ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB. SAHABAT, TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG SAYA INI. SEMOGA BERMANFAAT DAN MAMPU MEMBERIKAN INSPIRASI. BAGI SAYA, MENULIS ADALAH SALAH SATU CARA MENDOKUMENTASIKAN HIDUP HINGGA KELAK SAAT DIRI INI TIADA, TAK SEKADAR MENINGGALKAN NAMA. SELAMAT MEMBACA! SALAM HANGAT, ETIKA AISYA AVICENNA.
Tampilkan postingan dengan label Dunia Muslimah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dunia Muslimah. Tampilkan semua postingan

Tergesa-gesa atau Menyegerakan


Selama Proses itu Berlangsung....


Proses pernikahan ada yang berlangsung cepat, ada pula yang membutuhkan waktu lama. Mengenai waktu yang dibutuhkan selama proses, saya teringat kepada doa keluar rumah yang artinya,

"Dengan menyebut nama Allah atas jiwaku, hartaku, dan agamaku. Ya Allah, jadikanlah aku ridha dengan apa yang Engkau tetapkan dan jadikanlah barakah apa yang telah Engkau takdirkan. Sehingga, tidak kepingin aku untuk menyegerakan apa yang Engkau tunda, dan menunda apa yang Engkau segerakan."

Ada satu catatan. Pernikahan termasuk salah satu dari tiga perkara yang dianjurkan untuk disegerakan. Jika tidak ada hal yang merintangi, mempercepatnya adalah lebih baik. Mempercepat proses pernikahan termasuk salah satu kebaikan dan lebih dekat dengan kemaslahatan, barakah, dan ridha Allah. Insya-Allah, pertolongan Allah sangat dekat. Apa-apa yang menghalangi langkah untuk menyegerakan, akan dimudahkan dan dilapangkan. Sesungguhnya Allah tidak zalim terhadap apa-apa yang diserukan-Nya. Allah tidak zalim terhadap hamba-Nya, betapa pun Allah Mutlak Kekuasaan-Nya. Kitalah yang sering zalim kepada Allah.

Laa ilaaha illa Anta, subhanaka innii kuntu minazh-zhalimin. Rabbana zhalamna anfusana waillam taghfirlana lanaa kuunanna minal khosirin.

Ya Allah, ampunilah hamba atas kezaliman hamba sendiri.
Mempercepat proses pernikahan adalah lebih baik, tetapi hendaknya tidak terjatuh pada sikap tergesa-gesa. Selama proses berlangsung, kita membutuhkan informasi dan pembicaraan berkaitan dengan rencana pernikahan. Adakalanya, kita mendapatkan informasi mengenai beberapa hal dari keluarga calon, perantara, atau orang lain. Adakalanya, kita mendapatkan keterangan tentang beberapa hal dari calon pendamping secara langsung.

Masa menjelang nikah adalah masa yang sensitive. Apa yang berlangsung selama masa ini, bagaimana memaknainya, mempengaruhi bagaimana kedua manusia itu kelak akan menghayati pernikahannya. Proses antara pinangan dengan pelaksanaan akad, hingga detik-detik akadnya, bisa menjernihkan niat-niat yang masih keruh sehingga pada saat keduanya melakukan shalat berjama'ah segera setelah akad, mereka banyak beristighfar, memohon pertolongan Allah untuk melimpahkan kebarakahan dan menjauhkan dari keburukan, serta merasakan syukur yang dalam karena telah terhindar dari ancaman maksiat. Tetapi, proses menuju pernikahan bisa juga mengeruhkan niat-niat, sekalipun sekilas tampak mendapat pembenaran agama. Padahal manusia mendapatkan hasil dari perbuatannya sesuai dengan apa yang diniatkan. Rasulullah menasehatkan:

"Mintalah fatwa dari hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya."


Tanda-tanda Perumpamaan

“Menyegerakan atau tergesa-gesa?”
Kalau suatu saat Anda naik motor dan menjumpai tikungan tajam, apa yang Anda lakukan? Apakah Anda akan segera membelokkan kemudi tanpa mengurangi kecepatan karena ingin cepat sampai? Atau, Anda mengurangi kecepatan sedikit, menelikung dengan miring, dan sesudah berbelok baru menambah kecepatan sedikit demi sedikit?

Jika Anda memilih yang pertama, sangat mungkin Anda terpental sendiri. Anda terjatuh, sehingga harus berhenti sejenak atau agak lama. Baru kemudian dapat meneruskan perjalanan. Keinginan Anda untuk cepat sampai di tempat tujuan dengan tidak mengurangi kecepatan, apalagi justru dengan menambah kecepatan, tidak membuat Anda lebih cepat sampai dengan tenang, tenteram, dan aman. Bisa-bisa, kalau kecepatan Anda tetap antara sebelum berbelok dengan saat-saat berbelok, Anda justru terpental. Antara gaya sentrifugal dan gaya sentripetal, tidak seimbang.

Jika Anda memilih yang kedua, insya-Allah Anda akan dapat sampai lebih cepat. Awalnya memang mengurangi kecepatan, tapi sesudah betul-betul memasuki tikungan dengan baik, Anda bisa menambah kecepatan. Jika Anda mengurangi kecepatan lebih banyak lagi, Anda bahkan dapat membelok tanpa harus memiringkan badan banyak-banyak.

Jalan yang lempang adalah tamsil dari masa melajang, masa ketika masih sendiri. Belokan adalah proses peralihan menuju status baru, menikah dan berumah tangga. Sedang jalan berikutnya yang dilalui setelah berbelok, adalah kehidupan keluarga setelah menikah. Pilihan pertama adalah sikap tergesa-gesa untuk menikah, sedangkan pilihan yang kedua adalah menyegerakan.

Dari Anas r.a., Rasulullah Saw. bersabda,
"Siapa yang menikahi seorang wanita karena kedudukannya, Allah hanya akan menambah kehinaan kepadanya; siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan; siapa yang menikahi wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambah kerendahan padanya. Namun, siapa yang menikah karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih-sayang, Allah akan senantiasa membarakahi dan menambah kebarakahan itu kepadanya."

(HR Ath-Thabrani)

Artikel hasil copas dari:

e- book KADO PERNIKAHAN

[Mohammad Fauzil Adhim]


Tulisan ini diposting pada bulan Maret 2011 di blog sebelumnya.

Model untuk Modal Membangun Rumah Tangga


MODEL RUMAH TANGGA APA YANG KAU INGINKAN?
Sebuah tulisan yang diambil dari buku "Life Excellence" Reza M Syarief...

Para insan sejati, ketika anda masih single, anda belum berkeinginan untuk menjadi suami atau istri, maka hal terpenting yang pertama kali harus Anda pikirkan dan lakukan, bukanlah mempertanyakan siapakah orang yang pantas menjadi calon pendamping hidup saya? atau mempertanyakan siapa yang paling cocok menjadi calon suami/istri saya? TETAPI, yang paling utama yang harus anda pikirkan pertama kali adalah MODEL dan GAYA Rumah Tangga macam apa yang akan anda bentuk di dalam kehidupan anda?

Sedikit berbagi mengenai apa yang telah saya baca.
Dalam Kehidupan di masyarakat setidaknya ada 6 Model Rumah Tangga :

PERTAMA, Model RT gaya HOTEL... mengapa disebut Hotel? karena dalam model ini, rumah hanya sebagai tempat transit, bukan tempat tinggal tetap. Kalau anda melihat ada sebuah rumah tangga dimana sang suami pulang hanya untuk menumpang tidur, makan, (maaf) buang air, maka sebenarnya model rumah tangga itu sudah bisa disebut sebagai model rumah tangga gaya hotel. yang sering disebut 3 UR : dapur, kasur, sumur.

KEDUA, Model RT gaya HOSPITAL... dalam model ini, rumah tangga didasarkan pada politik balas jasa. Dokter merasa menolong pasien, sehingga pasien berhutang jasa padanya, begitu pula sebaliknya, pasien merasa jika dia tidak periksa di dokter tersebut, maka si dokter tidak dapat duit. Suami istri masing-masing merasa lebih, sehingga tidak akan bertemu dan tidak akan sinergi. suami merasa berjasa pada istrinya, begitu pula sang suami.

KETIGA, model RT gaya PASAR... seperti di pasar pada umumnya, ada penjual dan ada pembeli. Sang penjual menggunakan prinsip "menjual dengan harga setinggi-tingginya", sedangkan pembeli menggunakan prinsip "membeli dengan harga serendah-rendahnya". Jika sang penjual dan pembeli saling mengatakan "Pokoknya", dan dua-duanya memakai "Titik", maka tidak akan terjadi penawaran. Rumah tangga seperti ini tdk ada kompromi.

KEEMPAT, model RT gaya KUBURAN... anda mungkin sudah tahu bagaimana suasana kuburan. Sunyi, senyap, tenang dan tidak ada suara. Nah, yang dimaksud dengan model rumah tangga ini adalah rumah tangga yang tidak ada komunikasi, suami istri, anak2, semuanya pendiam, oleh karena itu, wajar ketika anak2nya juga tidak bisa bicara, ketika bapak dan ibunya tidak mengajarkan kosa kata.

Nah, sampai disini, termasuk model rumah tangga apakah yang anda bina? atau jika anda sebagai anak, termasuk manakah rumah tangga bapak/ibu anda?

sekarang, kita sampai ke model yang KELIMA dan KEENAM, model rumah tangga yang kita harapkan..

KELIMA, model RT gaya SEKOLAH... ditandai dengan 3 A, Asah, Asih dan Asuh... disini dibutuhkan komitmen untuk saling berkomitmen mengasah, mengasihi, dan mengasuh semua anggota keluarga. pernikahan anda ibarat sekolah yang akan meningkatkan kemampuan anda.

KEENAM, model RT gaya MASJID...
cirri-cirinya ada 4 :
1. Ketulusan, Sincerity, dibangun dalam ketulusan. bagaikan kita berwudhu dalam sholat, tanpa wudhu, sholat tidak sah, oleh karena itu kita berwudhu untuk membersihkan hati dan menuluskan jiwa.
2. Ada imam dan ada makmum. Ada pemimpin dan ada yang dipimpin. Imam bergerak, makmumpun mengikuti imam, ada kebersamaan.
3. Loyalitas. Istri dan anak-anak taat pada suami selama dalam kebaikan.
4. Kedamaian. Sholat diakhiri dengan salam. Keselamatan, ketenangan dan kedamaian senantiasa mewarnai suasana rumah tangga gaya masjid.

Itulah sedikit yang bisa saya paparkan ulang, Semoga keluarga kita termasuk keluarga dengan model campuran kelima dan keenam... Wallahua'lam bish showab...


Mimpi besarku : membangun keluarga SMART! Mudahkanlah ya Rabb..

Repost by : Aisya Avicenna


Tulisan ini diposting pada bulan Maret 2011 di blog sebelumnya.

Renungan Sebelum Bergelar "MSi"


Tertuliskan puisi di bawah ini untuk para aktivis Islam di manapun berada. Jangan pernah meninggalkan perjuangan di jalan Allah. Betapa seluruh hajat hidup seharusnya bertumpu pada kepentingan perjuangan di jalan Allah termasuk menikah, berkeluarga, bersuami isteri. Inilah tren pernikahan yang seharusnya kita pertahankan. Wallahu a’lam

Buat manusia istimewa dalam hidup ini… dan juga isteri-isteri pejuang… serta bakal isteri seorang pejuang

Isteriku….
Apabila kusentuh telapak tanganmu…
Saat kuusap dan kurasakan guratannya,
Kudapatkan parutan kasar dan semakin kasar….
Dan ketika kupandangi wajahmu….
Terpancar sinar bahagia dan ketenangan walaupun kutahu…
Redup matamu menyimpan satu rintihan yang memberat….
Ketika kutersentak dari pembaringan di kala fajar kadzib menyingsing…
Aku terpana dengan munajatmu yang syahdu.


Isteriku…
Tatkala teman-temanmu tengah bersantai, happy fun….
Di keramaian dunia ciptaan mereka…
Engkau bahagia mengorbankan seluruh detik-detikmu….
Hanya untuk Islam dan keagungan muslimin…
Tatkala lengan-lengan mereka dibaluti…
Pelbagai hiasan yang indah…
Leher-leher mereka memberat dilingkari dengan kilauan emas berlian…
Pakaian-pakaian anggun bak puteri kayangan…
Wajah mereka dibaluri pelbagai warna dan jenama…
Kau umpama ladang ummah…
Kau menginfaqkan seluruh jiwa dan raga demi kebangkitan Islam…
Kau tak pernah bersungut-sungut, mengeluh, meminta-minta maupun
mengadu domba…
Tatkala mereka berlomba-lomba mengejar pangkat dan nama…
Kau sibuk menjulang nama dengan pengaduanmu di sisi yang Esa…

Isteriku….
Bukan aku tidak mampu membelikan benda dan hiasan-hiasan tersebut… Tetapi isteriku…
Aku masih ingat tatkala aku menyuntingmu untuk kujadikan isteri dan penghuni kamar hatiku….
Kau melafazkan satu tuntutan, “Saya siap mendampingi perjuangan ini bersama akhi tetapi dengan syarat…” Sambil tersenyum kau menghela nafas dalam-dalam….Aku termangu sendirian… Syarat apakah itu? Bungalow kah? Hamparan tanah berhektar-hektar kah? Mobil mewahkah? Intan berliankah? Pakaian sutera yang high class? Perabot mahal dari Itali kah?… Atau honeymoon di Paris ?..
Lama kau mengumpulkan kekuatan untuk sekedar berkata…

Akhirnya…
Arghhh… Permintaanmu itu…
Pasti ditertawakan oleh kerabat dan teman-teman kita…
Aku tergugu, haru dan bangga…
Dengan penuh keyakinan kau berkata..
“Akhi , Mampukah akhi menjadikan saya sebagai isteri yang
kedua ?….
Mampukah akhi menjadikan Islam sebagai isteri pertama yang lebih memerlukan perhatian?…
Mampukah akhi meletakkan kepentingan Islam melebihi segala-galanya termasuk urusan-urusan dunia?…
Mampukah akhi menjual diri semata-mata karena Islam?..
Mampukah akhi berkorban meninggalkan kelezatan dunia?…
Mampukah akhi menjadikan Islam laksana bara api….
Akhi perlu menggenggamnya agar bara itu terus menyala…

Mampukah akhi menjadi lilin yang rela membakar diri untuk Islam.. Bukannya seperti lampu pijar yang bisa di’on’kan bila perlu dan di’off’kan bila tidak….
Mampukah akhi mendengar hinaan yang bakal dilontarkan kepada anda karena perjuangan anda….
Dan…mampukah akhi menjadikan saya isteri seorang pejuang yang tidak dimanja dengan fatamorgana dunia?…

Aduh! Banyaknya syarat-syarat itu isteriku…
Namun aku menerima syarat-syarat tersebut karena aku tahu..
Jiwamu kosong dari syurga dunia…
Karena aku tahu kau mampu mengubah dunia ini dengan iman dan akhlakmu..
Bukannya kau yang diubah oleh dunia…

Isteriku..
Akhirnya jadilah engkau penolong setiaku sebagai nakhoda mengemudi bahtera kehidupan kita…
Susah senang kita tempuh bersama…
Aku terharu dengan segala kebaikanmu…
Kau jaga akhlakmu…
Kau pelihara maruahmu selaku muslimah…
Kau tak pernah mengeluh apabila sering ditinggalkan demi tugasku menegakkan Islam ke persada agung….
Kau jua sanggup mengekang mata menungguku sambil memberikan aku suatu senyuman terindah di ambang pintu tatkala aku pulang lewat malam…. Malah kau seringkali meniupkan semangat untuk aku terus tsabat di pentas perjuangan ini….
Kau tabur bunga-bunga jihad walaupun kita masih jauh dengan keharuman kemenangan…

Isteriku..
Tangkasnya engkau selaku isteri…
Biarpun kau jua sibuk bersama mengorbankan tenaga dalam perjuanganku ini..
Kau jaga relasi kita dengan indahnya…
Kau siraminya dengan wangian cinta dan kasih sayang….
Kau tak pernah menjadikan kesibukanmu itu untuk kau lari dari amanahmu meskipun jadualmu padat dengan agenda-agenda bersama masyarakat dan kaum sejenismu….
Cekalnya engkau mendidik anak-anak…
Kau kenalkan mereka dengan Allah, Rasul saw, para sahabat yang mulia serta para
pejuang Islam…
Kau titipkan semangat mereka sebagai generasi pelapis jundullah…
Kau asuh mereka hidup dengan Al Quran…
Malah kau temani mereka mengulangkaji pelajaran dikala menjelang imtihan…

Isteriku…
Barangkali inilah pelajaran dari ustadzah Zainab Al Ghazali…
Tangan yang mengayun buaian dapat mengguncang dunia…
Kau beri didikan dua generasi sekaligus, generasi kini dan generasi kan datang

Suamimu dan anak-anakmu dengan MAHABBAH
Andai ibunda Khadijah Al Kubra masih ada..
Pasti beliau tersenyum bangga karena masih ada srikandi Islam…
SEPERTIMU…WAHAI ISTERIKU…


sumber : anonim


Tulisan ini diposting pada bulan Maret 2011 di blog sebelumnya.

Ekspedisi Aisya : Menantikanmu Sampai Batas Waktu


Sabtu, 19 Februari 2011 pukul 19.00, Aisya bersama kedua sahabatnya (Izzah dan Wulan) berjalan menuju Indomaret di Jalan Otista 3 untuk membeli bekal dan bertemu Dek Nihlah. Mereka berempat hendak ke Magelang untuk menghadiri walimatul ‘ursy Ukhti Umi Azizah. Setelah membeli snack, mereka naik kopamilet biru bernomor 18. Turun di fly over, dan berganti naik kopamilet biru bernomer 06 A kemudian turun di stasiun Jatinegara.
Dek Nihlah beli tiket, alhamdulillah.. masih ada tiket yang belum terjual. Akhirnya mereka bisa satu gerbong meskipun tempat duduknya terpisah. Sekitar pukul 19.30, kereta “Sawunggalih” pun datang. Tepat saat mereka masuk ke stasiun. Benar-benar serba cepat dan tepat! Wulan duduk dengan Dek Nihlah di kursi 5 A dan 5B, Aisya duduk di kursi 5 C bersebelahan dengan seorang Bapak, sedangkan Izzah di kursi 16.
Aisya mencoba membuka percakapan dengan bapak di sebelahnya, ternyata beliau juga turun di stasiun Kutoarjo. Setelah itu mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing saat kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun Jatinegara.
Setelah berdoa, Aisya segera mengeluarkan earphone dan mendengarkan nasyid dan murottal. Pencahayaan cukup terang, Aisya mengeluarkan draft tulisan yang tadi siang sempat ia print. Draft itu berisi revisi tulisannya dari seorang editor yang juga penulis. Banyak coretan merah dalam draft itu. Aisya mulai membaca, terkadang mulutnya membentuk huruf O dan kepalanya manggut-manggut saat menemukan hal baru sebagai masukan dari sang editor. Setelah selesai membaca draft itu, Aisya mulai mengantuk kemudian tidur setelah mematikan HP-nya.
Pukul 01.00 dini hari Aisya terbangun. Masih sampai daerah Kebumen. Aisya terjaga, tak bisa tidur lagi. Akhirnya ia mendengarkan murottal dan nasyid. Pukul 03.00, akhirnya ular besi itu sampai jua di pemberhentian terakhir, Stasiun Kutoarjo. Aisya berjalan di gerbong 1 itu untuk membangunkan Izzah yang ternyata masih tidur. Mereka berempat turun dari kereta dan memilih duduk di sebuah bangku panjang kosong. Hawa dingin Kutoarjo menyerang mereka. Aisya dan Izzah membeli Pop Mie hangat untuk mengusir rasa dingin sekaligus lapar.
Masih harus menunggu satu jam di stasiun, karena menurut informasi yang didapat dari Umi Azizah, bus yang ke arah Magelang adanya jam 04.00. Ya sudah, mereka duduk-duduk manis dulu di stasiun. Sambil mendengarkan lantunan nasyid yang menghentak dari Izzatul Islam, Aisya menghabiskan Pop Mienya. Setelah habis, Aisya mengeluarkan draft tulisannya lagi dan mulai memperbaiki tulisannya. Baru menulis beberapa kalimat perbaikan, Wulan mengajak mereka keluar stasiun karena waktu hampir menunjukkan pukul 04.00.
Bulan masih purnama sempurna meski terkadang berselimut awan hitam saat Aisya menengadah memandang langit dini hari itu. Mereka berempat beranjak menuju jalan raya. Alhamdulillah, sudah ada bus jurusan Semarang bernama “Sumber Alam” yang terparkir di sana. Kami menaikinya. Bus mulai berjalan meski penumpang masih sedikit. Saat memasuki waktu Subuh, bus masih melintasi kota Purworejo. Mereka sholat di dalam bus.
Iseng-iseng Aisya pasang status
Ar Royan : Berbahagialah manusia, yang tlah menemukan fitrahnya untuk membentuk keluarga yang sakinah.
Q (aisya) : Subhanallah walhamdulillah
Ar Royan : Menikahlah engkau semua bila saatnya telah tiba, jangan jadikan alas an untuk menunda.
Q : Insya Allah.
Ar Royan : Jalan hidup tergantung niatmu, jika kau yakin kau akan mampu. Ingatlah Allah selalu menyertaimu.
Q : Allahu akbar!!!

Pukul 06.00, sampai juga mereka di daerah Secang, Magelang. Mereka turun di pertigaan Polantas Secang. Nah, sebelum turun, Izzah sempat diajak ngobrol kondekturnya. Kondekturnya berujar bahwa ia sepertinya tidak asing dengan wajah muslimah berjilbab merah itu (yang tak lain adalah Aisya). Ah, itu kondektur ada-ada saja. Atau tampang Aisya yang memang dah familier ya? Hehe... Waduh, setelah turun dari bus, Wulan dan Izzah langsung meledek Aisya. Walah... Belum cukup sampai di situ. Saat jemputan dari Umi Azizah sudah datang, kondektur itu berjalan di dekat Aisya dan bertanya, “Memang mau ke mana?”. Aisya pun menjawab dengan tegasnya (kata Wulan, “plus dengan cueknya”), “Ke Secang,” jawab Aisya. Waduuuh, tambah diledekin lagi sama mereka. Gubrakz deh. Izzah ngasih julukan ke kondektur itu dengan “Kondi” (Kondektur imut). Hehehe.. dasar! Ada-ada saja!!
Selama di mobil, mereka benar-benar menikmati pemandangan kiri kanan yang menghijau. Hmm.. subhanallah, luar biasa! Beberapa saat kemudian, sampailah mereka di rumah Umi Azizah yang sudah terpajang dekorasi pengantin berwarna merah. Hmm... Aisya banget! Masuk ke rumah saudaranya Umi yang dijadikan tempat rias pengantin. Umi masih dirias. Mereka diajak ayahnya Umi ke rumah yang terletak di dekat dekorasi. Mereka disuguhi beragam camilan ringan.
Setelah bersiap-siap, mereka ke tempat rias pengantin lagi. Hmm, Umi cantik sekali. Mereka berfoto bersama. Umi pun menceritakan ‘proses’nya dengan Kak Zablin yang sungguh inspiratif. Memang benar, jodoh itu tak terduga datangnya. Beberapa saat kemudian, rombongan besan datang. Pukul 09.00 akad nikah dimulai. Mereka berempat mendapat kesempatan menyaksikan secara langsung di dalam rumah.
SAH! Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khoiir... Beberapa saat yang lalu mereka masih sama-sama berstatus lajang, tapi sekarang status mereka berbeda. Umi sudah menjadi seorang ISTRI. Haru plus bahagia bercampur menjadi satu. Alhamdulillah... Merekapun berdoa bersama. Setelah itu seksi foto-foto. Umi masih tampak canggung saat berhadapan dengan Kak Zablin. Dengan usil, mereka pun menggoda pengantin baru itu. Lucu deh! Masih pada kaku.
Setelah akad nikah, lanjut walimatul ‘ursy pada jam 11.00. Dengan menggunakan adat Jawa, alhamdulillah acaranya pun berjalan lancar. Mereka sempat berfoto bersama kedua mempelai yang mengenakan baju coklat keemasan. Setalah acara selesai, mereka sholat. Pukul 14.00 Umi menemui mereka. Ternyata keluarga Umi sudah menyiapkan transport i pulang ke Jakarta dengan menggunakan travel. Mereka akan dijemput pukul 16.00. Hujan turun, mereka pulang pukul 16.30. Penumpang travel ada 7 orang plus 1 orang sopir. Kami melewati kota Temanggung. Nah, inspiratifnya… waktu melintas di depan alun-alun kota Temanggung, ada warung yang namanya “Sabar Menanti”. Hmm, jadi merenung dalaaaam. Selama perjalanan, mereka sempat transit dua kali di tempat istirahat yang mereka manfaatkan untuk sholat dan makan.
Pukul 08.30 mereka baru sampai kost. Wah, kesiangan nih! Tapi harus tetap ke kantor. Akhirnya Aisya sampai kantor jam 10.00 pagi. Sampai di lobi, eh ketemu Mbak Selly yang akan membeli bubur ayam di kantin gedung utama. Aisya ikut menemaninya sekaligus membeli sarapan juga. Eh, sehabis dari kantin, ada Pak Direktur yang berjalan di depan mereka. Malah satu lift. Untungnya tas yang Aisya bawa adalah tas kecil karena tas kantornya ia lipat dan dimasukkan ke tas itu. Jadinya nggak keliatan kalau Aisya baru sampai di kantor. Keren deh! Mereka bercakap-cakap di dalam lift. “Terima kasih buat notulensinya ya,” kata Pak Dir yang membuat Aisya makin sumringah. Wah, ternyata Pak Dir mengapresiasi tulisan Aisya saat menjadi notulis waktu rapat bersama pejabat daerah dan Komisi B anggota DPRD sebuah provinsi di pulau Kalimantan hari Jumat yang lalu.
Ahad kemarin, Mas Eka (salah satu teman kerja Aisya) menelepon Aisya kalau Pak Dir meminta notulensi hasil rapat hari Jumat itu. Alhamdulillah, untungnya setelah rapat dan sebelum pulang dari kantor hari Jumat malam, Aisya menyempatkan diri untuk menulis notulensi itu jaga-jaga kalau tiba-tiba Pak Dir minta. Dan ternyata benar. Ahadnya beberapa rekan kerja Aisya lembur untuk membahas hasil rapat. Aisya kan pas di Magelang. Jadinya Aisya memberi tahu Mas Eka letak file notulensi itu di komputer Aisya. Alhamdulillah, leganya.. BERES!
Ekspedisi ini sangat luar biasa. Menyisakan segenap asa yang meskipun sama, tapi lebih menggelora. Ah, jadi teringat sepucuk surat yang pernah ditulis Aisya untuk seseorang. Seseorang yang belum ia tahu namanya dan entah di mana keberadaanya.

Menanti Sang Mujahid
Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Mujahidku, selamat pagi! Apa kabarmu di sana?
Semoga jutaan nikmat yang kau terima pagi ini, kau balas dengan syukurmu yang tak terkira. Begitupun aku yang ada di sini.
Semoga Allah senantiasa memberikan barokah-Nya dalam setiap keadaan kita ya!

Mujahidku...
Di tengah pagi yang masih sepi ini,aku hanya ingin berbagi rasa.
Rasa? Ya, rasa rindu. Aku tengah merindukan takdir kita.
Aku tengah merindukan sebuah pertemuan denganmu.
Entah kapan, hanya Dia yang Maha Tahu.
Aku hanya berharap, semoga Allah senantiasa menjagamu, menjaga kita.
Melindungi kita agar tetap berada di jalan-Nya dalam menjemput ridho-Nya
Aku selalu yakin akan skenario-Nya
Bahwa Dia akan memberiku yang terbaik, salah satunya dirimu!

Mujahidku...
Aku berdoa semoga Allah senantiasa meneguhkanmu dalam keistiqomahan
Menyelamatkanmu dari fitnah dunia
Memudahkan setiap aktivitas dakwahmu
Meskipun aku tak tahu engkau sekarang berada di mana
Sungguh, aku hanya meminta Allah meridhoi apa yang kita lakukan..

Mujahidku..
Sungguh aku tak ingin berspekulasi tentangmu!
Aku memang punya kriteria
Sholeh, bertanggung jawab, dan visioner
Satu lagi... penulis!
Hmm, moga tidak terlalu berlebihan
Toh, itu bukan kriteria mutlak!
Aku memang menginginkanmu seperti itu
Tapi, Allah Maha Tahu yang aku butuhkan

Mujahidku...
Tepat sebelum membuat tulisan ini
Aku pernah membuat surat untuk calon anak kita
Mmm, dibaca saja ya!
Surat itu sedikit memberi gambaran tentang impianku kelak
Bersamamu!
Bersama anak-anak kita!

Mujahidku...
Entah kau di mana
Jujur ingin aku katakan
Aku mencintaimu sebelum mata ini memandang
Aku mengagumimu sebelum telinga ini mendengar
Sebelum hal-hal fisik lainnya merusak ketulusanku atas siapapun kau!
Aku ingin menjaga cinta ini dengan begitu sederhana!

Mujahidku...
Dalam sujud-sujud panjangku, aku meminta kepada Pemilik kita
Aku kucurkan doa agar aku layak menjadi pendampingmu
Siapapun kau, dimanapun kau berada...

Mujahidku...
Sungguh aku hanya ingin menjaga diriku
Aku ingin terus memperbaiki diri ini
Membangun komunikasi yang baik dengan orang tuaku
Agar restu mereka juga terlimpah pada kita
Hingga suatu saat nanti...
Jika Allah berkehendak mempertemukan kita
Aku telah siap mendampingimu
Kita akan berjuang bersama menapaki jalan-Nya

Mujahidku..
Engkau adalah pangeran kunci surgaku
Jika Allah berkenan menjadikanku pendampingmu
Bimbinglah aku untuk terus mendekat pada-Nya
Karena kau adalah imamku

Mujahidku...
Biarkan saat ini kesabaran yang menjadi temanku
Mengisi hari-hari ini sebelum akhirnya kita bertemu
Semoga Allah meridhoi penantian kita
Selamat berjuang, mujahidku!
Doaku selalu menyertaimu...


Menantikanmu sampai batas waktu itu tiba
Jakarta, 22 Februari 2011_06.25
Aisya Avicenna


Tulisan ini diposting pada bulan Februari 2011 di blog sebelumnya.

Muslimah VS Cinderella


“Rapunzel... lay down your hair!” Ibu tiri Rapunzel memanggil sang putri raja cantik jelita yang dalam kisah film kartun Rapunzel, digambarkan sebagai tokoh berwajah cantik jelita, memiliki tubuh dan wajah yang memesona serta bergelar putri raja, begitu memukau!

Tokoh-tokoh film kartun yang digemari anak-anak perempuan dari dulu hingga sekarang selalu menggambarkan wanita cantik yang lemah gemulai, lembut dan rupawan, cerdas dan cantik, yang menemukan cinta sejati yakni satu-satunya pria gagah yang menolong sang putri dari kutukan ataupun nasib buruk lainnya dengan mencium lembut bibir sang putri yang digambarkan sebagian awalan dari cinta kasih yang suci dan sejati.

Padahal ciuman pertama yang diperoleh sang putri dari bibir pemuda yang baru dikenalnya jelas adalah bentuk perzinaan karena dilakukan dengan orang lain yang bukan mahramnya. Namun di dalam kisah film anak-anak, hal tersebut digambarkan sebagai cinta sejati.

Kisah romantika percintaan seorang putri dengan pangeran yang paling terkenal adalah kisah Cinderella yang kehilangan sepatu kaca dan akhirnya bertemu seorang pangeran yang tampan rupawan. Kisah berakhir happily ever after, akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia selamanya. Kaum wanita dari kecil dininabobokan kisah percintaan seperti itu.

Gambaran tokoh film kartun Cinderella, Snow White, Rapunzel dan film-film kartun lainnya sungguh sangat meninabobokan kaum wanita yang telah diprogram sejak kecil. Hal yang digambarkan adalah sebuah kisah percintaan yang sangat romantis dimana sang putri adalah pihak lemah yang menunggu datangnya seorang pangeran yang menyuguhkan cinta sejati dan hidup bahagia selamanya.

Fenomena yang ada sekarang sangat banyak saudari-saudari kita yang dilalaikan dengan kisah-kisah romansa percintaan yahudi, yang kemudian berkembang dengan kisah-kisah percintaan di sinetron, dan terakhir romansa percintaan film-film korea yang sangat digandrungi zaman sekarang.

Wahai muslimah, sejauh mana kisah shahabiyah mendarah daging dalam hidup kita? Apakah kita masih ingat perjuangan Bunda Khadijah di awal-awal dakwah Islam atau malah sangat hafal dengan kisah Princess Hour? Dengan mempelajari kisah shahabiyah, kaum muslimah akan memiliki contoh bagaimana kehidupan (salah satunya pernikahan) yang akan dilaluinya nanti bisa dilakukan secara islami, tidak hanya sekedar happily ever after (hidup bahagia selamanya), yang penuh khayal dan membuat tidak siap dan sangat terkejut ketika menemukan kenyataan yang sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan berumah tangga).

Oleh karena itu, mari membaca dan merenungkan kembali kisah-kisah shahabiyah yang sangat luar biasa itu. Mereka adalah sebaik-bak teladan bagi kita, para muslimah.

Jakarta, 9 Januari 2011_14:46
Aisya Avicenna


Tulisan ini diposting pada bulan Januari 2011 di blog sebelumnya.

Maaf, Aku Menolakmu karena Mencintainya!


“Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya meminang,” kata Rasulullah mengandaikan sebuah kejadian sebagaimana dinukil Imam At Tirmidzi, “Maka, nikahkanlah dia.” Rasulullah memaksudkan perkataannya tentang lelaki shalih yang datang meminang putri seseorang.

“Apabila engkau tidak menikahkannya,” lanjut beliau tentang pinangan lelaki shalih itu, “Niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” Di sini Rasulullah mengabarkan sebuah ancaman atau konsekuensi jika pinangan lelaki shalih itu ditolak oleh pihak yang dipinang. Ancamannya disebutkan secara umum berupa fitnah di muka bumi dan meluasnya kerusakan.


Bisa jadi perkataan Rasulullah ini menjadi hal yang sangat berat bagi para orangtua dan putri-putri mereka, terlebih lagi jika ancaman jika tidak menurutinya adalah fitnah dan kerusakan yang meluas di muka bumi. Kita bisa mengira-ngira jenis kerusakan apa yang akan muncul jika seseorang yang berniat melamar seseorang karena mempertahankan kesucian dirinya dan dihalang-halangi serta dipersulit urusan pernikahannya. Inilah salah satu jenis kerusakan yang banyak terjadi di dunia modern ini, meskipun banyak di antara mereka tidak meminang siapapun.


Mari kita belajar tentang pinangan lelaki shalih dari kisah cinta sahabat Rasulullah dari Persia, Salman Al Farisi. Dalam Jalan Cinta, Salim A Fillah mengisahkan romansa cintanya. Salman Al Farisi, lelaki Persia yang baru bebas dari perbudakan fisik dan perbudakan konsepsi hidup itu ternyata mencintai salah seorang muslimah shalihah dari Madinah. Ditemuinya saudara seimannya dari Madinah, Abud Darda’, untuk melamarkan sang perempuan untuknya.
“Saya,” katanya dengan aksen Madinah memperkenalkan diri pada pihak perempuan, “Adalah Abud Darda’.”
“Dan ini,” ujarnya seraya memperkenalkan si pelamar, “Adalah saudara saya, Salman Al Farisi.” Yang diperkenalkan tetap membisu. Jantungnya berdebar.


“Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya,” tutur Abud Darda’ dengan fasih dan terang.
“Adalah kehormatan bagi kami,” jawab tuan rumah atas pinangan Salman, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada putri kami.” Yang dipinang pun ternyata berada di sebalik tabir ruang itu. Sang putri shalihah menanti dengan debaran hati yang tak pasti.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili putrinya. ”Tapi, karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman.”
Ah, romansa cinta Salman memang jadi indah di titik ini. Sebuah penolakan pinangan oleh orang yang dicintainya, tapi tidak mencintainya. Salman harus membenturkan dirinya dengan sebuah hukum cinta yang lain, keserasaan. Inilah yang tidak dimiliki antara Salman dan perempuan itu. Rasa itu hanya satu arah saja, bukan sepasang.


Salman ditolak. Padahal dia adalah lelaki shalih. Lelaki yang menurut Ali bin Abi Thalib adalah sosok perbendaharaan ilmu lama dan baru, serta lautan yang tak pernah kering. Ia memang dari Persia, tapi Rasulullah berkata tentangnya, “Salman Al Farisi dari keluarga kami, ahlul bait.” Lelaki yang bertekad kuat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus diri seharga 300 tunas pohon kurma dan 40 uqiyah emas. Lelaki yang dengan kecerdasan pikirnya mengusulkan strategi perang parit dalam Perang Ahzab dan berhasil dimenangkan Islam dengan gemilang. Lelaki yang di kemudian hari dengan penuh amanah melaksanakan tugas dinasnya di Mada’in dengan mengendarai seekor keledai, sendirian. Lelaki yang pernah menolak pembangunan rumah dinas baginya, kecuali sekadar saja. Lelaki yang saking sederhana dalam jabatannya pernah dikira kuli panggul di wilayahnya sendiri. Lelaki yang di ujung sekaratnya merasa terlalu kaya, padahal di rumahnya tidak ada seberapa pun perkakas yang berharga. Lelaki shalih ini, Salman Al Farisi, ditolak pinangannya oleh perempuan yang dicintanya.


Salman ditolak. Alasannya ternyata sederhana saja. Dengarlah. “Namun, jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan,” kata si ibu perempuan itu melanjutkan perkataannya. Anda mengerti? Si perempuan shalihah itu menolak lelaki shalih peminangnya karena ia mencintai lelaki yang lain. Ia mencintai si pengantar, Abud Darda’. Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak.


Ada juga kisah cinta yang lain. Abu Bakar Ash Shiddiq meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia ingin mempererat kekerabatannya dengan Sang Rasul dengan pinangan itu. Saat itu usia Fathimah menjelang delapan belas tahun. Ia menjadi perempuan yang tumbuh sempurna dan menjadi idaman para lelaki yang ingin menikah. Keluhuran budi, kemuliaan akhlaq, kehormatan keturunan, dan keshalihahan jiwa menjadi penarik yang sangat kuat.


“Saya mohon kepadamu,” kata Abu Bakar kepada Rasulullah sebagaimana dikisahkan Anas dalam Fatimah Az Zahra, “Sudilah kiranya engkau menikahkan Fathimah denganku.” Dalam riwayat lain, Abu Bakar melamar melalui putrinya sekaligus Ummul Mukminin Aisyah.
Mendapat pinangan dari lelaki shalih itu, Rasulullah hanya terdiam dan berpaling. “Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” kata beliau dalam riwayat lain. “Hai Abu Bakar, tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah. Yang terakhir ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat. Maksud Rasulullah dengan menunggu keputusan adalah keputusan dari Allah atas kondisi dan keadaan itu, apakah menerima pinangan itu atau tidak.

Ketika Umar bin Khathab mendengar cerita ini dari Abu Bakar langsung, ia mengatakan, “Hai Abu Bakar, beliau menolak pinanganmu.”


Kemudian Umar mengambil kesempatan itu. Ia mendatangi Rasulullah dan menyampaikan pinangannya untuk menikahi Fathimah binti Muhammad. Tujuannya tidak terlalu berbeda dengan Abu Bakar. Bahkan jawaban yang diberikan Rasulullah kepada Umar pun sama dengan jawaban yang diberikan kepada Abu Bakar. “Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” ujar beliau. “Tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah.


Ketika Abu Bakar mendengar cerita ini dari Umar bin Khathab langsung, ia mengatakan, “Hai Umar, beliau menolak pinanganmu.”


Kita bisa membayangkan itu? Dua orang lelaki paling shalih di masa hidup Rasulullah pun ditolak pinangannya. Abu Bakar adalah sahabat paling utama di antara seluruh sahabat yang ada. Kepercayaannya kepada Islam dan kerasulan begitu murni, tanpa reverse ataupun setitis keraguan. Karena itulah ia mendapat julukan Ash Shiddiq. Ia adalah lelaki yang disebutkan Al Qur’an sebagai pengiring jalan hijrah Rasulullah di dalam gua. Ia adalah dai yang banyak memasukkan para pembesar Mekah dalam pelukan Islam. Ia adalah pembebas budak-budak muslim yang senantiasa tertindas. Ia adalah lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya untuk jihad, dan hanya menyisakan Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh keluarganya. Ia adalah orang yang ingin diangkat sebagai kekasih oleh Rasulullah. Ia adalah salah satu lelaki yang telah dijamin menginjakkan tumitnya di kesejukan taman jannah. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.


Sementara, siapa tidak mengenal lelaki shalih lain bernama Umar bin Khathab. Ia adalah pembeda antara kebenaran dan kebathilan. Ia dan Hamzah lah yang telah mengangkat kemuliaan kaum muslimin di masa-masa awal perkembangannya di Mekah. Ia lelaki yang seringkali firasatnya mendahului turunnya wahyu dan ayat-ayat ilahi kepada Rasulullah. Ia adalah lelaki yang dengan keberaniannya menantang kaum musyrikin saat ia akan berangkat hijrah, ia melambungkan nama Islam. Ia lelaki yang sangat mencintai keadilan dan menegakkannya tatkala ia menggantikan posisi Rasulullah dan Abu Bakar di kemudian hari. Ia pula yang di kemudian hari membuka kunci-kunci dunia dan membebaskan negeri-negeri untuk menerima cahaya Islam. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.


Mari kita simak kenapa pinangan dua lelaki shalih ini ditolak Rasulullah. Ketika itu, Ali bin Abi Thalib datang menemui Rasulullah. Shahabat-shahabatnya dari Anshar, keluarga, bahkan dalam sebuah riwayat termasuk pula dua lelaki shalih terdahulu mendorongnya untuk datang meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia menemui Rasulullah dan memberi salam.
“Hai anak Abu Thalib,” sapa Rasulullah pada Ali dengan nama kunyahnya, ”Ada perlu apa?”


Simaklah jawaban lugu yang disampaikan Ali kepada Rasulullah sebagaimana dinukil Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat. “Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah,” katanya lirih hampir tak terdengar. Dengar dan rasakan kepolosan dan kepasrahan dari setiap diksi yang terucap dari Ali bin Abi Thalib itu. Kepolosan dan kepasrahan seorang pecinta akan cintanya yang demikian lama. Ia menggunakan pilihan kata yang sangat lembut di dalam jiwa, “Terkenang.” Kata ini mewakili keterlamaan rasa dan gelora yang terpendam, bertunas menembus langit-langit realita, transliterasi rasa.


“Ahlan wa sahlan!” kata Rasulullah menyambut perkataan Ali. Senyum mengiringi rangkaian kata itu meluncur dari bibir mulia Rasulullah. Kita tidak usah sebingung Ali memahami jawaban Rasulullah. Jawaban itu bermakna bahwa pinangan Ali diterima oleh Rasulullah seperti yang dipahami rekan-rekan Ali.


Mari kita biarkan Ali dengan kebahagiaan diterima pinangannya oleh Rasulullah. Mari kita melihat dari perspektif yang lebih fokus untuk memahami penolakan pinangan dua lelaki shalih sebelumnya dan penerimaan lelaki shalih yang ini. Kita boleh punya pendapat tersendiri tentang masalah ini.


Ketika Rasulullah menjelaskan alasan kepada Abu Bakar dan Umar berupa penolakan halus, kita tidak bisa menerimanya secara letter lijk. Sebab bisa jadi itu adalah bahasa kias yang digunakan Rasulullah. Misalnya ketika Rasulullah mengatakan bahwa Fathimah masih kecil, tentu saja ini tidak bisa diterjemahkan sebagai kecil secara harfiah, sebab saat itu usia Fathimah sudah hampir delapan belas tahun. Sebuah usia yang cukup matang untuk ukuran masa itu dan bangsa Arab. Sementara Rasulullah sendiri berumah tangga dengan Aisyah pada usia setengah usia Fathimah saat itu. Maka, kita harus memahami kalimat penolakan itu sebagai bahasa kias.


Saat Rasulullah meminta Abu Bakar dan Umar bin Khathab untuk menunggu keputusan, ini juga diterjemahkan sebagai penolakan sebagaimana dipahami dua lelaki shalih itu. Jadi, pernyataan Rasulullah itu bukan pernyataan untuk menggantung pinangan, sebab jika pinangan itu digantung, tentu saja Umar dan Ali tidak boleh meminang Fathimah. Pernyataan itu adalah sebuah penolakan halus.


Atau bisa jadi, saat itu Rasulullah punya harapan lain bahwa Ali bin Abi Thalib akan melamar Fathimah. Beliau tahu sebab sejak kecil Ali telah bersamanya dan banyak bergaul dengan Fathimah. Interaksi yang lama dua muda mudi sangat potensial menumbuhkan tunas cinta dan memekarkan kuncup jiwanya. Ini dibuktikan dari pernyataan Rasulullah untuk meminta dua lelaki shalih itu menunggu keputusan Allah tentang pinangannya. Jadi, dalam hal ini kemungkinan Rasulullah mengetahui bahwa putrinya dan Ali telah saling mencintai. Sehingga Rasulullah pun punya harapan pada keduanya untuk menikah. Rasulullah hanya sedang menunggu pinangan Ali. Di masa mendatang sejarah membuktikan ketika Ali dan Fathimah sudah menikah, ia berkata kepada Ali, suaminya, “Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda.” Saya yakin kita tahu siapa yang dimaksud oleh Fathimah. Ini perspektif saya.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan singkat Ali, “Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah.” Satu kalimat itu sudah mewakili apa yang diinginkan Ali. Rasulullah sangat memahami ini. Beliau adalah seseorang yang sangat peka akan apa-apa yang diinginkan orang lain dari dirinya. Beliau memiliki empati terhadap orang lain dengan demikian kuat. Beliau memahami bentuk sempurna keinginan seseorang seperti Ali dengan beberapa kata saja.


Dan jawaban Rasulullah pun menunjukkan hal yang serupa, “Ahlan wa sahlan!” Ungkapan sambutan selamat datang atas sebuah penantian.


Jadi, dengan perspektif ini, kita akan memahami bahwa lelaki shalih yang datang untuk meminang bisa ditolak pinangannya, tanpa akan menimbulkan fitnah di muka bumi ataupun kerusakan yang meluas. Wanita shalihah yang dipinang Salman Al Farisi telah menunjukkan kepada kita, bahwa ia mencintai Abud Darda’ dan menolak pinangan lelaki shalih dari Persia itu. Rasulullah pun telah menunjukkan pada kita bahwa ia menolak pinangan dua lelaki tershalih di masanya karena Fathimah mencintai lelaki shalih yang lain, Ali Bin Abu Thalib. Di sini, kita belajar bahwa cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan.


Mari kita dengarkan sebuah kisah yang dikisahkan Ibnu Abbas dan diabadikan oleh Imam Ibnu Majah. Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. “Wahai Rasulullah,” kata lelaki itu, “Seorang anak yatim perempuan yang dalam tanggunganku telah dipinang dua orang lelaki, ada yang kaya dan ada yang miskin.”


“Kami lebih memilih lelaki kaya,” lanjutnya berkisah, “Tapi dia lebih memilih lelaki yang miskin.” Ia meminta pertimbangan kepada Rasulullah atas sikap yang sebaiknya dilakukannya. “Kami,” jawab Rasulullah, “Tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pernikahan bagi dua orang yang saling mencintai, lam nara lil mutahabbaini mitslan nikahi.”


Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak. Di telinga dan jiwa lelaki ini, perkataan Rasulullah itu laksana setitis embun di kegersangan hati. Menumbuhkan tunas yang hampir mati diterpa badai kemarau dan panasnya bara api. Seakan-akan Rasulullah mengatakannya khusus hanya untuk dirinya. Seakan-akan Rasulullah mengingatkannya akan ikhtiar dan agar tiada sesal di kemudian hari.


“Cinta itu,” kata Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul Ma’rah fi ‘Ashrir Risalah, “Adalah perasaan yang baik dengan kebaikan tujuan jika tujuannya adalah menikah.” Artinya yang satu menjadikan yang lainnya sebagai teman hidup dalam bingkai pernikahan.


Dengan maksud yang serupa, Imam Al Hakim mencatat bahwa Rasulullah bersabda tentang dua manusia yang saling mencintai. “Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai,” kata Rasulullah, “Seperti halnya pernikahan.” Ya, tidak ada yang lebih indah. Ini adalah perkataan Rasulullah. Dan lelaki ini meyakini bahwa perkataan beliau adalah kebenaran. Karena bagi dua orang yang saling mencintai, memang tidak ada yang lebih indah selain pernikahan. Karena cintalah yang menghapus fitnah di muka bumi dan memperbaiki kerusakan yang meluas, insya Allah.

Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan.
Sumber : www.dakwatuna.com
Aisya Avicenna


Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya 

Kejutan di Sepertiga Malam

Ku memohon dalam sujudku pada-Mu Ampunkanlah sgala dosa dalam diri Ku percaya Engkau bisa meneguhkan pendirianku... keimananku Engkau satu cinta yang slamanya aku cari Tiada waktu ku tinggalkan Demi cintaku kepada-Mu Walau sribu rintangan yang menghadang dalam diri Kuteguhkan hati ini ... hanya pada-Mu kupasrahkan Oh Tuhan, slamatkanlah hamba ini Dari segala fatamorgana dunia Oh Tuhan, jauhkanlah hamba ini Dari hidup yang sia-sia (Star Five–Satu Cinta)
Pukul 02.02 tepat saat Star Five terlantun dari winamp-nya si T-ONE (nama Acer 10 inchiku)! Angka yang bagus ya... 2 Februari (kalau dua digit pertama diartikan tanggal, menyusul dua digit selanjutnya jika diartikan sebagai bulan). Hmm, mengingatkan diri ini bahwa 2 Februari sebentar lagi datang menghampiri. Lantas mengapa? Ya, sebagai momentum muhasabah bahwa waktu memang terus berjalan dan tidak bisa dihentikan, sedangkan sejauh dan ‘setua’ ini bagaimana waktu itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya padahal jatah usia semakin sedikit saja. Memang sih, berubah itu tidak harus menunggu adanya momentum. Setiap saat kita harus berubah menjadi lebih baik jika ingin menjadi pribadi yang beruntung.

Alhamdulillah, pagi ini dibangunkan Allah menjelang pukul 12 malam. Setelah sholat tahajud, dilanjutkan baca Al-Qur’an, menyelesaikan Q.S. Al-Furqon. Ayat yang paling berkesan adalah ayat ke-74 yang merupakan doa yang sering kita panjatkan setelah shalat (baik wajib atau sunnah) purna ditegakkan. Buka kembali ya... Setelah tilawah, berniat mencari camilan yang ada di kulkas. Sepertinya masih punya camilan yang belum tandas dimakan. Setelah camilan yang dimaksud itu berpindah ke tangan, aku melihat ada bungkusan coklat di atas kulkas.

To : Etika Suryandari
........................................... (alamat kosku)

Alhamdulillah, ternyata isinya pesanan buku yang aku order dari salah satu teman di FLP Jakarta. Akhirnya, “SAKINAH BERSAMAMU”-nya Mbak Asma Nadia di sepertiga malam ini secara resmi menjadi pendatang baru di perpus pribadiku, AL-FIRDAUS. Ahlan wa sahlan... ^^v

Wah, kejutan nih! Ada keterkaitan dengan ayat cinta-Nya yang aku baca barusan... Hmm, semoga buku ini menjadi ‘jawaban’ atas doa tadi. Bahwa salah satunya, aku harus belajar dari pengalaman orang lain (yang terangkum apik dalam buku yang berisi 17 cerita dan 17 pembahasan seputar ujian dalam rumah tangga ini), sebelum aku menjalani ‘kisah penuh makna’ itu suatu saat nanti.

Okey, saatnya membaca dan mengambil beragam hikmah dari buku tersebut!

RENUNGAN

Istri yang sholihah memang benar, bidadari di dunia ini. Permata yang amat berharga. Hiasan yang amat menawan. Peneguh yang amat kokoh.
Istri yang sholihah, berbalut ilmu, berselimut akhlak.
Istri yang sholihah, menembus qolbu karena semua yang ia lakukan berasal dari ketulusan hati, dari keikhlasan jiwa.
Istri yang sholihah adalah rizki yang tak ternilai dari Allah yang menggenggam segala kemuliaan, pemberi segala kebahagiaan.
Wahai kaum muslimin, pilihlah wanita sholihah dengan mensholihkan diri.
Wahai wanita sholihah, jadilah pribadi yang indah karena Allah semata.

~Tausyah Aa’ Gym sebelum nasyid “Wanita Sholihah”-nya The Fikr yang terdengar saat mengakhiri tulisan ini~


Sepertiga malam yang indah,
REDZone, 10 Muharram 1432 H
Aisya Avicenna


Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya 

Cinta yang Sempurna


Kutemukan mozaik cinta-Nya dalam derai tasbih Asmaul Husna
Dikala syahdu qolbu mendaras firman-Nya
Begitu lembuuut… tapi kuat meyakinkan
Getaranmu teramat dekat wahai Belahan Jiwa
Meski tak kulihat jelas dimata…

Haqqul Yakin engkau ada
Hati amat yakin jaauuuh sebelum berjumpa..
Jauh sebelum bersapa..
Keyakinan telah mematahkan segala bimbang dan kelemahan
Keyakinan telah menghempaskan segala keputusasaan
Keyakinan telah menepis segala kecurigaan
Keyakinan telah membekukan beribu tanyaku dalam kemantapan
Keyakinan itu jualah yang telah membawa jejak langkah kita menapak sejalan

Kehadiranmu adalah bias cinta-Nya yang sempurna
Dan kau adalah keajaiban yang kupesan itu… lama sebelum mengenal cinta
Kau adalah separuh ruhku yang terpisah.. nan jaauuuh disana
Berkelana mengukir jejak langkah masing-masing… untuk berjumpa di suatu masa

Menantimu adalah Rahasia Rabb Semesta
Ternyata kau tak harus letih kucari
Tapi kau telah dipilih Allah untukku jauh sebelum tercipta hari
Dengan keagungan Cinta Sang Maha Cinta
Pertemuan barokah itu terasa begitu…
SEMPURNA

[Tausyah Ustadz Syatori Daarush Sholihat Yogyakarta]



Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya 

Jangan Permainkan Ta'aruf



Sabtu, 5 Februari 2010
“Mengapa mendadak dibatalkan, ukh?” sebuah kalimat terpampang di layar ponselnya. Qonita pun membalas SMS itu panjang lebar, sejelas-jelasnya. Sepertinya yang di-SMS belum puas dengan jawaban Qonita.
“Ya sudah, sekarang anti ke rumah saya. Saya sedang dalam perjalanan pulang. Sekitar 10 menit lagi sampai rumah.” SMS lanjutan dari seberang sana.
Sudah pukul setengah sembilan malam. Qonita segera beranjak dari duduknya. Segera mengambil jaket dan keluar dari kosnya. Bergegas. Malam sudah semakin larut. Tapi, ia ingin semua segera selesai. Dengan penuh keberanian, Qonita berjalan melewati gang-gang kecil dan sempat pula melewati kuburan. Tapi, semua itu tak menyurutkan nyalinya.
Sampai di rumah sang pengirim SMS tadi, ia mengetuk pintu. Salamnya dijawab sang pemilik rumah. Pintu rumah dibuka. Senyumpun beradu. Hanya saja senyum itu sempurna menyiratkan tanya.
Dialah murobbiyah Qonita. Seseorang yang membersamainya mengenal Islam lebih dekat. Seseorang yang setiap pekannya mencekoki Qonita dengan ramuan-ramuan penguat ruhiyahnya. Qonita diminta menuju ke lantai 2. Ke kamar murabbiyahnya. Akhirnya kedua pasang mata itu beradu.
“Mengapa?” tanya singkat Murabbiyahnya, Qonita sudah paham maksudnya.
Akhirnya Qonita menjelaskan alasan pembatalan ta’arufnya dengan seorang ikhwan yang telah mengajaknya menyempurnakan setengah dien. Padahal ta’aruf sudah diagendakan. Ahad, 6 Februari 2010. Keesokan harinya.
Malam itu... dengan segenap keberanian, Qonita membatalkan rencana ta’arufnya. Qonita punya dua alasan kuat yang mendasari keberaniannya. Alhamdulillah, murabbiyahnya bisa menerima alasannya. Langsung pada malam itu, sang murabbiyah menghubungi murabbi sang ikhwan. Pihak ikhwan juga bisa menerima.
Apa alasan Qonita???
Insya Allah, jawabannya bisa ditemukan dalam kisah yang akan saya tulis, judulnya : “Pangeran Kunci Surga”.
***
Catatan di bawah ini layak untuk dijadikan renungan dan hikmah dari kisah di atas. Saya ambil dari sumber utama : http://www.voa-islam.com/ yang sudah saya revisi di beberapa bagian. Insya Allah tidak mengubah esensi. Mari merenung...

Untukmu ikhwan...
Muslimah itu mutiara, tidak sembarang orang boleh menyentuhnya, tidak sembarang orang boleh memandangnya. Jika kalian punya keinginan untuk menikahinya, carilah cara yang baik yang dibenarkan Islam. Cari tahu informasi tentang akhwat melalui pihak ketiga yang bisa dipercaya. Jika maksud ta’arufmu untuk menggenapkan separuh agamamu, silakan saja, tapi prosesnya jangan keluar dari koridor Islam.

Untukmu ikhwan...
Relakah jika saudara perempuanmu dijadikan ajang coba-coba ta’aruf oleh orang lain? Tentu engkau keberatan, bukan? Jagalah izzah muslimah, mereka adalah saudaramu. Pasanglah tabir pembatas dalam interaksi dengannya. Pahamilah, hati wanita itu lembut dan mudah tersentuh, akan timbul guncangan batin jika jeratan yang kalian tabur tersebut hanya sekedar main-main.

Untukmu ikhwan...
Jagalah hati mereka, jangan banyak memberi harapan atau menabur simpati yang dapat melunturkan keimanan mereka. Mereka adalah wanita-wanita pemalu yang ingin meneladani wanita mulia di awal-awal Islam, biarkan iman mereka bertambah dalam balutan rasa nyaman dan aman dari gangguan JIL alias Jaringan Ikhwan Lebay.

Untukmu ikhwan...
Ini hanya sekedar nasihat, jangan mudah percaya dengan apa yang dipresentasikan orang di dunia maya, karena foto dan kata-kata yang tidak kamu ketahui kejelasan karakter wanita, tidak dapat dijadikan tolak ukur kesalehahan mereka, hendaklah mengutus orang yang amanah yang membantumu mencari data dan informasinya.

Untukmu ikhwan...
Luasnya ilmu yang engkau miliki tidak menjadikan engkau mulia, jika tidak kau imbangi dengan menjaga adab pergaulan dengan lawan jenis.

Wahai diriku dan saudariku...
Jaga hijabmu agar tidak runtuh kewibawaanmu. Jangan bangga karena banyaknya ikhwan yang menginginkan taaruf. Karena ta’aruf yang tidak berdasarkan aturan syar’i, sesungguhnya sama saja si ikhwan merendahkanmu. Jika ikhwan itu punya niat yang benar dan serius, tentu akan memakai cara yang Rasulullah ajarkan, dan tidak langsung menembak kalian dengan caranya sendiri.

Wahai diriku dan saudariku..
Terkadang kita harus mengoreksi cara kita berinteraksi dengan mereka, apakah ada yang salah hingga membuat mereka tertarik dengan kita? Terlalu lunakkah sikap kita terhadapnya?

Wahai diriku dan saudariku..
Sadarilah, orang-orang yang engkau kenal di dunia maya tidak semua memberikan informasi yang sebenarnya, waspadalah, karena engkau adalah sebaik-baik wanita yang menggenggam amanah Ilahi. Jangan mudah terpedaya oleh rayuan orang di dunia maya.

Wahai diriku dan saudariku..
Berhiaslah dengan akhlak islami, jangan mengumbar kegenitan pada ikhwan yang bukan mahram, biarkan apa yang ada pada dirimu menjadi simpanan manis buat suamimu kelak.

Wahai diriku dan saudariku..
Ta’aruf yang sesungguhnya haruslah berdasarkan cara Islam, bukan dengan cara mengumbar rasa sebelum ada akad nikah.
***
Ketika diri mencari sinar
Secebis cahaya menerangi laluan
Ada kalanya langkahku tersasar
Tersungkur di lembah kegelapan

Bagaikan terdengar bisikan rindu
Mengalun kalimah menyapa keinsafan
Kehadiranmu menyentuh kalbu
Menyalakan obor pengharapan

Tika ku kealpaan
Kau bisikkan bicara keinsafan
Kau beri kekuatan, tika aku
Diuji dengan dugaan?
Saat ku kehilangan keyakinan
Kau nyalakan harapan
Saat ku meragukan keampunan Tuhan
Kau katakan rahmat-Nya mengatasi segala

Menitis airmataku keharuan
Kepada sebuah pertemuan
Kehadiranmu mendamaikan
Hati yang dahulu keresahan

Cinta yang semakin kesamaran
Kau gilap cahaya kebahagiaan
Tulus keikhlasan menjadi ikatan
Dengan restu kasih-Mu, oh Tuhan

Titisan air mata menyubur cinta
Dan rindu pun berbunga
Mekar tidak pernah layu
Damainya hati
Yang dulu resah keliru
Cintaku takkan pudar diuji dugaan
Mengharum dalam harapan
Moga kan kesampaian kepada Tuhan
Lantaran diri hamba kerdil dan hina

Syukur sungguh di hati ini
Dikurniakan teman sejati
Menunjuk jalan dekati-Nya
Tika diri dalam kebuntuan

Betapa aku menghargai
Kejujuran yang kau beri
Mengajarku mengenal arti
Cinta hakiki yang abadi

Tiada yang menjadi impian
Selain rahmat kasih-Mu Tuhan
Yang terbias pada ketulusan
Sekeping hati seorang insan
Bernama teman

(Sebuah Pertemuan – UNIC)

REDZone, 5 Desember 2010_06.36
Aisya Avicenna


Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya 

Menikah, Kenapa Takut?



Apabila telah tiba masaku
Untuk segera mengakhiri lajangku
Dengan segenap kemampuan Allah berikan
Insya Allah janjiku segera kutunaikan

Tapi bila kuraba dalam hati
Datang seruntun pertanyaan silih berganti
Adakah semua kulakukan terlalu dini
Berdegup jantung di dada kendalikan diri
(Hasrat Hatiku – Suara Persaudaraan)


Seperti biasa, habis Subuh adalah waktu yang tepat untuk menulis atau online sambil membuka situs-situs apik yang dengannya diri ini bisa meraup hikmah. Seperti pagi ini, hmm... pagi yang istimewa untuk ketiga sahabatku (Umi dan Suryo, Heru dan Nia, serta Bambang dan Zahro). Ya, pagi ini mereka akan melangsungkan pernikahan. So, statusku pagi ini berisi ucapan selamat kepada ketiga mempelai.


Akhirnya aku membuka situw www.dakwatuna.com dan menemukan artikel tulisan DR. Amir Faishol Fath. Aku pernah satu forum bersama beliau saat Tahrib Ramadhan tahun ini di masjid Bank Indonesia. Beliau memberikan tausyah di malam ini. Sip, akhirnya aku baca artikel itu dan aku share di sini.
Sambil mendengarkan nasyid ini..


Saat dua hati berjanji
Tuk arungi hidup di jalan-Nya
Allah kan berkahi mereka
Kala dalam doa kala dalam asa

Menjadilah mentari bening pagi
Terangi bumi terangi hati
Menjadilah keheningan malam
Kala berjuta insan larut dalam doa

Selamat datang kawan
Di duniamu yang baru
Kudoakan semoga bahagia
(Ketika Dua Hari Menyatu – Seismic)

***


Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?


Hidup, bagaimanapun adalah sebuah risiko. Mati pun risiko. Yang tidak ada risikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.


Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.


Menikah itu FitrahAllah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)


Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sistem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.


Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.

Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa manusia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.

Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.
Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.


Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.
Perhatikan bagaimana akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”


Menikah Itu IbadahDalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)


Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum menikah.


Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.


Pernikahan dan Penghasilan


Namun pernikahan begitu indah kudengar
Membuatku ingin segera melaksanakan
Namun bila kulihat aral melintang pukang
Hatiku selalu maju mundur dibuatnya
(Hasrat Hatiku – Suara Persaudaraan)

Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?


Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Al-Quran.


Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatnya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.


Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.


Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezeki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezeki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.


Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).
Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)
Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.


Persoalannya sekarang, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.


Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.


Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.


Pernikahan dan Menuntut IlmuSeorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.


Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.


Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu.


Di dalam Al-Quran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.
Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.


Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.


Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.


Kesimpulan


Akhirnya aku segera tersadar
Hanya pada Allah lah tempat aku bersandar
Yang akan menguatkan hatiku yang terkapar
Insya Allah azzamku akan terwujud lancar
(Hasrat Hatiku – Suara Persaudaraan)


Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.


Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.
Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.

When two people get marry
To take the life together on the way
Allah shall give them one more bless
When life in love and try
When life in love and pray

Just be the sunshine in the morning day
Give it shine to the world let everyone to see
Just be the quiteness in the night
When many people cry when many people pray

Welcome to the new world my friends
You both have to face all in love
All I could do just pray
And I do I pray

(Ketika Dua Hari Menyatu – Seismic)


Tulisan ini diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya