burungpun bernyanyi
melepas sgala rindu
yang terendam malu
di balik qolbu
anginpun menari
mencari arti
apakah ini fitrah
ataukah hiasan nafsu
di dalam sepi ia selalu hadir
di dalam sendiri ia selalu menyindir
kadang meronta bersama air mata
seolah tak kuasa menahan duka
biarlah semua mengalir
berikanlah kepada ikhtiar dan sabar
untuk mengejar...
sabarlah menunggu
janji ALLAh kan pasti
hadir tuk mdatang
menjemput hatimu
sabarlah menanti
usahlah ragu
kekasihkan datang sesuai
dengan iman di hati
bila di dunia ia tiada
moga di syurga ia telah menanti
bila di dunia ia tiada
moga di syurga ia telah menunggu
-Maidany-
***
Jodoh tak usah terlalu dirisaukan, tiba waktunya ia akan menjemput, namun perlu juga membuka lorong-lorongnya agar jemputan mudah sampai dan tidak terhalang
Ketika kita pasrah dan tawakal kepada Allah, dalam menanti jodoh yang terbaik menurut sang Maha Pencipta, baiknya kita singkirkan segala permintaan tentang jodoh yang tepat menurut kita (kriteria idealis kita). Saat jodoh masih belum datang juga, bisa jadi penyebabnya karena tidak ada 'keharmonisan' saat berdoa. Ternyata ketika mulut kita meminta, hati tidak seiring dan sejalan dengan apa yang kita ucapkan. Oleh karena itu, kita harus berusaha sekuat tenaga menyelaraskan ucapan dan lintasan hati kita.
Ketika kita pasrah dan tawakal kepada Allah, dalam menerima jodoh yang terbaik menurut sang Maha Penentu Takdir, Insya Allah Dia akan memberikan lebih daripada yang kita kira. Ketika kita tidak lagi menuntut banyak kriteria, Allah mungkin justru akan memberikan kriteria yang sering kita minta di setiap doa-doa dalam mengharap jodoh kita.
Ketika kita pasrah dan tawakal kepada Allah, jika suatu saat nanti kita siap menerima seseorang sebagai pendamping hidup, kita sangat yakin kepada sang Maha Pengampun, kita akan jauh lebih baik dan lebih cantik/tampan di surga nanti. Dialah jalan bagi kita untuk menuju surga Allah. Ya Allah, kumpulkanlah kami dalam surgamu kelak. Amin.
Ketika kita mampu pasrah dan tawakal kepada Allah, dalam segala hal, maka yakinlah, sang Maha Mendengar segala doa, akan mengabulkan doa-doa kita.
~Hasil diskusi dengan seorang sahabat saat perjalanan Jakarta-Bekasi~
Aku, yang masih terus mencoba pasrah dan tawakal
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya
(Oleh : Salim A. Fillah)
Dalam
hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat
hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia
diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang
membuat kita harus memejam mata.
Dalam tugas sebagai Relawan
Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan
mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya
sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka
yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik
uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan
kedinginan di pelupuk mata.
“Kalau sudah
rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami
yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti.
Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa
masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.
Ada
lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan
menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras
dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap
berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja
mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak
nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.
Catatan
indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang
menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa,
semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan
berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada
penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para
terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat
lelaukan bertasbih untuk mereka.
Ada juga tukang pijit dan tukang
cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demi
barak. Ad dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang
berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para
mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan
menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu,
sungguh membuat iri.
***
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah
bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk
menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa
yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah
Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil
melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh
orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia
emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon
yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita
membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami
aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi,
niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah
menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan
sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang
selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap
pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri
umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa
lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan
dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah
untuk mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya
hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami
bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya
sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia
mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali
menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih
tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan
cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis
dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh
dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin
lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal
menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di
nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin
jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang
dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di
kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah
telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si
muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu
tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi
semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal
tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke
rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak
terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka
berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan
bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta
agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak
jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”,
ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan
merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang
bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya
dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti
berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang
teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan
darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata
muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga
sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di
belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu
memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya
harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan
dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi
anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk
hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak
ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang
seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke
neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak
tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya
pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak
perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya
setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa
yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik
dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa
itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus
menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu
menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”
Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah
hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan
yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya
bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan
terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia
menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang
yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh
dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon
suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan
itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya
pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah
rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya
Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya
Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan
Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat
Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat
saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana
saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung
semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya
mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka,
keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami
bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu
dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena
frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga
keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi
kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak
menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga
masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah
jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah,
jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu
dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah,
balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di
sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau
panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu
nan Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami
sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam
Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami.
“Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang
menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah
mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”
-salim a. fillah, www.safillah.co.cc-
***
NB:
sahibatul hikayah berpesan agar kisah ini diceritakan untuk berbagi
tentang betapa pentingnya menjaga iman, rasa taqwa, dan tiap detail
syari’atNya di tiap langkah kehidupan. Juga agar ada pembelajaran untuk
kita bisa memilih sikap terbaik menghadapi tiap uji kehidupan. Semoga
Allah menyayanginya
Tulisan ini
diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya
berdiri di altar senja...
adakah di sana?
***
Juang Cinta Para Wanita
“Wahai Abu Utsman,” kata perempuan itu, “Sungguh aku mencintaimu.”
Suasana hening sejenak. “Aku memohon, atas nama Allah, agar sudilah kiranya engkau menikahiku,” lanjutnya.
Lelaki yang bernama lengkap Abu Utsman An Naisaburi itu diam. Ada keterkejutan dan kegamangan dalam dirinya tatkala mendengar perkataan perempuan yang datang kepadanya itu. Ia tidak mengenal perempuan ini dengan baik. Namun, tiba-tiba saja perempuan ini datang menemuinya dan menyatakan rasa cintanya yang dalam kepadanya. Bahkan saat itu pula, atas nama Allah, perempuan itu meminta pada Abu Utsman untuk menikahinya. Seakan keterkejutan yang dirasakan Abu Utsman bertumpuk-tumpuk di atmosfir hatinya.
Abu Utsman diam. Memikirkan keputusan apa yang hendak diambilnya. Sebagai seorang pemuda, ia dihadapkan pada sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Sebuah keputusan yang mungkin akan dijalaninya selama lebih dari separuh usianya dan separuh imannya. Selama ini keluarganya senantiasa mendorongnya untuk segera meminang salah seorang perempuan shalihah di wilayah itu. Namun, ia selalu menolak dorongan dari keluarganya itu hingga hari ini. Maka, sampai sekarang ia masih juga membujang. Ia akan mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya, termasuk segala konsekuensi yang menyertainya.
Imam Abul Faraj Abdurahman ibnu Al Jauzi menuliskan dalam salah satu kitabnya, Shaidul Khathir, bahwa Abu Utsman kemudian datang ke rumah si perempuan. Ia mendapati orangtua si perempuan adalah orang yang miskin. Namun, keputusannya tetaplah bulat untuk meminang si perempuan yang datang menyatakan cinta kepadanya itu. Terlebih lagi karena perempuan itu memintanya untuk menikahinya. Ia menyaksikan kebahagiaan yang berlimpah pada orangtua si perempuan mendengar bahwa putrinya dipinang oleh Abu Utsman, lelaki yang berilmu, tampan, shalih, penyabar, setia, jujur, tulus, dan terhormat.
Mereka pun menikah. Hingga akhirnya sang istri itu meninggal dunia lima belas tahun kemudian. Namun, sejak malam pengantin mereka ada kisah yang baru terungkap setelah kematian sang istri. “Ketika perempuan itu datang menemuiku,” kisahnya, “Barulah aku tahu kalau matanya juling dan wajahnya sangat jelek dan buruk. Namun, ketulusan cintanya padaku telah mencegahku keluar dari kamar. Aku pun terus duduk dan menyambutnya tanpa sedikit pun mengekspresikan rasa benci dan marah. Semua demi menjaga perasaannya. Walaupun aku bagai berada di atas panggang api kemarahan dan kebencian.”
Ah, kita jangan marah pada Abu Utsman yang mengharapkan istri yang cantik dan sempurna, tapi kemudian hanya mendapatkan istri juling dan buruk wajah. Itu merupakan sisi manusiawi dari lelaki yang menginginkan kecantikan dan kesempurnaan dari pendamping hidupnya. “Begitulah kulalui lima belas tahun dari hidupku bersamanya hingga dia meninggal,” lanjutnya berkisah. “Maka, tiada amal yang paling kuharapkan pahalanya di akhirat, selain masa-masa lima belas tahun dari kesabaran dan kesetiaanku menjaga perasaannya dan ketulusan cintanya.” Kesetiaan itu adalah bintang di langit kebesaran jiwa, kata Anis Matta.
Sungguh, saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini. Meskipun cinta di antara mereka tidak pernah benar-benar ada dalam masa-masa lima belas tahun perkawinan itu, tapi perjuangan cinta si perempuan sangat luar biasa di mata saya. Meskipun sang perempuan itu tahu bahwa ia bermata juling, meskipun ia tahu bahwa ia hanya anak orang miskin, meskipun ia tahu bahwa ia bukan perempuan berwajah cantik satin, tapi ia memperjuangkan cintanya untuk membersamai orang yang dicintainya itu. Ia berhasil membersamainya dalam masa lima belas tahun hingga maut datang menjemput. Ia memang tidak tahu bahwa selama masa itu sang suami, Abu Utsman An Naisaburi, tidak pernah benar-benar mencintainya. Namun, Abu Utsman membuktikan bahwa ia adalah lelaki yang setia, tulus, sabar, dan senantiasa menjaga perasaan sang istri yang demikian tulus mencintainya. Bagi saya, semua hal itu adalah bagian dari cintanya, hanya saja bentuknya yang sedikit berbeda. Sungguh, saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Ada pula kisah lain dari shahabiyah Rasulullah. Namanya Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah. Ia adalah salah seorang perempuan Madinah dari Bani Aus yang berstatus janda. Khaddam, sang ayah Khansa’, mengawinkannya dengan seorang lelaki yang juga berasal dari Bani Aus. Namun, ia tidak menyukai lelaki itu dan sebenarnya ia telah menyukai lelaki lain. Maka, berangkatlah Khansa’ menemui Rasulullah. Ia menceritakan kasus perselisihannya dengan sang ayah dan mengutarakan hasrat hatinya bahwa ia mencintai lelaki lain itu. Rasulullah pun memanggil sang ayah dan memerintahkan kepadanya untuk memberikan kebebasan kepada putrinya dalam memilih calon suaminya sendiri.
“Sesungguhnya,” tutur para imam hadits dalam kitab mereka, “Ayahnya menikahkan dia, sedangkan dia seorang janda maka ia tidak suka pernikahan itu, kemudian datang kepada Rasulullah. Maka Rasulullah menolak pernikahannya.” Hanya Imam Muslim yang tidak mencatat riwayat dari Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah ini.
Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah pun memilih. Ia memutuskan untuk meninggalkan perkawinan paksaan sang ayah dan menginginkan dinikahi oleh orang yang dicintainya. Dalam Shahifah Amru bin Syaibah, disebutkan bahwa lelaki itu terlebih dahulu meminang Khansa’ dan sudah diterima Khansa’. Nama lelaki itu adalah Abu Lubabah bin Abdil Mundzir. Ia adalah salah seorang sahabat utama yang menghadiri Bai’atul Aqabah kedua, ia adalah wakil Rasulullah di Madinah saat Perang Badar untuk menjaga keamanan dan ketertiban penduduk kota Madinah, anak-anak, kaum perempuan, kebun buah-buahan. Ia juga ditugasi untuk memberi makanan pada warga yang kelaparan dan memenuhi kebutuhan semua warga yang ada, baik anak-anak maupun orang tua sampai pasukan yang berada di jalan Allah itu kembali. Dengan lelaki mulia inilah Khansa’ menjatuhkan pilihannya, ia menikah dengan lelaki yang dicintainya. Ia menikah dengan lelaki yang diperjuangkannya hingga melibatkan keputusan Rasulullah atas pemaksaan sang ayah. Dari pernikahan mereka itu lahirlah seorang perempuan bernama Lubabah.
Pada Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah pula kita berterimakasih atas pelajaran penting tentang larangan pemaksaan menikah dari orang tua jika sang putri tidak menyukai calon suaminya. Dari Khansa’ pula kita belajar tentang hak-hak perempuan dalam syariat Islam dan menjalankan hidupnya sebagai bagian dari sistem struktur masyarakat madani. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Kisah hidup perempuan paling mulia di zamannya pun melakoni episode perjuangan cinta ini.
“Sebenarnya ia orang biasa,” kata perempuan mulia itu. Dr Thaha Husain menuliskan fragmen ini dalam saduran kisahnya yang dinukil oleh Saefulloh Muhammad Satori dalam Romantika Rumah Tangga Nabi. Perempuan mulia ini bernama Khadijah binti Khuwailid. Sedangkan orang yang dibicarakannya adalah Muhammad bin Abdullah yang kala itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. “Saya kenal ibunya. Saya kenal ayahnya, dan saya turut hadir pada waktu ia baru lahir,” terangnya.
Dalam pandangan Khadijah, sosok Muhammad muda adalah sosok dengan kebaikan yang melimpah, kewibawaan lelaki, kepercayaan amanah, dan pesona jiwa yang tak mampu tersembunyikan oleh kerasnya hidup yang dilaluinya. Sebentuk empati pada Muhammad muda menunas di hatinya. Segala kabar miring yang pernah didengarnya dari orang-orang yang mengatakan bahwa kedudukan Muhammad hanyalah seorang penggembala kambing penduduk Mekah tertepis dengan sendirinya menyaksikan amanahnya pada lelaki itu terlaksana dengan gemilang.
Rasa empati di dalam hati Khadijah bertransformasi, lembut, lambat dan menumbuh pelan, pasti. Rasa empati itu semakin lama berbunga cinta. Ia merasakan perasaan manusiawi terhadap lelaki mulia yang menjadi pekerjanya itu. Dan seperti bentuk cinta jiwa lainnya, cinta yang dirasakannya menginginkan balasan dan penghalalan di singgasana pernikahan. Namun, ia masih merasakan keraguan di dalam dirinya untuk membersamai sang lelaki mulia itu. Sebelumnya, ia telah menikah dengan Atiq bin Aid bin Abdullah Al Makhzumi dan Abu Halah Hindun bin Zarrah At Tamimi. Bahkan ia telah memiliki putri yang sudah berada di usia nikah dan seorang putra lagi. Saat itu Khadijah berusia sekitar empat puluh tahun. Selisih usianya dengan Muhammad sekitar lima belas tahun.
Dalam kebimbangan itu, datanglah kawan karibnya yang bernama Nafisah binti Munayyah. Ia adalah kawan Khadijah dimana ia banyak mendengarkan keinginan-keinginan hati Khadijah. Dan kali ini termasuk tentang rasa cintanya terhadap Muhammad dan hasrat hatinya untuk menjadi istri dari lelaki yang dicintainya itu. Nafisah pun mengerti. Ia menawarkan bantuannya untuk menjadi utusan rindu antara Khadijah dan Muhammad.
Segera ditemuinya Muhammad. Ditanyalah lelaki mulia ini alasan-alasan mengapa ia belum juga menikah. Ia juga menjelaskan kepada Muhammad tentang keutamaan-keutamaan bagi orang yang menikah yang didampingi seorang istri yang setia. Muhammad muda termangu membayangkan idealisme yang dijabarkan nafisah dan realita yang dihadapinya di masa lalu dan kini.
“Aku tidak tahu dengan apa aku dapat beristri…?” jawab Muhammad dengan pertanyaan retoris.
“Jika ada seorang perempuan cantik, hartawan, dan bangsawan yang menginginkan dirimu, apakah engkau bersedia menerimanya?” tanya Nafisah balik.
Syaikh Shafiyurahman Al Mubarakfuri dalam Rahiq Al Makhtum menyebutkan bahwa Nafisah binti Munayyah bergegas menemui Muhammad muda dan membeberkan rahasia Khadijah tersebut dan menganjurkannya untuk menikahi Khadijah. Muhammad pun menyetujuinya dan merundingkan hal itu dengan paman-pamannya. Kemudian mereka mendatangi paman Khadijah untuk melamarnya bagi Muhammad. Pernikahan pun segera berlangsung dengan dihadiri oleh Bani Hasyim dan para pemimpin suku Mudhar. Muhammad menyerahkan mahar sebanyak dua puluh ekor unta muda.
“Muhammad,” kata Abu Thalib, sang paman, dalam Romantika Rumah Tangga Nabi, “Adalah seorang pemuda yang mempunyai beberapa kelebihan dan tidak ada bandingannya di kalangan kaum Quraisy. Ia melebihi semua pemuda dalam hal kehormatan, kemuliaan, keutamaan, dan kecerdasan. Walaupun ia bukan termasuk orang kaya, tapi kekayaan itu dapat lenyap. Sebab setiap titipan atau pinjaman pasti akan diminta kembali. Sesungguhnya Muhammad mempunyai keinginan khusus terhadap Khadijah binti Khuwailid, begitu pula sebaliknya…”
Tentu saja kisah cinta Khadijah – Muhammad adalah kisah yang sarat dengan hikmah dan berlimpah berkah. Dua orang mulia bertemu dalam singgasana pernikahan yang sama. Bergemuruh oleh kerja-kerja cinta di antara keduanya. Saling melengkapi di antara keduanya. Dan kematangan serta sikap keibuan Khadijah adalah energi gerak dan penenang jiwa tatkala sang suami memikul amanah langit dan menyampaikan dua kalimat keadilan. Penyiksaan psikis pun bisa dikikis oleh rasa kasih dan sayang Khadijah pada Muhammad, Rasulullah.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Khadijah hanya berdiam diri menunggu takdir cintanya kepada Muhammad. Bisa jadi Rasulullah tetap akan meminang Khadijah. Namun, bisa jadi hal lain yang terjadi, yakni tidak terjadi apa-apa di antara keduanya. Dan tentu ceritanya akan lain jika Khadijah tidak menikah dengan Muhammad. Namun, sejarah cukup membuktikan bahwa takdir telah diciptakan oleh Khadijah dengan mengutarakan rasa cintanya melalui kawan karibnya, dan takdir ciptaannya itu pun berjodoh dengan takdir ilahi. Khadijah memang perempuan mulia, dan kemuliaannya itu tidak mengurangi kekuatan dirinya untuk memperjuangkan rasa cintanya. Dan cinta Khadijah – Muhammad pun mengabdi di langit jiwa sejarah manusia. Semua bermula tatkala perempuan mulia itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Kita seringkali tidak memahami bahwa kehidupan berjalan dalam siklus pilihan, keputusan, dan konsekuensi. Kisah-kisah hidup perempuan-perempuan ini memang berakhir bahagia dalam perjuangan cintanya untuk membersamai lelaki yang dicintainya. Namun, ada juga kisah yang tidak gemilang, bahkan berkesan coretan buram menghitam dalam sejarah perjuangan cinta, jika boleh kita sebut cinta. Mari kita simak kisahnya sebagaimana dituturkan Salim A Fillah dalam Jalan Cinta dengan menukil dari Raudhatul Muhibbin dan Taujih Ruhiyah.
Ini kisah tentang seorang gadis yang sebegitu cantiknya. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman surga.
Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya, dan belum tergambar wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaqnya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri. Bahwa ketaqwaannya telah berulang kali teruji. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu.
Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak, terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti apakah cintanya bersambut sama.
Maka ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu. Dan ia mendapat jawaban. ”Ya”, katanya.
Akhirnya mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya; kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikannya bicara, karena demikianlah kebiasaan yang ada pada keluarganya.
”Maha Suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, ”Yang telah menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan.”
Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. ”Andai saja kau lihat aku”, katanya, ”Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.”
”Betapa inginnya aku”, kata si gadis, ”Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.”
Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. ”Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan.”
Si gadis ikut tertunduk. ”Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan, ”Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan.”
”Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. ”Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”
Ah, perjuangan cinta si perempuan itu tampak nyata tidak indah. Memang benar ia orang yang romantis dan memiliki daya khayal yang tinggi serta kemampuan merangkai kata yang indah. Namun, semuanya berbau aroma syaitan dan nafsu. Kesucian cinta yang seharusnya ada di dalam hatinya dan mengejawantah di dalam laku juangnya ternyata tergerus oleh badai hawa nafsu. Selain persoalan ikhtilath yang terjadi di antara mereka, si perempuan itu tidak menunjukkan juang cintanya dalam bentuk yang halal. Semuanya di luar bingkai pernikahan. Begitu hitam dan memalukan yang mendengar kisahnya. Semua bermula tatkala si perempuan mulia itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
“Di kota Kufah,” tulis Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Mubibbin, “Ada seorang pemuda yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah, dan berijtihad. Suatu hari dia singgap di suatu kaum dari An Nakha’. Di sana pandangannya terpapas dengan seorang gadis yang cantik jelita dari kaum itu, sehingga dia langsung jatuh cinta kepadanya. Dia pun berpikir untuk menikahinya. Dia singgah di tempat yang lebih dekat dengan rumah gadis itu, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan pinangan kepada ayah sang gadis. Namun, dia dikabari ayahnya, bahwa gadis itu sudah dipinang oleh anak pamannya sendiri.”
Lelaki shalih dan perempuan itu ternyata telah saling mencinta. Dan status si perempuan yang telah dipinang membuat mereka tidak bisa bersatu. Gelora cinta dan asmara begitu menggebu di antara keduanya. Tatkala si perempuan sudah demikian merasa berat, maka ia mengirim utusan kepada lelaki itu.
“Aku sudah mendengar tentang besarnya cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika kamu mau, aku bisa menemuimu. Atau jika kamu mau, maka aku bisa mengatur cara agar kamu bisa masuk ke dalam rumahku,” kata utusan itu menirukan pesan si perempuan.
Lagi-lagi, pernyataan cinta dan perjuangan untuk dapat membersamai ini kembali dicoret dengan warna buram menghitam. Keindahan cintanya di antara sepasang manusia itu ternodai oleh niat yang tidak lempang. Terpesong dari jalan cinta rabbani. Namun, ada yang indah dari kisah ini. Tatkala mendengar tawaran dari si perempuan yang sedang mabuk kepayang oleh cinta itu, sang pemuda malah menjawab, “Tidak adakah pilihan di antara dua hal yang dicintai ini? Sesungguhnya aku takut azab hari yang besar jika aku mendurhakai Tuhanku. Sesungguhnya aku takut api neraka yang baranya tidak pernah padam dan tidak surut jilatannya.”
Mendengar jawaban dari lelaki yang dicintainya itu, si perempuan meluncur di titik balik. Ia tersadar atas khilafnya dalam perjuangan cinta yang ia lakukan. Ia sadar dan bertobat. Ia mengabdikan dirinya pada Allah dan hanya beribadah semata. Memisahkan diri dari keluarganya. Namun begitu, ia tetap tidak mampu memadamkan rasa cintanya dan kerinduannya kepada sang pemuda hingga meninggal dalam keadaan seperti itu. Mereka memang akhirnya tidak pernah saling membersamai dalam singgasana pernikahan, tapi masih terasa indah akhirnya. Kesucian diri dari maksiat atas nama cinta. Kisah serupa juga dialami oleh Abdurahman bin Abu Ammar yang dicintai oleh seorang perempuan Mekah yang menyatakan cintanya dan mengajaknya berbuat mesum. Namun, cintanya pada Allah menuntunnya tetap menjaga kesucian diri. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Memperjuangkan cinta bagi seorang perempuan adalah keputusan yang sulit. Di sana dibutuhkan keberanian yang berlipat-lipat dibandingkan dengan perjuangan cinta seorang lelaki. Ada adat, tradisi, dan karakter jiwa yang harus dilawan untuk mampu mengambil keputusan besar itu: memperjuangkan cinta. Rasa malu yang dimiliki perempuan dalam urusan cinta sangatlah mendalam. Oleh karena itu, Rasulullah menjelaskan bahwa kemauan seorang perempuan akan pinangan seorang lelaki adalah dengan diamnya, dalam arti tidak menolak, tanpa perlu mengiyakan dengan rangkaian kata-kata. Namun, kekuatan cinta memang dahsyat dan menggerakkan.
Dalam Shahih-nya, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika berada dalam sebuah majelis Rasulullah, seorang perempuan berdiri dan berkata kepadanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau mau kepadaku?” Dalam kesempatan lain, perempuan yang lain datang pada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah saya datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.”
Hadits tentang perempuan yang pertama diriwayatkan oleh Tsabit Al Bunani dalam Bab Seorang Perempuan Menawarkan Dirinya Kepada Lelaki Shalih. Sedangkan hadits tentang perempuan kedua diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad. Meskipun kedua bentuk penghibahan diri perempuan ini adalah hal yang khusus bagi Rasulullah sebagaimana dicantumkan dalam Surat Al Ahzab ayat 50, tapi menawarkan diri untuk dinikahi lelaki shalih adalah hukum umum yang berlaku untuk semua lelaki shalih.
“Di antara kehebatan Bukhari di sini,” kata Ibnu Al Munir, sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, “Adalah dia tahu bahwa kisah perempuan yang menyerahkan dirinya ini bersifat khusus. Maka, dia beristinbath (menyimpulkan hukum) dari hadits ini untuk kasus yang tidak bersifat khusus, yaitu diperbolehkannya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada lelaki yang shalih karena menginginkan keshalihannya. Hal itu boleh dilakukan.”
“Hadits tadi memuat dalil bolehnya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada laki-laki shalih. Perempuan itu juga boleh memberitahukan bahwa ia mencintai laki-laki tersebut karena keshalihannya, keutamaan yang dimilikinya, keilmuannya, dan kemuliannya. Sungguh ini bukan suatu perangai jelek. Bahkan, ini menunjukkan keutamaan yang dimiliki perempuan itu,” kata Imam Al ‘Aini.
Masih dari Fathul Bari, dalam Kitab Tafsir, diterangkan bahwa perempuan yang menawarkan diri itu adalah Khaulah binti Hakim, dan ada yang mengatakan Ummu Syarik atau Fathimah binti Syuraih. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa perempuan itu adalah Laila binti Hathim, Zainab binti Khuzaimah, dan Maimunah bintul Harits.
“Dari hadits tentang seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah ini,” kata Ibnu Hajar, “Dapat disimpulkan bahwa barangsiapa dari kaum perempuan yang ingin menikah dengan orang yang lebih tinggi darinya, tidak ada yang harus dirasakan malu sama sekali. Apalagi kalau niatnya baik dan tujuannya benar. Katakanlah, umpamanya karena lelaki yang ingin dia tawarkan itu mempunyai kelebihan dalam soal agama, atau karena rasa cinta yang apabila didiamkan saja dikhawatirkan dapat membuatnya terjerumus pada hal-hal yang dilarang.”
Bagi kebanyakan kita, mungkin juga termasuk saya dan Anda, jika mendengar seorang perempuan yang menawarkan diri untuk dinikahi oleh seorang lelaki shalih, mungkin kita akan berkata seperti yang dikatakan oleh putri Anas yang kala itu menyaksikan sebentuk perjuangan cinta itu, “Alangkah sedikit rasa malunya. Sungguh memalukan! Sungguh memalukan!”
Namun, saya lebih suka perkataan yang disampaikan oleh sang ayah, Anas, kepada putrinya itu, “Dia lebih baik daripada kamu. Dia mencintai Rasulullah, lalu dia menawarkan dirinya untuk beliau.”
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2010/juang-cinta-para-wanita/
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya
Listnya dapat dari milis LDK Al-Azzam, semoga posting ini bermanfaat bagi kita semua….
1.dr. Puji Ichtiarti RS Hermina Bekasi Barat dan RS Hermina Jatinegara
2.dr. Yenny Julizir Rs.Anna Bekasi (Suaminya dr. Anak dan sebagai pemilik RS. ANNA)
3.dr. Susi RS Rawamangun
4.dr. Lidya Liliana RS. Mitra Bekasi Barat
5.dr. Lina Meilina Pujiastuti SpOG RS Mitra Keluarga Bekasi Barat
6.dr. Jenny Anggraeni RSIA Hermina Bekasi
7.dr. Nina Martini Somad RSIA Hermina Bekasi
8.Hj. Lina Meilina Spog RS Mitra keluarga Bekasi Barat
9.dr. Sri Redjeki – RS Hermina, Klinik Bella, Klinik Alifia Perumnas III Bulak Kapal Bekasi
10.dr. Koesmaryati – Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi Timur (Muslimah)
11.dr. Ariati RS. siloam cikarang
12.dr Santi (Marlisanti kalau gak salah) RS JMC Buncit Raya
13.dr Husna RS OMC Pulomas
14.dr Ramayanti RSIA Putra Dalima , BSD Serpong
15.dr Hasna, dr.. (bisa dicek di website harapan kita) RS harapan kita
16.dr. Lita Lilik RS Mitra International jatinegara
17.dr Dwiyana Ocviayanti (Ocvi) RS Permata Cibubur
18.dr. Sri Lestari Praktek di RS International Bintaro dan RS Fatmawati.
19.dr. Rudiyanti RS International Bintaro. Praktek setiap hari 10:00-13:00 di RSIB.
20.dr. Wenny Ningsih RS.Honoris Tangerang (Perumahan Taman modern Tangerang), dkt Metropolis Town Square )
21.dr. Lucky Syafitri RSIA Eva Sari di Jl Rawa Mangun (Pramuka) Jak Pus dan RS Thamrin JakPus
22.dr. Suharyanti, Spog Praktek di RS. MMC dan RS Hermina Jatinegara
23.dr. Mutia Prayanti RS Hermina Depok
24.dr. Nelwati RS Hermina Depok
25.dr. Tazkiroh RS ISLAM JAKARTA, Jl. Cempaka putih Tengah I/1 Jakarta Pusat,
Telp.(021) 4250451 – 42801567 (hunting) Fax. (021) 4206681
26.dr. Suharni Kahar, SpOG
27.dr. Isnariani, SpOG
28.dr. Hasnah Siregar RSIA Hermina Jatinegara
29.dr. Roslina Spog RSIA Trimitra Cibinong Jalan Raya Bogor, 1km selatan dari Matahari Cibinong
30.dr. SUSAN MELINDA RSB.Limijati Bandung Jl RE Martadinata atau di Melinda Hospital, Bandung Jl Pajajaran
31.dr. Sofie Kimia Farma Jl Juanda Bandung
32.dr. Dewi S Gaduh Hermina
33.dr. Laila Nurana SPOG Medistra dan Bunda
34.dr. Nana Agustina RS Bersalin Siaga Dua, Pejaten Barat
35.dr. Zanibar Aldy RS Malahayati Medan
36.dr. Ida Farida, SpOG RS Kramat 128 Jakpus dan RS Satyanegara, Sunter
37.dr. Botefilia di RSIA Tambak, Manggarai JakPus.
sumber : http://anissa-alwafaa.blogspot.com/2010_07_01_archive.html
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya
"Yakinlah, wanita-wanita salehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga parasnya cantik luar biasa."
~Epilog "Bidadari-Bidadari Surga", Tere Liye~
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya
(Kiriman dari Ustadz Abdul Hakim Solo)
1.
Lelaki gemar diberi perhatian akan hal-hal yang remeh yang berkaitan
dengan dirinya. Dia akan senang bila istrinya mengenakan kancing
bajunya, mengelap sepatunya, memotong kukunya, dan sebagaiya. Sabda
Rasulullah SAW, "Ya Fathimah, barangsiapa wanita meminyakkan rambut dan
janggut suaminya serta memotong kumisnya dan mengerat kukunya, maka
Allah akan memberikan minuman air dari sungai-sungai di surga,
diringankan baginya sakaratul maut, kuburnya akan didapati menjadi taman
surga, Allah akan mencatatkannya bebas dari api neraka, dan selamat
titian shirat."
2. Pernahkah Anda
dipanggil suami ketika Anda memasak? Anda wajib memenuhi panggilannya.
Jika perlu, segera matikan api dan tunaikan permintaannya.
3.
Kebanyakan lelaki cukup cerewet dengan kebersihan. Mereka akan bosan
apabila isterinya menyambutnya dengan rupa yang semrawut, kusut, dan
anak-anak yang lusuh dan kumal "bak kapal pecah dan berantakan".
4.
Lelaki suka dilayani seperti raja oleh isterinya yang memiliki sifat
keibuan. Dia suka isterinya mengelap peluhnya, menyediakan keperluan
untuk mandi, dan berdiri ketika ia hendak pergi dan kembali.
5. Lelaki suka dipuji. Jangan lupa hargai setiap barang pemberiannya meskipun tidak bagus atau tidak seberapa nilainya.
6. Lelaki akan bosan jika isterinya melulu menagih janji. Mau makan apa, hendak kemana, dan lain-lain.
7.
Ada sebagaian lelaki mengatakan, "Isteri yang menghidangkan makanan
tanpa menemaninya makan adalah memberi makan kucing." Anda mesti
menemaninya meskipun satu suapan. Thabit Al-Banani berkata, "Terdapat
seorang wanita dari Bani Israil yang buta sebelah matanya dan sangat
baik pekertinya terhadap suaminya. Apabila dia menghidangkan makanan di
hadapan suaminya, dipegangnya pelita sampai suaminya selesai makan. Pada
suatu malam pelitanya kehabisan sumbu. Lalu diambil rambutnya untuk
dijadikan sumbu. Esok harinya matanya kemballi melihat. Allah
memuliakannya karena rasa hormatnya pada suami."
8. Lelaki senang
dengan kefasihan isterinya dalam berkata, bijak dalam bertindak, dan
menjadi partner dalam diskusi. Dia akan muak terhadap wanita yang banyak
omong tetapi tak bermakna.
9. Kebanyakan lelaki beranggapan
"Baiti Jannati". Rumahku adalah surgaku dan penenang pikiranku. Jadi
wajar jika Anda memelihara suasana rumah dan berperan sebagai bidadari
rumah.
10. Kalau Anda menginginkan agar suami berlama-lama di rumah, maka jangan menyambutnya dengan masalah anak dan dapur.
11.
Suami (mayoritas) suka kepada istri yang kreatif dalam soal memasak,
menghias rumah, dan mengurus dirinya dalam melayani suami.
12.
Tempat tidur adalah rahasia suami isteri. Jadikan dia kamar yang
eksklusif dan pribadi. Suami tidak suka ruang tidurnya dimasuki orang
tanpa izinnya.
13. Pantang bagi suami kalau sedang tidur diganggu. Hal ini akan membuatnya marah. Jauhkan anak-anak darinya ketika dia tidur.
14.
Pantang bagi suami kalau isteri menolak hajatnya kecuali jika isterinya
sedang sakit. "Apabila suami memanggilnya ke tempat tidur tetapi
ditolaknya hingga suaminya marah, maka wanita itu tidur dalam laknat
malaikat hingga pagi hari." (HR. Muttafaqun 'Alaihi).
15. Hanya
ketaqwaan Anda yang dapat menguasai ego suami dan membantunya membentuk
pribadi muslim yang tangguh serta menjadi suami ideal. Lelaki tidak
mudah dengan ucapan cinta, tetapi cukup dengan keluhuran Anda dalam
berkorban untuk taat dan menyayangi dirirnya, karena lelaki hanya keras
pikirannya tetapi sensitif perasaannya.
Wallaahu a'lam.
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya
(Kiriman dari Ustadz Abdul Hakim Solo)
Jika
ada seorang istri yang sholehah yang selalu memperhatikan, melayani
suami dengan segala kebaikan. Ia juga selalu menuruti segala perintah
dan memenuhi keinginan sang suami dengan kepatuhan yang sempurna.
Menjaga ibadahnya dan selalu mengingatkan suami untuk berlomba
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ia menjadi istri yang manis
dan selalu hangat disamping suaminya, serta menjadi teman perjalanan
yang menyenangkan. Tidak banyak menuntut dan menerima dengan rasa syukur
apapun dan seberapapun rezeki yang didapat suami.
Bukankah
tidak ada alasan lagi bagi sang suami untuk tidak membalasnya dengan
menjadi suami yang sholeh, penuh perhatian dan kasih sayang. Demikian
beberapa kiat untuk menjadi suami yang sukses:
1. Berdandanlah
untuk istri anda, selalu bersih dan wangi.Sesering apakah kita tampil
didepan istri dengan pakaian ala kadarnya? Sama halnya dengan suami yang
menginginkan istrinya kelihatan manis untuknya, setiap istri juga
menginginkan suaminya berdandan untuknya.Sebagai contoh, ingat, bahwa
Rasulullah saw selalu menggosok giginya terlebih dulu sebelum menemui
istrinya setelah bepergian. Beliau juga selalu menyukai senyum yang
paling manis.
2. Panggillah istri anda dengan nama yang
cantik.Rasulullah saw mempunyai nama panggilan untuk istri-istrinya yang
sangat mereka sukai. Panggillah istri anda dengan nama yang paling
indah baginya dan hindari menggunakan nama-nama yang menyakitkan
perasaan mereka.
3. Jangan memperlakukan seorang istri seperti
lalat.Kita tidak pernah menghiraukan seekor lalat di dalam kehidupan
kita sehari-hari, tahu-tahu dia menjadi penyakit buat kita. Sama halnya
seorang istri yang berbuat baik sepanjang hari, jika tidak pernah
mendapat perhatian dari suaminya, maka dia juga akan memperlakukan
suaminya bagai sebuah penyakit. Jangan sekali-kali perlakukan dia
seperti ini; kenali semua kebaikan yang dia lakukan dan pusatkan
perhatian padanya.
4. Jika anda melihat kesalahan dari istri
anda, cobalah untuk diam dan tidak berkomentar apa pun!Ini adalah cara
Rasulullah saw yang biasa dilakukan saat beliau melihat sesuatu yang
tidak pantas dilakukan istri-istrinya (radhiyallahu ‘anhuma). Ini adalah
teknik bagi seorang Muslim sebagai kepala rumah tangga.
5.
Tersenyum untuk istri anda kapan saja anda melihatnya dan memeluknya
sesering mungkin.Senyuman adalah shadaqah dan istri anda termasuk ummat
muslim juga. Bayangkan hidup dengannya dengan senyum yang selalu
tersungging. Ingatlah, sunnah juga menerangkan bahwa Rasulullah saw
selalu mencium istrinya sebelum pergi sholat ke masjid, bahkan saat
beliau sedang berpuasa.
6. Berterima-kasihlah untuk semua yang
dia lakukan untuk anda.Sekecil apapun yang istri anda lakukan buat anda,
jangan sekali-kali menganggapnya sebagai hal sepele. Berterima
kasihlah, karena ucapan terima kasih anda sungguh berarti bagi istri
anda dan akan terukir indah dihatinya.Ambil contoh, ucapkan terima kasih
untuk ketika usai makan malam yang dia sediakan. Juga untuk kebersihan
rumah dan selusin pekerjaan yang lainnya.
7. Mintalah padanya
untuk menulis sepuluh perbuatan terakhir yang telah anda lakukan
untuknya yang membuat dia senang. Kemudian pergi dan lakukan itu
kembali.Mungkin agak sulit untuk mengenali apa yang membuat istri anda
senang. Anda tidak perlu untuk bermain tebak-tebakkan, tanyakan padanya
dan kerjakan secara berulang-ulang selama hidup anda.
8. Jangan
mengecilkan keinginannya. Hiburlan dia.Kadang-kadang seorang suami perlu
mengabulkan permintaan istrinya. Rasulullah saw memberikan contoh buat
kita dalam sebuah kejadian ketika Safiyyah radhiyallahu ‘anha menangis
karena dia (Safiyyah) berkata bahwa beliau (Rasulullah) memberikan
sebuah unta yang lamban. Rasulullah pun menyapu air matanya,
menghiburnya, dan membawakannya sebuah unta yang lain.
9. Penuh
humor dan bermain-mainlah dengan istri anda.Lihatlah betapa Rasulullah
saw pernah bertanding lari dengan istrinya Aisyah radhiyallahu ‘anha di
sebuah padang, dan membiarkan Aisyah memenangkannya. Kapan saat terakhir
kita melakukan hal seperti itu?
10. Ingatlah selalu sabda
Rasulullah SAW: “Yang terbaik di antara kalian adalah yang memperlakukan
keluarganya dengan baik. Dan aku adalah yang terbaik memperlakukan
keluargaku.”
Cobalah jadi yang terbaik. Sebagai kata akhir:
Jangan pernah lupa berdo'a kepada Allah Azza wa Jalla, agar membuat
pernikahan anda bahagia
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya
Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Mujahidku, selamat pagi! Apa kabarmu di sana?
Semoga jutaan nikmat yang kau terima pagi ini, kau balas dengan syukurmu yang tak terkira. Begitupun aku yang ada di sini.
Semoga Allah senantiasa memberikan barokah-Nya dalam setiap keadaan kita ya!
Mujahidku...
Di tengah pagi yang masih sepi ini,aku hanya ingin berbagi rasa.
Rasa? Ya, rasa rindu. Aku tengah merindukan takdir kita.
Aku tengah merindukan sebuah pertemuan denganmu.
Entah kapan, hanya Dia yang Maha Tahu.
Aku hanya berharap, semoga Allah senantiasa menjagamu, menjaga kita.
Melindungi kita agar tetap berada di jalan-Nya dalam menjemput ridho-Nya
Aku selalu yakin akan skenario-Nya
Bahwa Dia akan memberiku yang terbaik, salah satunya dirimu!
Mujahidku...
Aku berdoa semoga Allah senantiasa meneguhkanmu dalam keistiqomahan
Menyelamatkanmu dari fitnah dunia
Memudahkan setiap aktivitas dakwahmu
Meskipun aku tak tahu engkau sekarang berada di mana
Sungguh, aku hanya meminta Allah meridhoi apa yang kita lakukan..
Mujahidku..
Sungguh aku tak ingin berspekulasi tentangmu!
Aku memang punya kriteria
Sholeh, bertanggung jawab, dan visioner
Satu lagi... penulis!
Hmm, moga tidak terlalu berlebihan
Toh, itu bukan kriteria mutlak!
Aku memang menginginkanmu seperti itu
Tapi, Allah Maha Tahu yang aku butuhkan
Mujahidku...
Tepat sebelum membuat tulisan ini
Aku pernah membuat surat untuk calon anak kita
Mmm, dibaca saja ya!
Surat itu sedikit memberi gambaran tentang impianku kelak
Bersamamu!
Bersama anak-anak kita!
Mujahidku...
Entah kau di mana
Jujur ingin aku katakan
Aku mencintaimu sebelum mata ini memandang
Aku mengagumimu sebelum telinga ini mendengar
Sebelum hal-hal fisik lainnya merusak ketulusanku atas siapapun kau!
Aku ingin menjaga cinta ini dengan begitu sederhana!
Mujahidku...
Dalam sujud-sujud panjangku, aku meminta kepada Pemilik kita
Aku kucurkan doa agar aku layak menjadi pendampingmu
Siapapun kau, dimanapun kau berada...
Mujahidku...
Sungguh aku hanya ingin menjaga diriku
Aku ingin terus memperbaiki diri ini
Membangun komunikasi yang baik dengan orang tuaku
Agar restu mereka juga terlimpah pada kita
Hingga suatu saat nanti...
Jika Allah berkehendak mempertemukan kita
Aku telah siap mendampingimu
Kita akan berjuang bersama menapaki jalan-Nya
Mujahidku..
Engkau adalah pangeran kunci surgaku
Jika Allah berkenan menjadikanku pendampingmu
Bimbinglah aku untuk terus mendekat pada-Nya
Karena kau adalah imamku
Mujahidku...
Biarkan saat ini kesabaran yang menjadi temanku
Mengisi hari-hari ini sebelum akhirnya kita bertemu
Semoga Allah meridhoi penantian kita
Selamat berjuang, mujahidku!
Doaku selalu menyertaimu...
Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 6 Oktober 2010_05:48
Untuk seseorang yang telah dijanjikan-Nya untukku...
Aisya Avicenna
Backsound : Dans – Penantian ^^v
Penantian adalah suatu ujian
Tetapkanlah ku selalu dalam harapan
Karena keimanan tak hanya diucapkan
Adalah ketabahan menghadapi cobaan….
Sabarkanlahku menanti pasangan hati
Tulus kan kusambut sepenuh jiwa ini
Di dalam asa diri menjemput berkah-Mu
Tibalah izin-Mu atas harapan ini….
Rabbi teguhkanlah ku di penantian ini
Berikanlah cahaya terang-Mu selalu
Rabbi doa dan upaya hamba-Mu ini
Hanyalah bersandar semata kepada-Mu
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya
Di suatu sore, seorang anak datang kepada Ayahnya yang sedang membaca koran.
“Ayah, ayah” kata sang anak
“Ada apa?” tanya sang Ayah
“Aku
capek, sangat capek. Aku capek karena aku belajar mati-matian untuk
mendapat nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan
mencontek, aku mau mencontek saja! Aku capek, sangat capek. Aku capek
karena harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya
pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja! Aku capek, sangat capek.
Aku capek karena harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa
harus menabung, aku ingin jajan terus!
Aku
capek karena harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku
enak saja berbicara sampai aku sakit hati. Aku capek karena harus
menjaga sikapku untuk menghormati teman-temanku, sedangkan teman-temanku
seenaknya saja bersikap kepada ku. Aku capek Ayah, aku capek menahan
diri. Aku ingin seperti mereka. Mereka terlihat senang, aku ingin
bersikap seperti mereka Ayah!” sang anak mulai menangis.
Kemudian
sang Ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata
”Anakku ayo ikut Ayah, Ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu”, lalu
sang ayah menarik tangan sang anak. Kemudian mereka menyusuri sebuah
jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang.
Lalu sang anak pun mulai mengeluh ” Ayah mau kemana kita?? Aku tidak
suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk
duri. Badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah karena ada
banyak ilalang… aku benci jalan ini Ayah” sang Ayah hanya diam.
Sampai
akhirnya mereka sampai pada sebuah tempat yang sangat indah, airnya
sangat segar, ada banyak kupu-kupu, bunga-bunga yang cantik, dan
pepohonan yang rindang.
“Wwaaaah… tempat apa ini Ayah? aku suka! aku
suka tempat ini!” sang Ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon
yang rindang beralaskan rerumputan hijau.
“Ayah, aku boleh berenang ya?”
“Iya.. airnya tidak dalam kok!”
Beberapa saat kemudian.
“Ayah, aku menemukan kerang berisi permata! Ini buat ibu ya yah!”
Sang ayah hanya tersenyum.
“Kemarilah
anakku, ayo duduk di samping Ayah” ujar sang Ayah, lalu sang anak pun
ikut duduk di samping ayahnya setelah mengeringkan bajunya.
”Anakku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? Padahal tempat ini begitu indah…”
”Tidak tahu Ayah, memangnya kenapa?”
”Itu
karena orang-orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal
mereka tahu ada tempat yang indah di sini, tetapi mereka tidak bisa
bersabar dalam menyusuri jalan itu”
“Ooh… berarti kita orang yang sabar ya Yah? Alhamdulillah”
“Nah, akhirnya kau mengerti”
”Mengerti apa? aku tidak mengerti”
”Anakku,
butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik,
butuh kesabaran dalam kejujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan
agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi. Bukankah kau
harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur
mengotori sepatumu, kau harus sabar melewati ilalang dan kau pun harus
sabar saat dikelilingi serangga, dan akhirnya semuanya terbayar kan? Ada
tempat yang sangat indah. Bahkan kau berhasil menemukan permata.
Seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? Kau tidak akan mendapat
apa apa anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku”
”Tapi Ayah, tidak mudah untuk bersabar ”
”Ayah
tahu, oleh karena itu ada Ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap
kuat. Begitu pula hidup, ada Ayah dan Ibu yang akan terus berada di
sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu. Tapi, ingatlah
anakku… Ayah dan Ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh,
suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri. Maka jangan pernah kau
gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri.. seorang
pemuda muslim yang kuat, yang tetap tabah dan istiqomah karena ia tahu
ada Allah di sampingnya. Maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan
menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang.
Maka kau tahu akhirnya kan?”
”Ya Ayah, aku tahu.. aku akan dapat
surga yang lebih indah dari tempat ini. Sekarang aku mengerti. Terima
kasih Ayah, aku akan tegar saat yang lain terlempar”
Sang Ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya.
***
Untukmu yang beriman
Allah telah berjanji padamu
Allah akan menolongmu
Allah akan meneguhkan kedudukanmu
Jika kau menolong agamanya...
Sekalipun dengan setetes peluh penuh keikhlasan...
Bahkan air mata atau darah sekalipun!
Dan selemah-lemahnya adalah rintihan hati yang terdzolimi...
Rintihan, bukan umpatan atau rasa kekesalan..
Tapi untaian harapan dan keyakinan, bahwa Allah tak pernah menyiakan..
Sekalipun menjadi yang terasing...
Ya, terasing! Karena di awal kemunculannya, dien Islam ini juga dalam keadaan asing
Dan kelak akan kembali asing sebagaimana awal mulanya
Berjuanglah!
Tiket Syurga itu tak murah!
Mendapatkannya juga tak mudah!
Semoga setiap letih yang dikumpulkan karena-Nya, mampu membayar jaminan Syurga-Nya...
Semoga setiap amalan kita terbalaskan dengan ridho-Nya...
Dan harapan terbesar adalah semoga Allah ridho menjadikan kita penghuni jannah-Nya..
Aamiin Ya Rahman.. Aamiin Ya Rahiim.. Aamiin ya Rabbal 'alamiin...
Karena setiap kita inginkan yang TEPAT dan TERBAIK!!!!
***
“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Q.S. Muhammad:7)
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan : Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka
tetap istioqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka
tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni Al Jannah,
mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka
kerjakan.” (Q.S. Al-Ahqaf: 13-14)
Jakarta, 23 September 2010_05:55
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan September 2010 di blog sebelumnya
Hmm,
judul di atas bermakna ganda ya? (Karena yang menulis ini kebetulan
bernama Etika, ^^v). Tapi yang dimaksud bukan Etika yang menulis ini.
Etika = Suluk = Akhlak… Yadahlah, mari disimak!
Selasa, 22 September 2010
Pagi
ini, sebelum berangkat ke kantor, aku menyempatkan diri untuk melihat
berita pagi ini. Aku terhenyak saat melihatsebuah berita! Dalam berita
itu diceritakan bahwa ada seorang anak yang tinggal di daerah Sumatera
Selatan, ia bernama Reno, baru berumur 2 tahun 3 bulan. Sekilas dari
penampilannya, ia seperti anak kebanyakan. Dalam berita tersebut, wajah
Reno ditutupi (disamarkan). Mengapa???
Saya
beri tahu, tapi jangan kaget! Ternyata Reno kecil adalah seorang perokok
berat! Dalam layar TV sekilas juga terlihat Reno sedang bermain sambil
merokok. Astaghfirullah... Dalam sehari, ia bisa menghabiskan 32 batang!
Bayangkan kawan!!!
Bagaimana sih orang tua Reno mendidik dan
mengasuhnya? Kok bisa sampai separah itu? Pasti ada sesuatu yang tidak
beres! Itulah pertanyaan yang terbersit dalam diri ini saat melihat
berita itu? Dan sepertinya, memang ada yang tidak beres! Ibu dan ayahnya
terkesan cuek! Bahkan hanya menjawab, sudah dibawa ke puskesmas tapi
belum ada perubahan. Uhf... Astaghfirullah!!!
Berita itu pun berlalu.
Diri ini juga harus segera beranjak pergi ke kantor. Seperti biasa,
harus ada buku yang menjadi teman perjalanan. Akhirnya memutuskan untuk
membawa buku “Etika Menjadi Ibu”
yang sengaja dipilih di antara tumpukan buku yang belum sempat disampul
dan diinventaris. Buku saku ini merupakan buku terjemahan dengan judul
aslinya adalah “Sulukul Ukhtii Muslimah Kaummin”.
Buku setebal 43 halaman ini ditulis olehShafa’ Jalal dan diterjemahkan
oleh Nurul Mukhlisin Asyrafuddin, Lc, M.Ag. Buku bersampul pink dengan
gambar bayangan seorang ibu yang menggandeng anak kecilnya ini
diterbitkan oleh Laa Raiba Bima Amanta (elBa), Surabaya.
Buku ini
menerangkan bahwa tanggung jawab seorang muslimah sebagai seorang ibu
terhadap anak dimulai sejak belum menikah hingga anak menjadi dewasa.
Tanggung jawab terhadap anak dimulai dengan memilihkan ayah yang shalih.
Setelah seorang muslimah memilih suami yang sholeh, maka akan
dihadapkan pada beberapa fase selanjutnya.
1. Fase kehamilan, pada
fase ini mulailah ada tambahan tanggung jawab seorang muslimah terutama
untuk menjaga kesehatan janin dalam rahimnya.
2. Fase melahirkan,
pada fase ini kekuatan seorang muslimah akan sangat diuji. Tak hanya
secara fisik, tapi juga mental. Berjuang melawan maut demi kelahiran
sang buah hati. Berusahalah untuk meminta bantuan dokter atau bidan
beranak yang bukan laki-laki. Cari yang wanita saja!
3. Fase setelah
melahirkan, pada fase ini Allah dan Rasul-Nya telah memberikan beberapa
petunjuk sebagai kewajiban awal bagi orang tua, di antaranya :
a. Adzan dan iqamah di telinga sang bayi
b. Tahnik (mengolesi langit mulut bayi) dengan kurma
c.
Memberikan nama yang baik. Bila terjadi perbedaan antara ayah dan ibu
dalam masalah nama, maka memilih nama termasuk tugas suami (ayah sang
bayi)
d. Mencukur rambut kepalanya dan bersedekah dengan perak seukuran berat rambutnya
e. Khitan dan melubangi daun telinga (bagi wanita)
f. Mengaqiqahkannya
g. Menyusuinya dalam waktu dua tahun
4.
Fase anak pertengahan, maksudnya saat buah hati kita memasuki masa
kanak-kanak. Pada masa ini orang tua sangat berperan mendampingi anak
dengan serius memberikan pendidikan bernilai syari’at kepada mereka.
Caranya dengan mengajarkan kalimat “La Ilaaha Ilallah”, memberitahukan
kepadanya tentang perkara halal dan haram, menyuruh anak untuk
beribadah, mendidik mereka dengan adab Islami, mengajarkan mereka
bermuamalah, membiasakan infaq, mengajari dzikir
5. Fase remaja, pada
fase ini peran orang tua juga sangatlah penting karena pada fase ini
kondisi fisik dan emosional anak memang tengah labil. Maka dari itu,
jadilah teman bagi mereka. Jangan suka mendikte, tapi dengarkanlah
mereka.
6. Fase dewasa, pada fase ini peran seorang ibu adalah turut
memilihkan pendamping yang baik agamanya buat anak. Pendampingg yang
sholeh/sholehah, multazimah (taat) dan beriman untuk menyempurnakan
kehidupannya.
Nasihat-nasihat untuk muslimah :
1. Hiasi diri dengan kejujuran dalam perkataan, karena perkataan kita adalah teladan yang akan diikuti oleh anak-anak kita
2. Jadilah muslimah yang amanah, ikhlas, dan taat kepada Allah selalu
3. Jagalah jangan sampai bertengkar dengan suami di hadapan anak-anak
4. Tidak menghukum anak dengan pukulan yang melukai
5. Tidak memberikan hinaan dan makian di hadapan orang lain
Hmm, mari menjadi calon orang tua yang terbaik buat anak-anak kita!
Jakarta, 22 September 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan September 2010 di blog sebelumnya
Ia mutiara terindah dunia
Bunga terharum sepanjang masa
Ada cahaya di wajahnya
Betapa indah pesonanya
Bidadari bermata jeli pun cemburu padanya
Kelak, ia menjadi bidadari surga
Terindah dari yang ada
Ia adalah wanita shalehah
***
Pagi
ini, sekitar pukul 05.00 aku teringat sebuah cerpen dari seorang
sahabat yang kemarin dikirimkan ke emailku. Dia memintaku untuk
mengkritik cerpen itu. Ada sebuah percakapan dalam cerpen itu yang
paling aku suka.
“Ehhmmm…. Sudah waktunya aku memberikan hadiah kepada ibu. Tapi siapa wanita itu?” ucapku dalam hati.
“Siapapun wanita itu yang penting dia cinta sama Allah dan Nabi-Nya, baik akhlaknya, ra neko-neko”.
Dari
percakapan di atas, terbersit sebuah harapan sederhana tapi sangat
mulia dari seorang ibu yang mendambakan seorang wanita shalehah yang
selayaknya menjadi pilihan terbaik bagi anaknya. Membicarakan tentang
wanita shalehah, seringkali dihubungkan dengan bidadari.
Apa yang
terbayangkan jika mendengar kata “bidadari”? Bidadari yang bermata jeli,
yang sangat indah dan jelita. Percakapan antara Rasulullah Saw dan Ummu
Salamah ra berikut akan memberikan gambaran tentang sifat-sifat
bidadari yang bermata jeli.
Imam Ath-Thabrany mengisahkan dalam
sebuah hadist, dari Ummu Salamah ra. dia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai
Rasulullah, jelaskanlah kepadaku firman Allah tentang bidadari-bidadari
yang bermata jeli’.”
Beliau menjawab, “Bidadari yang kulitnya putih, matanya jeli dan lebar, rambutnya berkilau seperti sayap burung nasar.”
Saya berkata lagi, “Jelaskan kepadaku tentang firman Allah, ‘Laksana mutiara yang tersimpan baik’.” (Q.S. Al-Waqi’ah : 23)
Beliau
menjawab, “Kebeningannya seperti kebeningan mutiara di kedalaman
lautan, tidak pernah tersentuh tangan manusia.”Saya berkata lagi, “Wahai
Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Di dalam surga-surga itu
ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik’.”
(Q.S.Ar-Rahman : 70)
Beliau menjawab, “Akhlaknya baik dan wajahnya cantik jelita”
Saya
berkata lagi, Jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Seakan-akan mereka
adalah telur (burung onta) yang tersimpan dengan baik’.” (Q.S.
Ash-Shaffat : 49)
Beliau menjawab, “Kelembutannya seperti kelembutan
kulit yang ada di bagian dalam telur dan terlindung kulit telur bagian
luar, atau yang biasa disebut putih telur.”
Saya berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, ‘Penuh cinta lagi sebaya umurnya’.” (Q.S. Al-Waqi’ah : 37)
Beliau
menjawab, “Mereka adalah wanita-wanita yang meninggal di dunia pada
usia lanjut, dalam keadaan rabun dan beruban. Itulah yang dijadikan
Allah tatkala mereka sudah tahu, lalu Dia menjadikan mereka sebagai
wanita-wanita gadis, penuh cinta, mengasihi dan umurnya sebaya.”
Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli?”
Beliau
menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari
yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada apa yang
tidak tampak.”
Saya bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?”
Beliau
menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah.
Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain
sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya
kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas.
Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan
tidak jahat sama sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama
sekali, kami ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali.
Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’.”
Saya
berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah
menikah dengan dua, tiga, atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia
masuk surga dan mereka pun masuk surga pula. Siapakah di antara
laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga?”
Beliau menjawab,
“Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu dia pun memilih
siapa di antara mereka yang akhlaknya paling bagus, lalu dia berkata,
‘Wahai Rabb-ku, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik akhlaknya
tatkala hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya’. Wahai
Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan,
dunia dan akhirat.
Sungguh indah perkataan Rasulullah Saw yang
menggambarkan tentang bidadari bermata jeli. Namun betapa lebih indah
lagi di kala beliau mengatakan bahwa wanita dunia yang taat kepada Allah
lebih utama dibandingkan seorang bidadari. Ya, bidadari saudariku.
Sungguh
betapa mulianya seorang muslimah yang totalitas islamnya. Mereka yang
senantiasa menjaga ibadah dan akhlaknya, senantiasa menjaga keimanan dan
ketaqwaannya kepada Allah. Sungguh, betapa indah gambaran Allah kepada
wanita shalehah, yang menjaga kehormatan diri dan suaminya. Yang tatkala
cobaan dan ujian menimpa, hanya kesabaran dan keikhlasan yang ia
tunjukkan. Di saat gemerlap dunia kian dahsyat menerpa, ia tetap teguh
mempertahankan keimanannya.
Sebaik-baik perhiasan ialah wanita
shalehah. Dan wanita shalehah adalah mereka yang menerapkan islam secara
menyeluruh di dalam dirinya, sehingga kelak ia menjadi penyejuk mata
bagi orang-orang di sekitarnya. Senantiasa merasakan kebaikan di manapun
ia berada. Bahkan seorang “Aidh Al-Qarni menggambarkan wanita sebagai
batu-batu indah seperti zamrud, berlian, intan, permata, dan sebagainya
di dalam bukunya yang berjudul “Menjadi wanita paling bahagia”.
Subhanallah.
Tak ada kemuliaan lain ketika Allah menyebutkan di dalam Al-Qur’an
surat An-Nisa ayat 34, bahwa wanita shalehah adalah yang tunduk kepada
Allah dan menaati suaminya, yang sangat menjaga di saat ia tak hadir
sebagaimana yang diajarkan oleh Allah.
Dan bidadari pun cemburu
kepada mereka karena keimanan dan kemuliaannya. Bagaimana caranya agar
menjadi wanita shalehah? Tentu saja dengan melakukan apa yang
diperintahkan Allah dan menjauhi segala laranganNya. Senantiasa
meningkatkan kualitas diri dan menularkannya kepada orang lain. Wanita
dunia yang shalehah kelak akan menjadi bidadari-bidadari surga yang
begitu indah.
Duhai saudariku muslimah, maukah engkau menjadi wanita
yang lebih utama dibanding bidadari? Allah meletakkan cahaya di atas
wajahmu dan memuliakanmu di surge. Menjadikanmu bidadari-bidadari surga.
Maka, mari terus belajar dan meningkatkan kualitas diri, agar Allah ridha!
Referensi : http://multazimah.blogsome.com (dengan beberapa perubahan)
***
Jakarta, 16 September 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan September 2010 di blog sebelumnya
Aku tahu, aku hanya seorang wanita yang tugasnya menunggu sang pangeran dalam penantian.
Kata mereka, kau yang berhak memilih dan kami, perempuan, hanya bisa menolak atau menerima lamaran.
Tapi,
bolehkah kali ini aku yang memilih? Memintamu untuk menjadi yang
terindah di hatiku? Kau tinggal bilang ya, atau tidak. mudah kan?
Ah,
mungkin benar, dunia sudah terbalik atau bisa juga ini hanya rasa
khawatirku takut kalau Allah tidak menyisakan satu mujahid-Nya untukku!
Hahaha…dasar aneh! Bukankah Allah sudah berfirman bahwa Dia menciptakan makhlukNya dengan berpasang-pasangan?
Tapi,
aku juga ingin tahu rasanya berbunga ketika lamaranku diterima atau
kecewa saat pinanganku ditolak mungkin dengan begitu, aku bisa berbagi
dengan kaumku bagaimana sih sakitnya ditolak? Agar para akhwat tak
gampang mengucap kata “tidak” dengan alasan yang sengaja dibuat-buat :
masih ingin melanjutkan studilah belum cukup umurlah belum siap
mentallah kurang cocoklah! dan entah apa lagi…
Tapi, bagaimana
cara meminangmu ya? Apa aku harus mengajukan proposal lebih dulu? Atau
langsung datang ke istanamu dan memohon agar kau sudi menerimaku menjadi
permaisurimu? itukah yang kau mau?
“Huh, dasar tidak tahu malu!” tiba-tiba terdengar teriakan dari jauh “Wahai akhwat, DI MANA IZZAHMU?”
IZZAH?
kalian bertanya tentang IZZAH?Apakah izzah ada pada diri seorang akhwat
yang malu mengungkap perasaannya kemudian memendam cinta dan mengotori
hati dengan terus memikirkannya?
Apakah izzah ada pada diri
seorang akhwat yang menyuburkan virus cinta di hatinya dan membaginya
pada semua ikhwan yang dikaguminya dalam masa penantiannya?
Apakah
izzah ada pada diri seorang akhwat yang menanti sang pangeran, namun
ketika ia datang si akhwat menolak dengan alasan tidak jelas?
Di sanakah izzah bersemayam?
Ataukah izzah ada pada diri seorang Khadijah yang berterus terang meminta Muhammad untuk menjadi nakhoda dalam bahtera cintanya?
Ataukah
izzah ada pada diri para bidadari yang berebut ingin melayani Zulebid
yang rela meninggalkan istri tercinta di hari pertama pernikahannya demi
meraih syahid?
Sungguh, kisah cinta yang agung dan suci bukan
cintacinta picisan yang ingin diraih tapi jauh lebih tinggi! cinta di
atas segala cinta yang tak kan habis cintaNya, Allah!
Di sana ada
kejujuran, keterbukaan, kepercayaan, ketulusan, keimanan, dan ketaqwaan
berbeda dari kisah Romeo dan Juliet atau Layla dan Majnun yang berakhir
tragis dengan mati membawa cinta tak sampai... malang nian!
mungkin
iya, aku tak seberani Bunda Khadijah aku pun bukan bidadari yang tak
dianugerahi rasa malu karena ia memang diciptakan dan ditugaskan untuk
melayanimu
Tapi, jika aku boleh memilih izinkan aku meminangmu
sebagai kekasih bukan untuk saat ini karena mungkin waktuku tak cukup
untuk menanti
tapi, nanti…
Setelah kumati…
~sebuah catatan yang bertengger manis di folder "inspirasi" dalam file lamaku~
**
SEBUAH PERENUNGAN
**
pengin buat buku tentang tema di atas, tapi masih bingung cari kontributor!
hmm.... siapa ya yang sudah berpengalaman atau punya ilmunya???
bisa dibagi dengan saya..
Yang sedang merenung dan mencari inspirasi,
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan September 2010 di blog sebelumnya
“Tik, cincin 5 gram harganya sekarang berapa ya?” tanya seorang sahabat yang hendak dilamar bulan Ramadhan ini.
“Tik, bulan September aku mau nikah. Datang ya... Akhirnya aku duluan, lha kamu kapan? Aku masih ingat pesanmu dulu kalau ‘Laki-laki baik akan mendapat wanita yang baik’. Mungkin aku sudah mendapatkan yang terbaik buatku. Moga kamu pun segera mendapatkan yang terbaik!” potongan percakapan via telepon dengan seorang kakak tingkat nun jauh di luar Jawa sana, sesaat setelah diri ini tiba di kost.
“Tik, nunggu apa lagi kita? Kuliah sudah selesai, udah kerja, lalu? Mungkin memang belum ketemu yang cocok saja.” Statement yang terlontar dari seorang sahabat kost yang baru saja ditelepon ibunya dan membicarakan kapan ia akan menikah.
“Hayo hayo... nikah enak lho...mantab Bu...” sebuah SMS dari seorang sahabat yang baru saja mengakhiri masa lajangnya, masuk beberapa saat setelah diri ini hendak memejamkan mata.
Hiyaaa... seharian ini kok ‘terkoneksi’ dengan satu hal ini sih? NIKAH...
Membuat diri ini merenung dan mencoba ‘melampiaskan’ renungan itu dalam rangkaian kata.
***
Menikah adalah saat di mana gerbang kesucian mulai dibentangkan
Menikah adalah saat di mana ketidaksempurnaan bukan lagi masalah yang mesti diperdebatkan
Menikah adalah saat di mana akar dirajut dari benang-benang pemikiran
Menikah adalah saat di mana syariat direngkuh sebagai tolok ukur perbuatan
Menikah adalah saat di mana ketulusan diikatkan sebagai senyum kasih sayang
Menikah adalah saat di mana kesendirian dicampakkan sebagai sebuah kebersamaan
Menikah adalah saat di mana kegelisahan beralih pada ketenangan
Menikah adalah saat di mana kehinaan beralih pada kemuliaan
Menikah adalah saat di mana peluh bergulir lanjutkan perjuangan
Menikah adalah saat di mana kesetiaan adalah harga mati yang tak bisa dilelang
Menikah adalah saat di mana bunga-bunga bersemi pada taman-taman
Menikah adalah saat di mana kemarau basah oleh sapaan air hujan
Menikah adalah saat di mana hati yang membatu lapuk oleh kasih sayang
Menikah adalah sebuah pilihan antara jalan Tuhan dan jalan setan
Menikah adalah sebuah pertimbangan antara hidayah dan kesesatan
Menikah adalah saat di mana suka dan duka saling datang
Menikah adalah saat di mana tawa dan air mata saling berdendang
Menikah adalah saat di mana ikan dan karang bersatu dalam lautan
Menikah adalah saat di mana dua hati menyatu dalam ketauhidan
Menikah adalah saat di mana syahwat tidak lagi bertebaran di jalan-jalan
Menikah adalah saat di mana ketakwaan menjadi teluk perhentian
Menikah adalah saat di mana kehangatan menyatu dalam pekatnya malam
Menikah adalah saat di mana cinta pada Allah dan rasul-Nya dititipkan
Menikah adalah saat di mana dua hati berganti peran pada kedewasaan
Menikah adalah saat di mana dua jasad menambah kekuatan dakwah peradaban
Menikah adalah saat di mana kecantikan adalah sebuah ujian
Menikah adalah saat di mana kecerewetan diperindah oleh aksesoris kesabaran
Menikah adalah saat di mana bunga-bunga mulai menyemi pada alang
Menikah adalah saat di mana bidadari-bidadari dunia turun di telaga-telaga kesejukan
Menikah adalah saat di mana jundi-jundi kecil adalah cericit burung pada dahan-dahan
Menikah adalah saat di mana pemahaman-pemahaman mulai disemikan
Menikah adalah saat di mana amal-amal mulai ditumbuhkan
Menikah adalah saat di mana keadilan mulai ditegakkan
Menikah adalah saat dimana optimisme adalah obat dari sebuah kefuturan
Menikah adalah saat di mana kecemburuan adalah rona pelangi pada awan
Menikah adalah saat di mana kesendirian menutup epik kehidupan
Menikah adalah saat di mana syahadat menjadi saksi utama penerimaan
Menikah adalah saat di mana aktivitas dibangun atas dasar ketaatan
Menikah adalah saat di mana perbedaan ciptakan kemesraan
Menikah adalah saat di mana istana tahajud dibangun pada pucuk-pucuk malam
Menikah adalah saat di mana belaian bak kumbang yang teteskan madu-madu kehidupan
Menikah adalah saat di mana senyuman bak tetesan hujan yang segarkan dedaunan dari kemarau panjang
***
Menikah adalah saat di mana goresan bayang-bayang yang terlukis pada mimpi-mimpi malam yang (semoga segera) berubah menjadi kenyataan
***
Tak perlu lagi bertanya “SIAPA?” karena Allah SWT telah memahatkan nama terbaik untuk ditulis di pusara hati kita. Tak perlu lagi bertanya “KAPAN?” karena Allah SWT sudah menetapkan bahwa semua akan indah pada waktunya. Tak perlu lagi bertanya “MENGAPA?” karena Allah SWT ingin menjaga diri kita dan Rasulullah inginkan kita mengikuti sunnahnya. Tak perlu lagi bertanya “APA?” karena Allah SWT sudah menerangkan bahwa hidup kita akan tenang dan agama kita akan lebih sempurna karenanya. Tak perlu lagi bertanya “DI MANA?” karena Allah SWT sudah memilihkan tempat terindah untuk sebuah pertemuan yang diridhoi-Nya. Tak perlu lagi bertanya “BAGAIMANA?” karena Allah SWT sudah memberitahukan jalan yang seharusnya dilalui untuk mengikrarkan janji suci.
[sebuah kontemplasi - Aisya Avicenna]
***
“Bukankah komitmen kita terhadap dakwah ini terlihat dari hal-hal yang sederhana? Bukanlah menikah di jalan dakwah itu tidak hanya terlihat saat kita menjalaninya? Namun jauh dari itu, saat kita bertekad untuk terus ada dalam tahap-tahap meluruskan niat di setiap proses menuju momen bersejarah : PERNIKAHAN. Dan... sebab kita telah ‘mengaku’ sebagai aktivis dakwah, jadi... salahkah jika orang ingin selalu membuktikan komitmen kita di setiap langkah dan sikap kita? Dan pernikahan adalah salah satu ujian komitmen bagi seorang aktivis dakwah, apakah ia mengikuti keinginan hatinya semata, atau... benar-benar menjaga orisinalitas misi dakwah sebelum, saat, dan setelah menikah? Bukankah proses itu menentukan keberkahan? Baik sebelum, saat, dan setelah menikah?” (Kado Pengantin, Rabi’ah Al Adawiyah – istri ustadz Hatta Syamsuddin, LC)
***
Kalau ingin membangun rumah yang kokoh, kuatkanlah pondasinya agar rumah itu tak mudah roboh!
***
“Jalan hidup tergantung niatmu.. Jika yakin kau akan mampu... Ingatlah Allah selalu menyertaimu...” (Ar Royan)
***
Cukup sudah renungan tentang perkara yang satu ini. Semoga menjadi sebuah perenungan untuk kita semua. Jangan sampai menjadi sebuah euforia yang melenakan karena bisa mengotori hati. Ingat, sebentar lagi Ramadhan tiba. Sambut kesuciannya dengan hati yang bersih. Jadikan Ramadhan sebagai momentum untuk memperbaiki diri! Agar yang terbaik jualah yang didapatkan. BE BETTER!!!
Tulisan ini kupersembahkan pada saudara/i ku yang telah menikah, saudara/i ku yang akan menikah, dan untuk diriku sendiri yang tengah mempersiapkannya! ^^v
Afwan jiddan atas segala khilaf
REDZone, 4 Agustus 2010_04:32
Seorang hamba yang senantiasa merindu barokah dari-Nya,
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Agustus 2010 di blog sebelumnya