Ada 4 simulasi menulis yang superkeren dalam sesi “Writing Skil (part 3) bersama Kang Muvti (penulis buku “Sukses Kuliah dengan Kekuatan Pikiran”) kemarin. Simulasi pertama kami diminta menulis dengan topik “Suasana di Pantai”, selanjutnya “Pengalaman Cinta Pertama”, kemudian tentang “Keadaan Masa Depan” dan yang terakhir tentang “Dongeng si Kancil versi Digital”. Waktu yang dibutuhkan untuk menulis masing-masing topik itu sangat singkat. Nah, pada simulasi terakhir inilah yang menurut saya paling menantang. Kami diminta menuliskan kisah dongeng si kancil yang telah sejak kecil kami dapatkan, kemudian memadukannya dengan era kekinian. Hmm, sebelum mulai menulis, cukup lama juga memikirkannya. Berbeda dengan ketiga simulasi sebelumnya. Akhirnya saya menulis kisah itu sebagai berikut. Saya tak menyangka dengan respon Kang Muvti dan teman-teman yang heboh dengan cekikikannya...Hehe... Lha wong saya sendiri juga cengar-cengir waktu menulisnya! Simak ya...(yang ini sudah saya tambahkan ceritanya)! Ide itu memang datangnya tak diduga, apalagi kalau kepepet! :D
***
“Hai Kura-kora bodoh! Mari berlomba lari denganku!” Kancil yang congak mengirim SMS pada Kura-kura yang sedang asyik berjemur.
Karena sudah tidak sabar untuk membalas kecongkakan si Kancil, Kura-kura itu pun menelepon si Kancil.
Kring.... HP si Kancil berbunyi tanda ada telepon masuk.
“Ya... Halo... Kura-kura dungu! Ada apa? Kamu bersedia lomba lari denganku?”
Kura-kura pun menjawab, “Oke.. siapa takut? Besok ya di Stadion Senayan. Aku tunggu kamu di depan Indoor Tennis”.
“Baik!” jawab Kancil geram.
Klik! Kancil mematikan HP-nya. Dadanya naik turun karana merasa puas atas jawaban Kura-kura yang bersedia berlomba lari dengannya. Kancil yakin akan menang.
Di lain tempat, Kura-kura tadi menyusun strategi bersama sahabatnya sesama kura-kura lewat Blackberry Messanger Group-nya.
“Guys, si Kancil yang sombong menantang aku lomba lari besok nih di Senayan! Bantu aku dong!” Kura-kura 1 memulai diskusi.
“Wah, kamu harus menang! Tapi, bagaimana caranya ya? Kamu eh... kita kan lelet banget kalau jalan” Kura-kura 2 menyahut.
Kura-kura 1 pun menulis, “Aku ada ide! Bagaimana kalau kalian semua membantuku.”
“Bagaimana caranya?” Kura-kura 3 menimpali.
“Begini, tanpa sepengetahuan si Kancil kita berdiam diri di sepanjang lintasan lomba. Kita atur jaraknya 2 meter. Seperti estafet, tiap lari 2 meter kita gantian. Toh bentuk dan wajah kita hampir sama. Sama-sama elegan dan imut. Tul gak? Hehe... Bagaimana?”
Kura-kura 4 nimbrung, “Ide bagus pakai banget tuh! Aku sepakat. Kita kalahkan kecongkakan si Kancil!”
Kura-kura 5 bertanya, “Tapi, bukankah kancil akan menaruh curiga dengan banyaknya bulatan aneh di sepanjang lintasan?”
“Hmm... nanti aku tantang dia lari dengan kaca mata hitam... dengan alasan biar tidak silau dan biar tambah keren!” Kura-kura 1 menelurkan ide briliannya.
“Hahaha, ada-ada saja kamu! Tapi boljug alias boleh juga tuh idenya!” Kura-kura 5 sepakat dengan ide kura-kura 1.
“Okelah kalau begitu temans! Hubungi rekan-rekan yang nggak punya BB ya. Besok kita kumpul jam 6 di Indoor Senayan kemudian mengatur posisi. Sekarang pada istirahat gih! Jangan lupa minum suplemen dan berdoa sebelum tidur!”
Akhirnya obrolan antar kura-kura di BBM Group itupun berakhir. Singkat cerita, keesokan harinya dengan tampang sok keren karena memakai kaca mata hitam baru, si Kancil siap berlomba lari dengan Kura-Kura. Pertandingan berjalan lancar, sesuai strategi. Kura-kura menang. Si kancil pun pulang berselimut malu karena kalah. Kecongkakannya pun memudar. Ia merasa tak berguna.
***
Hikmah kisah ini :
1. Jangan pernah meremehkan potensi orang lain. Bisa jadi apa yang menurut kita “buruk” dari orang lain, malah itulah yang membuat orang lain lebih luar biasa dari kita.
2. Untuk menggapai sukses butuh strategi yang cerdas. Jangan gegabah dalam bertindak, tapi cermatlah dalam melangkah.
3. Kesombongan akan melahirkan petaka.
4. Dll (silakan tambahkan sendiri ^_^)
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Oktober 2011 di blog sebelumnya.
“Bunda, Azzam mau baca buku ini!” Si kecil beringsut duduk di sampingku sambil membawa buku cerita yang baru dibelikan ayahnya. Buku itu berjudul “Masa Kecil Rasulullah Saw”. Buku setebal 30 halaman yang dikemas khusus untuk anak-anak. Hmm... ayahnya memang pandai memilih buku untuk si kecil.
Sampai detik ini kami memiliki sekitar 5.000 buku yang menjadi koleksi di perpustakaan keluarga kami. Namanya perpustakaan “Al-Firdaus”. Dari 5.000 buku itu, 1.000 di antaranya adalah buku anak-anak milik Azzam. Di perpustakaan itu ada satu rak khusus berisi sekitar 500 buku karyaku, suamiku, dan Azzam.
Hmm... betapa bahagianya aku karena impian yang aku tulis puluhan tahun silam akhirnya terwujud. Di buku impian itu, aku menulis impian ke-101 yakni “membangun keluarga SAMARADA yang juga jago menulis => KELUARGA PENULIS”. Alhamdulillah, akhirnya impian itu menjadi kenyataan.
Ting.. tong... Bel berbunyi. “Assalamu’alaykum...”. Aku menjawab salam itu dengan begitu ceria. Suara itu tidak asing bagiku. Dialah pendamping hidup sekaligus motivator dan inspiratorku yang dengannya kami bisa melahirkan karya-karya luar biasa dalam keluarga kami tercinta.
Aisya Avicenna
***
Review
Tulisan singkat di atas ditulis Jumat, 28 Oktober 2011 dalam sesi simulasi materi “WRITING SKILL (part 3)” dengan coach : Kang Muvti (penulis buku “Sukses Kuliah dengan Kekuatan Pikiran”). Dengan durasi waktu yang sangat singkat, kami diminta menulis dengan topik “keadaan masa depan”. Nah, seperti di atas itulah tulisan saya. Hmm, semoga tak hanya sekedar menjadi tulisan yang sekali baca habis. Besar harapan saya tulisan di atas menjadi doa sekaligus komitmen yang terinternalisasi dalam diri saya. Di balik itu, dari simulasi menulis ini saya belajar teknik menulis yang sangat luar biasa dari Kang Muvti. Semangat menulis! Semangat merangkai karya!
Tulisan ini diposting pada bulan Oktober 2011 di blog sebelumnya.
“Oh, burungpun bernyanyi melepas segala rindu yang terendam malu di balik qalbu..
Oh, anginpun menari mencari arti, adakah ini fitrah ataukah hiasan nafsu.
Di dalam sunyi ia selalu hadir, di dalam sendiri ia selalu menyindir.
Kadang meronta bersama air mata, seolah tak kuasa menahan duka…”
(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)
Kalau
disuruh memilih, aku tak ingin kisah ini ada. Tapi, Allah berkehendak
lain. Dia menuntunku menjadi seorang tokoh sentral yang harus melakoni
kisah ini. Allah memang sudah berjanji, bahwasanya Dia tidak akan
menguji hamba-hambaNya di luar batas kemampuan. Pun demikian dengan rasa
ini yang aku anggap sebagai ujian dari-Nya. Berawal dari sebuah
interaksi yang tak disengaja dengan Kak Edo. Awalnya, kami saling berdiskusi masalah novel. Kami memang penyuka sastra. Namaku Dira, saat ini aku tengah belajar menjadi seorang novelis. Aku banyak belajar tentang dunia menulis dari Kak Edo.
Setelah
tiga bulan berkomunikasi, akhirnya kami bertemu. Sebuah pertemuan yang
singkat, karena Kak Edo hanya mengambil novel milikku yang ingin
dipinjamnya. Hanya beberapa kalimat yang berhasil ia sampaikan. Dalam
posisi saling menunduk, kami tidak bisa mengetahui suasana hati
masing-masing. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang berbeda setelah
pertemuan singkat itu. Terlebih pada diriku.
“Biarlah semua mengalir,
berikanlah kepada ikhtiar
Dan sabar untuk mengejar…”
(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)
Mencoba
menjaga jarak, ternyata masih ada saja komunikasi yang harus terkuak.
Entah saling komentar di status facebook, chatting via YM, dan lain
sebagainya. Sempat terselip impian ingin berkolaborasi tulisan
dengannya. Hingga suatu ketika, kesempatan itu datang. Sebuah kompetisi
cerita mini yang akan dibukukan. Tanpa berkomunikasi sebelumnya, ada
nama kami yang sama-sama menjadi nominatornya. Saat pengumuman tiba, aku
hanya bisa gigit jari ketika tahu hanya namanya yang lolos. Ada rasa
sedih juga karena ternyata kesempatan melahirkan karya bersama belum
datang. Harus kuakui, Kak Edo memang penulis yang berbakat. Tulisannya
sangat menyentuh hati. Itulah yang membuatku simpati.
“Sabarlah menunggu, janji Allah kan pasti
Hadir tuk datang menjemput hatimu
Sabarlah menanti, usahlah ragu
Kekasih kan datang sesuai dengan iman di hati
Bila di dunia ia tiada, moga di surga ia telah menunggu
Bila di dunia ia tiada, moga di surga ia telah menanti”(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)
Salah!
Jika sesuatu yang fitrah ini ternyata hanya hiasan nafsu! Aku tersadar!
Allah menegurku lewat “kegagalan” masuknya tulisanku dalam kompetisi
itu. Karena ada selipan asa, bahwa aku ingin menyandingkan karyaku
dengan karya Kak Edo. Aku menangis dalam samudera penyesalan. Aku tak
ingin kisah ini diteruskan. Hingga datanglah hari itu, suatu hari di
mana aku bertemu Kak Edo untuk yang kedua kalinya. Kali ini kita berada
dalam sebuah acara. Pada acara itu, Kak Edo ingin mengembalikan novel
yang dipinjamnya.
Pertemuan kedua yang lebih singkat dari
pertemuan sebelumnya. Rasa-rasanya ingin cepat kabur saat harus
berhadapan dengan Kak Edo. Sepulang dari acara, aku buka tas berisi
novel yang dipinjamnya, ternyata ada sebuah bungkusan lain yang ternyata
“hadiah” darinya. Bahagia, tapi terselip perih dalam rintihan yang
lirih. Rabb, aku ingin menghentikan rasa ini. Cukup!!! Setelah pertemuan
itu, harapku tak ada interaksi lagi dengan Kak Edo.
Di langit senja ini, garis-garis lembayung bagai permadani tak bertepi.
Lambaian tangan itu berselimut kabut dan menjelma menjadi sungai yang mengalir deras menuju muara
Melibas segala keraguan!!!
Aku kembali pulang ke samudera cinta-Nya
~Maaf, kata untuk akhir sebuah kisah~
Maaf
ya Kak Edo, jika selama ini aku salah menangkap interaksi kita. Mungkin
Kak Edo menganggap ini sebagai interaksi yang biasa, seperti layaknya
kakak dan adik. Maaf, jika aku menanggapinya lain.
Kau tahu tentang hatiku yang tak pernah bisa melupakanmu
Kau tahu tentang diriku yang selalu mengenangmu selamanya
Kini kusadari bahwa semua itu
Adalah salah, juga keliru
Akan membuat hati menjadi ternodai
Maafkanlah segala khilaf yang tlah kita terlewati
Tlah membawamu kedalam jalan yang melupakan Tuhan
Kita memang harus berpisah
Tuk menjaga diri
Untuk kembali mengarungi hidup
Dalam ridho Ilahi
Kutahu bahwa dirimu
Mendambakan kasih suci yang sejati
Kuyakin bahwa dirimu
Merindukan kasih sayang yang hakiki
Kini kusadari bahwa semua itu
Adalah salah, juga keliru
Akan membuat hati menjadi ternodai
Dan bila takdirnya kita bersama
Pastilah Allah akan menyatukan kita
(Maaf Tuk Berpisah – Tashiru)
Jakarta, 19 Oktober 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya
Di suatu sore, seorang anak datang kepada Ayahnya yang sedang membaca koran.
“Ayah, ayah” kata sang anak
“Ada apa?” tanya sang Ayah
“Aku
capek, sangat capek. Aku capek karena aku belajar mati-matian untuk
mendapat nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan
mencontek, aku mau mencontek saja! Aku capek, sangat capek. Aku capek
karena harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya
pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja! Aku capek, sangat capek.
Aku capek karena harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa
harus menabung, aku ingin jajan terus!
Aku
capek karena harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku
enak saja berbicara sampai aku sakit hati. Aku capek karena harus
menjaga sikapku untuk menghormati teman-temanku, sedangkan teman-temanku
seenaknya saja bersikap kepada ku. Aku capek Ayah, aku capek menahan
diri. Aku ingin seperti mereka. Mereka terlihat senang, aku ingin
bersikap seperti mereka Ayah!” sang anak mulai menangis.
Kemudian
sang Ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata
”Anakku ayo ikut Ayah, Ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu”, lalu
sang ayah menarik tangan sang anak. Kemudian mereka menyusuri sebuah
jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang.
Lalu sang anak pun mulai mengeluh ” Ayah mau kemana kita?? Aku tidak
suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk
duri. Badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah karena ada
banyak ilalang… aku benci jalan ini Ayah” sang Ayah hanya diam.
Sampai
akhirnya mereka sampai pada sebuah tempat yang sangat indah, airnya
sangat segar, ada banyak kupu-kupu, bunga-bunga yang cantik, dan
pepohonan yang rindang.
“Wwaaaah… tempat apa ini Ayah? aku suka! aku
suka tempat ini!” sang Ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon
yang rindang beralaskan rerumputan hijau.
“Ayah, aku boleh berenang ya?”
“Iya.. airnya tidak dalam kok!”
Beberapa saat kemudian.
“Ayah, aku menemukan kerang berisi permata! Ini buat ibu ya yah!”
Sang ayah hanya tersenyum.
“Kemarilah
anakku, ayo duduk di samping Ayah” ujar sang Ayah, lalu sang anak pun
ikut duduk di samping ayahnya setelah mengeringkan bajunya.
”Anakku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? Padahal tempat ini begitu indah…”
”Tidak tahu Ayah, memangnya kenapa?”
”Itu
karena orang-orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal
mereka tahu ada tempat yang indah di sini, tetapi mereka tidak bisa
bersabar dalam menyusuri jalan itu”
“Ooh… berarti kita orang yang sabar ya Yah? Alhamdulillah”
“Nah, akhirnya kau mengerti”
”Mengerti apa? aku tidak mengerti”
”Anakku,
butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik,
butuh kesabaran dalam kejujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan
agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi. Bukankah kau
harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur
mengotori sepatumu, kau harus sabar melewati ilalang dan kau pun harus
sabar saat dikelilingi serangga, dan akhirnya semuanya terbayar kan? Ada
tempat yang sangat indah. Bahkan kau berhasil menemukan permata.
Seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? Kau tidak akan mendapat
apa apa anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku”
”Tapi Ayah, tidak mudah untuk bersabar ”
”Ayah
tahu, oleh karena itu ada Ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap
kuat. Begitu pula hidup, ada Ayah dan Ibu yang akan terus berada di
sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu. Tapi, ingatlah
anakku… Ayah dan Ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh,
suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri. Maka jangan pernah kau
gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri.. seorang
pemuda muslim yang kuat, yang tetap tabah dan istiqomah karena ia tahu
ada Allah di sampingnya. Maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan
menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang.
Maka kau tahu akhirnya kan?”
”Ya Ayah, aku tahu.. aku akan dapat
surga yang lebih indah dari tempat ini. Sekarang aku mengerti. Terima
kasih Ayah, aku akan tegar saat yang lain terlempar”
Sang Ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya.
***
Untukmu yang beriman
Allah telah berjanji padamu
Allah akan menolongmu
Allah akan meneguhkan kedudukanmu
Jika kau menolong agamanya...
Sekalipun dengan setetes peluh penuh keikhlasan...
Bahkan air mata atau darah sekalipun!
Dan selemah-lemahnya adalah rintihan hati yang terdzolimi...
Rintihan, bukan umpatan atau rasa kekesalan..
Tapi untaian harapan dan keyakinan, bahwa Allah tak pernah menyiakan..
Sekalipun menjadi yang terasing...
Ya, terasing! Karena di awal kemunculannya, dien Islam ini juga dalam keadaan asing
Dan kelak akan kembali asing sebagaimana awal mulanya
Berjuanglah!
Tiket Syurga itu tak murah!
Mendapatkannya juga tak mudah!
Semoga setiap letih yang dikumpulkan karena-Nya, mampu membayar jaminan Syurga-Nya...
Semoga setiap amalan kita terbalaskan dengan ridho-Nya...
Dan harapan terbesar adalah semoga Allah ridho menjadikan kita penghuni jannah-Nya..
Aamiin Ya Rahman.. Aamiin Ya Rahiim.. Aamiin ya Rabbal 'alamiin...
Karena setiap kita inginkan yang TEPAT dan TERBAIK!!!!
***
“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Q.S. Muhammad:7)
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan : Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka
tetap istioqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka
tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni Al Jannah,
mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka
kerjakan.” (Q.S. Al-Ahqaf: 13-14)
Jakarta, 23 September 2010_05:55
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan September 2010 di blog sebelumnya
26 September 2009
Pukul 12.00, terminal Giri Adipura Kabupaten Wonogiri
“Taqabalallalahu
minna wa minkum”. Kujabat tanganku erat pada sahabatku yang sudah
sekian tahun tak bertemu. “Taqabal ya kariim...” jawabnya tepat di
telinga kananku saat dia memelukku tak kalah erat. Sementara itu, ayahku
dan ayahnya juga bersalaman dan saling tegur sapa. Keakraban pun
kembali terjalin. Dialah Nuri, sahabatku sejak kelas 1 SMA. Kebetulan
tiga tahun semasa SMA kita selalu satu kelas. Ehm... skenarioNya memang
sangat indah. Siang ini, aku dan Nuri akan berangkat ke ibukota negeri
ini, Jakarta. Nuri memang sudah 4 tahun kuliah di sana. Sebuah sekolah
tinggi yang dulu juga sempat menjadi sekolah impianku. Sekolah Tinggi
Ilmu Statistika (STIS). Tapi apalah daya, rencana Allah lebih indah.
Nuri diterima di sekolah tinggi itu, dan akupun diterima di Universitas
Sebelas Maret (UNS) yang terletak di kota Solo. Dan semuanya itu memang
mendatangkan banyak hikmah bagiku, tepatnya bagi kami berdua. Hingga
akhirnya, kami dipertemukan kembali untuk berjuang bersama di Jakarta.
Pukul 13.00, bus Gunung Mulia berplat AD 1511 BG yang kami tunggu
akhirnya datang juga. Terminal itu pun menjadi saksi bisu perpisahan
dengan ayah kami masing-masing.
Pukul 15.30, di dalam bus Gunung Mulia.
“Udah bangun Ri?” tanyaku pada Nuri yang sedari tadi memejamkan matanya.
“Kamu tadi gak tidur to Nda?” tanya Nuri yang masih setengah mengantuk.
“Gak bisa tidur Ri, ku milih baca buku aja.”
Nuri
melirik buku yang sedang aku pegang. “Cie..cie...bacaannya sekarang
meningkat. ‘Bila Hati Rindu Menikah’ euy.. kamu mau nikah ya??
Mentang-mentang dah lulus!”
Aku hanya tersenyum simpul dan akhirnya
menimpali, ”Nikah?? Ya jelas maulah.. kamu juga mau kan?? Hihi..ni salah
satu langkah persiapanku, Ri. Banyak baca buku tentang ini, terutama
fiqihnya. Jodoh kita sudah ada, tinggal nunggu waktunya aja untuk
ketemu. Nah, biar tar ketemuannya gak malu-maluin gara-gara kita sedikit
ilmu, makanya manfaatkan ‘waktu tunggu’ itu dengan sebaik-baiknya.”
Nuri
mengangguk-angguk (bukan karena masih ngantuk), “Iya..bener katamu.
Kita sekarang kan dah lulus. Sudah saatnya kita memikirkan hal ini lebih
serius. Eh, Yanda.. teman-temanku di kampus juga dah pada syndrome
pengin nikah tuh..., bahkan ada yang sudah proses..”
“Tuh kan, kamu kapan???” tanyaku menyelidik.
“Emm...tunggu saja tanggal mainnya.” jawab Nuri sambil tersenyum simpul.
“Kayaknya duluan kamu Nur, lha wong kamu dah lulus. Tinggal penempatan. Sedangkan aku, ni aja masih mau tes CPNS,” kataku.
“Wallahu‘alam. RencanaNya jauh lebih indah dari rencana kita. Yadah, aku mau Al Ma’tsuratan.”
“Kalau begitu, aku juga akan melanjutkan baca buku ini,” kataku mengakhiri pembicaraan kami.
Pukul 17.30, masih di dalam bus Gunung Mulia
Benang-benang
jingga terajut membentuk nuansa senja yang indah. Kali ini senja
menyambutku di kota Semarang. Ehm... banyak kisah yang telah aku
torehkan di kota ini. Kisah-kisah petualanganku menggapai impian dan
mengukir prestasi. Alhamdulillah, rasa syukur mendesir dalam
hatiku..mengenang masa-masa perjuangan dulu di kota Semarang, kota
perjuangan, kota persahabatan. Dudukku di dekat jendela, jadi dengan
leluasa aku bisa menatap pemandangan di luar..
Ehm.. lagi bahagia
nih.. bukan saja karena salah satu impianku akan terwujud (menginjakkan
kaki di Jakarta)... tapi karena aku akan memperjuangkan terwujudnya
impianku yang lain. SEMANGADH 37x.. (mencoba menyemangati diri sendiri..
kesempatan itu tak datang dua kali).
Pukul 19.00, Rumah Makan Sari Rasa, Kendal
Bus
yang kami tumpangi berhenti tepat di samping Rumah Makan Sari Rasa. Di
rumah makan itu sudah berjejal puluhan bus Gunung Mulia yang lain.
Maklum, hari ini adalah puncaknya arus balik pasca Lebaran. Setelah
sholat, aku dan Nuri menuju ruang makan. Setelah itu, kami kembali ke
bus dan melanjutkan perjalanan. Laju bus terbilang lambat, agak macet.
Maklum, puncak arus balik. Kupandangi langit malam ini. Meski tak begitu
jelas tertangkap retina mata, tapi aku dapat menyaksikan ribuan bintang
menghiasi langit. Ku menoleh ke kiri, Nuri sudah larut dalam
mimpinya...dan akhirnya akupun menyusulnya...
Pukul 03.00, Bus Gunung Mulia
Aku
kembali terjaga. Nokia 5300 ku bergetar. Kubuka inbox. Sebuah pesan
dari bunda. “Bangun Mbak, sudah jam 3. Dah sampai mana?”. Langsung
kubalas SMS itu. Sudah menjadi rutinitas bunda, kalau jam 3 SMS atau
telepon membangunkan aku untuk Qiyamul Lail. Makasih ya bunda... Nuri
juga terbangun. Setelah itu, aku mengerjakan Qiyamul Lail dan
dilanjutkan sholat subuh. Pengalaman pertamaku sholat di dalam kendaraan
yang sedang melaju. Setelah itu, lanjut membaca Al Ma’tsurat dan Al
Qur’an merahku. Seiring lantunan ayat cintaNya, ternyata kami sudah
memasuki daerah Subang, Jawa Barat. Alhamdulillah...
***
27 September 2009
Pukul 08.00, Bus Gunung Mulia
Terik
sang surya menembus kaca bening bus yang kami tumpangi. Padahal baru
jam 08.00 pagi. Yaaa..inilah JAKARTA! PANAS!! Tapi jadi ingat filosofi
PANAS => Pasti Aku Nanti Akan Sukses!!!
Pukul 09.00, Terminal Rawamangun, Jakarta Timur
Alhamdulillah,
untuk pertama kalinya kakiku menapak di kota yang katanya metropolitan
ini. Flash...Sang Bagaskara tersenyum manis padaku…
***
28 September 2009
Pukul 10.00, Gelora Bung Karno, Senayan
Aku
dan Nuri duduk di bawah pohon rindang di halaman luar Gedung Tenis
Indoor, Gelora Bung Karno, Senayan. Kami baru saja survey lokasi ujian
tahap kedua (tes tertulis) CPNS Departemen Perdagangan (Depdag) yang
akan digelar tanggal 30 September esok lusa. Alhamdulillah, aku
dinyatakan lolos seleksi administrasi sehingga berhak mengikuti ujian
tertulis.
***
30 September 2009
Pukul 07.30, Gedung Tenis Indoor, Gelora Bung Karno, Senayan
Sekitar 4000-an orang memenuhi Gedung Tenis Indoor Senayan pagi ini.
Dari 4000-an orang yang akan mengikuti tes ini, hanya akan diambil 160
orang sesuai dengan formasi yang dibutuhkan Departemen Perdagangan. Aku
duduk bersama para “CALON STATISTISI”. Ehm, bersaing dengan 80-an orang
yang luar biasa dan hanya dua orang saja yang akan terpilih.
Bismillahirrahmanirrahim…
Pukul 13.00, Halte Bus Senayan
Alhamdulillah, setelah berkutat dengan 300-an soal pilihan ganda yang
“menantang”, akhirnya selesai juga tes tertulisnya. Tinggal menyerahkan
hasilnya pada Sang Maha Kuasa. Siang ini begitu terik. Dengan berbekal
petunjuk arah yang diberitahu Nuri, aku mencoba pulang ke kost Nuri
sendirian. Pengalaman pertama menjelajah ibukota sendirian… SERU!!!
Pukul 14.00, Kost Oscom
Akhirnya sampai juga aku di kost Nuri. Kuceritakan kisah seruku hari
ini pada Nuri. Ehm, hari ini memang luar biasa!!! Kemudian aku bersiap
untuk kembali ke kampung halamanku di Wonogiri karena pengumuman ujian
tertulis masih tanggal 26 Oktober. Apapun hasilnya, pastinya itulah yang
terbaik dari Allah SWT. Inilah keyakinanku….
***
8 Oktober 2009
Pukul 14.00, Kantor Asuransi Bumiputera Solo
Setelah wisuda tanggal 3 September 2009 yang lalu, aku mendapat
kesempatan menyelesaikan sebuah proyek di kantor Asuransi Bumiputera
Solo. Hari ini suasana yang kurasakan di kantor memang lain dari
biasanya. Perasaanku tak menentu. Tiba-tiba, ada SMS dari seorang teman
yang juga ikut tes CPNS di Depdag. Alhamdulillah, dia mengabarkan kalau
aku lolos, dia juga. Dari 80 orang diambil 4 orang untuk mengikuti tes
tahap ketiga. Kami memang berasal dari satu jurusan dan satu angkatan.
Oh ya, namanya Didi. Kebetulan kami juga berasal dari daerah yang sama,
Wonogiri. Bahagianya!!!
***
13 Oktober 2009
Setelah dinyatakan
lolos tes tertulis, aku mengikuti tes tahap III yaitu psikotes dan
wawancara. Pukul 08.00 aku dan Nuri berangkat menuju lokasi tes di
daerah Sawangan, Depok. Dengan berbekal selembar peta, kami pun menuju
tempat tersebut. Benar-benar menggelikan sekaligus petualangan yang
seru!!. Sampai di terminal Pulogadung, kami pindah naik angkot kecil
warna biru. Sambil menyusuri gambar peta di dalam angkot, akhirnya
sekitar pukul 10.30, kami sampai juga di daerah Wates, Sawangan, Depok.
Dari tempat turun, kami masih harus berjalan sekitar 300 meter menuju
kantor Pusdiklat Depdag.
Pukul 10.00, Masjid….. Sawangan, Depok
Karena
peserta ujian masuk pukul 12.15, aku dan Nuri memutuskan untuk
beristirahat di masjid yang berjarak 300 meter dari Pusdiklat. Sesampai
di masjid, kami berdua duduk santai di serambinya. Ada sekitar tiga
pedagang kaki lima yang mangkal di situ. Akhirnya, aku dan Nuri membeli
segelas dawet ayu Banjarnegara pada seorang bapak tua. “Segelas aja Nda,
takut ga habis.” kata Nuri. Emm..akhirnya kami meminum dawet itu
segelas berdua di bawah pohon rindang..sambil menikmati sepoi angin... A
beautiful friendship! Setelah dawet habis, kami kembali duduk di
serambi masjid. Nuri membaca buku “Quantum Tarbiyah”nya, sedangkan aku
memutuskan untuk melanjutkan tilawahku 2 halaman, setelah itu aku
memilih untuk membaca ayat cinta favoritku, Q.S. Ar Rahman. Selalu ada
rasa yang berbeda tatkala aku membaca surat ini. Selesai tilawah, aku
mengamati bapak tua penjual dawet tadi. Beliau sedang berjuang keras
memanggul dagangannya. Mungkin, beliau akan berkeliling lagi. “Ayo Pak,
semangat!!! Jangan menyerah!!!!“ teriakku sambil mengepalkan tangan kala
itu.. (tapi ya gak keras-keras...hanya Nuri yang dengar..^^) Setelah
waktu menunjukkan pukul 11.00, kami-pun meninggalkan masjid. Berjalan
kaki lagi.... Setelah makan di warung depan Pusdiklat, kami menuju
lokasi tes. Setelah sholat, aku memasuki ruangan tes, sedangkan Nuri
menungguku di mushola.
Test dimulai pukul 13.00. Sebelum test
dimulai, semua peserta diminta mengisi lembar biodata dan 5 lembar
kertas yang berisi pertanyaan mulai dari : apa pencapaian yang sudah
didapat dalam waktu dua tahun terakhir, penyikapan atas suatu kasus,
sampai gaji dan tunjangan yang ingin didapatkan. Waktu mengisi lembar
pertanyaan ini, aku lebih banyak memberi jawaban berdasarkan
pengalamanku semasa di kampus. Bagaimana kuliahku, aktivitas di kampus,
dll. Akhirnya pertanyaan demi pertanyaanpun dapat ku jawab. Ehm, semakin
menyadari bahwa “ngampus itu jangan hanya sekedar kuliah” (jadi inget
bukunya Ustadz Hatta Syamsuddin dan istrinya, “AGAR NGAMPUS TAK SEKADAR
STATUS”). Bagi yang masih ngampus, optimalkan waktu untuk mengasah
potensi yang dimiliki. Memang, tujuan perdana kita menjadi “penghuni
kampus” adalah untuk menjalankan amanah orang tua, kuliah yang rajin dan
tidak ‘neko-neko’. Yes, that’s a good vision! Tapi kalau ngampus cuma
kuliah (duduk anteng di kelas), ke kantin, dan di kost saja (istilah
kerennya 3K)..ya jadi hambar dung! Aku semakin merasakan manfaat
berorganisasi ketika memasuki dunia pasca kampus, lebih tepatnya waktu
memasuki dunia kerja.
Lanjut ke cerita tentang psikotes. Dari tim
penguji (para psikiater), membagikan beberapa buku yang berisi soal-soal
psikotes. Ada beberapa soal yang sudah cukup familiar karena sering
ditampilkan di buku-buku psikotes (tidak ada salahnya bagi yang mau
psikotes untuk membaca dan mencoba contoh-contoh soal di buku-buku
psikotes yang beredar di pasaran). . Salah satu tes yang membuat aku
agak “tuing-tuing” namanya tes PAULI. Peserta dibagikan gulungan kertas
besar ukuran A3 (kayaknya) yang berisi deretan angka yang dicetak
bolak-balik. Wuih... so amazing! Kita diminta menghitung dari atas ke
bawah. Alhamdulillah, sampai batas waktu berakhir, aku berhasil
menghitung sampai tinggal satu deret terakhir. Melelahkan, menguras otak
dan tenaga, tapi menantang. Asyik juga!!! Hal yang paling menyenangkan
adalah waktu tes menggambar. Maklum, salah satu hobbyku kan menggambar.
Peserta diminta menggambar manusia lengkap. Cling!!! Akhirnya aku
mendapat ide untuk menggambar ayah. Tidak mirip sih, tapi gambar itu
menjadi cerminan motivasi aku mengikuti tes CPNS di Depdag RI.
Pukul
17.00, alhamdulillah psikotes selesai. Langsung aku kabur ke mushola.
Nuri masih setia menanti. Terima kasih ya!!! Lanjut sholat ashar.
Terdengar guntur menggelegar di langit. Kata Nuri, tadi habis hujan
deras dan angin kencang. Tapi alhamdulillah, sekarang sudah reda.
Akhirnya kami pulang dengan berjalan kaki menuju tempat naik angkot,
kemudian naik angkot menuju stasiun Depok Baru.. Di stasiun itu, banyak
“pemandangan” yang cukup menarik perhatianku. Aku mencoba mencari
inspirasi di balik apa yang aku lihat, dengar, dan rasakan. Mulai dari
deretan ibu-ibu pengemis yang duduk berjajar di lorong stasiun, orkestra
jalanan, sampai seekor kucing yang membuatku sangat iba karena kaki
kanan depannya buntung, terluka. Dia berjalan terhuyung-huyung dengan
ketiga kaki lainnya yang masih normal. Kasihan sekali kucing itu. JANGAN
MENYERAH PUS!!! (teriakku dalam hati). Menjelang Maghrib, kereta
ekonomi non AC jurusan Jakarta tiba. Kami-pun menaikinya.
***
14 Oktober 2009
Berangkat
dari kos sekitar jam 9 lebih. Sampai di sana, singgah ke warteg dulu,
makan siang. Sampai di kantor Pusdiklat, alhamdulillah langsung boleh
masuk. Setelah sholat di mushola, langsung menuju ruangan tempat peserta
berkumpul sebelum wawancara. Seperti kemarin, Nuri menunggu di mushola.
Sebenarnya jadwalku wawancara pukul 14.00-14.30, tapi baru sekitar
pukul 15.30 aku memasuki “ruang eksekusi”. Sang eksekutor adalah seorang
bapak paruh baya, dengan perawakan sedang dan ramah sekali. Pertanyaan
demi pertanyaan pun menghujani aku. Alhamdulillah, sudah “sedia payung
sebelum hujan”. Maksudnya, alhamdulillah bisa menjawab dengan lancar
dengan suasana wawancara yang tidak menegangkan, malah terkesan seperti
curhat seorang anak kepada ayahnya. Semuanya mengalir begitu saja, tak
terasa hampir setengah jam kami berdialog. Jujur, kebanyakan jawaban
yang keluar adalah menceritakan pengalaman pribadiku saat di kampus.
Hampir 75 % aku menceritakan kisahku saat terlibat dalam beberapa
organisasi di kampus. Alhamdulillah...Terima kasih Ya Allah atas segala
kemudahan ini..
***
26 Oktober 2009
Pukul 20.13, Kost Pink, Solo
Aku
mencoba menenangkan hati sembari membaca Al Qur’an merahku. Yaa.. hari
ini akan ada pengumuman hasil seleksi CPNS Departemen Perdagangan. Akan
tetapi, sampai jam 20.00 belum ada pengumuman. Akhirnya, aku meminta
tolong Nuri untuk melihatkan pengumuman, karena dia bisa online di
kostnya. Setelah membaca Qur’an, iseng-iseng aku membuka facebook-ku..
Ada pesan dinding yang masuk. Dari Nuri. “Selamat, kamu ketrima.
Makan-makan lho!”.
Alhamdulillah, langsung aku sujud syukur di kamar
kostku. Aku telepon Nuri untuk memastikan. Ada dua nomor ujian untuk
formasi Calon Statistisi yang diterima dan salah satunya adalah nomor
ujianku. Sayang, Didi belum berhasil. Ya Allah, keputusanMu memang nomor
satu dan pasti yang terbaik. Langsung aku mengabari keluarga di rumah.
Ibu sampai menangis haru saat mendengarnya…
***
Kini, aku resmi
menjadi bagian dari Kementerian Perdagangan RI (sekarang tidak lagi
bernama “Departemen Perdagangan”). Menjadi seorang abdi Negara dan abdi
masyarakat. Aku bertekad untuk tidak hanya menjadi PNS yang biasa-biasa
saja, tapi aku ingin menjadi PNS yang LUAR BIASA… “Penghuni Neng Surga,
Pribadi Nan Sabar, Putri Nan Sholihah, Pengusaha Nan Sukses, Pendamping
Nan Setia, Petualang Nan Semangat, Penulis Nan Sensasional, Pembelajar
Nan Sejati, Penolong Nan Santun, Pemikir Nan Serius, Penasihat Nan
Solutif, dan Pemimpin Nan Sigap”. Amin…
-based on true story-
Jakarta, 090410_22:49
Aisya Avicenna
Sebenarnya
masih ada kisah yang belum saya ceritakan di sini. Dulu waktu
mengalaminya, saya berazzam, kisah ini akan saya beberkan ketika saya
sudah mendapatkan pekerjaan yang saya impikan. Alhamdulillah sekarang
impian itu sudah terwujud, berarti saya masih punya hutang untuk
menceritakannya. Sebuah kisah yang memadukan kenekatan, kekonyolan,
kesedihan, tapi juga inspiratif! Tak seorang pun tahu bahwa saya pernah
mengalaminya. Tapi, saya akan menceritakan semuanya!!! Tinggal menunggu
waktu yang TEPAT! ^^v
Tulisan ini
diposting pada bulan Juni 2010 di blog sebelumnya
"Harta yang paling berharga di dunia adalah wanita yang solehah." (H.R. Muslim)
Wanita ibarat bunga...
Cantik indahnya pada pandangan mata hanya sementara...
Yang kekal menjadi pujaan manusia, hanyalah wanita yang mulia akhlaknya...
Karena akhlaq wanita ibarat bunga...
Tiada guna berwajah cantik tetapi akhlaq buruk...
Tiada guna juga berwajah cantik tetapi hati kosong dari ilmu...
Ibarat bunga..
Ada yang cantik bila dipandang tetapi tidak enak baunya...
Ada pula yang kurang menarik dan baunya juga kurang menyenangkan...
Ada juga bunga yang tidak menarik pada pandangan mata kasar..
Tetapi bila dihalusi dengan mata hati, ternyata amat tinggi nilainya....
Wanita adalah makhluk Allah yang amat istimewa.
Kemuliaan dan keruntuhan sesuatu bangsa terletak di tangan wanita.
Allah telah menetapkan hukumNya atas mereka…
Karena itulah...
Sebagai anak, dia menjadi anak yang sholihah...
Sebagai remaja, dia akan menjadi remaja yang bersemangat...
Sebagai isteri, dia menjadi isteri yang menyenangkan dan menenangkan hati suaminya...
Sebagai ibu, dia akan mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang...
Dan pastinya sebagai hamba Allah, dia akan menjadi hamba yang tunduk dan menyerah diri hanya kepada-Nya.
Ayo Saudariku… mewangilah sampai ke SURGA!!!
Jakarta, 300410_02:19
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting
pada bulan April 2010 di blog sebelumnya
Aisya Avicenna