ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB. SAHABAT, TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG SAYA INI. SEMOGA BERMANFAAT DAN MAMPU MEMBERIKAN INSPIRASI. BAGI SAYA, MENULIS ADALAH SALAH SATU CARA MENDOKUMENTASIKAN HIDUP HINGGA KELAK SAAT DIRI INI TIADA, TAK SEKADAR MENINGGALKAN NAMA. SELAMAT MEMBACA! SALAM HANGAT, ETIKA AISYA AVICENNA.

Menulis Yuk di TKIT Fitrah Lebah


Sabtu, 27 November 2010 tim Menulis Yuk menggelar acara "Workshop Penulisan" bersama adik-adik kelas 1 SD sampai SMP di TKIT Fitrah Lebah, Bekasi.
Berikut ceritanya.

Pagi itu, sekitar pukul 06.30, Mbak Iecha SMS aku menanyakan apakah aku jadi ikut ke Bekasi atau tidak. Aku jawab kalau aku jadi ikut. Dia SMS lagi, kalau dia akan menungguku di halte Busway Gelanggang Remaja. Kami memang janjian ketemuan di UKI jam 07.30. Pukul 07.00 aku dah bertemu Mbak Iecha yang mengenakan kaos berwarna kuning. Setelah itu, kami berdua naik busway menuju halte UKI. Di sana sudah menanti Mbak Suri dengan baju pink-nya. Ternyata Mbak Suri sudah menunggu kami di halte angkot yang terletak di depan UKI. Kami bertiga bertemu.


Selang berapa saat kemudian, Mbak Ovy datang. Sudah jam 07.45. Wedew, Mbak Ria dan Mbak Rurie telat nih! Saat sedang asyik ngobrol sambil baca bukunya Kang Arul “A Complete Guide for Writerpreneurship”, mbak Ria datang dengan hebohnya. Dia naik ojek. Pakai acara uangnya kegedean dan akhirnya pinjam uang Mbak Ovy dulu. Tumben hari ini Mbak Ria pakai baju biru. Biasanya PINK terus! Beuh... hihi, dasar mbakku yang satu ini! Selanjutnya, tinggal menunggu Mbak Rurie yang masih dalam perjalanan.

Mbak Rurie akhirnya datang juga dengan tampang merasa bersalah karena terlambat. Tapi kita tidak akan marah kok! :) . Kemudian kami naik angkot kecil jurusan bekasi. Dalam perjalanan, aku dan Mbak Suri berdiskusi tentang banyak hal, salah satu hasil diskusi kami sudah saya tulis dalam “Menunggu di Sayup Rindu”. Sesekali kami tertawa melihat polah tingkah Mbak Ria yang super heboh. Dasar!!!

Sampai di daerah... mmm, aku lupa namanya. Kami turun! Awalnya mau ketemuan sama Mbak Ayu, tapi ternyata dia belum sampai. Akhirnya Mbak Ayu kami tinggal biar dia menyusul saja. Kami naik angkot 2 B. Sampai di pintu Gerbang Perumahan Villa Nusa Indah, kami turun. Setelah itu berjalan kaki menuju TKIT Fitrah Lebah.

Sampai di pintu gerbang, langsung disambut pengelolanya dan kami dipersilakan masuk. Di dalam, anak-anak sudah berkumpul. Kang Arul juga sudah datang. Acara “workshop penulisan” pun dimulai. Kang Arul mengawali workshop dengan memperkenalkan dirinya dan para pasukannya (kami, -red). Setelah itu, Kang Arul menggelar games kecil yang membuat adik-adik makin semangat. Pelatihan pun dimulai. Hmm, Kang Arul memang keren deh dalam berbagi ilmu soal kepenulisan. Sebenarnya, bukan adik-adik dari SD sampai SMP itu saja yang belajar menulis pagi ini, tapi aku juga belajar teknik menulis yang luar biasa dari Kang Arul.
Adik-adik mendapat tugas dari Kang Arul. Tugas menulis tentunya! Mereka dibagi menjadi 3 kelompok.
Kelompok 1, terdiri dari kelas 1 sampai 3 SD, dipegang oleh : aku, Mbak Suri, dan Mbak Ovy.
Kelompok 2, terdiri dari kelas 4 dan 5 SD, dipegang oleh : Mbak Rurie dan Mbak Ayu.
Kelompok 3, terdiri dari kelas 6 dan 7 (SMP), dipegang oleh : Mbak Iecha dan Mbak Ria.
Kami bertugas membimbing adik-adik dalam menulis. Wah, seru banget deh!!!! Aku jadi akrab dengan beberapa adik dan sempat bertukar alamat FB. Hehe, kecil-kecil punya FB!

Acara ini selesai pukul 12.00. Setelah acara selesai, kami foto bersama. Selanjutnya adik-adik bermain di depan “Rumah Pensil Publishing” (yang dulunya memang TKIT Fitrah Lebah). Aku dan Mbak Suri sempat diskusi tentang Rumah Pensil Publishing dengan salah satu pengelolanya. Kang Arul masih asyik ngobrol dengan ibu-ibu yang anaknya ikut acara tadi.
Pukul 12.00 lebih Kang Arul undur diri. Makasih ya Kang atas kesempatannya.

Aku dan mbak-mbakku masih menikmati snack, makan siang, dan sholat Zuhur dulu di Rumah Pensil Publishing. Setelah itu, kami menuju rumah Mbak Ayu untuk rapat membahas calon buku yang tengah kami tulis. Chayo buat tim MENULIS YUK!!!


Aisya Avicenna

NB : Kang Arul adalah nama panggilan dari Rully Nasrullah, penulis 200-an buku (lebih malah) dengan beragam nama pena, salah satunya "ARUL KHAN". Beliau adalah seorang "WRITER COACH" yang luar biasa keren! Saat ini beliau juga sebagai CEO MENULIS YUK KOMUNIKATA. Menjadi salah satu 'anak buah'-nya merupakan sesuatu yang luar biasa bagiku yang memang tengah belajar menjadi seorang "WRITERPRENEUR" 




Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya

INSYA ALLAH, KHAIR...



Menuliskan kisah ini membuat saya mengenang masa itu. Jumat, jam 11 siang di dekat mushola lantai 2 Gedung B FMIPA UNS, bersama adik-adik yang sangat bersemangat mengenal Islam lebih dekat. Kisah ini adalah salah satu kisah yang pernah saya sampaikan dalam sebuah pertemuan di Jumat itu...

Pada zaman dahulu hiduplah seorang raja yang mempunyai daerah kekuasaan yang sangat luas. Ia mempunyai seorang penasihat yang bijaksana. Suatu ketika sang raja bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Ia pun bercerita kepada penasihatnya. “Wahai penasihat, aku bingung dengan diriku ini. Aku telah menjadi raja, tapi mengapa aku merasa hidupku ini tidak enak, aku merasa sepi”. Maka dengan senyum dan bijak sang penasihat menjawab “Wahai raja, lebih baik kau menikah, insya Allah khoir, insya Allah kau tidak merasa sepi”.

Maka sang raja menuruti apa kata penasihat. Akhirnya sang raja menikah. Benar saja, sang raja merasa sangat bahagia, ia tidak merasa sepi lagi. Namun sang raja merasa ada yang kurang, ia belum mempunyai anak. Setelah berbincang dengan penasihat, penasihat menganjurkan untuk memiliki anak. “Insya Allah khair,” kata penasehat. Maka akhirnya sang raja memilih untuk memiliki anak. Hingga akhirnya ia mempunyai seorang anak laki- laki.

Seiring berjalannya waktu sang anak pun tumbuh besar. Hingga akhirnya ia mulai memasuki bangku sekolah. Pada saat itu sang raja kembali bingung, anaknya akan disekolahkan di mana. Maka ia kembali berbicara pada penasihatnya. “Wahai penasihat bagaimana menurutmu, sekolah mana yang pantas untuk anakku ini?” tanya sang raja. Maka dengan bijaksna penasihat berkata “Sekolahkan saja anak raja ke negeri seberang, Insya Allah khair, itu lebih baik”. Maka dengan berat hati sang raja menyekolahkan anaknya ke negeri seberang.

Dengan perginya anaknya, maka sang raja merasa kesepian. Pada suatu malam ia mengupas buah apel. Namun apa gerangan, tangannya terkena pisau hingga mau putus. Sang raja merasa hatinya resah, ia menganggap itu pertanda kalau sedang terjadi sesuatu yang tidak baik pada anaknya. Maka ia kembali bicara pada penasihatnya. “Wahai penasihat, menurutmu apa yang sedang terjadi, aku merasa tidak enak, ini tanganku teriris pisau dan mau patah,” kata sang raja. Maka dengan muka senyum penasihat berkata ”Insya Allah khair”. Mendengar jawaban penasihat raja merasa jengkel karena dari dulu setiap dimintai pendapat penasihat menjawabnya “Insya Allah khair” terus. Sang raja marah dan akhirnya menjebloskan penasihat tersebut ke dalam penjara.


Sang raja mengangkat penasihat baru. Setelah itu mereka langsung berburu di hutan. Sang raja memang suka berburu. Dengan membawa segenap pasukan dan penasihatnya, raja berangkat berburu di hutan. Di tengah jalan, raja melihat seekor rusa. Dengan menunggangi kuda sang raja dan penasihat barunya mengejar rusa tersebut. Namun, tidak dengan para pengawalnya. Mereka kelelahan mengejar sang raja, karena mereka harus berlari. Hingga tanpa disadari tinggal sang raja dan penasihat yang mengejar buruannya.


Akhirnya sang raja mendapatkan posisi yang tepat untuk memanah rusa tersebut. Tanpa disadari, ternyata mereka berdua telah dikepung oleh kaum kanibal yang menghuni hutan tersebut. Di saat yang bersamaan, kaum kanibal tersebut sedang mencari manusia untuk upacara adat. Tanpa bisa berbuat apa-apa maka raja dan penasihat baru itu dibawa. Dengan posisi seperti akan disate maka penasihat baru tersebut dipanggang, hingga akhirnya ia meninggal dunia. Saat giliran sang raja yang akan dipanggang, ada seorang dari kaum kanibal melihat bahwa ada bagian tubuh yang rusak dari sang raja, yaitu jari tangannya hampir putus. Mereka juga tidak enak kalau mau memberi sesajen pada leluhurnya dengan barang yang cacat. Maka sang raja tidak jadi dipanggang dan akhirnya dilepaskan.


Dengan perasaan takut maka rajapun kembali ke istana. Sang raja langsung menemui penasihatnya yang tengah dipenjara.”Wahai penasihat ternyata kau benar, kalau jariku ini tidak terluka, maka aku bisa dipanggang oleh kaum kanibal di hutan tersebut,” kata sang raja sambil minta maaf. Dengan tersenyum sang penasihat berkata ”Saya juga berterima kasih pada Paduka Raja, karena telah menjebloskan saya ke penjara. Karena kalau tidak dipenjara, mungkin saya juga sudah dipanggang oleh kaum kanibal tersebut”.


Selamat mengambil pelajaran dari kisah ini...


Everytime you feel like you cannot go on
You feel so lost
That your so alone
All you is see is night
And darkness all around
You feel so helpless

You can`t see which way to go
Don`t despair and never loose hope
Cause Allah is always by your side
Insya Allah
Insya Allah you`ll find your way
Everytime you can make one more mistake
You feel you can`t repent
And that its way too late
You`re so confused, wrong decisions you have made
Haunt your mind and your heart is full of shame
Don`t despair and never loose hope
Cause Allah is always by your side
Insya Allah
Insya Allah you`ll find your way
Insya Allah
Insya Allah you`ll find your way
Turn to Allah
He`s never far away
Put your trust in Him
Raise your hands and pray
Ya Allah
Guide my steps don`t let me go astray
You`re the only one that showed me the way,
Showed me the way
Insya Allah
Insya Allah we`ll find the way
(Insya Allah-Maher Zain)

Saat Jakarta tengah batuk, 28 November 2010_14.24
Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya

Menunggu di Sayup Rindu



burungpun bernyanyi
melepas sgala rindu
yang terendam malu
di balik qolbu

anginpun menari
mencari arti
apakah ini fitrah
ataukah hiasan nafsu

di dalam sepi ia selalu hadir
di dalam sendiri ia selalu menyindir
kadang meronta bersama air mata
seolah tak kuasa menahan duka

biarlah semua mengalir
berikanlah kepada ikhtiar dan sabar
untuk mengejar...

sabarlah menunggu
janji ALLAh kan pasti
hadir tuk mdatang
menjemput hatimu

sabarlah menanti
usahlah ragu
kekasihkan datang sesuai
dengan iman di hati
bila di dunia ia tiada
moga di syurga ia telah menanti
bila di dunia ia tiada
moga di syurga ia telah menunggu

-Maidany-

***

Jodoh tak usah terlalu dirisaukan, tiba waktunya ia akan menjemput, namun perlu juga membuka lorong-lorongnya agar jemputan mudah sampai dan tidak terhalang

Ketika kita pasrah dan tawakal kepada Allah, dalam menanti jodoh yang terbaik menurut sang Maha Pencipta, baiknya kita singkirkan segala permintaan tentang jodoh yang tepat menurut kita (kriteria idealis kita). Saat jodoh masih belum datang juga, bisa jadi penyebabnya karena tidak ada 'keharmonisan' saat berdoa. Ternyata ketika mulut kita meminta, hati tidak seiring dan sejalan dengan apa yang kita ucapkan. Oleh karena itu, kita harus berusaha sekuat tenaga menyelaraskan ucapan dan lintasan hati kita.

Ketika kita pasrah dan tawakal kepada Allah, dalam menerima jodoh yang terbaik menurut sang Maha Penentu Takdir, Insya Allah Dia akan memberikan lebih daripada yang kita kira. Ketika kita tidak lagi menuntut banyak kriteria, Allah mungkin justru akan memberikan kriteria yang sering kita minta di setiap doa-doa dalam mengharap jodoh kita.

Ketika kita pasrah dan tawakal kepada Allah, jika suatu saat nanti kita siap menerima seseorang sebagai pendamping hidup, kita sangat yakin kepada sang Maha Pengampun, kita akan jauh lebih baik dan lebih cantik/tampan di surga nanti. Dialah jalan bagi kita untuk menuju surga Allah. Ya Allah, kumpulkanlah kami dalam surgamu kelak. Amin.

Ketika kita mampu pasrah dan tawakal kepada Allah, dalam segala hal, maka yakinlah, sang Maha Mendengar segala doa, akan mengabulkan doa-doa kita.


~Hasil diskusi dengan seorang sahabat saat perjalanan Jakarta-Bekasi~

Aku, yang masih terus mencoba pasrah dan tawakal
Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya
 

Bareng Dong!


by : Fariecha The Explorer (penulis "Don't Touch Me")

Nulis keroyokan emang enak. Apalagi buat kita-kita yang "napasnya" belum kuat untuk nyelesain satu buku sendiri. Mungkin, kalau nulis fiksi (cerpen or novel), bikin sendiri lebih enak, karena lebih personal. Sedangkan, klo non fiksi, bikin rame-rame enak n ngebantu banget.

Bayangin, dari 5-8 bab yang harus dikerjain, kita paling kebagian satu atau dua bab. Selebihnya dikerjain sama temen-temen yang lain. Jelek-jeleknya, kita dapet jatah setengah buku. Itu juga udah jauh mendingan dibanding harus nulis sendirian dari ujung ampe ujung.

Terus, nulis barengan juga bisa saling menyemangati. Kalo ada temen yang belum selesai, yang lain bisa support. Kalo ada temen yang belum dapet data, yang lain bantu nyariin. Dari mulai bikin konsep sampe finishing, semuanya diselesaikan rame-rame.

Itu yang aku alamin sama temen-temen Band aku. Awalnya, aku yang cuma akrab sama Mba Dala. Begitu dapet instruksi untuk bikin non fiksi keroyokan, aku n Mba Dala nyusun pasukan. Tapi, berkali-kali band ini ganti personel. Banyak yang nggak konsisten untuk ngerjain. Alesannya bermacem-macem. Sampe, pada akhirnya, Mba Era dilibatin. Waktu itu, aku bener-bener nggak deket ama Mba Era. And, di waktu yang sangat mepet, Mba Astri n Mba Anisa (yang waktu itu baru diinagurasi) ikutan join.

Apakah kami udah akrab semua pas awal bikin tulisan? Nggak! Samasekali nggak akrab dan nggak deket. Sekali lagi, aku cuma akrab sama Mba Dala. Hingga, penerbit minta kami ngerevisi total naskah. Inagurasi angkatan 7 di Situ Gintung, itu pertama kalinya kami ketemu untuk ngomongin konsep dan bagi-bagi tugas.

Itu juga nggak langsung beres. Karakter dan latar belakang personel band yang beda-beda bikin gaya penyampaian lain-lain semua. Saat itu, kami harus ngerevisi sesuai dengan instruksi penerbit. Nggak cuma sekali. Buku Muslimah Nggak Gitu, Deh akhirnya terbit juga setelah ngerjain dua taun dan empat kali ngerevisi.

Lanjut ke buku-buku berikutnya, satu band itu nggak pernah kumplit ngumpul semua pas bahas konsep. Tapi, ngerevisi sampe empat kali bikin kami udah ngerasa deket dan saling percaya. Bikin konsep biasanya berempat. Baru, hasil rapat dikomunikasiin dengan semua personel, dan masing-masing milih bab.

Yup. Kuncinya nulis bareng itu komunikasi. Komunikasi tentang apa pun. Khususnya tentang buku yang lagi dikerjain. Nggak mungkin tulisan bisa dikerjain kalo nggak pernah ngomongin konsep bareng. Nggak mungkin juga bisa jadi buku kalo masih mengedepankan ego masing-masing. Semua buat kepentingan bersama, buat kebaikan bersama, n buat keberhasilan bersama.

Nulis satu buku berdua tapi nggak pernah bahas konsep? Waduh... Kayak lagunya Armada: mau dibawa ke mana? Mau dibawa ke mana itu tulisan? Kita enak-enakan nulis jatah kita sendiri sementara temen masih kebingungan. Kita dengan pedenya ngumpulin naskah kita sendiri, sementara temen kita tulisannya masih babak belur dan kita cuek? Halo....!!!

Nulis keroyokan satu buku dan satu tema butuh kesabaran ekstra, Butuh usaha supaya buku itu nggak ketauan kayak ditulis rame-rame. Mungkin nggak hasil tulisan kita bisa kayak gitu kalo kita nggak peduli sama temen kita? Kalo kita nggak pernah bahas konsep sama partner? Kalo kita jalan sendiri aja dengan keyakinan kalo kita udah baik dan benar? Tugas kita bukan ngerombak punya temen. Tapi, tugas kita adalah ngasih tau temen dan diskusi bareng, supaya bisa maju sama-sama. Emangnya kita tega ngeliat temen kita masih terpuruk pas kita udah maju?



Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya
 

Aisya Avicenna feat. Tere Liye


Sabtu, 6 November 2010
Pagi yang luar biasa. Pukul 07.30 dengan mengenakan kostum merah hati melenggang menuju kampus STIS. Hmm, mau ngapain coba?
Sampai di depan kampus, langsung telepon salah satu panitia. Alhamdulillah, dia langsung menjemput dan mengantar ke ruangan. Mau ngapain sih?

Pukul 08.30 acarapun dimulai. Hmm, ceritanya hari ini jadi trainer untuk pelatihan corel draw buat adik-adik ROHIS STIS (yang akhwat). Didampingi Nisa sebagai moderator, akupun beraksi! Akhirnya, bisa cuap-cuap lagi setelah sekian lama “off” sejenak dari dunia training karena masa transisi dari kampus ke kantor. Sekitar 30-an peserta begitu antusias mengikuti acara ini. Kebanyakan dari mereka adalah pengurus akhwat pada buletin ROHIS STIS.

Pukul 09.50, saat tengah asyik menjelaskan materi pada peserta, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk ke ruangan itu. Dengan mengenakan kaos hitam, jaket putih dan celana jeans, lelaki itu duduk di bangku kosong paling depan didampingi seorang mahasiswa STIS.
“Mbak, Tere-Liye tuh!” bisik Nisa di sampingku.
Hah… konsentrasiku sedikit buyar. Wow!

Sejurus kemudian Bang Tere berdiri dan meninggalkan ruangan. Sepertinya salah tempat.
Memang sih, beliau mau mengisi sharing penulisan dengan adik-adik UKM Media jam 10, di ruangan yang tengaha aku pakai.
Jam 10, akhirnya selesai sudah. Wah, pengin banget ketemu Tere-Liye. Mencari-cari di luar ruangan tapi tidak ada. Ya sudah, akhirnya setelah selesai dan pamitan pada panitianya. Aku dan Nisa turun dari lantai 6.

Eits, di dekat pintu masuk gedung utama STIS, ada Bang Tere dengan kaos hitamnya yang melepas jaket. Hmm, akhirnya ketemu juga. Trus kita saling menyapa dan membicarakan “sebuah misi” di group FB. Iseng-iseng aku mengajak foto beliau. Ternyata memang benar kata teman-teman, beliau memang jarang mau diajak foto. Beliau bilang, “Saya tidak mau difoto.”.

Dingin. Kaku. Lugas. Misterius. Itulah kesan pertamaku bertemu beliau.

Tapi it’s so amazing!

Bertemu Bang Tere adalah salah satu impianku karena beliau adalah salah satu novelis favoritku.

Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya

Pemuda Berkuda Putih



Pada zaman dahulu, ada seorang raja yang mengatakan kepada seorang pemuda yang bekerja sebagai pemelihara kuda kerajaan. “Pilihlah salah satu kuda terbaik di kandang ini, tunggangi dan jangkaulah daerah sebanyak yang kamu mampu. Aku akan memberikan wilayah sebanyak yang kamu jangkau.”

Tentu saja, pemuda tadi tidak menyiakan kesempatan yang diberikan sang raja. Tanpa ragu dia memilih seekor kuda putih yang merupakan kuda terbaik di kerajaan. Kemudian dengan cepat ia melompat naik ke atas kudanya dan secepat mungkin pergi untuk menjangkau wilayah sebanyak mungkin.


Dia terus memacu kudanya. Tak kenal lelah. Terus mencambuk si kuda putih agar terus berlari. Ketika ia merasa lapar atau lelah, ia tak mau berhenti karena ia ingin memperoleh wilayah sebanyak mungkin. Pada akhirnya, ketika ia telah menjangkau wilayah yang cukup banyak, ia kelelahan dan sekarat.

Pemuda berkuda putih itu lantas bertanya kepada dirinya sendiri, “Mengapa aku memaksakan diriku begitu keras untuk menjangkau begitu banyak wilayah? Sekarang aku sekarat dan hanya memerlukan sebidang tanah yang sangat kecil untuk menguburkan diriku sendiri.”
***
Kisah di atas hampir sama dengan perjalanan hidup kita. Setiap hari kita kerap memaksa diri kita dengan keras (dalam bahasa Jawa : ngoyo) untuk menghasilkan lebih banyak “kepuasan duniawi”, baik itu uang, kekuasaan, atau sekedar ketenaran.

Kita sering mengabaikan kesehatan kita, waktu bersama keluarga, dan parahnya kita sering lupa mengetuk pintu-Nya. Tak pernah khusyu’ saat ‘menghadap’ pada-Nya. Terlalu larut dan hanyut dalam aktivitas duniawi yang terkadang memang membuat kita “puas”, tapi sebenarnya kepuasan itu akhirnya berujung pada kegelisahan hati.

Seringku merasa bertaqwa pada-Mu
Tapi itu hanya perasaan saja
Seringku berdosa pada-Mu Illahi
Tapi sering ku mengingkarinya
Seringku mengingat cinta-Mu Illahi
Tapi lebih sering ku menjauhinya
Sering ku terlena dengan dunia ini
Hingga menjadi hamba yang merugi
Hari demi hari terus kulalui
Dalam keadaan sepinya hati ini
Ku mengharap cinta Illahi
Dapat bersemi di hati
Hari ini kuakan berubah
Ke arah yang lebih baik lagi
Ku ingin mengabdi pada Illahi
Agar cinta-Mu terus di hati
(Sesal – Heru Herdiana)
***
Hidup ini rapuh, jika kita tak membentengi diri dengan iman dan taqwa.
Hidup ini singkat, jika kita membiarkan lewat begitu saja, bisa jadi hanya penyesalan yang kita bawa.
Hidup ini sangat indah, jika kita tak melulu memandang ke atas dan merasa iri dengan kepunyaan orang lain yang tak kita punya.
Hidup ini luar biasa, jika kita sadari bahwa kita adalah pemain kehidupan yang harus melakonkan peran kita dengan sebaik-baiknya.
Selamat merangkai kisah kehidupan dalam naungan kasih dan ridho-Nya!
***
Keimanan dan ketaqwaan kita jadikan bekal
Tuk hidup bahagia kelak di akhirat
Harta kekayaan tiada akan bernilai...
Di hadapan Allah, hanyalah amal yang sholih

Saat subuhku berteman rintik hujan, 231110_05.25
Aisya Avicenna


Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya

Mencintai Penanda Dosa


(Oleh : Salim A. Fillah)

Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.

Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata.

“Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.

Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.

Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka.

Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demi barak. Ad dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.
***
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”

Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

-salim a. fillah, www.safillah.co.cc-
***
NB: sahibatul hikayah berpesan agar kisah ini diceritakan untuk berbagi tentang betapa pentingnya menjaga iman, rasa taqwa, dan tiap detail syari’atNya di tiap langkah kehidupan. Juga agar ada pembelajaran untuk kita bisa memilih sikap terbaik menghadapi tiap uji kehidupan. Semoga Allah menyayanginya



Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya

Pertengkaran Kecil


SP : "Bagi sy, mnulis bkn utk dinilai.Skedar menulis…menulis..
dan menulis…"
AA : "Tp ada kalanya penilaian itu perlu utk mlihat sjauh
mana kualitas tulisan kita. Dgn begitu, kita bisa blajar mjd lbh baik lg."
SP : "Menikmati tulisan orang lain jg bs djadikan parameter,
karena setiap penulis pny resepnya masing2, sebagaimana cheef… mmpu meramu
bumbu2 dasar mjd makanan yg lezat…"


22 November 2010




Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya

Idul Adha


Selamat Hari Raya Idul Adha 1431H.

Semoga semangat Nabi Ibrahim AS dan keluarganya terpatri dalam diri kita semua. Amin


Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya

Pidato Bung Tomo


Bismillahirrohmanirrohim..
MERDEKA!!!

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia
Terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya
Kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini
Tentara inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet, yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua
Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan
Menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara jepang
Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan
Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera puitih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka

Saudara-saudara
Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau, kita sekalian telah menunjukkan
Bahwa rakyat Indonesia di Surabaya
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku
Pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi
Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali
Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan
Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera
Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di surabaya ini
Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing
Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung
Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol
Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana

Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara
Dengan mendatangkan presiden dan pemimpin2 lainnya ke Surabaya ini
Maka kita ini tunduk utuk memberhentikan pentempuran
Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri
dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya

Saudara-saudara kita semuanya
Kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini
Akan menerima tantangan tentara inggris itu
Dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya
Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indoneisa
Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indoneisa yang ada di Surabaya ini

Dengarkanlah ini tentara inggris!
Ini jawaban kita
Ini jawaban rakyat Surabaya
Ini jawaban pemuda Indoneisa kepada kau sekalian!!!

Hai tentara inggris!!!
Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu
Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu
Kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu
Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita
Untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada
Tetapi inilah jawaban kita:

"Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih. Merah dan Putih, maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga!"

Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! keadaan genting!
Tetapi saya peringatkan sekali lagi
Jangan mulai menembak
Baru kalau kita ditembak
Maka kita akan ganti menyerang mereka itu
Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka!

Dan untuk kita saudara-saudara
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka!
Semboyan kita tetap: MERDEKA atau MATI!!
Dan kita yakin saudara-saudara
Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita
Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar!
Percayalah saudara-saudara
Tuhan akan melindungi kita sekalian

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
MERDEKA!!!

---

Semoga bangsa ini benar-benar merdeka.
Merdeka dari segala macam bentuk penjajahan.

Selamat Hari Pahlawan!***
Langkah kakinya tak sempurna. Ada seuntai platina terpasang di kaki kirinya. Peluru tentara musuhlah yang membuatnya demikian. Kondisi itu tak menyurutkan semangat juangnya, bahkan hingga ruhnya kembali pada Sang Penguasa, di istana kita dini hari itu... Dan semua berduka sekaligus bangga melepas kepergiannya!

~10 November, selamat hari ...pahlawan! Buat kakekku, semoga segala bentuk perjuanganmu diterima di sisi-Nya.. Aamiin...~



Tulisan ini diposting pada bulan November 2010 di blog sebelumnya