ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB. SAHABAT, TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG SAYA INI. SEMOGA BERMANFAAT DAN MAMPU MEMBERIKAN INSPIRASI. BAGI SAYA, MENULIS ADALAH SALAH SATU CARA MENDOKUMENTASIKAN HIDUP HINGGA KELAK SAAT DIRI INI TIADA, TAK SEKADAR MENINGGALKAN NAMA. SELAMAT MEMBACA! SALAM HANGAT, ETIKA AISYA AVICENNA.
Tampilkan postingan dengan label Flash Fiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Flash Fiction. Tampilkan semua postingan

MERENUNG

 



Harap tenang, Budi dan ibunya sedang merenung. Mereka sama-sama memikirkan kejadian yang baru saja mereka alami saat bertemu seekor kucing di jalan tadi. Kucing itu berbulu putih dan hitam. Budi dan ibunya bertemu di tengah jalan saat pulang dari pasar. Hampir saja Budi menabrak kucing itu karena ia menghadang dengan tiba-tiba di tengah jalan.  🐈

Siapa sangka, kucing itu bisa bicara. Dan baru kali ini Budi gemetaran sampai bercucuran keringat dingin saat bertemu kucing di jalan. Bagaimana jika sebenarnya kucing itu adalah sosok makhluk berbulu korban tabrak larinya semalam? Ah, sepertinya bukan, pikir Budi menenangkan diri. Kucing yang ia tabrak kemudian ia tinggal pergi itu seingatnya masih kecil. "Hei, kamu! Ini undangan buat kamu!" ujar kucing yang bisa berbicara dan berdiri dengan dua kaki belakangnya itu. 🐈

"Undangan apa?" tanya Budi heran. "Baca saja sendiri! Tapi nanti saja bacanya, setelah kalian sampai di rumah!" jawab kucing itu dengan ketus. Kemudian dia melenggang pergi dengan posisi layaknya kucing biasa. . 🐈

Nah, saat merenung itu Budi teringat dengan surat yang diberikan kucing aneh tadi. Ibunya pun ikut membaca. "Kamu telah melanggar aturan Planet Kucing nomor 137, dengan kasus tabrak lari. Harap hadir dalam sidang terbuka di Planet Kucing besok pagi. Ini tiket menuju Planet Kucing. Silakan berangkat dari kebon belakang rumah. Kami jamin keselamatan Anda sampai tiba di bumi lagi." 🐾
Presiden Planet Kucing

Budi dan ibunya syok. 🐈

TUMPENG

 


Sejak siang tadi, Arin masih berkutat di dapur. Dia berencana membuat tumpeng spesial untuk milad suaminya hari itu. Ayam sudah digoreng, telur sudah direbus, sayuran untuk urap sudah direbus, tinggal bikin orek tempe, sambal kentang dan perkedel kesukaan suaminya. Masih ada dua jam lagi sebelum suaminya pulang dari kantor.

Satu jam kemudian, tumpeng nasi kuning berbentuk kerucut berukuran sedang dan berhias aneka lauk serta sayur sudah terhidang di meja makan.

Beberapa saat kemudian, pintu rumahnya diketuk. Tapi tidak ada suara. "Siapa ya?" tanya Arin penasaran, sambil bergegas ke ruang depan untuk membuka pintu. "Tok.. Tok.. Tok.. " pintu diketuk lagi.
Saat membuka pintu, Arin terkejut. "Assalamu'alaikum, Dinda... Surprise!" 

Ternyata suaminya yang datang. "Wa'alaikumussalam, Kandaaa.. Waaaah.. Kok sudah pulang?" Tanya Arin pada Raka sambil mencium punggung tangan suaminya itu dengan takzim. 

"Iya, hari ini diizinkan pulang cepat sama Pak Bos. Kan Kanda lagi milad!" Jawabnya bahagia. Kemudian mereka duduk di ruang keluarga, bercengkerama sejenak. 

"Nda, yuk ke dapur," ajak Arin sambil menggamit tangan Raka. . "Hmm, ada apa nih?" tanya Raka penasaran. .

Sampai di dapur, mereka sama-sama terkejut. "Innalillahi....!!!" Mereka berteriak hampir bersamaan.
Ternyata tumpeng surprise Arin untuk Raka sudah tidak berbentuk lagi karena ada Kucel dan Tampu yang tengah asyik mengobrak-abriknya. Kedua kucing itu berburu suwiran ayam yang tadi sengaja dicampur Arin dengan nasi tumpeng.

Arin dan Raka yang sangat sayang dengan kedua kucing itu tak kuasa mengusik mereka. "Dinda, ikhlasin ya. Mungkin mereka dulu belum pernah makan tumpeng. Hihihi...," hibur Raka sambil menepuk pipi Arin dengan lembut.

Arin yang tadi sempat cemberut akhirnya malah tertawa mendengar celoteh suaminya. 

"Yok, kita makan nasi kotak ini. Tadi Kanda ada rapat dan dapat nasi kotak, keinget Dinda jadi nggak dimakan deh nasi kotaknya." Akhirnya mereka pun makan sekotak berdua, sementara Tampu dan Kucel masih asyik menyantap tumpeng di atas meja.

KAOS KAKI CINTA


Sore ini Sarah belanja sepatu di sebuah toko. Tak lupa dia beli kaos kaki beberapa pasang. Sejak berhijab sebulan lalu dan sedang belajar untuk hijrah ke arah yang lebih baik, Sarah mulai belajar mengenakan busana muslimah syar'i. Apalagi saat pekan kemarin ada kajian yang membahas aurat muslimah. Sarah tergugah untuk mulai memakai kaos kaki saat beraktivitas di luar rumah.  💙

Keluar dari toko tersebut, ada anak perempuan yang mendekatinya menawarkan tisu. Sarah membeli sebungkus. Saat hendak mengambil uang di dompet, perhatian Sarah tertuju pada kaki anak itu. Dia mengenakan sandal jepit tapi berkaos kaki. Dugaan Sarah kaos kaki itu sebelumnya berwarna putih. Akan tetapi sekarang sudah berubah warna menjadi kecoklatan. Ditambah ada beberapa lubang di kaos kaki tersebut. 💙

"Dek, ini kakak ada kaos kaki lebih. Buat kamu satu ya!" kata Sarah sambil menyodorkan sepasang kaos kaki berwarna biru muda kepada anak perempuan berjilbab merah itu. 

"Wah, terima kasih Kak. Saya sudah punya kaos kaki ini. Saya tidak mau pakai kaos kaki lain," jawab anak itu lugas. 

"Gak apa-apa Dek. Ini buat kamu saja," jawab Sarah sambil meletakkan kaos kaki biru itu di tangannya.

"Maaf kak, saya tidak bisa menerima pemberian orang lain yang belum saya kenal. Apalagi hanya karena kasihan dengan saya. Itu pesan Bapak. Ini kaos kaki cinta dari Bapak. Sebelum meninggal, beliau berpesan agar saya selalu memakainya. Ketika memakai kaos kaki ini, saya merasa langkah kaki ini selalu bersama Bapak. "

Sarah tertegun dalam rasa haru. 💙
.

SARAPAN

 



Pagi yang cerah. Aku sudah berdiri di pertigaan komplek menanti seseorang. Bukan menanti kehadiran tukang sayur atau penjual bubur ayam keliling.

"Wah, itu dia. Kakak berjilbab biru sudah membukakan pintu." Dengan setengah berlari, aku masuk ke halaman rumah kakak itu." Terbukanya pintu rumah kakak berjilbab biru itu menjadi suatu momen yang kunantikan tiap hari. 

"Hai Jeje, mana Juju kok nggak diajak?" Sapa si kakak ramah sambil mengusap badanku dan menuangkan sarapan favoritku. 

Juju adalah saudari kembarku. Sayang, dia lebih asyik main di komplek sebelah dan tidak mau kuajak ke rumah kakak ini. 

Saat tengah asyik menikmati sarapan, datang dua tante heboh yang juga tak mau kalah menagih jatah sarapannya. Kedua tante itu sedang hamil. Mungkin karena bawaan hamil juga, mereka menatapku sinis karena sudah sarapan terlebih dahulu. 

Rasanya ingin segera menghabiskan sarapan dan kabur dari situ sebelum kena omel emak-emak yang tengah dilanda lapar.

SANDAL




Krimi diajak ke mall oleh Agan, tetangganya. Ini pertama kalinya Krimi ke mall. Sampai di depan pintu masuk, dia berhenti karena melihat pintunya bisa buka tutup sendiri.

Agan langsung menarik tangan Krimi, "Hey, ayo masuk!" 
 
"Permisi," saat Krimi masuk.

Puisi dalam Plastik

Benang-benang jingga terajut indah di senja kali ini. Mataku tak lepas dari sorot sang bagaskara yang lambat laun kembali ke peraduannya. Saat asyik memandang kepulangan mentari senja itu, aku merasakan ada sesuatu tersangkut di kaki. Sebuah plastik. Aku pungut plastik itu. Awalnya, akan kubuang. Setelah kuamati, ternyata ada yang aneh. Ada kertas di dalamnya. Kemudian, langsung kubuka lipatannya.
Kutulis denting cinta ini di sebuah tebing di pinggiran pantai 
Kamu tahu kenapa? 
Biar ketika menangis… 
Burung-burung camarlah yang menghibur kesedihan 
Biar ketika tertawa… 
Gema-gema alamlah yang mengisi keramaian 
Ketika bergembira… 
Peri-peri memainkan keindahan dawainya 
Di tengah lukisan senja atau fajar di kejauhan 
Saat terasa terluka… 
Buih-buih pantai yang membasuh dengan deburan ombaknya yang tiada akhir mengecup kepedihan 
Bila merengkuh kegundahan… 
Menatap kedatangan kapal-kapal yang singgah Memberi sejuta harapan Setiap orang yang memandang tebing 
Akan melihat indahnya cinta kita! 
Setiap orang yang mendengar gema tebing…
 Akan mendengar melodi kasih kita! 
Apabila ia telah naik ke tebing, sungguh ia telah berada di tengah-tengah
 Segalanya tentang kita! 
Batu Cadas, 10 Oktober 2010 
-ROS- 

Tertegun diriku saat membaca puisi itu. Indah sekali. Ros? Siapakah dia? Aku baca ulang puisi itu. Ada rasa membuncah dalam dada. Aku ingin bertemu dengan Ros. 
10 Oktober 2010? 
Hari ini! Mungkin saja dia tinggal di sekitar pantai. Batu Cadas? Di manakah itu? 
Aku bertanya pada seorang nelayan yang tengah menyiapkan perahunya untuk berlayar malam ini. 
 “Maaf, Pak! Saya mau numpang tanya. Batu Cadas itu di mana ya?” tanyaku. 
Nelayan itu menyeka keringatnya kemudian menjawab, “Ooo, di atas bukit itu Nak!” 
“Terima kasih, Pak!”
 Aku langsung berlari menuju daerah Batu Cadas yang terletak di atas bukit seberang pantai. Tersengal-sengal napasku meski pada akhirnya aku sampai juga di atas bukit. Ada seorang perempuan berkerudung merah tengah menyirami taman mawar di halaman rumah bambunya. “Mbak, Batu Cadas itu di mana ya?” tanyaku
 “Di sini Mas!” jawabnya sambil tersenyum.
 “Mas mau mencari siapa?” “Ros”, jawabku yakin. 
“Kebetulan, saya Ros. Rosmita!”
 “Oh.. perkenalkan, nama saya Aditya,” jawabku sambil mengulurkan tangan. 
Ros membalas jabat tanganku dengan menelangkupkan tangannya di depan dada. 
“Maaf ya Mas, bukan mahramnya”
 “Oh, maaf ya Ros!” aku kikuk.
 “Ros, saya menemukan puisi ini di tepi pantai. Kamu yang menulisnya?” 
“Iya”, Jawab Ros pelan 
“Ros, aku langsung jatuh cinta saat pertama kali puisi ini kubaca!” Ros hanya terdiam.
 “Maukah kau menjadi kekasihku, Ros? Kekasih untuk selamanya.” Ros masih diam. 
“Jawab Ros. Aku ingin kau menjadi pendamping hidupku.”
 “Maaf Mas, saya memang ingin menikah. Tapi maaf, saya tidak bisa menikah dengan Mas!” jawabnya lirih. 
“Mengapa Ros?”
 “Mari ikuti aku, Mas!” Ros berjalan ke belakang rumah. Aku mengikutinya. 
“Mas, tutup mata ya! Mas akan segera tahu alasannya.” Aku menurutinya. “Sekarang buka mata Mas!” Saat kubuka mata. Di depanku ada gundukan tanah merah. Pada nisannya tertulis, “Rosmita, Lahir : 1 Oktober 1985, Wafat : 10 Oktober 2010”. Aku merinding. Ada sekuntum mawar merah dan sebuah plastik berisi kertas di atas gundukan tanah merah itu. Apakah puisinya lagi?



Tulisan ini diposting pada bulan Mei 2012 di blog sebelumnya.

Tergelincir

Sang surya masih malu-malu tersenyum menyapa pagi di sebuah desa yang terletak di kota Brebes.
 ”Pak, Alhamdulillah, Tum masuk jurusan Biologi UGM.”
 ”Alhamdulillah, selamat ya Nduk! Tapi kok wajahmu seperti itu? Seharusnya kamu senang dong. Kamu sudah lulus dan sudah diterima. Memang kenapa lagi?”
 ”Berarti Tum akan jauh sama Bapak dan Ibu?”
”Nduk, kan sudah kita sepakati bersama. Jangan menyesal! Kamu harus percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik kepada hamba-Nya. Mungkin Allah punya rencana untuk kamu di sana. Kamu harus yakin itu Nduk! Ayo mana anak Bapak yang pantang menyerah?”
Akhirnya, Tumini berangkat ke Jogja.
Saat Orientasi Mahasiswa Baru, dia bertemu Rossy. 
“Kenalin, gue Rossy dari Jakarta. Elo?” 
”Ehm.. Aku Tumini dari Brebes” 
”Tumini? Eh, lo mau ga jadi temen gue?”
 ”Wah, mau...”
 ”Sip, tapi aku panggil kamu Mini aja ya biar gaul gitu lho!” saran Rossy.
 ”Ehm.. Mini? Bagus juga! Okelah..” 
Sewaktu mereka asyik berbincang-bincang, datanglah seorang gadis berjilbab rapi yang ternyata bernama Dara. Tumini juga berkenalan dengannya. 
Saat Dara berlalu, Rossy kembali berujar. “Gimana kalau besok kita shopping aja sekalian beli perlengkapan kuliah!” 
“Shopping? Hmm.. ehh.. oke deh!” kata Tumini. 
Keesokan harinya mereka shopping. Tanpa kenal waktu, sampai-sampai shalatpun terlewatkan. Tumini pun terdesak dan memakai uang yang diberikan Bapaknya sebagai jatah biaya hidupnya sebulan. Mereka jadi kecanduan shopping. Tumini berubah menjadi gadis yang boros dan sering meninggalkan sholat. Tumini yang dulunya lugu dan pendiam mulai berubah seiring dengan pergaulannya bersama Rossy. Ia suka hura-hura dan sering berbohong pada orang tuanya. Dia selalu meminta uang dengan alasan untuk kuliah, beli buku, dan lain-lain. Padahal uang kirimannya digunakan untuk belanja, nonton, dan hura-hura. Hingga suatu ketika datanglah sepucuk surat dari Ibu. Dengan penuh semangat Tumini membuka surat itu. Namun, ekspresinya berubah seketika. 

Assalamu’alaykum. Wr.Wb... Tum, bapakmu sakit. Sekarang sedang opname di Rumah Sakit. Maaf, Bapak Ibu tidak bisa mengirim uang bulan ini. Tolong uangnya dihemat ya. Doakan Bapak cepat sembuh. Wassalamu’alaykum. Wr.Wb... Ibu 
Tangis Tumini pecah. Tak kuasa ia menahan air matanya. Uangnya habis. Padahal belum bayar biaya kuliah. Tuminipun mencari pinjaman pada Rossy. Akan tetapi, Rossy menolak saat dimintai tolong. Hati Tumini semakin terpukul. Ia mencari tempat untuk menenangkan diri. Ia teringat akan orang tuanya di desa yang susah payah memberi dukungan kepadanya. Tapi kepercayaan itu disalahgunakan. 
Dara memergoki Tumini yang sedang sedih di pojok ruangan. “Mini, aku perhatikan dari tadi kok kamu aneh. Kenapa? Kok menangis? Cerita saja Tumini! Apa gunanya ada teman kalau kamu tidak bisa berbagi dengannya.”
 ”Rossy jahat Ra. Dia ada kalau senang saja, ketika aku sedih dan membutuhkannya, dia malah meninggalkanku. Aku menyesal sudah terpengaruh. Sekarang aku kena batunya.” 
Akhirnya Tumini menceritakan semua kejadian kepada Dara. ”Ya sudah, sekarang begini saja. Aku punya simpanan, nanti pakai uangku dulu saja.”
 ”Makasih ya, kamu sudah menemani dan sudah memberi solusi untuk masalahku ini.”
 ”Iya, sama-sama. Itulah gunanya teman. Ya sudah, baiknya sekarang ikut aku kajian kemuslimahan di masjid yuk biar kamu lebih tenang,” ajak Dara. Tumini pun mengiringi langkah Dara menuju masjid kampus.



Tulisan ini diposting pada bulan Mei 2012 di blog sebelumnya.
 

Daftar Tulisan

Motivasi (343) Coretan (233) Dunia Muslimah (140) Puisi (114) RomantiCouple (82) Artikel (76) Kepenulisan (49) Tips (46) FLP (41) Mutiara Kata (41) TraveLova (35) Catatan Mamiko (25) Dunia Parenting (23) Cerpen (20) Inspirasi Bisnis (19) Resensi Buku (17) Buku Aisya Avicenna (13) Dunia Anak (13) Flash Fiction (9) Resensi Film (8) Cerbung (5)