ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB. SAHABAT, TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG SAYA INI. SEMOGA BERMANFAAT DAN MAMPU MEMBERIKAN INSPIRASI. BAGI SAYA, MENULIS ADALAH SALAH SATU CARA MENDOKUMENTASIKAN HIDUP HINGGA KELAK SAAT DIRI INI TIADA, TAK SEKADAR MENINGGALKAN NAMA. SELAMAT MEMBACA! SALAM HANGAT, ETIKA AISYA AVICENNA.

Catatan Aisya [19] : Idealitas itu Motivasi


Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok! Sebab masa silam adalah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa diubah. Begitu juga denganku, aku tidak akan suka jika masa laluku yang dinilai dan diungkit-ungkit. Sebab harapanku terbentang mulai hari ini hingga ke depan untuk menjadi lebih baik dan terus lebih baik!


~Give me some sunshine.. Give me some rain.. Give me another chance.. I wanna grow up once again!!!~

Saya menulis status di atas bukan tanpa alasan. Saya awali dengan pertanyaan, "Merasa kesal nggak sih kalau masa lalu yang sudah kita kubur dalam-dalam tiba-tiba diungkit-ungkit lagi? Malah dibeberkan ke banyak orang?" Hmm, jujur kalau saya akan merasa sedikit kesal sih. Tapi perlu diingat, jangan sampai kesalnya kebablasan dan malah jadi ngamuk-ngamuk dan melakukan tindakan anarkhis. Hehe... Kayak apa aja! Kesal sih boleh, tapi cobalah untuk bersabar dan mengambil sisi positif dari diungkitnya kembali masa lalu itu.

Ada nasihat dari Ustadz Rahmat Abdullah yang sangat bagus yakni :
- Dua hal yang harus selalu kita ingat adalah kebaikan orang lain terhadap kita dan keburukan kita terhadap orang lain.
- Dua hal yang tidak perlu kita ingat adalah kebaikan kita terhadap orang lain dan keburukan orang lain terhadap kita.

Jadi, kalau keburukan kita diungkit-ungkit orang lain jadikan saja sebagai sarana pemacu kita untuk memperbanyak istighfar dan memperbaiki diri. Teruslah berbuat baik bagi orang lain dan tidak perlulah kita mengungkit-ungkit kebaikan kita tersebut.

Masih dari status di atas, "Sebab harapanku terbentang mulai hari ini hingga ke depan untuk menjadi lebih baik dan terus lebih baik".
Untuk menjadi pribadi yang lebih baik saya menjadikan sepuluh profil pribadi muslim di bawah ini sebagai motivasi. Memang sih, kesepuluh kriteria ini jika terintegrasi secara utuh akan mencetak pribadi muslim yang ideal. Mungkinkah kondisi ideal terwujud? Tak mudah memang, tapi tak ada salahnya untuk diwujudkan. Bahkan kondisi ideal ini bisa kita jadikan motivasi. Tidak ada yang tidak mungkin jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menginternalisasikan sepuluh kriteria di bawah ini dan tentunya jika Allah berkehendak. Kesepuluh kriteria muslim ideal yang digambarkan secara rinci dalam beberapa blog inspiratif yang saya baca
, antara lain:

1. Salimul Aqidah (Good Faith)
Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan- ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam’ (QS 6:162).
Karena memiliki aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam da’wahnya kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah Saw mengutamakan pembinaan aqidah, iman atau tauhid.
Beberapa contoh dari penerapan Salimul Aqidah, yaitu:

* Tidak mengkafirkan seorang muslim;
* Tidak mengedepankan makhluq atas Khaliq;
* Mengingkari orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah swt dan tidak bergabung dalam majlis mereka;
* Mengesakan Allah swt dalam Rububiah dan Uluhiah;
* Tidak menyekutukan Allah swt, dalam Asma-Nya, sifat-Nya dan Af’al-Nya;
* Tidak meminta berkah dengan mengusap-usap kuburan;
* Mempelajari berbagai aliran yang membahas Asma’ dan Sifat dan mengikuti madzhab salaf;
* Mengetahui batasan-batasan wala’ dan bara’;
* Berteman dengan orang-orang shalih dan meneladaninya;
* Meyakini terhapusnya dosa dengan taubat Nashuha;
* Memprediksikan datangnya kematian kapan saja;
* Meyakini bahwa masa depan ada di tangan Islam;
* Berusaha meraih rasa manisnya iman;
* Berusaha meraih rasa manisnya ibadah;
* Merasakan adanya para malaikat mulia yang mencatat amalnya;
* Merasakan adanya istighfar para malaikat dan do’a mereka.

2. Shahihul Ibadah (Right Devotion)
Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul Saw yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: ’shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.’ Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
Beberapa aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dari shahihul ibadah, yaitu:

* Khusyu’ dalam shalat;
* Qiyamul-Lail minimal satu kali dalam sepekan;
* Bersedekah;
* Berpuasa sunnat minimal dua hari dalam satu bulan;
* Menjaga organ tubuh (dari dosa);
* Haji jika mampu;
* Khusyu’ saat membaca Al Qur’an;
* Sekali Khatam Al Qur’an setiap dua bulan;
* Banyak dzikir kepada Allah swt sembari menghafalkan bacaan ringan;
* Banyak berdo’a dengan memperhatikan syarat dan adabnya;
* Banyak bertaubat;
* Selalu memperbaharui niat dan meluruskannya;
* Memerintahkan yang Ma’ruf;
* Mencegah yang Munkar;
* Ziarah kubur untuk mengambil ‘Ibrah;
* Merutinkan shalat sunnah Rawatib;
* Senantiasa bertafakkur;
* Beri’tikaf satu malam pada setiap bulannya;

3. Matinul Khuluq (Strong Character)
Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan prilaku yang harus dimiliki oleh setkal muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al- Qur’an, Allah berfirman yang artinya: ‘Dan sesungguhnya kamu benar- benar memiliki akhlak yang agung’ (QS 68:4).
Aplikasi dari matinul khuluq yang dapat diperaktikkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

* Tidak ‘inad (membangkang);
* Tidak banyak mengobrol;
* Sedikit bercanda;
* Tidak berbisik tentang sesuatu yang bathil;
* Tidak hiqd (menyimpan kemarahan);
* Tidak hasad;
* Memiliki rasa malu untuk berbuat kesalahan;
* Menjalin hubungan baik dengan tetangga;
* Tawadhu’ tanpa merendahkan diri;
* Berani;
* Halus;
* Menjenguk orang sakit;
* Komitmen dengan adab meminta idzin;
* Berterimakasih kepada orang yang berbuat baik;
* Merendahkan suara;
* Menyambung persaudaraan (Shilatur-Rahim);
* Komitmen dengan adab mendengar;
* Komitmen dengan adab berbicara;
* Memuliakan tamu;
* Mengumbar senyum di depan orang lain;
* Menjawab salam

4. Qowiyyul Jismi (Physical Power)
Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk- bentuk perjuangan lainnya.
Kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya: ‘Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah’ (HR. Muslim).
Aplikasi dari matinul khuluq yang dapat diperaktikkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:
1) Mengikuti petunjuk kesehatan dalam makanan dan minuman, seperti:

* Membersihkan peralatan makan dan minum;
* Menjauhi makanan yang diawetkan dan mengkonsumsi minuman alami;
* Mengatur waktu-waktu makan;
* Mampu menyediakan makanan;
* Tidak berlebihan dalam mengkonsumsi yang berlemak;
* Tidak berlebihan dalam mengkonsumsi garam;
* Tidak berlebihan dalam mengkomsumsi gula;
* Selektif dalam memilih produk makanan

2) Mengikuti petunjuk kesehatan tentang tidur dan bangun tidur, seperti:

* Tidur 6 – 8 jam dan bangun sebelum fajar;
* Berlatih 10 – 15 menit setiap hari;
* Berjalan 2 – 3 jam setiap pekan;
* Mengobati diri sendiri;
* Tidak mempergunakan obat tanpa meminta petunjuk

5. Mutsaqqoful Fikri (Thinking Brilliantly)
Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur’an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia antuk berpikir, misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: ‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219).
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktivitas berpikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatka pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.
Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah:samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS 39:9).
Aplikasi dari mutsaqqoful fikri yang dapat diperaktikkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

* Hafal juz 28 dan 29 dengan baik;
* Membaca tafsir Al Qur’an juz 28 dan 29;
* Mengaitkan antara Al Qur’an dengan realita;
* Mengahafalkan seluruh hadits dari Arba’in An Nawaiah;
* Menghafal 50 Riyadhush-Shalihin;
* Mengkaji marhalah Madaniah dan menguasai karakteristiknya;
* Mengenal sirah 20 syuhada dari kalangan sahabat ;
* Mengetahui hukum Zakat;
* Mengetahui fiqih Haji;
* Membaca tujuh jam setiap pekan di luar spesialisasinya;
* Mengetahui sisi-sisi Syumuliyatul Islam;
* Mengetahui problematika kaum muslimin nasional dan internasional;
* Mengetahui apa kerugian dunia akibat kemunduran kaum muslimin;
* Mengetahui urgensi Khilafah dan kesatuan kaum muslimin;
* Mengetahui arus pemikiran Islam kontemporer;
* Menghadiri orientasi dan seminar-seminar kita;
* Mengetahui dan mengulas tiga risalah ;
* Mengetahui dan mengulas risalah Aqaid;
* Memahami amal jama’I dan taat;
* Membantah suara-suara miring yang dilontarkan kepada kita;
* Mengetahui bagaimana proses berdirinya negara Israil:
* Mengetahui informasi baru dari problematika kontemporer;
* Memiliki kemampuan mengulas apa yang ia baca;
* Menyebar luaskan apa saja yang diterbitkan oleh koran dan terbitan-terbitan kita;
* Berpartisipasi dalam melontarkan dan memecahkan masalah

6. Mujahadatun Linafsihi (Continence)
Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatun linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setkal diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beragmana seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).
Aplikasi dari mujahadatun linafsihi yang dapat diperaktikkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

* Memerangi dorongan-dorongan nafsu;
* Tidak berlebihan dalam mengkonsumsi yang mubah;
* Selalu menyertakan niat jihad;
* Menjadikan dirinya bersama orang-orang baik;
* Memakan apa yang disuguhkan dengan penuh keridhaan;
* Menyumbangkan sebagian hartanya untuk amal Islami;
* Sabar atas bencana;
* Menyesuaikan perbuatan dengan ucapannya;
* Menerima dan memikul beban-beban da’wah.

7. Harishun ‘ala Waqtihi (Good time management)
Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, Yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: ‘Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu.’
Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
Aplikasi dari harishun ala waqtihi yang dapat diperaktikkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

* Memperhatikan adab Islam dalam berkunjung dan mempersingkat pemenuhan hajatnya;
* Memelihara janji umum dan khusus;
* Mengisi waktunya dengan hal-hal yang berfaedah dan bermanfaat.

8. Munazhzhamun fi Syu’unihi (Well Organized)
Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya. Dengan kata lain, suatu udusán dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban, adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahuan merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam menunaikan tugas-tugasnya.
Aplikasi dari munzhzhamun fi syuunihi yang dapat diperaktikkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

* Shalat sebagai penata waktunya;
* Teratur di dalam rumah dan kerjanya;
* Merapikan ide-ide dan pikiran-pikirannya;
* Disiplin dalam bekerja;
* Memberitahukan gurunya problematika yang muncul

9. Qodirun ‘alal Kasbi (Independent)

Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena itu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits dan hal itu memilik keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.
Aplikasi dari qodirun alal kasbi yang dapat diperaktikkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

* Bekerja dan berpenghasilan;
* Tidak berambisi menjadi pegawai negeri;
* Mengutamakan spesialisasi langka yang penting dan dinamis;
* Berusaha memiliki spesialisasi;
* Ekonomis dalam nafkah ;
* Mengutamakan produk umat Islam;
* Tidak membelanjakan harta kepada non muslim;
* Bersemangat untuk memperbaiki kualitas produk dengan harga sesuai

10. Naafi’un Lighoirihi (Giving Contribution)
Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya tirák mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya.
Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir).
Aplikasi dari nafi’un lighoirihi yang dapat diperaktikkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:1) Komitmen dengan adab Islam di dalam rumah;

* Melaksanakan hak-hak pasangannya (suami atau istri);
* Membantu istrinya;
* Melaksanakan hak-ahak anak;
* Memberi hadiah kepada tetangga;
* Memberikan pelayanan umum karena Allah swt;
* Memberikan sesuatu dari yang dimiliki;
* Mendekati orang lain;
* Mendorong orang lain berbuat baik;
* Membantu yang membutuhkan;
* Membantu yang kesulitan;
* Membantu yang terkena musibah;
* Menolong yang terzhalimi;
* Berusaha memenuhi hajat orang lain
* Bersemangat menda’wahi istrinya, anak-anaknya, dan kerabatnya;
* Memberi makan orang lain;
* Mendo’akan yang bersin.

Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.


Jakarta, 190411_16:23
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com


Tulisan ini diposting pada bulan April 2011 di blog sebelumnya.

Catatan Aisya [18] : Menikah Tanpa Pacaran? Why Not?!


Tanggal 18 April 2011? Hari ini, kan? Apa istimewanya hari ini? Semoga kita bisa menemukan keistimewaannya, bahkan kalau perlu sudah membuat rencana luar biasa untuk membuat hari ini istimewa. Saya pun menulis catatan Aisya edisi ke-18 ini karena ada sesuatu yang sangat istimewa. Sebenarnya bukan tertuju pada saya. Tapi pada dua orang yang istimewa bagi saya. Dua orang yang memang baru saya kenal, tapi kebersamaan dengan mereka membuat saya mengenal mereka lebih dari hitungan waktu yang terhitung sejak awal perkenalan kami. Halah! Hemmm, tulisan ini bahkan sudah saya rencanakan jauh-jauh hari. Benar-benar mengistimewakan tanggal 18 April!

Mari kita mulai. Sebut saja lakon dalam kisah ini bernama Uni dan Akang. Sengaja di awal tulisan ini saya menyamarkan nama keduanya. Saya harap pembaca tidak tergesa melihat gambar yang saya pajang di akhir tulisan ini. Gambar tersebut memang buru-buru saya scan tadi pagi sebelum berangkat ke kantor. Langsung dari buku yang bulan lalu saya baca. Buku itulah yang menjadi referensi utama saya dalam catatan kali ini. Sejak menamatkan buku itu, tergerak pulalah keinginan saya untuk menulis ulang kisahnya pada hari ini, 18 April. Simak ya kisahnya.

Ketika usia Uni memasuki angka 25, masalah pernikahan menjadi topik paling seru yang diangkat orang tuanya. Peringkatnya paling tinggi katanya! Nah, saat usianya mendekati angka 30, topik tersebut semakin melejit ratingnya. Luar biasa! Orang tua Uni seakan tak bosan membicarakannya.

“Kamu mikir umur tidak? Teman-teman sekolahmu dulu sudah pada menikah semua? Sudah pada punya anak!”

Ah, banyak pertanyaan lain dilontarkan pada Uni yang pada intinya berisi tuntutan keras agar Uni segera menikah. Namun, entah mengapa Uni masih saja merasa gamang untuk memenuhi harapan orang tua. Uni tetap menikmati aktivitasnya dalam kesendirian yang mungkin bagi wanita lain cukup menggerahkan.

Di mata Uni, pernikahan merupakan gerbang menuju berbagai persoalan hidup yang lebih rumit dan komplit, bukan sebuah jalan pintas untuk lepas dari status lajang, bukan pula pelarian untuk bebas dari tuntutan orang tua.

Meskipun begitu, Uni juga membenarkan bahwa menghadapi sepuluh persoalan berdua dengan pasangan terasa lebih ringan daripada menghadapi satu persoalan sendirian. Di sini Uni percaya bahwa ikatan pernikahan memiliki kekuatan luar biasa untuk melewati setiap persoalan hidup. Itu pun jika bisa sabar dan ikhlas menjalaninya


“Bu, saya ingin memenuhi keinginan Ibu”. Itulah kalimat yang Uni ucapkan dengan sangat perlahan di hadapan Ibunya saat itu.

“Saya sudah menjatuhkan pilihan, Bu. Insya Allah sekarang saya yakin untuk melangkah!”. Begitu Uni menutup penuturannya saat itu. Yakin, memang hanya itulah yang Uni butuhkan untuk melangkah, terlebih untuk urusan sepenting ini.

Ya, pada akhirnya Allah mempertemukan Uni dengan seseorang yang membuatnya yakin untuk melangkah. Pertemuan yang tak direncanakan itu terjadi September 2003, di acara rutin FLP DKI Jakarta. Pertemuan kedua terjadi di bukan Oktober pada acara yang sama. Namun, sejauh itu mereka sama sekali tidak pernah ngobrol apa-apa. Bertegur sapa pun nyaris hanya sekedar basa-basi singkat. Maklum, Uni sepertinya orang top di FLP DKI Jakarta, jadi agak jaim sedikit sama anak baru. Hehe.. Akang memang anggota baru di FLP DKI Jakarta saat itu.

Pertemuan ketiga saat Temu Sastra Jakarta di TIM. Namun, tetap saja Uni dan Akang tidak berinteraksi banyak. Bahkan saat itu belum ada tanda-tanda bahwa mereka berjodoh. Pertemuan keempat terjadi Januari 2004, saat mereka dan teman-teman FLP DKI Jakarta menjadi instruktur penulisan cerpen di Galeri Cipta TIM. Hari itu Akang mendapat musibah. Tasnya hilang di masjid TIM, lengkap dengan segala isinya, termasuk HP, kunci motor, dsb. Duh, kasihannya...

Bukannya tidak solider, tapi hobi bercandanya sering kambuh. Uni pun nyeletuk, “Tas, dompet, atau HP yang hilang bisa dibeli lagi, tapi kalau Uni yang hilang? Mau dicari ke mana lagi?”

Deg! Ternyata omongan Uni yang bermaksud menghibur itu berdampak lain. Akang melongo abiz, padahal yang lain malah tertawa menanggapi gurauan Uni. Nah, pesan Uni.. buat teman-teman, hati-hati kalau bercanda, bisa-bisa ada yang naksir eh tersinggung maksudnya! Pertemuan selanjutnya tetap biasa saja. Nah, lantas kapan dong mereka membicarakan pernikahan? Beginilah Uni membeberkan rahasianya.

Mereka sempat conference dan chatting bareng dengan anak-anak FLP DKI Jakarta. Nah, di dunia cyber inilah baru muncul keberanian Akang untuk bicara serius. Itu pun setelah dimediatori oleh seorang teman.

“Apa syarat yang harus saya penuhi untuk melamar?” Begitu kira-kira Akang bertanya.
“BT,” jawab Uni singkat.
“Apa itu BT?”
“Berani dan Tulus. Berani meminta saya kepada ibu dan tulus menerima saya apa adanya.”

Wow! Pesan Uni yang kedua buat teman-teman yang masih lajang, jangan kebanyakan mikir dan menduga-duga. Lebih baik langsung tanya, biar kalau ditolak cepat ketahuannya. Hehehe...

Mengapa Uni bisa begitu yakin? Dalam hal ini Uni berani mengatakan bahwa itulah rahasia Allah, sebuah teka-teki yang kadang sulit menemukan jawabannya. Melihat misteriusnya masalah jodoh, Uni juga membenarkan orang-orang yang mengatakan bahwa jodoh tak perlu dicari-cari. Jika sudah tiba waktunya, ia akan datang sendiri. Karena banyak juga bukti gagalnya seseorang menemukan jodoh, padahal ia sudah berusaha kian kemari dengan berbagai cara dan usaha.

Nah, kembali pada pertanyaan tadi. Sebenarnya ketika Akang menyatakan niatnya pada Uni untuk melamar, Uni sama sekali tidak merasa bahwa Akang adalah orang asing. Uni malah seperti sudah lama mengenal Akang meskipun mereka baru bertemu dan jarang berkomunikasi.

Uni memang sempat berpikir, mungkin inilah yang disebut jodoh. Ketika segala kekurangan dan perbedaan terasa wajar adanya, ketika sisi-sisi kehidupan yang satu menjadi pengisi dan pelengkap bagi yang lain, dan ketika hal-hal terburuk –yang telah, sedang dan akan terjadi sekalipun- bisa menjadi sarana untuk lebih mendewasakan diri. Intinya adalah keikhlasan dalam menjalani apa yang sudah digariskan-Nya. Karena itu pula yang membuat kita ikhlas menerima pasangan kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Akhirnya pada tanggal 8 Februari 2004, Akang datang melamar Uni. Pertemuan dua keluarga yang berjalan lancar dan akrab. Pada pertemuan tersebut langsung ditentukan kapan akad nikah akan dilaksanakan. Menurut ajaran Islam, jarak antara lamaran dan nikah kan tidak terlalu lama karena khawatir akan menimbulkan fitnah. Maka disepakatilah akad nikah akan dilaksanakan setelah pemilu pertama di bulan April. Pada awalnya keluarga sudah setuju kalau acaranya hanya akad nikah saja, tanpa pesta. Akan tetapi, ternyata ibu Uni diam-diam menyimpan keinginan untuk membuat pesta di kampung. Uni pun akhirnya setuju meski dengan berat hati ketika akhirnya pesta itu dirayakan di Jakarta pada tanggal 18 April 2004. Kerabat dan kenalan yang tinggal di Jabodetabek saja yang hadir. Sementara teman-teman mereka yang jumlahnya begitu banyak malah sama sekali tidak hadir? Mengapa? Karena tidak diundang ternyata! Hehehe...

Kenapa tidak diundang? Berikut rahasianya...

Sebenarnya diam-diam Uni punya rencana lain, yakni pesta yang khas dengan dunia penulis. Akan tetapi, rencana untuk membuat pesta kejutan itu malah berantakan di tengah jalan karena kabar tentang penikahan Uni terlanjur bocor duluan. Teman-teman yang sudah tahu tentang pernikahan itu langsung heboh. Sangat bisa dimaklumi jika kemudian berbagai pertanyaan menghinggapi benak mereka. Semangat Uni pun surut drastis untuk menggelar pesta kejutan buat teman-teman.

Alhasil, Uni dan Akang hanya membuat pengumuman resmi di acara rutin FLP DKI Jakarta beberapa hari setelah menikah. Seperti yang sudah diperkirakan, mereka jelas terkejut dan nyaris tak percaya. Ekspresi mereka pun bermacam-macam. Ada yang marah, ngamuk, terkejut, kecewa, gembira, dsb. Maklum, di FLP DKI Jakarta memang belum ada yang tahu soal itu kecuali dua orang teman yang memang sengaja diundang pada hari “H” untuk dijadikan saksi, sekaligus pelampiasan amukan teman-teman. Hehehe...

Sebenarnya Uni pernah memposting sebuah puisi dalam milis FLP DKI Jakarta yangberjudul Upacara Khidmat. Namun, teman-teman mungkin tidak menduga jika puisi itu bukan sembarang puisi, melainkan sebuah isyarat terselubung yang tak terbaca oleh mereka.

Menuju Upacara Khidmat

Tak ada barisan para punggawa
Tak ada arak-arakan kereta kencana
Tak ada janur dan panji berjela-jela
Tak ada tabuhan genderang atau tiupan terompet yang menggema
Tak ada lenggokan gemulai dan senandung merdu para penari dan penyanyi wanita
Sungguh tak ada!
Karena ini adalah upacara khidmat yang digelar oleh kalangan istana, khusus untuk dua mempelai yang akan mewarisi Kerajaan Kesejatian
Jadi..
Jangan berharap bisa melihat deretan tamu yang datang menjura
Jangan berharap melihat hidangan mewah yang melimpah ruah
Jangan berharap!
Karena yang akan kau temukan hanyalah taburan bunga shion di skeliling halaman istana, yang disemaikan oleh tangan-tangan pada dayang yang penuh zikir.
Hanya itu!

***

Hmm, mungkin kisah di atas akan membuka kembali ruang kenangan bagi teman-teman FLP DKI Jakarta. Masa lalu yang indah, berkesan, dan penuh makna khususnya bagi pihak-pihak yang menjadi tokoh utama dalam kisah ini. Kisah di atas saya dapatkan dari buku “How to Get Married : Sebuah Panduan Meraih Jodoh Tanpa Pacaran” (DAR!Mizan, 2005) yang ditulis beberapa penulis ternama seperti : Yus R. Ismail, Afifah Afra, Robi’ah Al-Adawiyah, Dadan Ramadhan, M.Fauzil Adhim, Tasaro, Salman Iskandar, O. Solihin, Iwan Januar, Teguh Iman Prasetyo, Aswi, dan tentunya Novia Syahidah.


Hmm… kepada Kang Arul dan Uni Via... Barakallah...Semoga senantiasa menjadi keluarga sakinah, mawadah, warohmah sampai akhir nanti. Bahagia dunia akhirat lah.. Maaf ya, kisahnya saya tulis ulang. Semoga berkenan. Salah sendiri kisahnya bagus! Hehe.. Semoga kisah di atas menjadi pembelajaran berharga buat kami semua, khususnya bagi diri ini yang juga memiliki keinginan besar untuk menikah tanpa pacaran...


Buat Uni Via dan Kang ARul, makasih ya saya sudah dipertemukan dengan ONGOL-ONGOL!!!! ^^v


Jakarta, 18 April 2011

Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com


Tulisan ini diposting pada bulan April 2011 di blog sebelumnya.

Catatan Aisya [17] : LURUH


Kepada siapa lagi hamba meminta jika bukan pada-Mu. Sang Penguasa segala makhluk, Sang Pemiilik semesta. Sang Penguasa diri hamba yang lemah ini. Allah, terlalu jarang hamba mensyukuri nikmat-Mu yang tiap saat tak pernah berhenti mengaliri kehidupan. Allah, baru hamba sadari indahnya nikmat sehat itu ketika sakit menghampiri. Baru hamba sadari betapa berartinya nikmat sempat itu ketika sempit datang. Betapa nikmatnya kekuatan itu ketika rasa lemah tiba menyapa. Allah, dengan tetesan air mata, doa hamba senantiasa terpanjat pada-Mu. Janganlah Engkau hadirkan kesadaran dalam jiwa hamba tentang berartinya nikmat hidup setelah ajal menjemput.

Hamba sadar, hamba lebih banyak kufur atas segala karunia yang telah Engkau karuniakan kepada hamba. Karunia usia yang tiap saat hamba lalui tanpa memberi banyak makna. Nikmat jasad yang tiap saat hamba gunakan dalam dosa. Nikmat harta yang tak pernah hamba syukuri dengan manisnya sedekah. Nikmat kekuatan yang hamba sia-siakan. Ya Allah, kepada siapa lagi hamba harus memanjatkan pinta jika bukan pada-Mu. Hamba sadar, hanya Engkau-lah yang mampu mengabulkan doa hamba.

Ya Allah, sesungguhnya hamba meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu pengetahuan-Mu dan hamba memohon kekuasaan-Mu untuk mengatasi persoalan hamba dengan kemahakuasaan-Mu. Hamba memohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu Yang Maha Agung. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa sedangkan hamba tiada berdaya. Engkau mengetahui, sedangkan hamba tidak mengetahui dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib.

Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa apa yang telah hamba rencanakan ini lebih baik dalam agama hamba, dan akibatnya terhadap diri hamba, maka dekatkanlah ia untuk hamba, mudahkanlah jalannya, kemudian berikanlah berkah. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa apa yang hamba rencanakan ini lebih berbahaya bagi hamba dalamm agama, kehidupan, dan akibatnya kepada diri hamba, maka jauhkan persoalan tersebut dan jauhkan hamba daripadanya. Takdirkan kebaikan untukk hamba di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah keridhoan-Mu kepada hamba.

Ya Allah, Engkau Maha Pengasih. Hamba hanyalah hamba-Mu yang lemah, maka adakah sikap yang lebih indah kecuali dengan menyerahkan semua urusan hamba kepada-Mu. Ya, semuanya. Termasuk perjalanan cinta hamba. Selain pada-Mu, izinkan hamba tak berlebih dalam mencintai. Ya Allah, berikan cahaya pada jiwa hamba sehingga hamba bisa mencintai sesuatu hanya karena-Mu dan ketika hamba harus membenci sesuatu, itupun juga karena-Mu.

Ya Allah, hamba berharap dalam penantian ini Engkau pelihara hamba untuk senantiasa mengidamkan hadirnya cinta sejati. Cinta yang tak perlu hamba tunggu, tapi cinta yang tumbuh bersama doa hamba di malam yang teduh. Cinta yang tak tersentuh oleh tangan dunia yang palsu. Cinta yang selalu hadirkan petunjuk yang datang dari para malaikat. Cinta yang tak akan pernah lekang oleh zaman yang kan terus melaju. Cinta yang tak pernah habis oleh waktu.



Kontemplasi sepertiga malam

Redzone, 18042011_04:35
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com


Tulisan ini diposting pada bulan April 2011 di blog sebelumnya.

Catatan Aisya [16] : Masih Antara Senja dan Aku


Hari ini akhirnya kulalui
Meski rasa sakit masih mendominasi
Agenda hari ini berhasil dijalani
Tapi apa yang kan terjadi esok hari?

Bagaskara sudah bertahta di ufuk barat
Aku pun terdiam sesaat
Memikirkan apa yang telah kuperbuat
Ku hanya berharap ridho-Nya yang kudapat

Apa yang kan kulakukan kemudian?
Ketika esok bagaskara menyapa kembali
Dan apa yang kan kulakukan
Jika esok aku pulang menghadap Ilahi???

***

Masih demam... Allahumma 'afini fii badanii...
Ya Allah, aku ingin sehat kembali agar besok bisa membersamai sahabat sejati
Dalam acara yang sudah lama dinanti )i( 13 )i(

Jakarta, 160411_17:42
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com 


Tulisan ini diposting pada bulan April 2011 di blog sebelumnya.

Catatan Aisya [15] : Menghafal Hadist


Saya tergugah dengan pertanyaan Ustadzah Win tadi pagi saat memuroja'ah hafalan hadist kami. Beliau adalah ustadzah kami dalam kelas tahsin pekanan di LBQ Al-Utsmani pada semester ini. "Hadistnya cuma pendek kan? Insya Allah mudah kok dihafal. Apa kendalanya?" Beliau bertanya seperti itu kepada kami semua. Sindiran yang halus, tapi sangat mengena. .

Ya, pagi ini kami memang harus setoran hafalan hadist yang menjadi tugas kami sepekan yang lalu. Hadist tersebut berkaitan dengan urgensi mempelajari tajwid Al-Qur'an. Kami semua belum berhasil memenuhi target setoran. Terkait kendala, beberapa dari kami mengakui bahwa kendala utama memang berasal dari diri kami sendiri. Kalau masalah waktu, ya tidak adil rasanya kalau waktu yang dipersalahkan. Karena kami sama-sama punya waktu 1 pekan untuk menghafal 8 hadist dan artinya itu.

Saya sendiri baru bisa menyetorkan 5 hadist yang sudah saya hafalkan. Hmm, berarti masih hutang 3 hadist untuk disetor pekan depan. Semangat!!! Selain bisa menghafal hadist, mohon doanya juga semoga bisa menghafal Al-Qur'an sebelum usia 30 tahun (target pribadi). Pokoknya ni lagi semangat memperbaiki hafalan karena setelah belajar tahsin, ternyata tajwidnya masih banyak yang perlu dibenahi.

Pada catatan kali ini saya fokuskan tentang bahasan menghafal hadist. Maksudnya tak lain sebagai motivasi pada diri sendiri pada khususnya. Harapan besarnya sih semoga menjadi motivasi juga bagi yang membaca tulisan ini.

Hadist telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai sumber ilmu dan hukum Islam yang kedua, setelah Al-Qur’an. Sebagai sumber ilmu dan hukum, peran hadist terhadap Al-Qur’an antara lain sebagai berikut:
1. Menegaskan hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an
2. Menjabarkan penjelasan Al-Qur’an yang ringkas dan
3. Menetapkan hukum yang tidak ditetapkan di dalam Al-Qur’an.

Salah satu upaya penjagaan sunnah yang terlupakan pada generasi ini adalah menghafal hadits (hifzhul hadits. Para sahabat Nabi merupakan contoh ideal dari orang-orang yang berdiri di awal penghimpunan hadits dengan cara menghafal, mereka memusatkan pikiran dan tenaga demi kecintaan mereka terhadap tegaknya Islam dengan sunnah.

Karena itulah, para sahabat dan tabi'in serta ulama-ulama hadits sangat besar perhatiannya kepada hadits. Bahkan mereka mengadakan perjalanan panjang untuk mendapatkan satu hadits sekalipun.

Di antara kalangan sahabat, yang masyhur dalam menghafal hadits adalah Abu Hurairah, Abdullah bin 'Abbas, Aisyah, Abdullah bin 'Umar, Jabir bin 'Abdullah, Anas bin Malik, Abū Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhum. Mereka semua termasuk para sahabat yang menghafalkan hadits lebih dari 1000 hadits.

Masih banyak lagi generasi penghafal hadist setelahnya. Mereka berupaya semampu mereka dalam menghafalnya. Bahkan banyak di antaranya mewariskan hafalannya kepada anak-anak mereka. Maka, lahirlah generasi penghapal hadits berikutnya. Inilah gambaran yang membuktikan kepada kita bahwa menghafal hadits pada kalangan salafus shâleh telah menjadi tradisi yang dilazimkan dalam rangka menjaga agama ini.

Alangkah baiknya tradisi yang dilahirkan sekaligus diamalkan generasi terbaik ummat ini dapat kita mulai dari kita dengan menghafal satu atau dua hadits dan membiasakannya kepada anak-anak kita sebagai generasi yang akan datang agar kita juga termasuk dalam generasi yang ikut serta menjaga dan memelihara sunnahnya.

Dengan kedudukan hadits yang tinggi tersebut, maka mempelajari dan menghafalkan hadist memiliki banyak manfaat, di antaranya:
1. Menghafal hadits termasuk dalam tafaqquh fiddin (mendalami ilmu agama) yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
2. Hadits adalah sumber hukum Islam, maka menghafalnya termasuk dalam salah satu bentuk pembelaan Islam dan Rasul-Nya.
3. Mengutamakan kata-kata beliau di atas kata-kata siapapun juga termasuk bukti kecintaan dan keimanan kepada Nabi Muhammad Saw.
4. Menghafal hadist merupakan salah satu cara untuk menjaga keaslian hadits dari berbagai upaya perusakan hadits, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Berkatalah Anas bin Malik Radhiyallâhu Anhu: ”Dulu ketika kami berada di dekat Rasulullah Saw., kami mendengarkan hadits-hadits dari beliau, apabila kami berdiri(telah bubar dari majelis Nabi Shallallâhu Alaihi wa Sallam) kami saling mengulang hafalan hadits tersebut sampai kami menghafalnya."

Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Semoga Allah menjadikan berseri-seri wajah seseorang yang mendengar dari kami hadits lalu dia menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain…” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu)

Mari berusaha semaksimal mungkin menghafal hadits-hadits Rasulullah Saw sebagaimana menghafal Al-Qur'an karena keduanya merupakan keutamaan. Mari bersemangat dalam mempelajari, menghafalkan dan mengamalkannya, karena dengan begitu kita turut andil dalam menghidupkan amal kebaikan ini.


Renungan Sore...
Jakarta, 150411
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com


Tulisan ini diposting pada bulan April 2011 di blog sebelumnya.

Catatan Aisya [14] : Deepest Contemplation


Saudaraku, sejenak membayangkan euforia kegembiraan para sahabat ketika Baginda Rasulullah Saw dengan wajah berseri memberitakan kabar gembira tentang diterimanya taubat Ka'ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ah dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi yang lupa menyiapkan diri untuk ikut perang Tabuk. Kesabaran mereka dalam menerima iqab dari Rasulullah SAW berupa boikot dan penghilangan sebagian hak-haknya selama 50 hari berbuah manis, Allah SWT menerima taubat mereka.

“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Taubah:118)

Saudaraku, mereka tidak berpaling sedikitpun. Surat bujukan untuk berkhianat terhadap Allah Swt dan Rasulullah Saw pun dicabik-cabik dan dibakar demi mendapatkan ridho dan ampunan-Nya. Dan kisah ini menjadi bagian penting pembelajaran tentang keteguhan, ketsiqohan, kesabaran tentang bagaimana menerima pahit manisnya dinamika dakwah ini.

Saudaraku, kisah tersebut menjadi pelajaran bahwa bersabar itu jauh lebih baik, walaupun sesak dada ini dalam menerima sebuah keputusan, walaupun dunia seakan menyempit, tetap teguhlah bersama janji yang kau ucapkan, sehingga kita termasuk orang-orang yang dimaksudkan dalam firman-Nya: "Dari antara orang-orang yang beriman, ada orang-orang yang benar dalam berjanji kepada Allah." (Q.S. Al-Ahzab : 23)

Saudaraku, ketika Allah menegur kita karena sebuah maksiat, kadang teguran itu tidak datang langsung, terkadang Allah menegur lewat orang lain.


Astaghfirullahaladzim…

La haula wala Quwwata illa billah….

Teringat sebuah saran dari seorang sahabat tadi pagi.



“Tik, baca tulisannya Pak Cah deh di http://cahyadi-takariawan.web.id/ judulnya “Menyublimkan Kepedihan”. Bagus!”

Akhirnya saya cari tulisan itu dan perkenankan untuk saya sharingkan dalam catatan kali ini. Benar-benar menjadi bahan renungan yang sangat mendalam.

***

MENYUBLIMKAN KEPEDIHAN

Sesungguhnyalah epos setiap pahlawan dan pejuang selalu menyimpan kisah-kisah kepedihan. Karena semua pahlawan, semua orang besar, tidak bisa menghindarkan diri dari keterbatasan dirinya yang tidak dimengerti publik. Kebesaran nama dirinya telah menyihir opini masyarakat, seakan dia adalah manusia tanpa cela, serba sempurna dan serba tidak ada kekurangannya. Di titik ini, setiap pejuang ditempatkan secara terasing, di posisi yang tidak dia kehendaki.

Ada pejuang yang memilih menjaga citra diri dengan mencoba menjadikan dirinya sesuai harapan publik. Tentu ini tidak mudah. Dia adalah magnet bagi kamera media. Omongannya, responnya, perbuatannya, tindakannya, adalah sebuah berita. Semua mata memandang kepadanya, dimanapun ia berada. Tak ada ruang privat lagi bagi orang seperti dirinya. Media bisa masuk ke semua ruang-ruang pribadinya.

Dengan pilihan ini, ia harus menjadi seseorang seperti yang diharapkan publik. Bukan menjadi dirinya sendiri yang memiliki banyak keterbatasan. Namun ia harus menjadi hero, menjadi superman, menjadi seseorang yang selalu diidolakan semua kalangan masyarakat. Tak ada kesempatan bagi dirinya untuk menjadi dirinya sendiri, menjadi manusia biasa yang bisa menangis, bisa salah, bisa lupa, bisa khilaf, bisa berbuat dosa. Dia dipaksa menjadi seseorang seperti harapan masyarakat terhadap sosok pahlawan dan pejuang. Bahwa para pahlawan selalu tampil elegan, tanpa cela, tanpa cacat. Sedikitpun.

Celakanya, para pemuja sosok pahlawan ini hampir tidak bisa membedakan mana sosok manusia biasa yang tengah berusaha menjadi pejuang atau pahlawan, dengan manusia pilihan yang Tuhan takdirkan menjadi Nabi. Bagi seorang Nabi utusan Tuhan, dirinya mendapatkan dukungan Ketuhanan secara penuh. Karena semua perkataan dan perbuatannya adalah hukum untuk diikuti oleh pemeluk agama sang Nabi. Berbeda dengan manusia yang lainnya, kendati dia adalah seseorang yang berusaha menempatkan diri dalam barisan para pejuang dan para pahlawan, namun tetap saja dia adalah manusia biasa.

Sebuah harapan yang berlebihan bahkan absurd. Saat dunia telah sangat lama ditinggalkan oleh Nabi terakhir, akhirnya menjadi defisit keteladanan dan contoh kebaikan. Dunia muak dengan kemunafikan dan kepura-puraan yang sering ditampakkan banyak aktor politik dan banyak pejabat publik. Masyarakat menghendaki dan mencoba mengidentifikasi tokoh-tokoh yang bisa menjadi sumber inspirasi dan keteladanan dalam kehidupan. Sangat langka. Begitu menemukan beberapa gelintir orang yang dianggap masih memiliki harapan untuk menjadi panutan, maka harapan mereka menjadi berlebihan dan tidak masuk akal.

Para pejuang ini telah dipajang dalam bingkai harapan yang sangat ideal. Tak boleh berdebu, mereka bersihkan setiap hari dengan puji-pujian dan sejuta doa. Para pejuang ini yang akan menjadi penyelamat bangsa, akan menjadi harapan perubahan bagi Indonesia. Sebuah obsesi yang lahir dari dahaga berkepanjangan akan munculnya sosok keteladanan dari para pahlawan. Sangat lama masyarakat menunggu para pahlawan yang akan mensejahterakan rakyat Indonesia dan membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, kelaparan, ketertinggalan dan keterbelakangan.

Para pejuang telah ditempatkan pada posisi yang mustahil melakukan kesalahan. Mereka tidak ditolerir memiliki kelemahan, bukan hanya untuk diri pribadinya. Namun juga bagi isteri, anak-anak dan semua keluarganya. Masyarakat mudah mengalami kekecewaan fatal bahkan keputusasaan apabila melihat ada kekurangan pada diri sang hero, atau pada isteri dan anak-anaknya. Keteladanan dituntut untuk selalu dipenuhi, bahkan oleh anak-anak yang tidak banyak mengerti beban orang tua mereka yang terlanjurkan diidolakan sebagai sosok pahlawan super. Isterinya harus super, anak-anaknya harus super, keluarga besarnya harus super. Betapa berlebihan tuntutan ini.

Namun ada pula para pejuang yang memilih menikmati menjadi dirinya sendiri apa adanya. Seorang manusia yang penuh kelemahan dan keterbatasan. Di tengah kelemahan dan keterbatasan diri, ia mencoba menjadi seseorang yang memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Memberikan kontribusi kebaikan sekuat kemampuan yang dia miliki. Waktu, tenaga, pikiran, harta benda dia curahkan untuk melakukan hal terbaik yang bisa dia sumbangkan bagi perbaikan bangsa dan negara. Mungkin tidak terlalu memuaskan masyarakat, mungkin tidak heroik, mungkin tidak dielu-elukan oleh para pemuja kepahlawanan. Namun ia selalu berusaha memberikan yang terbaik


Dia melihat dunia dengan dua kacamata pada saat bersamaan. Satu kacamata idealis, dia memiliki visi yang sangat jelas tentang hal-hal ideal yang harus dilakukan dan harus terjadi bagi bangsa dan negara. Satu lagi kacamata realis, bahwa dia melihat Indonesia tidak cukup diubah oleh keteladanan beberapa sosok pahlawan. Indonesia hanya memerlukan kebersamaan untuk melakukan perubahan, memerlukan konsistensi untuk menegakkan aturan, memerlukan kedisiplinan untuk menjalankan agenda kebangsaan dan kenegaraan. Indonesia memerlukan harmoni dari pagelaran orkestra berbangsa dan bernegara.

Dia tidak mau terkurung ke dalam sosok pahlawan ideal seperti yang digambarkan masyarakat. Benarkah perubahan Indonesia harus dimulai dari sosok-sosok profan yang tak memiliki sedikitpun kekurangan, cacat, kelemahan dan kesalahan ? Bukankah itu hanya layak dinisbatkan kepada para Nabi dan Rasul yang dimuliakan Tuhan dengan tugas-tugas Ketuhanan ? Dia merasa hanyalah manusia biasa yang berusaha melakukan perubahan ke arah kebaikan, semaksimal kemampuan yang dia miliki. Namun dia mengetahui ada sejumlah sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya yang akan sulit dipahami oleh publik.

Sering terbersit dalam kesendiriannya, apakah hanya ada dua pilihan menjalani kehidupan bagi bangsa Indonesia? Pilihan menjadi pahlawan super hero yang dipuja-puja seluruh masyarakat, dan pilihan menjadi pecundang yang dicela oleh semua media, tanpa sisa? Tidak adakah pilihan menjadi diri sendiri yang jujur apa adanya, menjadi seseorang yang penuh keteterbatasan dan kelemahan, namun selalu berusaha menyumbangkan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara? Dimanakah tempat orang-orang seperti ini? Apa nama dan nilai mereka ini? Menjadi pahlawan ataukah pecundang?

Menjadi super hero tanpa cela betapa sangat sulitnya. Siapa yang akan sanggup menempati posisi seperti ini, siapa yang akan merelakan dirinya berada dalam sebuah suasana pencitraan, untuk memenuhi harapan dahaga masyarakat akan sosok-sosok keteladanan? Menjadi pejuang tanpa kelemahan dan kekurangan, betapa beratnya. Menjadi pahlawan tanpa sedikitpun tercemar oleh cela yang dilakukan oleh dirinya, isteri, anak-anak dan keluarga besarnya, siapa sanggup menempuhnya? Inilah episode kepedihan setiap pahlawan dan pejuang.

Saya berusaha memilih sesuatu yang masuk akal dan sesuai hati nurani. Saya bukan seorang pahlawan, bukan seorang super hero, bukan seorang super man, atau semacam itu. Saya hanyalah seorang anak bangsa yang memiliki teramat sangat banyak kekurangan, kelemahan, keterbatasan dan hal-hal tidak ideal. Dari sudut pandang apapun. Namun saya sangat meyakini bahwa kebaikan besar bermula dari kebaikan-kebaikan kecil. Saya sangat meyakini hal-hal luar biasa bisa bermula dari konsistensi melakukan hal-hal yang biasa.

Terserah orang menyebut apa terhadap hal yang saya lakukan. Saya berjalan pada sebuah keyakinan, pada sebuah arah tujuan. Saya berjalan pada sebuah bingkai cita-cita perubahan, namun saya hanyalah seorang manusia yang penuh keterbatasan. Isteri saya hanyalah seorang perempuan biasa, sangat biasa, yang memiliki sangat banyak kekurangan. Anak-anak saya hanyalah anak-anak yang terlahir dari sejarah pernikahan, dan mereka menjadi dirinya yang tidak bisa dibebani dengan harapan orang atas ayah mereka. Namun dengan segala titik kelemahan dan kekurangan kemanusiaan tersebut, saya selalu berusaha melakukan hal-hal baik yang mampu saya lakukan. Memproduksi kebajikan semaksimal kesanggupan yang ada pada saya.

Tidak bolehkah memiliki pilihan sederhana seperti ini? Haruskah kita memilih menjadi pahlawan tanpa cela, atau sekalian memilih menjadi pecundang yang dicela serta dilaknat seluruh media? Sedih sekali hidup kita, jika terbelenggu oleh “apa kata orang kepada kita”. Sedih sekali, jika hidup kita harus menyesuaikan dengan selera media. Sempit sekali dunia, jika kita harus menjadi sosok-sosok utopis yang diimpikan para pemuja epos kepahlawanan dunia. Hingga orang tidak berani berbuat dan berkata apa-apa, karena takut dilaknat media. Hingga orang takut melakukan upaya perbaikan semampu yang dia bisa, karena takut dicela massa.

Setiap hari berseliweran sms, mengkonfirmasi berita ini dan itu di media massa. Mencela, melaknat, mencaci maki, menghakimi semau sendiri, memastikan keburukan orang, mengimani berita media massa tentang perilaku seseorang. Sms berseliweran tanpa tuan, menghakimi tanpa persidangan, memutuskan tanpa penjelasan, memastikan tanpa pertanyaan, menuduh tanpa kelengkapan persyaratan, membunuh karakter tanpa alasan. Semua orang ketakutan, semua orang gelisah, tiarap, takut dirinya tengah dirilis media. Takut dirinya tengah dibicarakan koran. Takut dirinya menjadi berita utama di sms yang berseliweran setiap detik, setiap kesempatan.

Seakan dunia telah kiamat, saat seseorang pejuang dituduh melakukan kesalahan. Seakan kebaikan telah hilang, saat sosok pahlawan yang diidamkan teropinikan melakukan pelanggaran. Hancur sudah dunia kepahlawanan, habis sudah sejarah para pejuang, tamat sudah riwayat para pembela kebenaran. Hari ini juga semua jiwa telah binasa. Kita menjadi orang yang berlebih-lebihan melihat, menanggapi, mengomentari segala sesuatu. Baru running text, baru rilis koran, baru kilas berita televisi dan cybermedia. Tiba-tiba sms sudah menyebar kemana-mana. Tiba-tiba kepercayaan sudah sirna. Tiba-tiba kehangatan sudah tiada. Berpuluh tahun kita merajutnya. Hilang sesaat begitu saja?

Inilah sisi kepedihan dalam setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Setiap pahlawan, setiap pejuang selalu dihadapkan kepada kondisi-kondisi kemanusiaan yang sulit dimengerti para pemuja mereka. Media telah menghukum tanpa ampunan. Headline setiap hari. Heboh, bombastis, sinistis. Mematikan hati yang terlalu ciut menerima kritik dan lontaran tajam. Mematikan semangat yang terlampau dingin untuk melakukan berbagai kebajikan. Cita-cita dan tujuan seakan sudah terlupakan oleh opini koran dan berita harian.

Silakan tidur dan berhenti dari kebaikan, maka para setan akan pesta pora merayakan kemenangan. Silakan menyesal menempuh jalan panjang bernama kebajikan, tempuh jalan lain yang lebih menyenangkan pemberitaan. Hanya itukah tujuan kita? Mendapat pujian, mendapat pengakuan, mendapat ucapan selamat dan penghargaan atas kesantunan, kesalehan, kebaikan, kejujuran, dan kebersihan yang ditampilkan? Tidak siap mendengar kritik tajam, caci maki, cemoohan masyarakat dan media massa? Tidak kuat mendengar ledekan, tertawaan, gunjingan, dan kekesalan orang?

Adakah anda rasakan kesedihan yang saya tuliskan ? Kesedihan di setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Kesedihan yang tidak bisa dibagi dengan para pemuja pahlawan. Kesedihan yang harus dikunyah dan dinikmati sendiri oleh setiap orang yang berjuang dalam kebaikan. Jika anda merasakan, saya ajak anda menyublimkan kesedihan itu menjadi sebuah karya nyata, sekecil apapun yang kita bisa.

Menyublimkan kepedihan menjadi amal kebaikan berkelanjutan yang kita lakukan dalam setiap tarikan nafas. Jangan menguapkannya, karena jika diuapkan kesedihan hanya akan hilang namun tidak menghasilkan karya. Ya, anda harus menyublimkan kepedihan ini menjadi sesuatu yang sangat berarti. Menjadi sesuatu yang menyemangati diri. Menjadi sesuatu yang menasihati. Menjadi sesuatu yang bernilai abadi. Menjadi sesuatu yang bernama kontribusi.

Setiap cemoohan dan ejekan akan menambah kesedihan di hati para pejuang. Setiap ketidakberhasilan akan menggoreskan kegetiran pada dada setiap pejuang. Kesedihan itu harus disublimasi menjadi karya yang berarti. Setiap hari kita telah terbiasa menumpuk kelelahan, kesedihan, kegetiran, kepedihan, dari yang terkecil hingga yang paling dalam. Menyublimkan kegetiran akan mengubahnya menjadi kerja nyata bagi bangsa dan negara. Apa artinya dipuji-puji jika tidak memiliki kontribusi yang berkelanjutan? Apa salahnya dicaci maki jika itu memacu kontribusi yang lebih berarti bagi perbaikan?

Mari bekerja di ladang-ladang amal kita yang sangat luas tanpa batas. Silakan mencela bagi yang hobi mencela. Silakan melaknat bagi yang gemar melakukannya. Silakan berhenti dan menepi bagi yang sudah tidak memiliki kepercayaan lagi. Sekecil apapun langkah kebaikan kita lakukan, pasti tetap menjadi kontribusi yang berarti bagi negeri. Keyakinan ini tak bisa ditawar lagi. Tuhan telah mengumandangkan, hal jaza-ul ihsan illal ihsan. Apakah kita tetap juga tidak memahami?

Kita serahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Mengerti.
Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan 9 April 2011

***

"Berjuanglah untuk kebaikan dan kebenaran, sepahit dan sesulit apapun. Bersatulah dalam jama'ah, sebenci dan sekecewa apapun, karena berjama'ah lebih baik daripada sendirian. Bangkitlah ketika jatuh dan jangan menyerah. Peganglah prinsip kita, selama itu benar. Bertausyiahlah setiap saat, agar saudaramu merasa memiliki dan dimiliki. Jangan tinggalkan yang dibelakangmu, tunggu dengan kesabaran dan keikhlasan. (Imam Hasan Al Banna)



Deepest Contemplation…

Saat senggang dan pikiran leluasa merenung…
Jakarta, 14042011
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com


Tulisan ini diposting pada bulan April 2011 di blog sebelumnya.

Catatan Aisya [13] : Aku dan Kau, Sahabat!

Ada kelegaan tersendiri tatkala sebuah beban sudah dibagi...
Ada syukur tak bertepi ketika sahabat mau belajar mengerti...
Adalah kesepakatan yang melanggengkan persahabatan...
Adalah pengertian yang membuat ukhuwah makin menawan...

Maafkan aku sahabat..
Kala kataku membuat luka hatimu..
Kala lakuku membuat jiwamu jemu..

Tolong sahabat..
Bantu aku semakin mendekat
Pada Sang Penggenggam Nikmat..
Bantu aku menjadi muslimah yang teguh, tegas, dan kuat...

Terima kasih sahabat..
Atas segala pengertian yang jadi kesepakatan..
Atas segala nasihat yang menjadi pengingat..

Mari saling menjaga diri..
Jangan biarkan hati ternodai..
Mari kembali arungi..
Hidup dalam ridho Illahi..
***

menikmati jingga di langit solo dgn backsong "cinta berkawan"nya Edcoustic..
@Adi Soemarmo Airport, 130411
Aisya Avicenna 


Tulisan ini diposting pada bulan April 2011 di blog sebelumnya.

Catatan Aisya [12] : Akupun Seperti Kaca yang Berdebu


Ia ibarat kaca yang berdebu
Jangan terlalu keras membersihkannya
Nanti ia mudah retak dan pecah
Ia ibarat kaca yang berdebu
Jangan terlalu lembut membersihkannya
Nanti ia mudah keruh dan ternoda
Ia bagai permata keindahan
Sentuhlah hatinya dengan kelembutan
Ia sehalus sutera di awan
Jagalah hatinya dengan kesabaran
Lemah-lembutlah kepadanya
Namun jangan terlalu memanjakannya
Tegurlah bila ia tersalah
Namun janganlah lukai hatinya
Bersabarlah bila menghadapinya
Terimalah ia dengan keikhlasan
Karena ia kaca yang berdebu
Semoga kau temukan dirinya
Bercahayakan iman

(Nasyidnya Maidany yang pagi ini aku putar berulang kali, menemaniku berkontemplasi)


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt, Sang Pencipta alam semesta. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, dan siapapun yang menegakkan sunnah-sunnahnya. Sungguh, baik engkau masih gadis maupun sudah bersuami, dirimu adalah pendidik generasi, yang dilahirkan sebagai pahlawan, sumber cahaya kehormatan dan kecantikan. Engkau adalah ibu yang lemah lembut, awan yang teduh, kawan yang penuh perhatian, dan wanita berhati sutra. Engkau juga seorang istri yang setia, taat lagi bertaqwa, sholihah dan suci, terhormat dan pemalu, bunga yang selalu mekar dan harum, hadiah yang sangat berharga dari Allah untuk suamimu, senyummu selalu menghiasi bibirmu. Engkaulah daratan tempat kapal berlabuh, setelah mengarungi samudera yang penuh ombak dan badai. Belaian tanganmu selalu mendatangkan kesejukan.

Akan tetapi, dengan segala kelebihan yang telah menjadi milikmu itu, haruslah engkau tetap sadar bahwa dirimu adalah seorang da’i, penyebar ajaran Islam. Yang tidak pernah bosan mengingatkan dan menasihati, selalu rajin puasa dan sholat malam, penuh ilmu dan pemahaman, selalu ruku’ dan sujud. Bersyukur kepada Allah dan memuji-Nya, sabar dalam menghadapi segala cobaan, berkemauan keras dan selalu menjaga kehormatan diri.

Saudariku...

Sungguh selalu terbayang wajahmu yang teduh, pribadimu yang lemah lembut, rendah hati lagi peduli, kebajikan selalu menjadi pilihanmu. Setiap sepertiga akhir malam tiba, tak pernah kau lewatkan untuk menangis dan merintih, mengharap kasih sayang dan ampunan dari Yang Maha Mendengar. Selalu kau jauhkan dirimu dari hal yang haram. Kau berlari kencang menyebut panggilan Allah. Semua kewajiban kau tunaikan tanpa cela.

Seorang ibu adalah sekolah, jika engkau menyiapkannya, berarti engkau menyiapkan generasi yang baik. Seorang ibu adalah taman, jika seseorang memeliharanya ia akan tumbuh dengan baik. Seorang ibu adalah guru pertama. Seorang wanita adalah ibu bagi masyarakat yang bijaksana di rumah suaminya, Rasulullah bersabda : ”Seorang wanita adalah seorang pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya”

Saudariku….

Mengingatmu juga berarti mengingat anak-anakmu nantinya yang masih kecil. Dan sikapmu kepada mereka. Terbayang dalam benakku, bagaimana kau begitu sayang dan perhatian kepada mereka. Semua tugas dan aktifitas, betapapun pentingnya, akan kau tinggalkan jika anak-anakmu membutuhkanmu. Kau selalu dekat dan akrab dengan mereka. Sungguh beruntung mereka, mempunyai ibu seperti dirimu. Mendidik anak-anak yang masih suci hatinya, jernih pikirannya, belum mempunyai banyak kesibukan, lebih banyak waktunya dalam belaian dan dekapan kita, dengan metode yang dicontohkan Rasulullah Saw. Terbayang dalam benakku, dirimu akan selalu mendorong anak-anakmu menghafal Al Quran mulai dini, karena dengan menghafal di waktu kecil bagaikan memahat di atas batu. Jadikan mereka mujahid. Jadikan mereka tentara-tentara Allah. Jangan biarkan mereka bermanja-manja. Jangan biarkan mereka bermalas-malasan. Siapkan mereka untuk menjadi hamba yang sholeh, yang selalu bertaqwa dan bertambat kepada Allah. Jadilah ibu yang memberi tauladan kepada anak-anakmu.

Saudariku...

Dirimu memang bukanlah muslimah yang sempurna, dirimu bukanlah Khadijah yang begitu sempurna di dalam menjaga diri, dirimu bukanlah Hajar yang begitu setia dalam sengsara, dirimu memang tidak setegar Aisyah dan juga tidak setabah Fathimah yang tetap mulia dalam sahaja, dirimu adalah wanita akhir zaman yang berusaha menjadi shalehah.Semoga Allah selalu memberkahimu….



Bukan dari tulang ubun kamu dicipta
Sebab berbahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja
Tak juga dari tulang kaki
Karena nista menjadikannya diinjak dan diperbudak
Tetapi dari rusuk kiri
Dekat ke hati untuk dicintai
Dekat ke tangan untuk dilindungi


"Selalu wasiatkan kebaikan pada para wanita. Karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok dari jalinan tulang rusuk ialah tulang rusuk bagian atas. Jika kalian paksa diri untuk meluruskannya, ia akan patah. Tapi jika kalian mendiamkannya, ia akan tetap bengkok. Karena itu, wasiatkanlah kebaikan pada para wanita," (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

~Bukan ubun, bukan kaki, tapi rusuk kiri...~



Sumber inspirasi : “Agar Bidadari Cemburu Padamu” (Salim A. Fillah)

KONTEMPLASI PAGI
Wonogiri, 120411_05:35
Aisya Avicenna

writer@www.aisyaavicenna.com


Tulisan ini diposting pada bulan April 2011 di blog sebelumnya.

Catatan Aisya [11] : Antara Aku, Itsar, dan Cut Mala


“Tik, aku ingin bercerita padamu,” kata sahabat saya di suatu pagi. Sebut saja namanya Dinda.

“Ya, ada apa?” tanyaku.

“Tadi aku sempat diskusi dengan Kak Adit. Kamu tahu dia kan? Dia sekelas sama aku di kampus,” jelasnya padaku. Sahabatku itu tengah melanjutkan S2-nya.

“Oh, Kak Adit? Insya Allah aku tahu.

“Hmm... awalnya kami diskusi masalah tugas kuliah, hingga akhirnya dia bertanya kapan aku akan menikah,” jelasnya lirih.

“Hah??? Trus kamu jawab apa???” tanyaku kaget bin penasaran.

“Aku jawab insya Allah segera. Setelah itu Kak Adit malah berencana mengenalkanku dengan temannya yang sudah siap menikah,” terangnya kemudian.

“Masya Allah...” aku tambah terkejut.

“Tik, aku tanya. Apakah sikap Kak Adit ini termasuk itsar? Dia lebih mendahulukan saudaranya, sedangkan dirinya sendiri juga belum menikah. Ataukah sikapku menerima tawaran Kak Adit tersebut juga termasuk itsar padahal sebenarnya aku menginginkan orang seperti Kak Adit-lah yang kelak menjadi pendampingku. Aku mendahulukan ikhwan temannya Kak Adit itu dan mengalahkan perasaanku pada Kak Adit. Aku bingung, Tik!”

“Sama. Aku juga. Hehe...,” aku pun spechless.

Percakapan di atas terinspirasi dari sebuah kisah nyata seorang sahabat. Semoga yang bersangkutan bisa segera menemukan jawaban atas pertanyaan yang masih bercokol dalam dirinya. Hmm, aku pun mencoba merenungkan dan mengambil pelajaran dari kisah di atas. Hingga akhirnya aku menemukan petikan cerita dari Novel berjudul Ketika Cinta Bertasbih 1, karya Habiburrahman El Shirazy, hal. 341-343. Berikut petikan kisahnya. Semoga sedikit tulisan ini juga bisa menjadi jawaban.

***

Cut Mala membawa diktat kuliahnya. Segala yang musykil baginya ia tanyakan dengan tanpa rasa malu pada Anna. Anna menjawab sejelas-jelasnya dengan penuh kesabaran.

”Kak Anna, maksud kaidah ini apa?” tanya Cut Mala.

”Coba baca kaidahnya!” pinta Anna.

”Kaidahnya begini Kak, Al Itsar bil Qurbi makruuhun wa fii ghoirihaa mahbuubun. Di sini tidak ada penjelasan dan contohnya sama sekali Kak. Saya belum benar-benar paham”

Anna langsung menjawab dengan tenang,

”Kaidah itu artinya, al-itsar(mengutamakan orang lain), dalam hal mendekatkan diri kepada Allah atau mengutamakan orang lain dalam hal ibadah itu hukumnya makruh. Adapun mengutamakan orang lain pada selain ibadah itu dianjurkan.

Dalam ibadah, yang dianjurkan dan disunahkan adalah berlomba-lomba mendapatkan yang paling afdhol, mendapatkan pahala yang paling banyak. Maka mengutamakan orang lain dalam hal ini sangat tidak dianjurkan alias makruh.

Contohnya, jika seseorang memiliki air yang hanya cukup buat berwudhu untuk dirinya saja, maka ia tidak boleh memberikan air itu pada orang lain, agar orang lain bisa berwudhu sementara ia tayamum. Yang benar adalah dia menggunakan air itu untuk wudhu biarkan orang lain tayamum. Kecuali jika ada orang lain yang membutuhkan air untuk minum karena kehausan, maka ia sebaiknya memberikan air itu padanya dan dia bisa bersuci dengan tayamum.

Contoh lain, jika seorang muslimah memiliki satu mukena, lalu datang waktu sholat. Ia tidak diperbolehkan mempersilakan orang lain sholat dulu menggunakan mukenanya dan ia menunggu setelah orang-orang selesai menggunakan mukenanya. Yang benar adalah ia harus segera sholat sebelum yang lain. Ia harus mengutamakan dirinya, sebab sholat di awal waktu itu lebih afdhol (utama). Baru setelah ia sholat ia bisa meminjamkan pada orang lain. Dalam ibadah, sekali lagi dimakruhkan mengutamakan orang lain.

Begitu maksud kaidah itu Dik. Kau bisa menganalogkan dengan yang lain”

Cut Mala tampak puas mendengar jawaban itu. Tiba-tiba ia terpikir sesuatu yang menarik untuk ia tanyakan,

”Maaf Kak saya mau tanya, Kalau misalnya. Sekali lagi ini misalnya lho Kak. Misalnya ada seorang akhwat dilamar oleh seorang ikhwan yang sangat baik. Baik agamanya, akhlaqnya, prestasinya juga wajahnya. Lalu ia mengalah, mengutamakan saudarinya yang menurutnya lebih baik darinya dan lebih pantas menikah dengan ikhwan tadi. Apa itu termasuk makruh Kak?”

Anna menatap kedua mata Mala. Sebuah pertanyaan yang membuatnya tersenyum sekaligus kagum akan kreativitas gadis Aceh tersebut. Bukankah pertanyaan yang baik adalah sebagian dari ilmu?

”Menurutmu menikah itu ibadah nggak Dik?” tanya Anna.

”Ibadah Kak, bukankah menikah itu menyempurnakan separoh agama?”

”Jadi jelas kan jawabannya. “

***

Terus terang aku tertarik pada pemaparan yang terdapat di dalamnya, yaitu tentang al-Itsar (mengutamakan orang lain). Banyak kita jumpai dalam keseharian, sebagian orang masih salah dalam memahami kaidah itsar tersebut. Sehingga kesalahan pemahaman itu bedampak pada aplikasi amal perbuatan yang juga salah. Di satu sisi ada orang yang cenderung senantiasa mengutamakan orang lain dalam segala aspek kehidupan sosial, termasuk didalamnya aspek ibadah. Di sisi yang lain, ada sebagian orang yang cenderung eksklusif dalam segala aspek. Mereka cenderung hanya mementingkan diri sendiri, tidak mau berbuat itsar sedikitpun kepada orang lain.

Sekarang, marilah kita bersikap adil, menempatkan segala persoalan pada tempatnya dan mensifatinya sesuai dengan sifatnya masing-masing. Dalam soal ibadah, mari kita utamakan diri kita dahulu baru orang lain, tetapi dalam urusan sosial kemasyarakatan kita utamakan orang lain terlebih dahulu. Ada juga kisah yang cukup mengharukan, tentang itsar, bagaimana sahabat mengutamakan saudaranya dalam urusan dunia. Simak baik-baik kisah berikut:

Abu Hurairah berkata:

Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata: “Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar”. Maka Rasulullah menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada dirumahnya, namun beliau menjawab: “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya tidak berbeda. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama.

Kemudian Rasulullah bersabda:

“Siapakah yang mau menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya”.

Maka berdirilah salah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya berkata: “Saya wahai Rasulullah”. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim): “Apakah kamu memiliki makanan?”. Istrinya menjawab: “Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak”. Abu Thalhah berkata: ”Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah anak-anak kita. Nanti apabila tamu saya masuk maka akan saya matikan lampu lalu kuperlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan maka berdirilah.

Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara kedua sumi-istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah lalu Rasulullah bersabda: “Sungguh Allah takjub (atau tersenyum) terhadap fulan dan fulanah”.

Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:

“Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian” .

Di akhir hadits disebutkan:

Maka turunlah ayat yang artinya

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al-Hasyr : 9).



KONTEMPLASI SORE

Wonogiri, 11 April 2011

Aisya Avicenna

writer@www.aisyaavicenna.com


Tulisan ini diposting pada bulan April 2011 di blog sebelumnya.

Catatan Aisya [10] : Sakinah Bersamamu


Tulisan kali ini memang berjudul sama dengan sebuah buku Nasional Best Seller karya Mbak Asma Nadia. Memang sengaja mengambil judul yang sama, tapi saya mencoba mengambil konteks yang berbeda. Coba perhatikan arti dari sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim di bawah ini.

“Tidak berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah untuk membaca dan mempelajari Al-Qur’an kecuali turun atas mereka sakinah dan rahmat serta diliputi oleh malaikat serta Allah sebut di hadapan (malaikat) di sisi-Nya.”

Sudah menangkap maksud judul dan hadist di atas?

Sudah?

Ya, tepat! Sakinah (ketenangan) bisa didapat dengan membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Ingat Al-Qur’an, ingat tajwid. Saya teringat sebuah materi saat belajar di LBQ Al-Utsmani tentang Tajwid Al-Qur’an. Secara bahasa, tajwid Al-Qur’an berarti tahsin/memperbaiki. Sedangkan secara istilah, tajwid Al-Qur’an adalah membaca Al Qur’an dengan benar. Makna “BENAR” di sini ada 3 hal yang harus dipenuhi, antara lain :

1. Sebagaimana bacaan Rasulullah Saw dan para sahabatnya
2. Memperhatikan hukum-hukum/kaidah bacaan
3. Mengeluarkan huruf dari makhrajnya serta memperindah suara

Hukum mempelajari tajwid Al-Qur’an : secara praktek hukumnya wajib (Q.S. Al-Muzzammil (73) ayat 4 yang artinya “Bacalah Al-Qur’an dengan tartil”). Sedangkan mempelajari teorinya hukumnya Fardhu Kifayah. Tujuan tajwid Al-Qur'an adaah untuk menjaga lidah agar tidak salah ketika membaca Al-Qur'an.

Keutamaan mempelajari tajwid Al-Qur’an antara lain :

1. Memberi syafa’at pada hari kiamat
2. Merupakan amal terbaik
3. Mendapat derajat yang tinggi
4. Mendapat sakinah dan rahmat
5. Mendapat sebaik-baik anugerah Allah
6. Dll.

“Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia pada hari kiamat akan datang menolong pembacanya.” (HR. Muslim).

Ya Allah, rahmatilah kami dengan Al- Qur’an. Jadikanlah ia pemimpin, petunjuk dan rahmat bagi kami. Ya Allah, ingatkanlah apa-apa yang kami lupa dari Al-Qur’an, dan ajarkanlah apa yang belum kami ketahui darinya. Berilah kami kekuatan untuk terus membacanya sepanjang malam dan sepanjang hari. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyelamat kami dan janganlah Engkau jadikan ia bumerang bagi kami (yang menyeret kami ke neraka), dengan rahmat-Mu, Ya Allah….

Ya Allah, sesungguhnya kami adalah hamba-hamba-Mu, putera dari hamba-hamba-Mu yang laki-laki dan perempuan. Ubun-ubun kami berada dalam genggaman-Mu (kami berada dalam genggaman-Mu), hukum-Mu berlaku atas kami, taqdir-Mu berjalan adil kepada kami, kami mohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau berikan kepada diri-Mu, nama yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau nama yang hanya Engkau yang mengetahuinya dalam ilmu ghoib di sisi-Mu, jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyubur hati kami, penghapus kesedihan kami, cahaya jiwa kami dan penghilang gundah gulana kami. Jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mencintai Al-Qur’an yang mereka adalah keluarga-Mu dan orang-orang pilihan-Mu, Ya Allah….


Ya Allah… jadikanlah kami orang-orang yang membaca Al-Qur’an kemudian meningkat (kehidupan kami) dan janganlah Engkau jadikan kami orang-orang yang membaca Al-Qur’an namun kami menderita…. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang menghalalkan apa-apa yang dihalalkan Al-Qur’an, mengharamkan apa-apa yang diharamkan Al-Qur’an, mengerjakan ayat-ayat yang tersurat dalam Al-Qur’an, beriman kepada apa yang tersirat di dalamnya dan membaca dengan bacaan yang sesungguh-sungguhnya. Jadikan kami golongan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Al-Qur’an dan jangan jadikan kami termasuk orang-orang yang menyia-nyiakan huruf-hurufnya serta hukum-hukumnya.

Ya Allah, jadikanlah kami, anak-anak dan keluarga kami sebagai penghafal Al-Qur’an. Masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang dapat mengambil manfaat di dalamnya, termasuk orang-orang yang dapat mengambil kelezatan mendengarkan kalam-kalamnya. Anugerahkanlah kepada kami istiqomah dan kesabaran di dalam membacanya, menghafalnya serta mempelajarinya…


Aamin Yaa Rabbal ‘alaamiin....


MARI MENGGAPAI SAKINAH BERSAMA AL-QUR'AN...
Wonogiri, 10 April 2011
Aisya Avicenna
writer@www.aisyaavicenna.com


Tulisan ini diposting pada bulan April 2011 di blog sebelumnya.