Kamis, 03 November 2016

Puisi dalam Plastik

Benang-benang jingga terajut indah di senja kali ini. Mataku tak lepas dari sorot sang bagaskara yang lambat laun kembali ke peraduannya. Saat asyik memandang kepulangan mentari senja itu, aku merasakan ada sesuatu tersangkut di kaki. Sebuah plastik. Aku pungut plastik itu. Awalnya, akan kubuang. Setelah kuamati, ternyata ada yang aneh. Ada kertas di dalamnya. Kemudian, langsung kubuka lipatannya.
Kutulis denting cinta ini di sebuah tebing di pinggiran pantai 
Kamu tahu kenapa? 
Biar ketika menangis… 
Burung-burung camarlah yang menghibur kesedihan 
Biar ketika tertawa… 
Gema-gema alamlah yang mengisi keramaian 
Ketika bergembira… 
Peri-peri memainkan keindahan dawainya 
Di tengah lukisan senja atau fajar di kejauhan 
Saat terasa terluka… 
Buih-buih pantai yang membasuh dengan deburan ombaknya yang tiada akhir mengecup kepedihan 
Bila merengkuh kegundahan… 
Menatap kedatangan kapal-kapal yang singgah Memberi sejuta harapan Setiap orang yang memandang tebing 
Akan melihat indahnya cinta kita! 
Setiap orang yang mendengar gema tebing…
 Akan mendengar melodi kasih kita! 
Apabila ia telah naik ke tebing, sungguh ia telah berada di tengah-tengah
 Segalanya tentang kita! 
Batu Cadas, 10 Oktober 2010 
-ROS- 

Tertegun diriku saat membaca puisi itu. Indah sekali. Ros? Siapakah dia? Aku baca ulang puisi itu. Ada rasa membuncah dalam dada. Aku ingin bertemu dengan Ros. 
10 Oktober 2010? 
Hari ini! Mungkin saja dia tinggal di sekitar pantai. Batu Cadas? Di manakah itu? 
Aku bertanya pada seorang nelayan yang tengah menyiapkan perahunya untuk berlayar malam ini. 
 “Maaf, Pak! Saya mau numpang tanya. Batu Cadas itu di mana ya?” tanyaku. 
Nelayan itu menyeka keringatnya kemudian menjawab, “Ooo, di atas bukit itu Nak!” 
“Terima kasih, Pak!”
 Aku langsung berlari menuju daerah Batu Cadas yang terletak di atas bukit seberang pantai. Tersengal-sengal napasku meski pada akhirnya aku sampai juga di atas bukit. Ada seorang perempuan berkerudung merah tengah menyirami taman mawar di halaman rumah bambunya. “Mbak, Batu Cadas itu di mana ya?” tanyaku
 “Di sini Mas!” jawabnya sambil tersenyum.
 “Mas mau mencari siapa?” “Ros”, jawabku yakin. 
“Kebetulan, saya Ros. Rosmita!”
 “Oh.. perkenalkan, nama saya Aditya,” jawabku sambil mengulurkan tangan. 
Ros membalas jabat tanganku dengan menelangkupkan tangannya di depan dada. 
“Maaf ya Mas, bukan mahramnya”
 “Oh, maaf ya Ros!” aku kikuk.
 “Ros, saya menemukan puisi ini di tepi pantai. Kamu yang menulisnya?” 
“Iya”, Jawab Ros pelan 
“Ros, aku langsung jatuh cinta saat pertama kali puisi ini kubaca!” Ros hanya terdiam.
 “Maukah kau menjadi kekasihku, Ros? Kekasih untuk selamanya.” Ros masih diam. 
“Jawab Ros. Aku ingin kau menjadi pendamping hidupku.”
 “Maaf Mas, saya memang ingin menikah. Tapi maaf, saya tidak bisa menikah dengan Mas!” jawabnya lirih. 
“Mengapa Ros?”
 “Mari ikuti aku, Mas!” Ros berjalan ke belakang rumah. Aku mengikutinya. 
“Mas, tutup mata ya! Mas akan segera tahu alasannya.” Aku menurutinya. “Sekarang buka mata Mas!” Saat kubuka mata. Di depanku ada gundukan tanah merah. Pada nisannya tertulis, “Rosmita, Lahir : 1 Oktober 1985, Wafat : 10 Oktober 2010”. Aku merinding. Ada sekuntum mawar merah dan sebuah plastik berisi kertas di atas gundukan tanah merah itu. Apakah puisinya lagi?



Tulisan ini diposting pada bulan Mei 2012 di blog sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan komentar di blog ini ^___^. Mohon maaf komentarnya dimoderasi ya. Insya Allah komentar yang bukan spam akan dimunculkan. IG/Twitter : @aisyaavicenna