi ibu. ^^v. .
Setelah itu mengerjakan PR dari ustadzah saya. Oh ya, selama di Jakarta ini saya ikut kelas tahsin-tahfidz di Lembaga Bimbingan Qur’an Al Utsmani yang berada di daerah Condet, Jakarta Timur. Kuliahnya seminggu sekali. Saya mengambil kelas di hari Jumat jam 06.00 pagi. Inilah salah satu langkah saya untuk mewujudkan impian menjadi seorang hafidzah! Semoga diberi kemudahan. Aamiin...
Sejenak mengulang hafalan untuk disetorkan pekan ini. Pasca itu, menulis! Ya, menurut saya jam-jam segini adalah waktu yang sangat tepat untuk menetaskan inspirasi-inspirasi yang didapat. Malam ini sepertinya saya terinspirasi dari sebuah nasyid baru yang akhir-akhir ini sering saya dengarkan, baik di kantor maupun lewat winamp-nya si T-ONE (eh iya, T-ONE itu nama notebook merah saya. T-ONE singkatan dari TRIPLE ONE, maksudnya : T-ONE ini adalah impian saya ke-111. Alhamdulillah, bisa terwujud memiliki T-ONE dari gaji rapelan -buka kartu.com-).
Eh ya, malah ngelantur. Nasyid baru ini dibawakan oleh seorang munsyid bernama Heru Hardiana, judulnya “Dia Selalu Ada”. Nada nasyid ini sangat enak untuk didengar. Coba deh download... Atau kalau ga ketemu, bisa minta ke saya (Gratis! ^^v)
Ingatlah Allah di mana saja
Jangan kau lupa Tuhan Yang Esa
Allah, Dia adalah pencipta kita
Pencipta alam semesta
Ingatlah Dia selalu ada
Dimanapun engkau berada
Allah, Dia Tuhan kita semua
Tiada Tuhan melainkan Dia
Ingatlah slalu akan dirimu
Engkau dicipta untuk beribadah kepada-Nya
Janganlah sampai engkau terjebak
Dengan nafsu dirimu
Allah kan melihatmu
Walau kau sembunyi dimanapun jua
Allah tahu ‘kan hatimu
Walau kau tutupi semua itu
***
Dimanapun dan sampai kapanpun kita berada Allah SWT selalu mengawasi kita, dalam perbuatan baik terlebih dalam perbuatan buruk, Allah SWT selalu ada mengawasi kita. Melangkah, berlari dan bersembunyi, Allah SWT pasti mengetahuinya karena Dia adalah Yang Maha Mengetahui apapun tentang makhluknya.
Sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau kita pasti diawasi oleh Allah SWT. Oleh karena itu, dalam berbuat dan melakukan sesuatu, ingatlah kepada Allah SWT. Setiap perbuatan kita selalu di lihat-Nya. Allah SWT Maha Melihat. Selain itu, Allah SWT mendengar semua yang kita ucapkan karena Dia Maha Mendengar. Hendaknya hal ini menyadarkan kita agar selalu berhati-hati dalam berbuat, bertindak, berbicara dan bertingkah laku karena Allah SWT selalu ada bersama kita.
Apa yang telah kita lakukan dan kerjakan suatu saat nanti akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT dengan segala catatan yang kita punya tanpa dikurangi atau dilebihkan karena Allah SWT Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, Maha Melihat, dan Maha Mendengar. Oleh karena itu dalam mengisi kehidupan yang singkat ini usahakanlah berjalan dalam koridor yang benar yang selalu diridhai Allah SWT.
Ingatlah, Allah SWT selalu bersama kita kapan dan di manapun kita berada. Sekecil dan sebesar apapun perbuatan dan perilaku kita, Allah SWT pasti mengawasi-Nya dengan segala kebesaran-Nya. Dengan mengingat Allah SWT maka hati menjadi tenang dan damai, dengan ketenangan dan kedamaian itu perbuatan kita akan selalu tertuju pada hal-hal yang positif dan bermanfaat.
"...Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar Ra’d, 13:28).
***
Ketahuilah olehmu jika kau merasa lelah dan tak berdaya dari usaha yang sepertinya sia- sia...
Allah SWT tahu betapa keras engkau sudah berusaha.
Ketika kau sudah menangis sekian lama untuknya dan hatimu masih terasa pedih...
Allah SWT sudah menghitung air matamu.
Ketika dirimu sedang menunggu sesuatu dan waktu berlalu begitu saja...
Allah SWT sedang menunggu bersamamu.
Ketika kau berpikir bahwa kau sudah mencoba segalanya dan tak tahu hendak berbuat apa lagi...
Allah SWT sudah punya jawabannya.
Ketika segala sesuatu menjadi tidak masuk akal dan kau merasa tertekan...
Allah SWT dapat menenangkanmu.
Ketika kau merasa sendirian dan teman- temanmu terlalu sibuk untuk menelpon dan SMS... Allah SWT selalu ada bersamamu
Ketika kau mendambakan sebuah cinta sejati yang tak kunjung datang...
Allah SWT mempunyai cinta dan kasih yang lebih besar dari segalanya.
Dia telah menciptakan seseorang yang akan menjadi pasangan hidupmu kelak.
Ketika kau merasa bahwa kau mencintai seseorang namun kau tahu bahwa cintamu tak terbalas...
Allah SWT sedang mempersiapkan segala yang terbaik baginya untukmu.
Ketika kau merasa bahwa kau talah dikhianati dan dikecewakan...
Allah SWT dapat menyembuhkan lukamu dan membuatmu tersenyum.
Ketika tiba-tiba kau merasa dapat melihat jejak-jejak harapan...
Allah SWT sedang berbisik kepadamu.
Ketika segala sesuatu berjalan lancar dan kau merasa ingin mengucap syukur...
Allah SWT telah memberkahimu.
Ketika sesuatu yang indah terjadi dan kau dipenuhi ketakjuban..
Allah SWT telah tersenyum kepadamu.
Ketika kau mempunyai tujuan untuk dipenuhi dan mimpi untuk digenapi...
Allah SWT sudah membuka matamu dan memanggilmu dangan namamu.Ketika kita menggantungkan harapan pada manusia, jangan heran jika kita dikecewakan...
Karena sejatinya hanya pada Allah SWT sajalah harapan itu digantungkan dan tiada pernah menemukan penyesalan.
Innallaha Ma Anna
Sudah jam 03.03 (waktu T-ONE).
Saatnya tidur lagi...
Zzzzz.
RedZone, 23 Juli 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya
Ketika Harus Memilih

Dalam setiap pilihan hidup, seorang mukmin beristikharah pada Allah.
Tetapi shalat istikharah itu hanyalah salah satu tahapan saja, sebagian dari tanda kepasrahannya kepada apa yang dipilihkan Allah bagi kebaikannya. Untuk dunia, agama, dan akhiratnya. Istikharah yang sesungguhnya dimulai jauh sebelum itu; dari rasa taqwa, menjaga kesucian ikhtiar, dan kepekaan dalam menjaga hubungan baik dengan Allah.
Ketika segala sebelumnya dijalani dengan apa yang diatur-Nya, maka istikharah adalah saat bertanya. Pertama tentang pantaskah kita dijawab oleh-Nya. Yang kedua, seperti apa jawab itu. Yang ketiga, beranikah kita untuk menerima jawab itu. Apa adanya. Karena itulah sejujur-jujurnya jawaban. Di situlah letak furqaan, kepekaan khas orang bertaqwa.
Karena soalnya bukanlah diberi atau tidak diberi. Soalnya, bukan diberi dia atau diberi yang lain. Urusannya adalah tentang bagaimana Allah memberi. Apakah diulungkan lembut dengan cinta, ataukah dilempar ke muka dengan penuh murka. Bisa saja yang diberikan sama, tapi rasa dan dampaknya berbeda. Dan bisa saja yang diberikan pada kita berbeda dari apa yang diharap di hati, tapi rasanya jauh melampaui. Di situlah yang kita namakan barakah.
Di jalan cinta para pejuang, ada taqwa yang menjaminkan barakah untuk kita…
(taken from Jalan Cinta Para Pejuang : Salim A. Fillah)
Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya
Ukuran Ilmu
::
mengukur ilmu bukan dari tumpukan buku yang dibaca, bukan dari
tumpukan naskah yang ditulis, bukan pula dari pandainya merangkai kata
dalam diskusi..
tapi dari amal yang keluar dalam setiap desah nafas, itulah bukti wawasan & bentuk nyata pemahaman ::
-Ibnul Qayyim-
Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya
Kata dan Sang Penulis
Al-Qanitat

Selasa, 20 Juli 2010. Ya Allah, ternyata waktu berjalan begitu cepatnya. Sudah memasuki bulan Juli. Hari ke-20 malah! Sebentar lagi bulan Ramadhan, sebentar lagi tahun 2010 berakhir, sebentar lagi 24 tahun!! Kembali teringat tema besar di 2010 : “MERANGKAI KARYA”. Alhamdulillah, tema itu sudah terimplementasikan dengan baik, tapi memang masih harus ditingkatkan lagi. Prestasi kerja, amanah di lembaga, tulisan-tulisan, dan yang tak kalah urgennya adalah kontribusi pada masyarakat adalah sebentuk karya yang harus terus ditingkatkan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Hmm, sembari mempersiapkan tahun 2011 yang mengangkat tema : “MEMBANGUN KISAH PENUH MAKNA”. Mmm, kisah seperti apakah itu? (Yang jelas semoga tahun 2011 sudah menemukan ending dari kisah yang sedang saya tulis).
Kembali ke pembukaan kalimat di atas. Hehe... malah ngelantur ke mana-mana. Selasa, 20 Juli 2010. Pukul 07.00 seperti biasa sudah keluar dari RedZone untuk menuju Jalan Otista Raya. Sepanjang perjalanan ternyata banyak sesuatu yang menarik dan tak sekedar melintas di benak saya. Pertama, saya melihat seorang ayah yang hendak berangkat ke kantor. Sang istri mendudukkan anaknya di jok belakang sepeda motor ayahnya. Inilah salah satu cara agar sang anak tidak rewel ketika ayahnya pergi ke kantor. Jadi teringat dengan cara Ustadz Salim A Fillah saat meninggalkan anaknya tanpa membuat anaknya rewel (cari tulisan saya di blog archive bulan Agustus 2009 berjudul “INSPIRASI PENGEMBARA CINTA”). Kedua, saya melihat seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya dalam gendongannya. Ibu itu membujuk agar anaknya bersedia memasukkan makanan ke mulut sambil memanggil seekor kucing yang bertengger di atas genteng. Yang membuat saya agak terkejut adalah mata si kucing yang demikian menyilaukan, kayak pakai lensa kontak. Hehe... (Boleh tersenyum kok setelah baca ini.. Lha wong saya juga senyum-senyum waktu menyimpulkan analisis yang rada ngaco di atas). Ketiga, saat saya sedang melintas di depan sebuah SD Muhammadiyah, tampak murid-murid begitu semangatnya mengaji di dalam kelas. Subhanallah. Sayangnya, beberapa orang tua mereka (ibu-ibu) malah asyik ngrumpi di depan pintu gerbang sekolah sambil menunggui anaknya. Saya jadi teringat salah satu tips manajemen waktu ala penulis dari Mbak Ifa Avianty, yakni : memanfaatkan waktu luang untuk menulis, termasuk saat menunggu anak di sekolah. Daripada ngrumpi, mending ngantar anak sambil bawa laptop, trus menulis deh! (Pikir saya). Hmm, kayaknya tiga aja pengamatannya. Sebenarnya banyak, kalau ditulis bisa berlembar-lembar nih. Btw, kok judul tulisan ini AL-QANITAT sih? Sebentar kawan, tunggu deretan huruf yang akan lewat selanjutnya.
Sekitar 10 menit berjalan kaki (udah biasa jalan kaki dari kost sampai gedung FMIPA UNS zaman kuliah dulu... jadinya ya ga capek! Itung-itung sembari olahraga), sampai jualah di Jalan Otista Raya. Menyeberang dan berjalan sampai depan ATM BRI. Alhamdulillah langsung ada Kopaja 502. Alhamdulillah lagi, masih tersisa beberapa bangku kosong. Akhirnya memilih duduk di deret ke dua dari belakang, bersebelahan dengan seorang mbak-mbak yang tengah terkantuk-kantuk. Sudah menjadi kebiasaan dan memang ada unsur ketersengajaan, setiap kali keluar rumah, pasti membawa buku dan membacanya di waktu luang atau di kendaraan. Kali ini buku yang saya bawa adalah buku “10 Sifat Bidadari Surga”. Buku kecil yang ditulis Dr. Aidh Al-Qarni dan Muhammad Khair Yusuf ini menjadikan bunga mawar sebagai sampul depannya. Jadi semangat membaca nih! Saat membaca di dalam kendaraan seperti itu, saya selalu membuka bukunya lebar-lebar atau terangkat ke atas, dengan harapan penumpang di dekat saya yang berdiri juga turut membacanya. Hehe... semangat membaca! Selain itu saya akan sangat senang jika bisa berdiskusi dengan penumpang di dekat saya tentang buku yang saya baca tersebut. Alhamdulillah, saat pulang kantor (ba’da Maghrib) juga mendapat tempat duduk di Kopaja 502 sehingga bisa merampungkan buku ini.
Berikut inspirasi yang saya dapat dari buku “10 SIFAT BIDADARI DUNIA”
Al-Qanitat adalah wanita yang tidak tergoda gemerlapnya perhiasan dunia di tengah banyaknya wanita yang tergoda. Akan tetapi tidak sembarang wanita di dunia ini bisa menggapainya. Tidak pula bagi wanita yang dipandang oleh masyrakat, ia secara otomatis disebut Al-Qanitat.
Al-Qanitat adalah salah satu istilah yang digunakan Al-Qur’am untuk merepresentasikan BIDADARI DUNIA. Mereka adalah wanita-wanita yang shalihah. Sebuah predikat yang diidam-idamkan seorang ayah kepada putri-putrinya, seorang suami kepada ibu dari anak-anaknya, bahkan impian dari seorang wanita muslimah itu sendiri. Hanya wanita yang mempunyai sifat-sifat tertentulah yang berhak meraih gelar tersebut. Ada sepuluh sifat yang dimiliki BIDADARI DUNIA bergelar Al-Qanitat ini.
1.Beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala yang senantiasa menyertainya siang dan malam, ketika mukim (di rumah) maupun di perjalanan. Ketika sedang berdiri, duduk, atau berbaring.
Iman-lah yang menjadikan pengawasan Allah lebih dekat kepada dirinya dari urat lehernya. Dia selalu mengingat Allah pada saat sendiri atau bersama, pada saat rahasia atau terbuka, pada saat sedih atau gembira.
Setiap wanita muslimah hendaknya selalu menjaga iman di dalam hatinya, menyiraminya dengan dzikir, ibadah-ibadah sunnah, tafakkur, dan tadabbur terhadap ayat-ayat Allah
2.Berdiam di rumah dan tidak bertabarruj (bersolek untuk orang lain).
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu (Q.S. Al-Ahzab : 33).
Berdiamnya seorang wanita di rumahnya, seorang wanita yang mampu menjaga kehormatan dan kemuliannya, maka pahala baginya lebih besar di sisi Allah. Orang Arab berlata, ‘Tidak ada yang menjaga seorang wanita kecuali tiga : suaminya, rumahnya, atau kuburnya”
3.Menundukkan pandangan dan menjaga dirinya.
Allah berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaknya mereka menahan pandangannya’ “ (Q.S. An Nur : 31).
“Wanita yang shalihah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara dirinya.” (Q.S. An-Nisa :34)
4.Menjaga lisannya dari ghibah (menggunjing) dan namimah (adu domba).
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (Q.S. Al-Hujurat : 12)
Wanita harus menjaga lisannya dari dosa-dosa tersebut, karena hal itu bisa menjerumuskannya ke dalam neraka.
5.Menjaga pendengarannya dari nyanyian-nyanyian, ucapan kotor, dan yang sejenisnya.
“Dan di antara manusia ada yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.” (Q.S. Luqman :6).
Nyanyian-nyanyian yang tiada berguna juga sebaiknya dihindari oleh muslimah karena bisa menimbulkan penyakit di dalam hati.
6.Menghormati suami, menunaikan haknya, berusaha membuatnya tentram, dan mentaatinya dalam ketaatan kepada Allah SWT.
“Apabila seorang wanita menunaikan sholat lima waktu, berpuasa di bulan puasa, dan taat kepada suaminya, niscaya dia masuk surga Tuhannya.” (H.R. Ahmad)
Di antara ketaatan kepada suaminya adalah membuatnya merasa nyaman jika dia pulang. Tersenyum untuknya, menenangkan pikirannya, tidak memicu persoalan dengannya, tidak menuntut uang belanja yang memberatkan, menjaga amanatnya jika dia tidak ada, diam ketika dia berbicara, mendidik anak-anaknya di atas Islam dan tidak menyelisihi perintahnya
7.Hemat dalam kehidupan, tidak boros dalam makanan, pakaian dan tempat tinggal
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Isra : 27)
Wanita muslimah wajib berhemat dalam segala urusannya dan urusan rumah tangganya. Jangan membebani suami di luar batas kemampuannya, hanya karena alasan-alasan remeh. Wanita muslimah hendaknya menginfakkan kelebihan hartanya di jalan Allah, di mana Allah menyimpan pahala di sisi-Nya.
8.Tidak menyerupai laki-laki.
Hendaknya setiap muslimah berusaha untuk tidak meniru laki-laki dalam cara berjalan, berpakaian, atau urusan yang menjadi kekhususan bagi laki-laki. Jangan mengubah ciptaan Allah, di mana Allah telah menciptakannya di atasnya.
“Allah telah melaknat para wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari)
9.Berusaha menjaga shalat-shalat, puasa-puasa, dan sedekah sunnahnya.
Wanita mempunyai setumpuk kesibukan di rumah khususnya terhadap anak-anak.Akan tetapi, hendaknya dia tidak melupakan bagiannya, terutama Al Qur’an dan dzikir. Karena keduanya itu adalah ringan di lisan tapi berat di timbangan. Selain itu juga amalan-amalan sunnah lainnya tetap diusahakan untuk dilaksanakan.
10.Hendaknya dia menjadi seorang da'iyah di kalangan para wanita, menyeru pada kebaikan, dan melarang dari kemunkaran.
Laki-laki ada kalanya tidak bisa berdakwah di kalangan wanita. Ada masalah yang sensitif di kalangan wanita yang terkadang sosok wanita jualah yang mampu mengatasinya. Oleh karena itu, seorang da’iyah di kalangan wanita sangat dinanti perannya. Dia bisa memberi pengaruh di kalangan wanita dan menarik mereka pada kebaikan.
Semoga kita bisa mendapatkan gelar Al-Qanitat, aamiin...
***
Ternyata sudah hampir jam 6.00 pagi! Saatnya bersiap menjemput rizki. Tapi sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menulis sesuatu untukmu, saudariku...
Apa kabar saudariku?Apa kabar saudariku? Mungkin hari-hari yang kau lalui penuh dengan ujian dan rintangan. Tapi jangan putus asa ya! Allah bersamamu selalu. Betapa pun dalam setiap sujud panjangmu kau tak pernah lalai memohonkan hidayah untukmu, keluargamu dan saudaramu, terkadang dengan deraian air mata. Tapi kau selalu tersenyum, ceria, dan penuh semangat di tengah saudarimu yang lain. Seolah tak pernah ada duka menghampiri kehidupanmu. Kau terlihat begitu tegar, bahkan kau kerap menghadiahkan taushiyah yang mampu menguatkan saudarimu yang lain. Bersama kesulitan selalu ada kemudahan, janji Allah itu membuat engkau begitu kuat dan tegar.
Apa kabar saudariku? Kulihat kau begitu bersahaja, sederhana, dan anggun dengan jilbab panjang tanpa motif dan baju muslimah sederhana yang tak banyak kau miliki. Kau tak pernah iri melihat saudarimu mengenakan jilbab dan baju beraneka model dan motif, bahkan selalu berganti setiap hari. Selalu rasa syukur yang tergambar dari teduh wajahmu, kau tidak ingin menggunakan pakaian hanya untuk terlihat modis. Sutera hijau nan indah menjadi impianmu kelak di surgaNya.
Apa kabar saudariku? Hari-harimu terlewati penuh dengan kesahajaan. Tilawah Al-Qur'an nan syahdu selalu kau sempatkan. Dzikirullah tak pernah terlepas dalam setiap harimu. Sering terdengar alunan ayat-ayat Al-Qur'an dari bibirmu ketika kau menghapalkan surat cinta dari Illahi. Ketika banyak saudarimu lebih semangat menyenandungkan bait-bait nasyid yang begitu banyak mereka hapal, kau tak pernah tergoda. Subhanallah, kudengar sudah beberapa juz Al-Qur'an tersimpan di memorimu.
Apa kabar saudariku? Sudahkah engkau menyempatkan diri membaca lara yang menimpa saudaramu di belahan bumi lain? Di Afghanistan, Palestina, Kashmir, Moro, Maluku, Poso, dan belahan bumi lainnya. Sudahkah kau membaca koran dan majalah hari ini? Ataukah kau masih suka membaca buku cerita dan serial cantik yang menjadi santapanmu ketika jahiliyah dulu? Pernahkah kau baca Tafsir Al-Qur'an di rumah ketika tilawah, menekuni buku Fiqh Dakwah, Petunjuk Jalan, dan buku-buku Islam lainnya. Ataukah kau masih menunggu ta'limat murabbiyah untuk sekedar membukanya?
Apa kabar saudariku? Begitu banyak kewajiban dakwah yang belum tersentuh tanganmu, saudariku. Bagaimana kabar dakwah di kampusmu, di keluargamu, di lingkungan rumahmu, di tempat kerjamu? Sudahkah kau memberikan kontribusi berarti untuk membangun peradaban Islami ataukah kau lebih suka menjadi penonton? Pasif, diam, tidak percaya diri, takut menghadapi dunia luar, dan sibuk dengan diri sendiri? Saatnya bangkit dan berjuang, saudariku. Mari bersama berjuang membangun peradaban. Jangan tunggu lagi!
REDZone, 21 Juli 2010_05:59
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya
Menulis
Ketika Cinta Dirahasiakan

Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang, namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut agar bukan cinta yang mengendalikan diri kita, tetapi diri kita yang mengendalikan cinta. Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut di sekitar kita saat ini. Walaupun bukan tidak ada. Barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan. Subhanallah…
Tapi, kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita contoh. Kekurangan teladan? Mungkin..
Inilah fragmen dari khalifah ke-4, suami dari putri kesayangan Rasulullah tentang membingkai perasaan dan bertanggung jawab akan perasaan tersebut. Kisah di bawah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, buah pena Ustadz Salim A.Fillah. Chapter aslinya berjudul “Mencintai Sejantan Ali”
Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang juga sepupunya itu, sungguh mempesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Terpercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan! Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berdakwah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Mekah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar ; Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan. Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak.
Dan Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar..”Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar melakukannya.
Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi. Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang Umar di balik bukit ini!” Umar adalah lelaki pemberani.
Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. Umar jauh lebih layak.
Dan Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian.
Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan. Maka Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin. ”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” ”Entahlah..” ”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda” Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu” Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan di sini, bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu. Perasaan yang insya Allah akan indah ketika waktunya tiba.
***
" Jika belum siap, cintai ia dalam diam"
Bila belum siap melangkah lebih jauh dengan seseorang, cukup cintai ia dalam diam..
Karena diammu adalah salah satu bukti cintamu padanya..
Kau ingin memuliakan dia..dengan tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang,
Kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya..
Karena diammu memuliakan kesucian diri dan hatimu
Menghindarkan dirimu dari hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu..
Karena diammu bukti kesetiaanmu padanya..
Karena mungkin juga..orang yang kamu cintai adalah juga orang yang telah Allah SWT pilihkan untukmu..
Ingatkah kalian tentang kisah Fatimah dan Ali? Yang keduanya saling memendam apa yg mereka rasakan...Tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci nan indah.
Karena dalam diammu tersimpan kekuatan..
Kekuatan harapan.. Hingga mungkin saja Allah akan membuat harapan itu menjadi nyata hingga “cintamu yang diam” itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata..
Bukankah Allah tak akan pernah memutuskan harapan hamba yang berharap pada-Nya?
Dan jika “cinta dalam diammu” itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, biarkan ia tetap diam..
Jika dia memang bukan milikmu, Toh ALLAH.. melalui waktu akan menghapus “cinta dalam diammu” itu dengan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat..
Biarkan “cinta dalam diammu” itu menjadi memori tersendiri dan sudut hatimu, menjadi rahasia antara kau dengan Sang Pemilik hatimu...
(sebuah kiriman dari seorang saudariku..)
Terinspirasi dari sebuah dialog kemarin siang. Buat seorang sahabat => Ukhti, yakinlah suatu saat kau akan mendapatkan yang TEPAT dan TERBAIK… untukmu… Untuk kita ^^v.
Jakarta, 20 Juli 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
Daftar Tulisan
Motivasi
(343)
Coretan
(233)
Dunia Muslimah
(140)
Puisi
(114)
RomantiCouple
(82)
Artikel
(76)
Kepenulisan
(49)
Tips
(46)
FLP
(41)
Mutiara Kata
(41)
TraveLova
(35)
Catatan Mamiko
(25)
Dunia Parenting
(23)
Cerpen
(20)
Inspirasi Bisnis
(19)
Resensi Buku
(17)
Buku Aisya Avicenna
(13)
Dunia Anak
(13)
Flash Fiction
(9)
Resensi Film
(8)
Cerbung
(5)