ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB. SAHABAT, TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG SAYA INI. SEMOGA BERMANFAAT DAN MAMPU MEMBERIKAN INSPIRASI. BAGI SAYA, MENULIS ADALAH SALAH SATU CARA MENDOKUMENTASIKAN HIDUP HINGGA KELAK SAAT DIRI INI TIADA, TAK SEKADAR MENINGGALKAN NAMA. SELAMAT MEMBACA! SALAM HANGAT, ETIKA AISYA AVICENNA.

JULI : [J]ejak-jejak [U]ntuk [L]edakkan [I]nspirasi


REFLEKSI JUNI
Bulan Juni menjadi bulan penuh “sensasi” bagi saya. Pasalnya, banyak kejadian yang membuat diri ini semakin tertempa dan semakin menyadari akan mahalnya sebuah keistiqomahan. Jujur saja, di akhir bulan Juni, saya sempat dihadapkan dalam sebuah suasana yang membuat diri ini “terpojok”, terpukul, dan jatuh sakit. Semuanya berakar dari sebuah perbedaan! Peristiwa itu sempat menguji keteguhan. Diri ini mencoba untuk tegar dan tak terusik dengan lingkungan yang belum sepenuhnya menerima dan mengerti tentang indahnya perbedaan. Ya Rabb, istiqomahkan hamba… itulah asa dari seorang hamba yang sedang berusaha mempertahankan dirinya. Saya teringat akan kisah yang pernah saya baca di buku “Beginilah Seharusnya Hidup”. 

 
Suatu hari, masyarakat kodok mengadakan sayembara. Sayembaranya berupa lomba lari dan diakhiri dengan menaiki menara yang cukup tinggi. Setelah beberapa hari dipublikasikan, beberapa kodok akhirnya mendaftarkan diri. Mereka banyak yang mendaftar karena tergitu dengan dengan hadiah yang besar. Setelah melalui beberapa tahap penyeleksian, akhirnya hanya sepuluh ekor kodok yang dibolehkan mengikuti perlombaan.


Pada hari yang telah ditentukan, kesepuluh ekor kodok ini berkumpul di alaun-alun. Penonton yang datang, bukan main banyaknya. Para peserta lomba diliputi perasaan tegang. Tegang karena harga diri keluarga dan suku ikut dipertaruhkan. Wasit bersiap-siap meniup peluit. Para peserta lomba bersiap mengambil ancang-ancang. Masing-masing telah siap dengan segala yang akan terjadi. Kalau perlu, untuk memenangkan perlombaan, segala macam cara akan dilakukan.


Priiittt!!!


Setelah peluit berbunyi, masing-masing kodok melompat-lompat berpacu untuk menjadi yang terdepan. Jarak lari sebelum naik menara lumayan jauh. Mereka harus menguras energi untuk sampai ke menara. Sedangkan finish dari lomba itu adalah di puncak menara. Barangsiapa yang berhasil menaiki menara dan meraih bendera di atasnya, dialah pemenangnya.


Kini, kesepuluh ekor kodok itu hampir mendekati menara. Penonton terdengar riuh rendah bertepuk tangan dan memberikan dukungan. Namun, di antara penonton itu tak sedikit pula yang menciutkan nyali peserta lomba.


“Wah, mana mungkin kodok bisa naik menara. Lomba ini hanya menguras tenaga saja!”
Beberapa peserta lomba yang sedang lari mendengar celetukan itu. Di dalam hati mereka membenarkan celetukan itu. Mereka pun akhirnya berhenti berlari. Adapun sisanya terus berlari. Empat ekor kini berada di bawah menara, sementara seekor kodok yang kecil masih berada jauh dari menara. Ia memang menjadi peserta yang tidak diunggulkan.


Keempat ekor kodok yang berada di bawah menara tengah berpikir. Apakah mereka akan terus memanjat menara tersebut, atau cukup sampai di situ. Di tengah kebimbangan yang melanda mereka, beberapa penonton banyak yang menyarankan agar menyerah saja. Karena tidak mungkin menara itu dapat dipanjat. Beberapa ekor di antara peserta lomba itupun banyak yang ciut nyalinya. Satu per satu mereka menyerah. Hanya tinggal satu peserta lagi yang masih jauh dari menara. Ia adalah peserta yang benar-benar tidak diunggulkan.


Kodok itu hampir mendekati menara. Namun, beberapa komentar yang menciutkan nyali tak digubrisnya, ia terus berlari.


“Woi, sudah berhenti saja. Yang lain juga berhenti, karena tidak mungkin kodok bisa memanjat menara!” begitulah beberapa celetukan penonton.
Akan tetapi, kodok kecil itu tetap berlari. Sedikitpun ia tidak meladeni omongan para penonton. Ia terus berkonsentrasi pada perlombaan yang tengah ia ikuti. Sampailah kodok itu di bawah menara. Dengan susah payah kodok itu melompat-lompat, memanjat menara yang memiliki banyak cabang.


Para penonton yang mengeluarkan kata-kata penciut nyali itu heran, karena kodok kecil ini sedikit demi sedikit mampu menaiki menara. Beberapa lama kemudian, sampailah kodok ini di puncak menara. Dengan hati-hati, diambilnya bendera. Kemudian, gemuruh penonton menyoraki kodok kecil yang berhasil menaiki menara dan memenangkan pertandingan.


Setelah turun, kodok itu disambut meriah dan sukacita oleh keluarga dan sukunya. Tak lama setelah itu, panitia menyerahkan hadiah. Wartawan kodok kemudian mengerubungi sang juara serta mewawancarainya. Namun, karena kelelahan kodok itu tak mau diwawancarai. Ia diwakili oleh keluarganya menghadapi pertanyaan dari para wartawan.


“Apa kunci keberhasilan kodok kecil itu sehingga menjadi juara?” tanya salah satu wartawan.
“Tentu saja banyak latihan!”
“Selain itu?”
“Banyak makan makanan yang bergizi, dan tak lupa berdoa.”
“Lalu, motivasi apa yang adan berikan kepada kodok kecil itu, sehingga ia tidak berhasil diruntuhkan mentalnya oleh para penonton?”
“Maksud Anda?”
“Yah. Tadi, ketika lomba sedang berlangsung banyak dari para peserta yang mundur karena ciut nyalinya setelah mendengar omongan para penonton.”
“Ooo, itu. Kodok kecil itu tidak terpengaruh dengan omongan yang meruntuhkan mental karena ia tidak mendengar omongan itu.”
“Maksudnya?”
“Kodok kecil itu tuli, jadi ia tidak mendengar apa yang diomongkan.”
Kisah kodok kecil itu mirip dengan yang saya alami. Saya pun berusaha ‘menulikan’ diri terhadap hujan kata yang ‘memojokkan’ itu. Biarlah. Saya tetap menghargai, karena setiap orang berhak menilai. Tapi menurut lubuk hati saya yang terdalam, penilaian terbaik hanya datang dari Allah Yang Maha Kuasa. Bukan berarti saya acuh, tapi biarlah saya memilin benang-benag filter dalam diri saya lebih kuat, lebih rapat sehingga saya mampu menyaring inputan yang positif dan membuang ampas-ampas negatif yang turut menyertai inputan itu.


Perbedaan, dalam hal apapun, kadang selalu menjadi polemik, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Manusia sebagai anak keturunan Adam, makhluk ciptaan Allah yang diberikan kelebihan oleh-Nya dibandingkan dengan makhluk lainnya. Menjadikan manusia mampu menyikapi perbedaan dengan bijak. Memang seharusnya seperti itu.
Ibarat sebuah bangunan, yang dibangun dari berbagai macam bahan, yang membuatnya kokoh berdiri, satu sama lain saling melengkapi dan memperkuat sehingga menjadi sebuah bangunan yang utuh. Satu dengan yang lainnya fokus dengan fungsi dan kemampuan masing-masing. Namun, semuanya berlandaskan pondasi yang sama.
Dalam Islam, pondasi itu adalah Tauhid, yang wajib kita yakini bahwa Allah adalah satu, menyakini dan mengimani semua sifat-Nya, nama-nama-Nya yang agung, menyakini semua penciptaan-Nya. Dalam setiap shalat kita, meng-ESAkan-Nya, bahwa tiada Tuhan Selain Allah. Berlandaskan tauhid inilah, perbedaan yang ada, mampu disikapi dengan bijak, bahwa kita adalah setetes air dalam samudera ilmu-Nya, tidak layak kita menyombongkan diri, merasa menjadi yang paling berilmu dan merendahkan yang lainnya, yang sama-sama menempuh jalan-Nya.


Merendahkan hati kepada sesama, semakin berisi semakin merunduk dan bersifat tawadhu, sikap-sikap seperti ini yang seharusnya dikembangkan, dan tentunya akan lebih baik memeriksa kesalahan diri sendiri, daripada mencari-cari kekurangan orang lain. Paling tidak itulah hikmah yang saya ambil. Setiap kita mengucapkan salam setelah sholat, maka kita mendoakan sesama ummat yang ada di samping kanan dan kiri kita, semoga selalu ada dalam keselamatan, rahmat-Nya dan berkah-Nya, maka jika dengan sadar kita melakukannya, dengan penuh keikhlasan, sudah selayaknya kita mampu menyikapi perbedaan dengan bijak. Karena jika seorang Muslim, menempuh Jalan-Nya, dan berupaya mengharapkan ridho-Nya dalam perjalanan hidupnya, pasti akan mendapatkan petunjuk-Nya, selama itu menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.


“Barangsiapa yang Allah menghendaki padanya kebaikan maka Dia akan menjadikannya mengerti masalah agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Terima kasih Ya Allah karena menyajikan bulan Juni yang begitu berarti.
Sebuah sugesti positif : Saat ‘SENDIRI’ di tengah ‘hutan belantara’ dengan berjuta bahaya yang siap menerkam, jangan pernah merasa SENDIRI! Allah bersamamu dan akan melindungimu dengan penjagaan terbaik-Nya. Allah Maha Kuasa, Dia pun bisa mengirimkan manusia-manusia terpilih untuk menjadi sahabat dan pelindung dalam ‘KESENDIRIAN’mu.

RESOLUSI JULI
Tidak ada yang tahu pasti bagaimana masa depan kita. Satu hal yang saya percayai adalah, semakin banyak kita berbuat kebaikan, semakin indah juga hidup kita. Semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula yang kita dapatkan. Semakin keras kerja kita, semakin besar kesuksesan kita. Semakin kita berani mengambil resiko untuk menyambut peluang, semakin besar pula keberuntungan yang akan kita dapatkan. Insya Allah.
Jangan hanya MENUNGGU, tapi BERGERAK dan BERJUANGLAH meraih apa yang diinginkan!!!
JULI = [J]ejak-jejak [U]ntuk [L]edakkan [I]nspirasi
Bismillahirrahmanirrahim…
Yakin... yakin... yakin... SIAP MELANGKAH!!! Diri ini semakin tahu setiap detail yang diinginkan... Tapi Allah Maha Tahu lebih detail dari setiap apa yang PANTAS untuk diberikanNya pada hamba-Nya ini…
Kebaikan bukanlah memiliki harta melimpah dan anak banyak. Akan tetapi, kebaikan adalah jika amalmu banyak, ilmumu luas dan engkau tidak menyombongkan diri kepada orang lain dengan ibadahmu kepada Allah SWT. Jika berbuat baik, engkau segera bersyukur kepada Allah SWTdan jika berbuat buruk segera memohon ampun kepada-Nya
~Sayyidina Ali Bin Abi Thalib~
Jakarta, 1 Juli 2010
Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya

0 comments:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan komentar di blog ini ^___^. Mohon maaf komentarnya dimoderasi ya. Insya Allah komentar yang bukan spam akan dimunculkan. IG/Twitter : @aisyaavicenna