Kamis, 26 November 2015

Tukang Ojek Permanen

Tuesday, April 06, 2010

Bandung, 30 Maret 2010
Langit Bandung tampak mendung. Itulah sambutan perdana saat Andini menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota itu. Dingin masih nekat merangsek jalinan benang tebal dari jaket hitam yang dikenakannya. Hari itu, Andini bersama Lina, rekan kerjanya. Mereka mendapat tugas dari kantor untuk mengikuti seminar hasil penelitian yang diselenggarakan oleh sebuah instansi pemerintah di kota Bandung.
Setelah Andini dan Lina turun dari bus Prima Jasa, mereka sedikit bingung mencari tempat acara karena peta yang tertera di undangan kurang begitu jelas.
“Din, habis ini kita naik apa ya?” Tanya Lina bingung.
“Wah, yang ditanya juga tidak jauh beda dengan yang bertanya… hehe!” jawab Andini
“Tanya tukang ojek itu aja yuk!” lanjutnya.
Lina dan Andini berjalan mendekati seorang tukang ojek yang sedang duduk santai di pos ojek.
“Punten Pak, Pusat Litbang Cileunyi di mana ya?” Tanya Lina pada tukang ojek itu.
“O… eneng nyebrang jalan itu dulu. Nanti ada jalan masuk… lurus saja…” kata tukang ojek itu sambil sesekali menghisap rokoknya yang tinggal separuh.
“Nuhun Pak…”
“Mangga, Neng!”
Mereka pun menyeberang jalan. Pagi itu arus lalu lintas di perempatan ujung tol Cileunyi lumayan padat. Mereka menunggu beberapa menit sampai akhirnya bisa menyeberang jalan sambil berlari-lari. Olahraga pagi nih!
Sampai di seberang jalan, mereka bertanya pada penjual toko kelontong tentang keberadaan Pusat Litbang Cileunyi. Wow, ternyata masuknya masih jauh dan tidak ada angkot yang lewat ke sana. Padahal acara akan segera dimulai.
Lina akhirnya berkata, “Naik ojek aja yuk!”
Andini berkomentar dalam hati “Weleh, naik ojek??? Hmm… gimana nih?”
Dengan agak terpaksa, akhirnya Andini menyetujui usulan Lina karena satu-satunya cara ke sana dengan ojek itu… (kalau jalan kaki jauh sekali… tidak ada bajaj ataupun taksi…).
Bismillahirrahmanirrahim…
Untuk pertama kalinya naik ojek. Andini banyak-banyak istighfar selama dalam boncengan sang tukang ojek yang tentu tak dikenalnya. Ya Allah… ini terpaksa saya lakukan… batin Andini di sepanjang perjalanan menuju Pusat Litbang Cileunyi yang ternyata memang sangat jauh. Kalau mungkin saat itu ia sudah menikah, pasti ada suami yang akan setia mengantarnya dan yang ia bonceng saat itu mungkin adalah sang suami tercinta… batin Andini…
Sesampai di Puslitbang Cileunyi, Andini mengeluarkan uang 4000 dari dompet bermotif bunga mawar miliknya untuk membayar ongkos pada si tukang ojek. Lina sudah sampai duluan.
“Din, punya uang 4000-an gak?” tanya Lina yang masih berdiri di dekat tukang ojek yang ia tumpangi.
“Punya…” jawab Andini sembari mengeluarkan uang 4000 lagi.
Tukang ojek yang dinaiki Lina sudah berputar balik dan melaju pergi. Andini membayar 8000 rupiah pada tukang ojek yang masih menunggunya. Andini berpikir 8000 itu sekalian untuk membayar tukang ojek yang ditumpangi Lina. Tukang ojek itu pun pergi.
“Din, kamu tadi bayar berapa?”
“8000, yang 4000 kan buat tukang ojek yang kamu naiki.” Jawab Andini
“Lhoh, aku dah bayar!” ujar Lina
“Walah, kirain kamu tadi tanya punya 4000-an karena kamu belum bayar dan ga punya uang receh. Pantesan tadi tukang ojeknya tersenyum mengembang… ih, harusnya dia bilang kalau bayarku cuma 4000 ajah…” protes Andini
“Ya sudahlah… itung-itung buat amal… hehe… “ ledek Lina.
“Dasar tukang ojek! Hehehe.. tapi lucu juga tadi… pengalaman pertama naik ojek… “ senyum Andini pun akhirnya mengembang.
***
Saat sedang asyik mengikuti pembukaan seminar di Pusat Litbang Cileunyi, ada SMS masuk dari kakaknya. Namanya Didi. Dia seorang ikhwan, mantan takmir masjid di kampus Andini dulu. Sekarang sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah.
“Aslmkm. Din, sudah sampai??”
“Wa’alaykumslm. Alhamdulillah, sudah Kak! Kak, tadi Andini naik ojek. Menurut kakak, akhwat naik ojek boleh ga sih?”
Kak Didi pun membalas SMS adiknya lagi.
“Lhoh, kenapa tidak boleh?? Kalau kondisinya darurat tidak masalah. Asalkan akhwat itu tetap menjaga izzahnya… Akhwat juga manusia dek… dia bukan superhero yang bisa terbang… Kan tidak ada tukang ojek akhwat juga kan?? Hiihii…Ya sudah, kalau begitu segera saja cari tukang ojek permanen. Biar kemana-mana ada yang njaga dan nganterin…!”
Andini tersenyum saat membaca SMS dari kakaknya itu.
“Tukang ojek permanen??? Hmm… tak perlu dicari Kak. Dia akan datang sendiri dengan gagahnya dan berkata : ‘Ukh, mari bersama menuju jannahNya… Silakan anti duduk di boncengan ini, ana akan membawa anti menuju jannahNya…akan melindungi dan menjaga anti dalam mengarungi perjalanan panjang yang masih akan kita tempuh … ‘. Hihihi… ngaco ah! Gara-gara Kak Didi nih….” Balas Andini dalam SMS-nya.
“Dasar adikku ini… Ya sudah, selamat menikmati seminarnya. Semoga muntijah dan barokah. Amiin… Hati-hati ya pulangnya nanti…”
“Iya Kak, syukron” balas Andini.
***
Jakarta, 30 Maret 2011
Pukul 17.30, Andini masih di kantornya. Dia telepon Adnan, laki-laki yang baru menikah dengannya bulan Februari yang lalu.
“Assalamu’alaykum. “
“Wa’alaykumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.”
“Mas Adnan, adek dapat tugas dari Pak Direktur yang harus diselesaikan hari ini juga. Adekdiizinkan pulang ba’da Isya’ ga?”
“Tugas apa Dek?”
“Besok Pak Direktur ada rapat penting, ada data yang harus diolah berkaitan dengan bahan rapat besok. Adek dipercaya untuk mengolah datanya dan malam ini harus jadi.”
“Ow… tidak apa-apa kalau begitu. Mas Adnan izinkan. Tapi nanti pulangnya jangan kemalaman, hati-hati ya… Agenda Mas di Bandung belum selesai. Ini masih syuro.”
“Terima kasih Mas, mohon doanya semoga pengolahan datanya segera selesai dan bisa lekas pulang.”
“Semoga dipermudah ya Dek. Sudah ya… selamat melanjutkan aktivitas.. Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh…”
“Wa’alaykumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh… hati-hati juga ya Mas.”
**
Andini kembali melanjutkan aktivitasnya. Pukul 19.00 ternyata belum selesai juga. Akhirnya baru bisa keluar kantor pukul 20.00.
Sampai di luar kantor, hujan turun rintik-rintik. Andini menyusuri trotoar menuju halte yang letaknya lumayan jauh dari kantornya. Saat berjalan menuju halte, Andini melewati pangkalan ojek. Beberapa tukang ojek menawarinya. Andini berpikir untuk naik ojek saja menuju halte yang letaknya masih cukup jauh. Akan tetapi, ia segera mengurungkan niatnya. Ia melanjutkan perjalanan lagi. Beberapa langkah kemudian, ada seorang tukang ojek yang berhenti di samping kanannya. Mengenakan pakaian serba hitam. Lengkap dengan helm dan slayer berwarna hitam.
“Assalamu’alaykum. Mbak, mari saya antar… “
Wah, sopan juga ni tukang ojek, pikir Andini.
“Wa’alaykumussalam. Maaf Mas, saya naik metromini saja.”
Andini terus berjalan menuju halte. Sesampainya di halte sudah ada metromini yang mangkal dan iapun menaikinya.
Perjalanan agak macet. Pukul 20.30, Andini baru tiba di ujung jalan menuju rumahnya. Gelap dan sunyi. Andini berjalan menyusuri jalan kecil menuju rumahnya yang masih berjarak beberapa ratus meter. Tiba-tiba ada seorang tukang ojek yang berhenti di dekatnya.
“Ojek, Mbak!” tawarnya
“Maaf Mas, saya jalan kaki saja. Sudah dekat kok!”
Sejurus kemudian, tukang ojek itu mengeluarkan sebilah pisau.
Andini terperanjat…
“Keluarkan dompet dan HP sekarang!”
Meski agak takut, Andini mencoba tenang… dengan gemetaran ia mengeluarkan dompet dan HP nya…
Sebelum dompet dan HP itu berpindah tangan… Tiba-tiba…
Bukk!!!
Seseorang memukul tukang ojek yang akan mencoba merampok Andini. Pisau yang ia pegang terpelanting jatuh. Tukang ojek itu pun ambruk bersama motornya.
“Mari Mbak, naik di boncengan saya…”
Meski agak ragu, Andini naik juga di boncengan orang yang baru saja menyelamatkannya.
Selang berapa lama…
“Stop Mas, saya turun di sini!”
Andini turun dari boncengan dan mengeluarkan uang 50.000 rupiah.
“Tidak usah Mbak!”
“Mohon diterima, Mas… sebagai tanda terima kasih saya juga..”
Tukang ojek itu diam beberapa saat.
“Gratis kok! Karena istriku pulang dengan selamat sampai rumah ongkosnya jauh lebih mahal!”
Tukang ojek berpakaian serba hitam itu akhirnya membuka helm.
“Mas Adnan!!!” Andini terkejut
Adnan tersenyum..
“Setelah tahu adek pulang malam, Mas langsung pulang dari Bandung… Pengin njemput adek di kantor. Tadi ditawari ngojek di depan kantor nggak mau sih… akhirnya mas buntuti sampai sini deh…”
“Masya Allah, Mas Adnan… Andini baru sadar, ternyata tukang ojek yang tadi adek temui di depan kantor tadi Mas Adnan juga… terima kasih banyak ya…”
**
Jakarta, 31 Maret 2011
Pagi itu, saat mentari sudah menunjukkan senyumnya di ufuk timur… Adnan sedang asyik menyirami tanaman di depan rumahnya. Mawar merah, bunga favorit istrinya, sedang bermekaran menghiasi taman di depan rumahnya itu. Andini berjalan keluar rumah.
“Mas, adek ke pasar dulu ya!”
“Diantar ga? Sendirian berani???” tanya Adnan
“Sendiri aja Mas. Mas Adnan kan masih capek habis pulang dari Bandung.”
“Ya sudah kalau begitu…Titi DJ ya dek” canda Adnan pada Andini
“Insya Allah… Assalamu’alaykum…”
“Wa’alaykumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh..”
Andini berjalan menuju pasar dengan perasaan yang sangat bahagia. Sambil bersenandung lirih…
Selama ini kumencari-cari teman yang sejati buat menemani perjuangan suci… Bersyukur kini padaMu Illahi, teman yang dicari… selama ini… telah kutemui…”
Tiba-tiba langkahnya terhenti karena dikejutkan dengan suara motor yang berhenti di belakangnya.
“Mbak… Ojek! Gratis kok!!!”
Andini menoleh. Senyum Andini mengembang karena Adnan sudah ada di belakangnya.
Andini langsung duduk di boncengan Adnan, “Ke pasar ya Mas! Hehe… ”
Betapa bahagianya Andini, karena sekarang ada Adnan, sang “tukang ojek permanen” yang siap menjaga dan melindunginya bahkan mengantarkannya ke manapun dia pergi…
“Terima kasih banyak Mas Adnan…,” kata Andini
Suaranya terkalahkan oleh suara deru motor yang ia naiki bersama “tukang ojek permanen” nya…
***
Cileunyi, 30 Maret 2010_18.00
Aisya Avicenna

(Tulisan ini diposting pada bulan April 2010 di blog sebelumnya)
Aisya Avicenna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan komentar di blog ini ^___^. Mohon maaf komentarnya dimoderasi ya. Insya Allah komentar yang bukan spam akan dimunculkan. IG/Twitter : @aisyaavicenna