ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB. SAHABAT, TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG SAYA INI. SEMOGA BERMANFAAT DAN MAMPU MEMBERIKAN INSPIRASI. BAGI SAYA, MENULIS ADALAH SALAH SATU CARA MENDOKUMENTASIKAN HIDUP HINGGA KELAK SAAT DIRI INI TIADA, TAK SEKADAR MENINGGALKAN NAMA. SELAMAT MEMBACA! SALAM HANGAT, ETIKA AISYA AVICENNA.
Tampilkan postingan dengan label RomantiCouple. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RomantiCouple. Tampilkan semua postingan

Menunggu di Sayup Rindu



burungpun bernyanyi
melepas sgala rindu
yang terendam malu
di balik qolbu

anginpun menari
mencari arti
apakah ini fitrah
ataukah hiasan nafsu

di dalam sepi ia selalu hadir
di dalam sendiri ia selalu menyindir
kadang meronta bersama air mata
seolah tak kuasa menahan duka

biarlah semua mengalir
berikanlah kepada ikhtiar dan sabar
untuk mengejar...

sabarlah menunggu
janji ALLAh kan pasti
hadir tuk mdatang
menjemput hatimu

sabarlah menanti
usahlah ragu
kekasihkan datang sesuai
dengan iman di hati
bila di dunia ia tiada
moga di syurga ia telah menanti
bila di dunia ia tiada
moga di syurga ia telah menunggu

-Maidany-

***

Jodoh tak usah terlalu dirisaukan, tiba waktunya ia akan menjemput, namun perlu juga membuka lorong-lorongnya agar jemputan mudah sampai dan tidak terhalang

Ketika kita pasrah dan tawakal kepada Allah, dalam menanti jodoh yang terbaik menurut sang Maha Pencipta, baiknya kita singkirkan segala permintaan tentang jodoh yang tepat menurut kita (kriteria idealis kita). Saat jodoh masih belum datang juga, bisa jadi penyebabnya karena tidak ada 'keharmonisan' saat berdoa. Ternyata ketika mulut kita meminta, hati tidak seiring dan sejalan dengan apa yang kita ucapkan. Oleh karena itu, kita harus berusaha sekuat tenaga menyelaraskan ucapan dan lintasan hati kita.

Ketika kita pasrah dan tawakal kepada Allah, dalam menerima jodoh yang terbaik menurut sang Maha Penentu Takdir, Insya Allah Dia akan memberikan lebih daripada yang kita kira. Ketika kita tidak lagi menuntut banyak kriteria, Allah mungkin justru akan memberikan kriteria yang sering kita minta di setiap doa-doa dalam mengharap jodoh kita.

Ketika kita pasrah dan tawakal kepada Allah, jika suatu saat nanti kita siap menerima seseorang sebagai pendamping hidup, kita sangat yakin kepada sang Maha Pengampun, kita akan jauh lebih baik dan lebih cantik/tampan di surga nanti. Dialah jalan bagi kita untuk menuju surga Allah. Ya Allah, kumpulkanlah kami dalam surgamu kelak. Amin.

Ketika kita mampu pasrah dan tawakal kepada Allah, dalam segala hal, maka yakinlah, sang Maha Mendengar segala doa, akan mengabulkan doa-doa kita.


~Hasil diskusi dengan seorang sahabat saat perjalanan Jakarta-Bekasi~

Aku, yang masih terus mencoba pasrah dan tawakal
Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya
 

Mencintai Penanda Dosa


(Oleh : Salim A. Fillah)

Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.

Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata.

“Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.

Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.

Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka.

Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demi barak. Ad dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.
***
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”

Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

-salim a. fillah, www.safillah.co.cc-
***
NB: sahibatul hikayah berpesan agar kisah ini diceritakan untuk berbagi tentang betapa pentingnya menjaga iman, rasa taqwa, dan tiap detail syari’atNya di tiap langkah kehidupan. Juga agar ada pembelajaran untuk kita bisa memilih sikap terbaik menghadapi tiap uji kehidupan. Semoga Allah menyayanginya



Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya

Inspirasi di Altar Senja


berdiri di altar senja...

adakah di sana?

***
Juang Cinta Para Wanita

“Wahai Abu Utsman,” kata perempuan itu, “Sungguh aku mencintaimu.”

Suasana hening sejenak. “Aku memohon, atas nama Allah, agar sudilah kiranya engkau menikahiku,” lanjutnya.

Lelaki yang bernama lengkap Abu Utsman An Naisaburi itu diam. Ada keterkejutan dan kegamangan dalam dirinya tatkala mendengar perkataan perempuan yang datang kepadanya itu. Ia tidak mengenal perempuan ini dengan baik. Namun, tiba-tiba saja perempuan ini datang menemuinya dan menyatakan rasa cintanya yang dalam kepadanya. Bahkan saat itu pula, atas nama Allah, perempuan itu meminta pada Abu Utsman untuk menikahinya. Seakan keterkejutan yang dirasakan Abu Utsman bertumpuk-tumpuk di atmosfir hatinya.

Abu Utsman diam. Memikirkan keputusan apa yang hendak diambilnya. Sebagai seorang pemuda, ia dihadapkan pada sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Sebuah keputusan yang mungkin akan dijalaninya selama lebih dari separuh usianya dan separuh imannya. Selama ini keluarganya senantiasa mendorongnya untuk segera meminang salah seorang perempuan shalihah di wilayah itu. Namun, ia selalu menolak dorongan dari keluarganya itu hingga hari ini. Maka, sampai sekarang ia masih juga membujang. Ia akan mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya, termasuk segala konsekuensi yang menyertainya.

Imam Abul Faraj Abdurahman ibnu Al Jauzi menuliskan dalam salah satu kitabnya, Shaidul Khathir, bahwa Abu Utsman kemudian datang ke rumah si perempuan. Ia mendapati orangtua si perempuan adalah orang yang miskin. Namun, keputusannya tetaplah bulat untuk meminang si perempuan yang datang menyatakan cinta kepadanya itu. Terlebih lagi karena perempuan itu memintanya untuk menikahinya. Ia menyaksikan kebahagiaan yang berlimpah pada orangtua si perempuan mendengar bahwa putrinya dipinang oleh Abu Utsman, lelaki yang berilmu, tampan, shalih, penyabar, setia, jujur, tulus, dan terhormat.

Mereka pun menikah. Hingga akhirnya sang istri itu meninggal dunia lima belas tahun kemudian. Namun, sejak malam pengantin mereka ada kisah yang baru terungkap setelah kematian sang istri. “Ketika perempuan itu datang menemuiku,” kisahnya, “Barulah aku tahu kalau matanya juling dan wajahnya sangat jelek dan buruk. Namun, ketulusan cintanya padaku telah mencegahku keluar dari kamar. Aku pun terus duduk dan menyambutnya tanpa sedikit pun mengekspresikan rasa benci dan marah. Semua demi menjaga perasaannya. Walaupun aku bagai berada di atas panggang api kemarahan dan kebencian.”

Ah, kita jangan marah pada Abu Utsman yang mengharapkan istri yang cantik dan sempurna, tapi kemudian hanya mendapatkan istri juling dan buruk wajah. Itu merupakan sisi manusiawi dari lelaki yang menginginkan kecantikan dan kesempurnaan dari pendamping hidupnya. “Begitulah kulalui lima belas tahun dari hidupku bersamanya hingga dia meninggal,” lanjutnya berkisah. “Maka, tiada amal yang paling kuharapkan pahalanya di akhirat, selain masa-masa lima belas tahun dari kesabaran dan kesetiaanku menjaga perasaannya dan ketulusan cintanya.” Kesetiaan itu adalah bintang di langit kebesaran jiwa, kata Anis Matta.

Sungguh, saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini. Meskipun cinta di antara mereka tidak pernah benar-benar ada dalam masa-masa lima belas tahun perkawinan itu, tapi perjuangan cinta si perempuan sangat luar biasa di mata saya. Meskipun sang perempuan itu tahu bahwa ia bermata juling, meskipun ia tahu bahwa ia hanya anak orang miskin, meskipun ia tahu bahwa ia bukan perempuan berwajah cantik satin, tapi ia memperjuangkan cintanya untuk membersamai orang yang dicintainya itu. Ia berhasil membersamainya dalam masa lima belas tahun hingga maut datang menjemput. Ia memang tidak tahu bahwa selama masa itu sang suami, Abu Utsman An Naisaburi, tidak pernah benar-benar mencintainya. Namun, Abu Utsman membuktikan bahwa ia adalah lelaki yang setia, tulus, sabar, dan senantiasa menjaga perasaan sang istri yang demikian tulus mencintainya. Bagi saya, semua hal itu adalah bagian dari cintanya, hanya saja bentuknya yang sedikit berbeda. Sungguh, saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.

Ada pula kisah lain dari shahabiyah Rasulullah. Namanya Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah. Ia adalah salah seorang perempuan Madinah dari Bani Aus yang berstatus janda. Khaddam, sang ayah Khansa’, mengawinkannya dengan seorang lelaki yang juga berasal dari Bani Aus. Namun, ia tidak menyukai lelaki itu dan sebenarnya ia telah menyukai lelaki lain. Maka, berangkatlah Khansa’ menemui Rasulullah. Ia menceritakan kasus perselisihannya dengan sang ayah dan mengutarakan hasrat hatinya bahwa ia mencintai lelaki lain itu. Rasulullah pun memanggil sang ayah dan memerintahkan kepadanya untuk memberikan kebebasan kepada putrinya dalam memilih calon suaminya sendiri.

“Sesungguhnya,” tutur para imam hadits dalam kitab mereka, “Ayahnya menikahkan dia, sedangkan dia seorang janda maka ia tidak suka pernikahan itu, kemudian datang kepada Rasulullah. Maka Rasulullah menolak pernikahannya.” Hanya Imam Muslim yang tidak mencatat riwayat dari Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah ini.

Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah pun memilih. Ia memutuskan untuk meninggalkan perkawinan paksaan sang ayah dan menginginkan dinikahi oleh orang yang dicintainya. Dalam Shahifah Amru bin Syaibah, disebutkan bahwa lelaki itu terlebih dahulu meminang Khansa’ dan sudah diterima Khansa’. Nama lelaki itu adalah Abu Lubabah bin Abdil Mundzir. Ia adalah salah seorang sahabat utama yang menghadiri Bai’atul Aqabah kedua, ia adalah wakil Rasulullah di Madinah saat Perang Badar untuk menjaga keamanan dan ketertiban penduduk kota Madinah, anak-anak, kaum perempuan, kebun buah-buahan. Ia juga ditugasi untuk memberi makanan pada warga yang kelaparan dan memenuhi kebutuhan semua warga yang ada, baik anak-anak maupun orang tua sampai pasukan yang berada di jalan Allah itu kembali. Dengan lelaki mulia inilah Khansa’ menjatuhkan pilihannya, ia menikah dengan lelaki yang dicintainya. Ia menikah dengan lelaki yang diperjuangkannya hingga melibatkan keputusan Rasulullah atas pemaksaan sang ayah. Dari pernikahan mereka itu lahirlah seorang perempuan bernama Lubabah.

Pada Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah pula kita berterimakasih atas pelajaran penting tentang larangan pemaksaan menikah dari orang tua jika sang putri tidak menyukai calon suaminya. Dari Khansa’ pula kita belajar tentang hak-hak perempuan dalam syariat Islam dan menjalankan hidupnya sebagai bagian dari sistem struktur masyarakat madani. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.

Kisah hidup perempuan paling mulia di zamannya pun melakoni episode perjuangan cinta ini.

“Sebenarnya ia orang biasa,” kata perempuan mulia itu. Dr Thaha Husain menuliskan fragmen ini dalam saduran kisahnya yang dinukil oleh Saefulloh Muhammad Satori dalam Romantika Rumah Tangga Nabi. Perempuan mulia ini bernama Khadijah binti Khuwailid. Sedangkan orang yang dibicarakannya adalah Muhammad bin Abdullah yang kala itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. “Saya kenal ibunya. Saya kenal ayahnya, dan saya turut hadir pada waktu ia baru lahir,” terangnya.

Dalam pandangan Khadijah, sosok Muhammad muda adalah sosok dengan kebaikan yang melimpah, kewibawaan lelaki, kepercayaan amanah, dan pesona jiwa yang tak mampu tersembunyikan oleh kerasnya hidup yang dilaluinya. Sebentuk empati pada Muhammad muda menunas di hatinya. Segala kabar miring yang pernah didengarnya dari orang-orang yang mengatakan bahwa kedudukan Muhammad hanyalah seorang penggembala kambing penduduk Mekah tertepis dengan sendirinya menyaksikan amanahnya pada lelaki itu terlaksana dengan gemilang.

Rasa empati di dalam hati Khadijah bertransformasi, lembut, lambat dan menumbuh pelan, pasti. Rasa empati itu semakin lama berbunga cinta. Ia merasakan perasaan manusiawi terhadap lelaki mulia yang menjadi pekerjanya itu. Dan seperti bentuk cinta jiwa lainnya, cinta yang dirasakannya menginginkan balasan dan penghalalan di singgasana pernikahan. Namun, ia masih merasakan keraguan di dalam dirinya untuk membersamai sang lelaki mulia itu. Sebelumnya, ia telah menikah dengan Atiq bin Aid bin Abdullah Al Makhzumi dan Abu Halah Hindun bin Zarrah At Tamimi. Bahkan ia telah memiliki putri yang sudah berada di usia nikah dan seorang putra lagi. Saat itu Khadijah berusia sekitar empat puluh tahun. Selisih usianya dengan Muhammad sekitar lima belas tahun.

Dalam kebimbangan itu, datanglah kawan karibnya yang bernama Nafisah binti Munayyah. Ia adalah kawan Khadijah dimana ia banyak mendengarkan keinginan-keinginan hati Khadijah. Dan kali ini termasuk tentang rasa cintanya terhadap Muhammad dan hasrat hatinya untuk menjadi istri dari lelaki yang dicintainya itu. Nafisah pun mengerti. Ia menawarkan bantuannya untuk menjadi utusan rindu antara Khadijah dan Muhammad.

Segera ditemuinya Muhammad. Ditanyalah lelaki mulia ini alasan-alasan mengapa ia belum juga menikah. Ia juga menjelaskan kepada Muhammad tentang keutamaan-keutamaan bagi orang yang menikah yang didampingi seorang istri yang setia. Muhammad muda termangu membayangkan idealisme yang dijabarkan nafisah dan realita yang dihadapinya di masa lalu dan kini.

“Aku tidak tahu dengan apa aku dapat beristri…?” jawab Muhammad dengan pertanyaan retoris.

“Jika ada seorang perempuan cantik, hartawan, dan bangsawan yang menginginkan dirimu, apakah engkau bersedia menerimanya?” tanya Nafisah balik.

Syaikh Shafiyurahman Al Mubarakfuri dalam Rahiq Al Makhtum menyebutkan bahwa Nafisah binti Munayyah bergegas menemui Muhammad muda dan membeberkan rahasia Khadijah tersebut dan menganjurkannya untuk menikahi Khadijah. Muhammad pun menyetujuinya dan merundingkan hal itu dengan paman-pamannya. Kemudian mereka mendatangi paman Khadijah untuk melamarnya bagi Muhammad. Pernikahan pun segera berlangsung dengan dihadiri oleh Bani Hasyim dan para pemimpin suku Mudhar. Muhammad menyerahkan mahar sebanyak dua puluh ekor unta muda.

“Muhammad,” kata Abu Thalib, sang paman, dalam Romantika Rumah Tangga Nabi, “Adalah seorang pemuda yang mempunyai beberapa kelebihan dan tidak ada bandingannya di kalangan kaum Quraisy. Ia melebihi semua pemuda dalam hal kehormatan, kemuliaan, keutamaan, dan kecerdasan. Walaupun ia bukan termasuk orang kaya, tapi kekayaan itu dapat lenyap. Sebab setiap titipan atau pinjaman pasti akan diminta kembali. Sesungguhnya Muhammad mempunyai keinginan khusus terhadap Khadijah binti Khuwailid, begitu pula sebaliknya…”

Tentu saja kisah cinta Khadijah – Muhammad adalah kisah yang sarat dengan hikmah dan berlimpah berkah. Dua orang mulia bertemu dalam singgasana pernikahan yang sama. Bergemuruh oleh kerja-kerja cinta di antara keduanya. Saling melengkapi di antara keduanya. Dan kematangan serta sikap keibuan Khadijah adalah energi gerak dan penenang jiwa tatkala sang suami memikul amanah langit dan menyampaikan dua kalimat keadilan. Penyiksaan psikis pun bisa dikikis oleh rasa kasih dan sayang Khadijah pada Muhammad, Rasulullah.

Kita tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Khadijah hanya berdiam diri menunggu takdir cintanya kepada Muhammad. Bisa jadi Rasulullah tetap akan meminang Khadijah. Namun, bisa jadi hal lain yang terjadi, yakni tidak terjadi apa-apa di antara keduanya. Dan tentu ceritanya akan lain jika Khadijah tidak menikah dengan Muhammad. Namun, sejarah cukup membuktikan bahwa takdir telah diciptakan oleh Khadijah dengan mengutarakan rasa cintanya melalui kawan karibnya, dan takdir ciptaannya itu pun berjodoh dengan takdir ilahi. Khadijah memang perempuan mulia, dan kemuliaannya itu tidak mengurangi kekuatan dirinya untuk memperjuangkan rasa cintanya. Dan cinta Khadijah – Muhammad pun mengabdi di langit jiwa sejarah manusia. Semua bermula tatkala perempuan mulia itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.

Kita seringkali tidak memahami bahwa kehidupan berjalan dalam siklus pilihan, keputusan, dan konsekuensi. Kisah-kisah hidup perempuan-perempuan ini memang berakhir bahagia dalam perjuangan cintanya untuk membersamai lelaki yang dicintainya. Namun, ada juga kisah yang tidak gemilang, bahkan berkesan coretan buram menghitam dalam sejarah perjuangan cinta, jika boleh kita sebut cinta. Mari kita simak kisahnya sebagaimana dituturkan Salim A Fillah dalam Jalan Cinta dengan menukil dari Raudhatul Muhibbin dan Taujih Ruhiyah.

Ini kisah tentang seorang gadis yang sebegitu cantiknya. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman surga.

Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya, dan belum tergambar wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaqnya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri. Bahwa ketaqwaannya telah berulang kali teruji. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu.

Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak, terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti apakah cintanya bersambut sama.

Maka ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu. Dan ia mendapat jawaban. ”Ya”, katanya.

Akhirnya mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya; kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikannya bicara, karena demikianlah kebiasaan yang ada pada keluarganya.

”Maha Suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, ”Yang telah menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan.”

Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. ”Andai saja kau lihat aku”, katanya, ”Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.”

”Betapa inginnya aku”, kata si gadis, ”Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.”

Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. ”Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan.”

Si gadis ikut tertunduk. ”Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan, ”Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan.”

”Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. ”Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”

Ah, perjuangan cinta si perempuan itu tampak nyata tidak indah. Memang benar ia orang yang romantis dan memiliki daya khayal yang tinggi serta kemampuan merangkai kata yang indah. Namun, semuanya berbau aroma syaitan dan nafsu. Kesucian cinta yang seharusnya ada di dalam hatinya dan mengejawantah di dalam laku juangnya ternyata tergerus oleh badai hawa nafsu. Selain persoalan ikhtilath yang terjadi di antara mereka, si perempuan itu tidak menunjukkan juang cintanya dalam bentuk yang halal. Semuanya di luar bingkai pernikahan. Begitu hitam dan memalukan yang mendengar kisahnya. Semua bermula tatkala si perempuan mulia itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.

“Di kota Kufah,” tulis Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Mubibbin, “Ada seorang pemuda yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah, dan berijtihad. Suatu hari dia singgap di suatu kaum dari An Nakha’. Di sana pandangannya terpapas dengan seorang gadis yang cantik jelita dari kaum itu, sehingga dia langsung jatuh cinta kepadanya. Dia pun berpikir untuk menikahinya. Dia singgah di tempat yang lebih dekat dengan rumah gadis itu, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan pinangan kepada ayah sang gadis. Namun, dia dikabari ayahnya, bahwa gadis itu sudah dipinang oleh anak pamannya sendiri.”

Lelaki shalih dan perempuan itu ternyata telah saling mencinta. Dan status si perempuan yang telah dipinang membuat mereka tidak bisa bersatu. Gelora cinta dan asmara begitu menggebu di antara keduanya. Tatkala si perempuan sudah demikian merasa berat, maka ia mengirim utusan kepada lelaki itu.

“Aku sudah mendengar tentang besarnya cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika kamu mau, aku bisa menemuimu. Atau jika kamu mau, maka aku bisa mengatur cara agar kamu bisa masuk ke dalam rumahku,” kata utusan itu menirukan pesan si perempuan.

Lagi-lagi, pernyataan cinta dan perjuangan untuk dapat membersamai ini kembali dicoret dengan warna buram menghitam. Keindahan cintanya di antara sepasang manusia itu ternodai oleh niat yang tidak lempang. Terpesong dari jalan cinta rabbani. Namun, ada yang indah dari kisah ini. Tatkala mendengar tawaran dari si perempuan yang sedang mabuk kepayang oleh cinta itu, sang pemuda malah menjawab, “Tidak adakah pilihan di antara dua hal yang dicintai ini? Sesungguhnya aku takut azab hari yang besar jika aku mendurhakai Tuhanku. Sesungguhnya aku takut api neraka yang baranya tidak pernah padam dan tidak surut jilatannya.”

Mendengar jawaban dari lelaki yang dicintainya itu, si perempuan meluncur di titik balik. Ia tersadar atas khilafnya dalam perjuangan cinta yang ia lakukan. Ia sadar dan bertobat. Ia mengabdikan dirinya pada Allah dan hanya beribadah semata. Memisahkan diri dari keluarganya. Namun begitu, ia tetap tidak mampu memadamkan rasa cintanya dan kerinduannya kepada sang pemuda hingga meninggal dalam keadaan seperti itu. Mereka memang akhirnya tidak pernah saling membersamai dalam singgasana pernikahan, tapi masih terasa indah akhirnya. Kesucian diri dari maksiat atas nama cinta. Kisah serupa juga dialami oleh Abdurahman bin Abu Ammar yang dicintai oleh seorang perempuan Mekah yang menyatakan cintanya dan mengajaknya berbuat mesum. Namun, cintanya pada Allah menuntunnya tetap menjaga kesucian diri. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.

Memperjuangkan cinta bagi seorang perempuan adalah keputusan yang sulit. Di sana dibutuhkan keberanian yang berlipat-lipat dibandingkan dengan perjuangan cinta seorang lelaki. Ada adat, tradisi, dan karakter jiwa yang harus dilawan untuk mampu mengambil keputusan besar itu: memperjuangkan cinta. Rasa malu yang dimiliki perempuan dalam urusan cinta sangatlah mendalam. Oleh karena itu, Rasulullah menjelaskan bahwa kemauan seorang perempuan akan pinangan seorang lelaki adalah dengan diamnya, dalam arti tidak menolak, tanpa perlu mengiyakan dengan rangkaian kata-kata. Namun, kekuatan cinta memang dahsyat dan menggerakkan.

Dalam Shahih-nya, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika berada dalam sebuah majelis Rasulullah, seorang perempuan berdiri dan berkata kepadanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau mau kepadaku?” Dalam kesempatan lain, perempuan yang lain datang pada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah saya datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.”

Hadits tentang perempuan yang pertama diriwayatkan oleh Tsabit Al Bunani dalam Bab Seorang Perempuan Menawarkan Dirinya Kepada Lelaki Shalih. Sedangkan hadits tentang perempuan kedua diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad. Meskipun kedua bentuk penghibahan diri perempuan ini adalah hal yang khusus bagi Rasulullah sebagaimana dicantumkan dalam Surat Al Ahzab ayat 50, tapi menawarkan diri untuk dinikahi lelaki shalih adalah hukum umum yang berlaku untuk semua lelaki shalih.

“Di antara kehebatan Bukhari di sini,” kata Ibnu Al Munir, sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, “Adalah dia tahu bahwa kisah perempuan yang menyerahkan dirinya ini bersifat khusus. Maka, dia beristinbath (menyimpulkan hukum) dari hadits ini untuk kasus yang tidak bersifat khusus, yaitu diperbolehkannya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada lelaki yang shalih karena menginginkan keshalihannya. Hal itu boleh dilakukan.”

“Hadits tadi memuat dalil bolehnya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada laki-laki shalih. Perempuan itu juga boleh memberitahukan bahwa ia mencintai laki-laki tersebut karena keshalihannya, keutamaan yang dimilikinya, keilmuannya, dan kemuliannya. Sungguh ini bukan suatu perangai jelek. Bahkan, ini menunjukkan keutamaan yang dimiliki perempuan itu,” kata Imam Al ‘Aini.

Masih dari Fathul Bari, dalam Kitab Tafsir, diterangkan bahwa perempuan yang menawarkan diri itu adalah Khaulah binti Hakim, dan ada yang mengatakan Ummu Syarik atau Fathimah binti Syuraih. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa perempuan itu adalah Laila binti Hathim, Zainab binti Khuzaimah, dan Maimunah bintul Harits.

“Dari hadits tentang seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah ini,” kata Ibnu Hajar, “Dapat disimpulkan bahwa barangsiapa dari kaum perempuan yang ingin menikah dengan orang yang lebih tinggi darinya, tidak ada yang harus dirasakan malu sama sekali. Apalagi kalau niatnya baik dan tujuannya benar. Katakanlah, umpamanya karena lelaki yang ingin dia tawarkan itu mempunyai kelebihan dalam soal agama, atau karena rasa cinta yang apabila didiamkan saja dikhawatirkan dapat membuatnya terjerumus pada hal-hal yang dilarang.”

Bagi kebanyakan kita, mungkin juga termasuk saya dan Anda, jika mendengar seorang perempuan yang menawarkan diri untuk dinikahi oleh seorang lelaki shalih, mungkin kita akan berkata seperti yang dikatakan oleh putri Anas yang kala itu menyaksikan sebentuk perjuangan cinta itu, “Alangkah sedikit rasa malunya. Sungguh memalukan! Sungguh memalukan!”

Namun, saya lebih suka perkataan yang disampaikan oleh sang ayah, Anas, kepada putrinya itu, “Dia lebih baik daripada kamu. Dia mencintai Rasulullah, lalu dia menawarkan dirinya untuk beliau.”

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2010/juang-cinta-para-wanita/



Tulisan ini diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya

Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin


Pukul 02.00 dini hari aku kembali terjaga saat “For The Rest of My Life”-nya Maher Zain terlantun dari ‘mesin ketik mini’ kesayanganku. Ah, tertanya netbook itu lupa dimatikan oleh seseorang. Seseorang yang waktu aku terbangun tadi, dia masih terlelap. Pulas. “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”-nya Tere Liye masih terpegang di kedua tanganku. Tapi kini posisinya sudah telungkup. Ternyata aku ketiduran saat tengah membacanya semalam. Membaca sambil tidur, bukan kebiasaanku memang, tapi jangan ditiru! 
Teringat petualangan kemarin. Pukul 09.00 aku menjemput seseorang di stasiun Jatinegara. Setelah itu, dia kuajak ke kost kemudian kami berdua bertandang ke Masjid Amir Hamzah, Taman Ismail Marzuki. Pertemuan dengan rekan-rekan FLP Jakarta memang selalu berbuah kesan. Termasuk pertemuannya kali ini, untuk pertama kalinya pula! Setelah dari situ, kami menyempatkan diri untuk makan siang. Baru setelah cukup energi, kami melanjutkan perjalanan ke Gramedia Matraman. Inilah program bulananku : BBG (Baca Buku Gratis). Dia kubiarkan berkeliling mencari buku pilihannya. Oh ya, "dia" adalah saudari kembarku. Kini, kami tengah dipertemukan-Nya dalam sebuah perjalanan hidup yang kelak entah akan membawa kami ke kisah yang seperti apa. Hanya Allah yang Maha Tahu kelanjutan dari kisah yang tengah kami lakoni ini.
Aku bergerilya dari satu rak ke rak lainnya untuk mencari sebuah buku yang tepat untuk kubaca siang itu. Penasaran dengan sinopsis yang tertulis di halaman permulaannya, terambillah sebuah novel baru karya Tere Liye. Judulnya "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Berikut rentetan tulisan yang kumaksud di atas :

Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah dan janji masa depan yang lebih baik.
Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami, Memberikan kasih sayang, perhatian dan teladan tanpa mengharap budi sekalipun. Dan lihatlah aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.

Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.

Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah.. Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun dan yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggut dari tangkai pohonnya.
***

Aku penasaran. Tertarik, lantas mengambil novel yang sudah terbebas dari plastik pembungkusnya. Aku menuju ke tempat baca, ternyata kursi baca sudah ditempati semua. Tersisalah sebuah dinding kaca di dekat kursi baca itu. Punggung ini kusandarkan pada dinding, kemudian bab pertama novel bersampul hijau itu aku buka.
Saat sedang khusyuk membaca, ada pengumuman dari operator,
"Kepada segenap pengunjung yang berada di areal buku, diharapkan untuk tidak duduk di lantai"
Beberapa pengunjung yang duduk di lantai langsung berdiri. Aku yang tengah bersandar di dinding kaca (jadi inget lagu masa kecil : thicko.. thicko di dinding... hehehe, salah ding!) dan masih asyik dengan novel itu mendadak terusik dengan gerak-gerik seseorang yang berada 1 meter sebelah kiriku. Awalnya dia duduk di lantai, setelah ada peringatan itu, dia memang beralih posisi. Dari duduk menjadi JONGKOK! Dia jongkok dan kembali fokus membaca. Cuek! Ahihihi... jadi tertawa dalam hati.
Menjelang pukul tiga sore, novel setebal 256 halaman itu belum jua kubaca sampai setengahnya! Lha baca novelnya sambil YM-an sih! Kebetulan waktu asyik baca, ada YM yang masuk, dari seseorang yang baru saja membuka blogku. Seorang akhwat. Namanya Kartika. Mirip namaku. Biasa dipanggil Twika. Serasa buku-buku yang terbujur kaku di rak-rak itu menjadi saksi terkoneksinya kami. Ukhti Twika ternyata lolos ujian tertulis CPNS Kementerian Perdagangan RI. Beliau diskusi denganku terkait pengalamanku saat psikotes dan wawancara. Jadinya ya baca buku sambil YM-an deh. Alhamdulillah, lewat blog, aku jadi punya banyak saudara baru.
Berhubung ada urusan yang harus kami selesaikan, aku pun mengembalikan novel yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama itu ke singgasananya semula. "Suatu saat aku ke Gramedia Matraman lagi saja, merampungkan novel ini. Toh, hampir tiap bulan aku ke sini", batinku. Akhirnya, aku membeli "Bidadari-Bidadari Surga"-nya Tere Liye. Saudari kembarku membeli sebuah buku juga. Setelah kami turun ke lantai 1, sempat aku membeli beberapa peralatan kantor yang aku butuhkan. Saat itulah ada yang berkecamuk dalam hatiku, PENASARAN! Ya, aku masih penasaran dengan kelanjutan kisah Tania dalam novel yang tadi belum selesai kubaca. Setelah bayar di kasir, aku bergegas ke lantai 3, tempat novel itu. Akhirnya, "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" resmi menjadi penghuni baru di Al-Firdaus, perpustakaan pribadiku. Menjadi rencanaku, bahwa aku ingin mengoleksi semua novelnya Tere Liye. Aku masih penasaran dengan penulisnya juga. Sampai detik ini belum ada kesempatan untuk bertemu!

Pulang dari Gramedia Matraman, saat sang mentari hampir sampai di tempat peraduannya, kami masih mencari rental komputer yang bisa mencetak warna. Hasilnya NIHIL!

Selang beberapa saat kemudian...
"Ada mbak..." sebuah SMS balasan dari seorang adik mahasiswi STIS saat kutanya apakah di kostnya ada yang punya printer warna dan malam ini bisa digunakan. Sehabis Maghrib, aku dan saudari kembarku langsung meluncur ke kostnya. Subhanallah, sambutan yang luar biasa dari adik-adik STIS karena mereka 'terkejut' dengan kehadiran duplikatku. Hmm... heboh! ^^v
Misi supertwin sukses!
Menjelang tidur, ada rasa penasaran yang masih belum terjawab. Akhirnya aku membaca novel Tere Liye yang sempat 'terpending' sore tadi. Ternyata, malah tertidur saat tengah membacanya. Alhamdulillah, novel itu selesai setelah sahur keesokan harinya!
***

Novel itu berkisah tentang sepasang kakak beradik yang sehari-harinya bekerja sebagai pengamen jalanan, Tania dan Dede. Suatu hari, saat sedang mengamen di sebuah bus, mereka bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi malaikat dalam kehidupan mereka. Dia menolong Tania yang kakinya tertusuk paku payung. Seterusnya, dialah penopang kehidupan Tania, Dede dan ibunya. Pertemuan dengan seseorang itu juga mengajarkan Tania sebuah perasaan baru. Tania yang saat itu berusia 11 tahun tanpa sadar sudah berkenalan dengan rasa cemburu saat seseorang itu mengenalkannya dengan Ratna.
Hari-hari setelah kehadiran seseorang itu merupakan sebuah awal baru dalam kehidupan Tania. Dia dan adiknya bisa bersekolah kembali, mereka bisa tinggal di tempat tinggal yang lebih layak, dan ibunya bisa memulai usaha yang dulu diidam-idamkannya. Sayangnya kebahagiaan itu terganti dengan duka. Dua tahun berselang, ibu Tania meninggal dunia. Ada sebuah pesan ibu Tania yang sekaligus menjadi janji yang terpatri dalam diri Tania. Janji apakah itu???
Setelah 'resmi' menyandang status sebagai yatim piatu, Tania dan Dede kembali diselamatkan olehseseorang yang menjelma menjadi malaikat bagi mereka.
Seseorang itu ternyata penulis, penyuka warna biru, dan pengunjung setia sebuah toko buku. Sosok yang misterius. Aku sangat suka dengan karakter misterius seperti seseorang dalam novel ini. Keren!!
Waktu terus berjalan. Tania yang cerdas berhasil mendapat beasiswa untuk bersekolah di Singapura. Kok bisa? Lantas, bagaimana dengan nasib Dede dan seseorang itu? Apa ia jadi menikahi Ratna? Bagaimana akhir kisah cinta Tania? Apa ia berani berkata jujur bahwa ia mencintai seseorangbak malaikat itu? Ada rahasia terpendam yang akhirnya terungkap. Rahasia apakah itu???
Untuk urusan bercerita, Tere Liye memang tak perlu diragukan lagi. Dilihat dari segi sudut pandang, penokohan, alur, setting, ahhh... pokoknya jadi tak mau berhenti membaca kelanjutan dari setiap bab. Rasa penasaran mendera untuk segera meloncat ke bab berikutnya. Secara keseluruhan, novel ini cukup menarik untuk dibaca. Sayang, rasa penasaran itu masih saja menggelayut sampai akhir kata dalam novel ini. Tere Liye masih menyisakan pertanyaan di akhir novel seharga Rp 32.000,00 tersebut.

Apa ya kalimat yang dibisikkan seseorang itudi telinga Tania di akhir cerita itu?


***
Beberapa baris tulisan yang mengesankan bagi saya.

“Tania, kehidupan harus berlanjut. Ketika kau kehilangan semangat, ingatlah kata-kataku dulu. Kehidupan ini seperti daun yang jatuh... Biarkanlah angin yang menerbangkannya...” (70)
“Dalam urusan perasaan, di mana-mana orang jauh lebih pandai ‘menulis’ dan ‘bercerita’ dibandingkan saat ‘praktik’ di lapangan. (174)
“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami... dan kami akan menerima” (197)
“Lebih baik menunggu. Kau tidak ingin terjebak oleh kebaikan itu sendiri. Ada banyak kebaikan yang justru berbalik menikam, menyakitkan pemberinya.” (213)
“Pria selalu punya ruang tersembunyi di hatinya. Tak ada yang tahu, bahkan percayakah kau, ruang sekecil itu jauh lebih absurd daripada seorang wanita terabsurd sekalipun.” (213)
“Dia memandang lamat-lamat sepotong kehidupan itu. Menjahitnya. Membuat pakaian masa depan yang rapuh dari semua masa lalu yang getas" (221).
“Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta" (227)

***
Novel ini memang betul-betul akan mengaduk perasaan. Terharu dan bisa memecah benteng pertahanan air mata kita! Sama sekali tidak ada rasa kecewa saat berhasil menyelesaikan novel ini dalam waktu yang tak lama. Novel yang menyuguhkan sebuah kisah cinta yang sederhana, dibalut dengan gaya tulisan yang sangat indah, serta jalan cerita yang tak mudah ditebak. Tentang cinta, kepedulian, optimisme, dan kasih sayang pada sesama.

Kalau ingin menyelami kisah "CINTA DALAM DIAM", belilah novel ini! Kemudian, bacalah! Kalau tak mau membeli, pinjam ke aku juga boleh! ^^v

Selamat membaca dan terinspirasi karena novel ini!

Jakarta, 251010_15:57
Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya

Kiat Menjadi Istri Shalihah


(Kiriman dari Ustadz Abdul Hakim Solo)

1. Lelaki gemar diberi perhatian akan hal-hal yang remeh yang berkaitan dengan dirinya. Dia akan senang bila istrinya mengenakan kancing bajunya, mengelap sepatunya, memotong kukunya, dan sebagaiya. Sabda Rasulullah SAW, "Ya Fathimah, barangsiapa wanita meminyakkan rambut dan janggut suaminya serta memotong kumisnya dan mengerat kukunya, maka Allah akan memberikan minuman air dari sungai-sungai di surga, diringankan baginya sakaratul maut, kuburnya akan didapati menjadi taman surga, Allah akan mencatatkannya bebas dari api neraka, dan selamat titian shirat."

2. Pernahkah Anda dipanggil suami ketika Anda memasak? Anda wajib memenuhi panggilannya. Jika perlu, segera matikan api dan tunaikan permintaannya.

3. Kebanyakan lelaki cukup cerewet dengan kebersihan. Mereka akan bosan apabila isterinya menyambutnya dengan rupa yang semrawut, kusut, dan anak-anak yang lusuh dan kumal "bak kapal pecah dan berantakan".

4. Lelaki suka dilayani seperti raja oleh isterinya yang memiliki sifat keibuan. Dia suka isterinya mengelap peluhnya, menyediakan keperluan untuk mandi, dan berdiri ketika ia hendak pergi dan kembali.

5. Lelaki suka dipuji. Jangan lupa hargai setiap barang pemberiannya meskipun tidak bagus atau tidak seberapa nilainya.

6. Lelaki akan bosan jika isterinya melulu menagih janji. Mau makan apa, hendak kemana, dan lain-lain.

7. Ada sebagaian lelaki mengatakan, "Isteri yang menghidangkan makanan tanpa menemaninya makan adalah memberi makan kucing." Anda mesti menemaninya meskipun satu suapan. Thabit Al-Banani berkata, "Terdapat seorang wanita dari Bani Israil yang buta sebelah matanya dan sangat baik pekertinya terhadap suaminya. Apabila dia menghidangkan makanan di hadapan suaminya, dipegangnya pelita sampai suaminya selesai makan. Pada suatu malam pelitanya kehabisan sumbu. Lalu diambil rambutnya untuk dijadikan sumbu. Esok harinya matanya kemballi melihat. Allah memuliakannya karena rasa hormatnya pada suami."

8. Lelaki senang dengan kefasihan isterinya dalam berkata, bijak dalam bertindak, dan menjadi partner dalam diskusi. Dia akan muak terhadap wanita yang banyak omong tetapi tak bermakna.

9. Kebanyakan lelaki beranggapan "Baiti Jannati". Rumahku adalah surgaku dan penenang pikiranku. Jadi wajar jika Anda memelihara suasana rumah dan berperan sebagai bidadari rumah.

10. Kalau Anda menginginkan agar suami berlama-lama di rumah, maka jangan menyambutnya dengan masalah anak dan dapur.

11. Suami (mayoritas) suka kepada istri yang kreatif dalam soal memasak, menghias rumah, dan mengurus dirinya dalam melayani suami.

12. Tempat tidur adalah rahasia suami isteri. Jadikan dia kamar yang eksklusif dan pribadi. Suami tidak suka ruang tidurnya dimasuki orang tanpa izinnya.

13. Pantang bagi suami kalau sedang tidur diganggu. Hal ini akan membuatnya marah. Jauhkan anak-anak darinya ketika dia tidur.

14. Pantang bagi suami kalau isteri menolak hajatnya kecuali jika isterinya sedang sakit. "Apabila suami memanggilnya ke tempat tidur tetapi ditolaknya hingga suaminya marah, maka wanita itu tidur dalam laknat malaikat hingga pagi hari." (HR. Muttafaqun 'Alaihi).

15. Hanya ketaqwaan Anda yang dapat menguasai ego suami dan membantunya membentuk pribadi muslim yang tangguh serta menjadi suami ideal. Lelaki tidak mudah dengan ucapan cinta, tetapi cukup dengan keluhuran Anda dalam berkorban untuk taat dan menyayangi dirirnya, karena lelaki hanya keras pikirannya tetapi sensitif perasaannya.

Wallaahu a'lam.



Tulisan ini diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya

Kiat Menjadi Suami Sholeh



(Kiriman dari Ustadz Abdul Hakim Solo)

Jika ada seorang istri yang sholehah yang selalu memperhatikan, melayani suami dengan segala kebaikan. Ia juga selalu menuruti segala perintah dan memenuhi keinginan sang suami dengan kepatuhan yang sempurna. Menjaga ibadahnya dan selalu mengingatkan suami untuk berlomba mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ia menjadi istri yang manis dan selalu hangat disamping suaminya, serta menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Tidak banyak menuntut dan menerima dengan rasa syukur apapun dan seberapapun rezeki yang didapat suami.

Bukankah tidak ada alasan lagi bagi sang suami untuk tidak membalasnya dengan menjadi suami yang sholeh, penuh perhatian dan kasih sayang. Demikian beberapa kiat untuk menjadi suami yang sukses:

1. Berdandanlah untuk istri anda, selalu bersih dan wangi.Sesering apakah kita tampil didepan istri dengan pakaian ala kadarnya? Sama halnya dengan suami yang menginginkan istrinya kelihatan manis untuknya, setiap istri juga menginginkan suaminya berdandan untuknya.Sebagai contoh, ingat, bahwa Rasulullah saw selalu menggosok giginya terlebih dulu sebelum menemui istrinya setelah bepergian. Beliau juga selalu menyukai senyum yang paling manis.

2. Panggillah istri anda dengan nama yang cantik.Rasulullah saw mempunyai nama panggilan untuk istri-istrinya yang sangat mereka sukai. Panggillah istri anda dengan nama yang paling indah baginya dan hindari menggunakan nama-nama yang menyakitkan perasaan mereka.

3. Jangan memperlakukan seorang istri seperti lalat.Kita tidak pernah menghiraukan seekor lalat di dalam kehidupan kita sehari-hari, tahu-tahu dia menjadi penyakit buat kita. Sama halnya seorang istri yang berbuat baik sepanjang hari, jika tidak pernah mendapat perhatian dari suaminya, maka dia juga akan memperlakukan suaminya bagai sebuah penyakit. Jangan sekali-kali perlakukan dia seperti ini; kenali semua kebaikan yang dia lakukan dan pusatkan perhatian padanya.

4. Jika anda melihat kesalahan dari istri anda, cobalah untuk diam dan tidak berkomentar apa pun!Ini adalah cara Rasulullah saw yang biasa dilakukan saat beliau melihat sesuatu yang tidak pantas dilakukan istri-istrinya (radhiyallahu ‘anhuma). Ini adalah teknik bagi seorang Muslim sebagai kepala rumah tangga.

5. Tersenyum untuk istri anda kapan saja anda melihatnya dan memeluknya sesering mungkin.Senyuman adalah shadaqah dan istri anda termasuk ummat muslim juga. Bayangkan hidup dengannya dengan senyum yang selalu tersungging. Ingatlah, sunnah juga menerangkan bahwa Rasulullah saw selalu mencium istrinya sebelum pergi sholat ke masjid, bahkan saat beliau sedang berpuasa.

6. Berterima-kasihlah untuk semua yang dia lakukan untuk anda.Sekecil apapun yang istri anda lakukan buat anda, jangan sekali-kali menganggapnya sebagai hal sepele. Berterima kasihlah, karena ucapan terima kasih anda sungguh berarti bagi istri anda dan akan terukir indah dihatinya.Ambil contoh, ucapkan terima kasih untuk ketika usai makan malam yang dia sediakan. Juga untuk kebersihan rumah dan selusin pekerjaan yang lainnya.

7. Mintalah padanya untuk menulis sepuluh perbuatan terakhir yang telah anda lakukan untuknya yang membuat dia senang. Kemudian pergi dan lakukan itu kembali.Mungkin agak sulit untuk mengenali apa yang membuat istri anda senang. Anda tidak perlu untuk bermain tebak-tebakkan, tanyakan padanya dan kerjakan secara berulang-ulang selama hidup anda.

8. Jangan mengecilkan keinginannya. Hiburlan dia.Kadang-kadang seorang suami perlu mengabulkan permintaan istrinya. Rasulullah saw memberikan contoh buat kita dalam sebuah kejadian ketika Safiyyah radhiyallahu ‘anha menangis karena dia (Safiyyah) berkata bahwa beliau (Rasulullah) memberikan sebuah unta yang lamban. Rasulullah pun menyapu air matanya, menghiburnya, dan membawakannya sebuah unta yang lain.

9. Penuh humor dan bermain-mainlah dengan istri anda.Lihatlah betapa Rasulullah saw pernah bertanding lari dengan istrinya Aisyah radhiyallahu ‘anha di sebuah padang, dan membiarkan Aisyah memenangkannya. Kapan saat terakhir kita melakukan hal seperti itu?

10. Ingatlah selalu sabda Rasulullah SAW: “Yang terbaik di antara kalian adalah yang memperlakukan keluarganya dengan baik. Dan aku adalah yang terbaik memperlakukan keluargaku.”

Cobalah jadi yang terbaik. Sebagai kata akhir: Jangan pernah lupa berdo'a kepada Allah Azza wa Jalla, agar membuat pernikahan anda bahagia



Tulisan ini diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya

Maaf Tuk Berpisah



“Oh, burungpun bernyanyi melepas segala rindu yang terendam malu di balik qalbu..
Oh, anginpun menari mencari arti, adakah ini fitrah ataukah hiasan nafsu.
Di dalam sunyi ia selalu hadir, di dalam sendiri ia selalu menyindir.
Kadang meronta bersama air mata, seolah tak kuasa menahan duka…”
(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)

Kalau disuruh memilih, aku tak ingin kisah ini ada. Tapi, Allah berkehendak lain. Dia menuntunku menjadi seorang tokoh sentral yang harus melakoni kisah ini. Allah memang sudah berjanji, bahwasanya Dia tidak akan menguji hamba-hambaNya di luar batas kemampuan. Pun demikian dengan rasa ini yang aku anggap sebagai ujian dari-Nya. Berawal dari sebuah interaksi yang tak disengaja dengan Kak Edo. Awalnya, kami
saling berdiskusi masalah novel. Kami memang penyuka sastra. Namaku Dira, saat ini aku tengah belajar menjadi seorang novelis. Aku banyak belajar tentang dunia menulis dari Kak Edo.

Setelah tiga bulan berkomunikasi, akhirnya kami bertemu. Sebuah pertemuan yang singkat, karena Kak Edo hanya mengambil novel milikku yang ingin dipinjamnya. Hanya beberapa kalimat yang berhasil ia sampaikan. Dalam posisi saling menunduk, kami tidak bisa mengetahui suasana hati masing-masing. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang berbeda setelah pertemuan singkat itu. Terlebih pada diriku.

“Biarlah semua mengalir,
berikanlah kepada ikhtiar
Dan sabar untuk mengejar…”
(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)

Mencoba menjaga jarak, ternyata masih ada saja komunikasi yang harus terkuak. Entah saling komentar di status facebook, chatting via YM, dan lain sebagainya. Sempat terselip impian ingin berkolaborasi tulisan dengannya. Hingga suatu ketika, kesempatan itu datang. Sebuah kompetisi cerita mini yang akan dibukukan. Tanpa berkomunikasi sebelumnya, ada nama kami yang sama-sama menjadi nominatornya. Saat pengumuman tiba, aku hanya bisa gigit jari ketika tahu hanya namanya yang lolos. Ada rasa sedih juga karena ternyata kesempatan melahirkan karya bersama belum datang. Harus kuakui, Kak Edo memang penulis yang berbakat. Tulisannya sangat menyentuh hati. Itulah yang membuatku simpati.

“Sabarlah menunggu, janji Allah kan pasti
Hadir tuk datang menjemput hatimu
Sabarlah menanti, usahlah ragu
Kekasih kan datang sesuai dengan iman di hati
Bila di dunia ia tiada, moga di surga ia telah menunggu
Bila di dunia ia tiada, moga di surga ia telah menanti”
(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)

Salah! Jika sesuatu yang fitrah ini ternyata hanya hiasan nafsu! Aku tersadar! Allah menegurku lewat “kegagalan” masuknya tulisanku dalam kompetisi itu. Karena ada selipan asa, bahwa aku ingin menyandingkan karyaku dengan karya Kak Edo. Aku menangis dalam samudera penyesalan. Aku tak ingin kisah ini diteruskan. Hingga datanglah hari itu, suatu hari di mana aku bertemu Kak Edo untuk yang kedua kalinya. Kali ini kita berada dalam sebuah acara. Pada acara itu, Kak Edo ingin mengembalikan novel yang dipinjamnya.

Pertemuan kedua yang lebih singkat dari pertemuan sebelumnya. Rasa-rasanya ingin cepat kabur saat harus berhadapan dengan Kak Edo. Sepulang dari acara, aku buka tas berisi novel yang dipinjamnya, ternyata ada sebuah bungkusan lain yang ternyata “hadiah” darinya. Bahagia, tapi terselip perih dalam rintihan yang lirih. Rabb, aku ingin menghentikan rasa ini. Cukup!!! Setelah pertemuan itu, harapku tak ada interaksi lagi dengan Kak Edo.

Di langit senja ini, garis-garis lembayung bagai permadani tak bertepi.
Lambaian tangan itu berselimut kabut dan menjelma menjadi sungai yang mengalir deras menuju muara
Melibas segala keraguan!!!
Aku kembali pulang ke samudera cinta-Nya
~Maaf, kata untuk akhir sebuah kisah~

Maaf ya Kak Edo, jika selama ini aku salah menangkap interaksi kita. Mungkin Kak Edo menganggap ini sebagai interaksi yang biasa, seperti layaknya kakak dan adik. Maaf, jika aku menanggapinya lain.

Kau tahu tentang hatiku yang tak pernah bisa melupakanmu
Kau tahu tentang diriku yang selalu mengenangmu selamanya
Kini kusadari bahwa semua itu
Adalah salah, juga keliru
Akan membuat hati menjadi ternodai
Maafkanlah segala khilaf yang tlah kita terlewati
Tlah membawamu kedalam jalan yang melupakan Tuhan
Kita memang harus berpisah
Tuk menjaga diri
Untuk kembali mengarungi hidup
Dalam ridho Ilahi

Kutahu bahwa dirimu
Mendambakan kasih suci yang sejati
Kuyakin bahwa dirimu
Merindukan kasih sayang yang hakiki

Kini kusadari bahwa semua itu
Adalah salah, juga keliru
Akan membuat hati menjadi ternodai
Dan bila takdirnya kita bersama
Pastilah Allah akan menyatukan kita
(Maaf Tuk Berpisah – Tashiru)

Jakarta, 19 Oktober 2010
Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya

Menanti Sang Mujahid


Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Mujahidku, selamat pagi! Apa kabarmu di sana?
Semoga jutaan nikmat yang kau terima pagi ini, kau balas dengan syukurmu yang tak terkira. Begitupun aku yang ada di sini.
Semoga Allah senantiasa memberikan barokah-Nya dalam setiap keadaan kita ya!

Mujahidku...
Di tengah pagi yang masih sepi ini,aku hanya ingin berbagi rasa.
Rasa? Ya, rasa rindu. Aku tengah merindukan takdir kita.
Aku tengah merindukan sebuah pertemuan denganmu.
Entah kapan, hanya Dia yang Maha Tahu.
Aku hanya berharap, semoga Allah senantiasa menjagamu, menjaga kita.
Melindungi kita agar tetap berada di jalan-Nya dalam menjemput ridho-Nya
Aku selalu yakin akan skenario-Nya
Bahwa Dia akan memberiku yang terbaik, salah satunya dirimu!

Mujahidku...
Aku berdoa semoga Allah senantiasa meneguhkanmu dalam keistiqomahan
Menyelamatkanmu dari fitnah dunia
Memudahkan setiap aktivitas dakwahmu
Meskipun aku tak tahu engkau sekarang berada di mana
Sungguh, aku hanya meminta Allah meridhoi apa yang kita lakukan..

Mujahidku..
Sungguh aku tak ingin berspekulasi tentangmu!
Aku memang punya kriteria
Sholeh, bertanggung jawab, dan visioner
Satu lagi... penulis!
Hmm, moga tidak terlalu berlebihan
Toh, itu bukan kriteria mutlak!
Aku memang menginginkanmu seperti itu
Tapi, Allah Maha Tahu yang aku butuhkan

Mujahidku...
Tepat sebelum membuat tulisan ini
Aku pernah membuat surat untuk calon anak kita
Mmm, dibaca saja ya!
Surat itu sedikit memberi gambaran tentang impianku kelak
Bersamamu!
Bersama anak-anak kita!

Mujahidku...
Entah kau di mana
Jujur ingin aku katakan
Aku mencintaimu sebelum mata ini memandang
Aku mengagumimu sebelum telinga ini mendengar
Sebelum hal-hal fisik lainnya merusak ketulusanku atas siapapun kau!
Aku ingin menjaga cinta ini dengan begitu sederhana!

Mujahidku...
Dalam sujud-sujud panjangku, aku meminta kepada Pemilik kita
Aku kucurkan doa agar aku layak menjadi pendampingmu
Siapapun kau, dimanapun kau berada...

Mujahidku...
Sungguh aku hanya ingin menjaga diriku
Aku ingin terus memperbaiki diri ini
Membangun komunikasi yang baik dengan orang tuaku
Agar restu mereka juga terlimpah pada kita
Hingga suatu saat nanti...
Jika Allah berkehendak mempertemukan kita
Aku telah siap mendampingimu
Kita akan berjuang bersama menapaki jalan-Nya

Mujahidku..
Engkau adalah pangeran kunci surgaku
Jika Allah berkenan menjadikanku pendampingmu
Bimbinglah aku untuk terus mendekat pada-Nya
Karena kau adalah imamku

Mujahidku...
Biarkan saat ini kesabaran yang menjadi temanku
Mengisi hari-hari ini sebelum akhirnya kita bertemu
Semoga Allah meridhoi penantian kita
Selamat berjuang, mujahidku!
Doaku selalu menyertaimu...

Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 6 Oktober 2010_05:48
Untuk seseorang yang telah dijanjikan-Nya untukku...
Aisya Avicenna

Backsound : Dans – Penantian ^^v

Penantian adalah suatu ujian
Tetapkanlah ku selalu dalam harapan
Karena keimanan tak hanya diucapkan
Adalah ketabahan menghadapi cobaan….
Sabarkanlahku menanti pasangan hati
Tulus kan kusambut sepenuh jiwa ini
Di dalam asa diri menjemput berkah-Mu
Tibalah izin-Mu atas harapan ini….
Rabbi teguhkanlah ku di penantian ini
Berikanlah cahaya terang-Mu selalu
Rabbi doa dan upaya hamba-Mu ini
Hanyalah bersandar semata kepada-Mu



Tulisan ini diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya

Meminang Sang Pangeran


Aku tahu, aku hanya seorang wanita yang tugasnya menunggu sang pangeran dalam penantian.

Kata mereka, kau yang berhak memilih dan kami, perempuan, hanya bisa menolak atau menerima lamaran.

Tapi, bolehkah kali ini aku yang memilih? Memintamu untuk menjadi yang terindah di hatiku? Kau tinggal bilang ya, atau tidak. mudah kan?

Ah, mungkin benar, dunia sudah terbalik atau bisa juga ini hanya rasa khawatirku takut kalau Allah tidak menyisakan satu mujahid-Nya untukku!

Hahaha…dasar aneh! Bukankah Allah sudah berfirman bahwa Dia menciptakan makhlukNya dengan berpasang-pasangan?

Tapi, aku juga ingin tahu rasanya berbunga ketika lamaranku diterima atau kecewa saat pinanganku ditolak mungkin dengan begitu, aku bisa berbagi dengan kaumku bagaimana sih sakitnya ditolak? Agar para akhwat tak gampang mengucap kata “tidak” dengan alasan yang sengaja dibuat-buat : masih ingin melanjutkan studilah belum cukup umurlah belum siap mentallah kurang cocoklah! dan entah apa lagi…

Tapi, bagaimana cara meminangmu ya? Apa aku harus mengajukan proposal lebih dulu? Atau langsung datang ke istanamu dan memohon agar kau sudi menerimaku menjadi permaisurimu? itukah yang kau mau?

“Huh, dasar tidak tahu malu!” tiba-tiba terdengar teriakan dari jauh “Wahai akhwat, DI MANA IZZAHMU?”

IZZAH? kalian bertanya tentang IZZAH?Apakah izzah ada pada diri seorang akhwat yang malu mengungkap perasaannya kemudian memendam cinta dan mengotori hati dengan terus memikirkannya?

Apakah izzah ada pada diri seorang akhwat yang menyuburkan virus cinta di hatinya dan membaginya pada semua ikhwan yang dikaguminya dalam masa penantiannya?

Apakah izzah ada pada diri seorang akhwat yang menanti sang pangeran, namun ketika ia datang si akhwat menolak dengan alasan tidak jelas?

Di sanakah izzah bersemayam?

Ataukah izzah ada pada diri seorang Khadijah yang berterus terang meminta Muhammad untuk menjadi nakhoda dalam bahtera cintanya?

Ataukah izzah ada pada diri para bidadari yang berebut ingin melayani Zulebid yang rela meninggalkan istri tercinta di hari pertama pernikahannya demi meraih syahid?

Sungguh, kisah cinta yang agung dan suci bukan cintacinta picisan yang ingin diraih tapi jauh lebih tinggi! cinta di atas segala cinta yang tak kan habis cintaNya, Allah!

Di sana ada kejujuran, keterbukaan, kepercayaan, ketulusan, keimanan, dan ketaqwaan berbeda dari kisah Romeo dan Juliet atau Layla dan Majnun yang berakhir tragis dengan mati membawa cinta tak sampai... malang nian!

mungkin iya, aku tak seberani Bunda Khadijah aku pun bukan bidadari yang tak dianugerahi rasa malu karena ia memang diciptakan dan ditugaskan untuk melayanimu

Tapi, jika aku boleh memilih izinkan aku meminangmu sebagai kekasih bukan untuk saat ini karena mungkin waktuku tak cukup untuk menanti

tapi, nanti…

Setelah kumati…

~sebuah catatan yang bertengger manis di folder "inspirasi" dalam file lamaku~

**

SEBUAH PERENUNGAN

**

pengin buat buku tentang tema di atas, tapi masih bingung cari kontributor!

hmm.... siapa ya yang sudah berpengalaman atau punya ilmunya???

bisa dibagi dengan saya..

Yang sedang merenung dan mencari inspirasi,

Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan September 2010 di blog sebelumnya

KYDEN : MY LOVELY FAMILY



KYDEN mengucapkan: SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1431 H.

SPIRIT KYDEN : "MERAH MARUN"!!

"[M]enuntun k[E] a[RAH] [M]ata [A]ngin bahagia: sebuah metamo[R]fosa kehid[U]pa[N]"



Tulisan ini diposting pada bulan September 2010 di blog sebelumnya

Renungan untuk Sebuah Sunnah yang Bersejarah


“Tik, cincin 5 gram harganya sekarang berapa ya?” tanya seorang sahabat yang hendak dilamar bulan Ramadhan ini.
“Tik, bulan September aku mau nikah. Datang ya... Akhirnya aku duluan, lha kamu kapan? Aku masih ingat pesanmu dulu kalau ‘Laki-laki baik akan mendapat wanita yang baik’. Mungkin aku sudah mendapatkan yang terbaik buatku. Moga kamu pun segera mendapatkan yang terbaik!” potongan percakapan via telepon dengan seorang kakak tingkat nun jauh di luar Jawa sana, sesaat setelah diri ini tiba di kost.
“Tik, nunggu apa lagi kita? Kuliah sudah selesai, udah kerja, lalu? Mungkin memang belum ketemu yang cocok saja.” Statement yang terlontar dari seorang sahabat kost yang baru saja ditelepon ibunya dan membicarakan kapan ia akan menikah.
“Hayo hayo... nikah enak lho...mantab Bu...” sebuah SMS dari seorang sahabat yang baru saja mengakhiri masa lajangnya, masuk beberapa saat setelah diri ini hendak memejamkan mata.

Hiyaaa... seharian ini kok ‘terkoneksi’ dengan satu hal ini sih? NIKAH...
Membuat diri ini merenung dan mencoba ‘melampiaskan’ renungan itu dalam rangkaian kata.
***

Menikah adalah saat di mana gerbang kesucian mulai dibentangkan
Menikah adalah saat di mana ketidaksempurnaan bukan lagi masalah yang mesti diperdebatkan
Menikah adalah saat di mana akar dirajut dari benang-benang pemikiran
Menikah adalah saat di mana syariat direngkuh sebagai tolok ukur perbuatan
Menikah adalah saat di mana ketulusan diikatkan sebagai senyum kasih sayang
Menikah adalah saat di mana kesendirian dicampakkan sebagai sebuah kebersamaan
Menikah adalah saat di mana kegelisahan beralih pada ketenangan
Menikah adalah saat di mana kehinaan beralih pada kemuliaan
Menikah adalah saat di mana peluh bergulir lanjutkan perjuangan
Menikah adalah saat di mana kesetiaan adalah harga mati yang tak bisa dilelang
Menikah adalah saat di mana bunga-bunga bersemi pada taman-taman
Menikah adalah saat di mana kemarau basah oleh sapaan air hujan
Menikah adalah saat di mana hati yang membatu lapuk oleh kasih sayang
Menikah adalah sebuah pilihan antara jalan Tuhan dan jalan setan
Menikah adalah sebuah pertimbangan antara hidayah dan kesesatan

Menikah adalah saat di mana suka dan duka saling datang
Menikah adalah saat di mana tawa dan air mata saling berdendang
Menikah adalah saat di mana ikan dan karang bersatu dalam lautan
Menikah adalah saat di mana dua hati menyatu dalam ketauhidan
Menikah adalah saat di mana syahwat tidak lagi bertebaran di jalan-jalan
Menikah adalah saat di mana ketakwaan menjadi teluk perhentian
Menikah adalah saat di mana kehangatan menyatu dalam pekatnya malam
Menikah adalah saat di mana cinta pada Allah dan rasul-Nya dititipkan
Menikah adalah saat di mana dua hati berganti peran pada kedewasaan
Menikah adalah saat di mana dua jasad menambah kekuatan dakwah peradaban
Menikah adalah saat di mana kecantikan adalah sebuah ujian
Menikah adalah saat di mana kecerewetan diperindah oleh aksesoris kesabaran
Menikah adalah saat di mana bunga-bunga mulai menyemi pada alang
Menikah adalah saat di mana bidadari-bidadari dunia turun di telaga-telaga kesejukan
Menikah adalah saat di mana jundi-jundi kecil adalah cericit burung pada dahan-dahan
Menikah adalah saat di mana pemahaman-pemahaman mulai disemikan
Menikah adalah saat di mana amal-amal mulai ditumbuhkan
Menikah adalah saat di mana keadilan mulai ditegakkan
Menikah adalah saat dimana optimisme adalah obat dari sebuah kefuturan
Menikah adalah saat di mana kecemburuan adalah rona pelangi pada awan
Menikah adalah saat di mana kesendirian menutup epik kehidupan
Menikah adalah saat di mana syahadat menjadi saksi utama penerimaan
Menikah adalah saat di mana aktivitas dibangun atas dasar ketaatan
Menikah adalah saat di mana perbedaan ciptakan kemesraan
Menikah adalah saat di mana istana tahajud dibangun pada pucuk-pucuk malam
Menikah adalah saat di mana belaian bak kumbang yang teteskan madu-madu kehidupan
Menikah adalah saat di mana senyuman bak tetesan hujan yang segarkan dedaunan dari kemarau panjang
***
Menikah adalah saat di mana goresan bayang-bayang yang terlukis pada mimpi-mimpi malam yang (semoga segera) berubah menjadi kenyataan
***
Tak perlu lagi bertanya “SIAPA?” karena Allah SWT telah memahatkan nama terbaik untuk ditulis di pusara hati kita. Tak perlu lagi bertanya “KAPAN?” karena Allah SWT sudah menetapkan bahwa semua akan indah pada waktunya. Tak perlu lagi bertanya “MENGAPA?” karena Allah SWT ingin menjaga diri kita dan Rasulullah inginkan kita mengikuti sunnahnya. Tak perlu lagi bertanya “APA?” karena Allah SWT sudah menerangkan bahwa hidup kita akan tenang dan agama kita akan lebih sempurna karenanya. Tak perlu lagi bertanya “DI MANA?” karena Allah SWT sudah memilihkan tempat terindah untuk sebuah pertemuan yang diridhoi-Nya. Tak perlu lagi bertanya “BAGAIMANA?” karena Allah SWT sudah memberitahukan jalan yang seharusnya dilalui untuk mengikrarkan janji suci.
[sebuah kontemplasi - Aisya Avicenna]

***
“Bukankah komitmen kita terhadap dakwah ini terlihat dari hal-hal yang sederhana? Bukanlah menikah di jalan dakwah itu tidak hanya terlihat saat kita menjalaninya? Namun jauh dari itu, saat kita bertekad untuk terus ada dalam tahap-tahap meluruskan niat di setiap proses menuju momen bersejarah : PERNIKAHAN. Dan... sebab kita telah ‘mengaku’ sebagai aktivis dakwah, jadi... salahkah jika orang ingin selalu membuktikan komitmen kita di setiap langkah dan sikap kita? Dan pernikahan adalah salah satu ujian komitmen bagi seorang aktivis dakwah, apakah ia mengikuti keinginan hatinya semata, atau... benar-benar menjaga orisinalitas misi dakwah sebelum, saat, dan setelah menikah? Bukankah proses itu menentukan keberkahan? Baik sebelum, saat, dan setelah menikah?” (Kado Pengantin, Rabi’ah Al Adawiyah – istri ustadz Hatta Syamsuddin, LC)
***
Kalau ingin membangun rumah yang kokoh, kuatkanlah pondasinya agar rumah itu tak mudah roboh!
***
“Jalan hidup tergantung niatmu.. Jika yakin kau akan mampu... Ingatlah Allah selalu menyertaimu...” (Ar Royan)
***
Cukup sudah renungan tentang perkara yang satu ini. Semoga menjadi sebuah perenungan untuk kita semua. Jangan sampai menjadi sebuah euforia yang melenakan karena bisa mengotori hati. Ingat, sebentar lagi Ramadhan tiba. Sambut kesuciannya dengan hati yang bersih. Jadikan Ramadhan sebagai momentum untuk memperbaiki diri! Agar yang terbaik jualah yang didapatkan. BE BETTER!!!

Tulisan ini kupersembahkan pada saudara/i ku yang telah menikah, saudara/i ku yang akan menikah, dan untuk diriku sendiri yang tengah mempersiapkannya! ^^v

Afwan jiddan atas segala khilaf
REDZone, 4 Agustus 2010_04:32
Seorang hamba yang senantiasa merindu barokah dari-Nya,
Aisya Avicenna




Tulisan ini diposting pada bulan Agustus 2010 di blog sebelumnya

Nahkoda


“Hey nahkoda! Mengapa perahumu tak kunjung kau tambatkan? Ombak semakin kencang dan kau masih terayun-ayun di tengah samudera nan luas ini,” hardiknya membuyarkan lamunanku. “Sebentar kawan, jangan tergesa! Aku ingin menambatkannya di pulau itu. Sepertinya ada seseorang yang sudah lama ingin berlayar menuju pulau impiannya, akan kuantarkan dia ke tempat yang paling diimpikannya itu!” jawabku tegas. 
[AA]


Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya