ASSALAMU’ALAIKUM WR. WB. SAHABAT, TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG SAYA INI. SEMOGA BERMANFAAT DAN MAMPU MEMBERIKAN INSPIRASI. BAGI SAYA, MENULIS ADALAH SALAH SATU CARA MENDOKUMENTASIKAN HIDUP HINGGA KELAK SAAT DIRI INI TIADA, TAK SEKADAR MENINGGALKAN NAMA. SELAMAT MEMBACA! SALAM HANGAT, ETIKA AISYA AVICENNA.

Hasan Al Banna, Bukan Sembarang Ayah


Cinta di Rumah Hasan Al-Banna  

Judul Resensi : Hasan Al Banna, Bukan Sembarang Ayah!  
Judul Buku : Cinta di Rumah Hasan Al Banna  
Penulis : Muhammad Lili Nur Aulia 
 Penerbit : Pustaka Da’watuna Terbit : Juni 2009 (cetakan keempat)  
Tebal : 92 halaman  
Harga : Rp 25.000,00
 
Telah banyak buku yang mengupas Imam Hasan Al Banna dan keberhasilannya membangun pondasi gerakan dakwah Al Ikhwan Al Muslimin yang mengilhami geliat kebangkitan Islam di seluruh dunia. Namun, sedikit sekali referensi yang membicarakan dakwah Al Banna sebagai ayah dalam keluarganya. Nah, buku ini mencoba menghadirkan berbagai pengalaman dan kenangan anak-anak Al Banna saat ayah mereka hidup di tengah aktivitas dakwahnya yang padat. Buku ini mencoba 'mengintip' dakwah Al Banna kepada keluarganya.

 
Buku kecil ini bisa disebut buku saku dilihat dari ukurannya yang kecil. Menurut saya buku ini adalah buku saku yang sangat berbobot. Setidaknya untuk setiap pribadi yang masih dalam rencana untuk membangun keluarga dakwah (seperti saya). Secara garis besar, sebenarnya pesan global dari buku ini adalah untuk membuat sebuah pilar yang kuat dari fase bina ul-ummat, yaitu takwiinu baytul muslim, dengan sangat baik, mulai dari rencana pemilihan calon ibu/ayah untuk anak-anaknya kelak hingga saat pembinaan keluarga itu sendiri.


Buku ini dimulai dengan kisah like father like son, sebuah kisah yang menggambarkan kesholehan putra seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dilanjutkan dengan kisah dari proses pencarian istri Hasan Al-Banna. Bermula dari ketertarikan Sang Ibunda pada kelembutan suara Al-Qur’an seorang gadis pada saat beliau bersilaturahim di sebuah rumah, lalu Ibunda Hasan Al-Banna bercerita dengan anaknya. Akhirnya, berlanjutlah ke proses pernikahan.


Selanjutnya, buku ini membahas tentang bagaimana seorang muassis gerakan Ikhwanul Muslimin, dalam tingkat kesibukan yang amat sangat, tetap melaksanakan hak dan kewajiban keluarganya. Dikisahkan pula tentang seorang suami yang sangat menyayangi dan menghormati istrinya. Digambarkan bagaimana Hasan Al-Banna dengan penuh kasih sayang mendidik anak-anaknya, memberikan pemahaman tanpa kekerasan, membuat anak-anaknya cinta dengan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan,dll


Kesan mendalam bagi saya dari buku ini adalah bagaimana Hasan Al-Banna menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, keikhlasan dan pengorbanan dalam keluarganya, sehingga istrinya dengan hati yang senang dan rela menyumbangkan banyak perabotan rumahnya untuk markas dakwah Ikhwanul Muslimin, sehingga dengan ikhlas dan rela, anak-anaknya menjadi orang-orang yang paling dahulu sadar dan memperjuangkan kondisi umat Islam di Palestina dan Mesir, sehingga dengan lapang, sang istri menerima jawaban sang suami saat ia memintanya membeli sebuah rumah kecil ”Wahai Ummu Wafa, sesungguhnya istana kita sedang menunggu kita di surga-Nya….”. Alangkah indahnya, sehingga dengan ikhlas dan ridha, keluarganya melepas kepergian suami dan ayah mereka, dalam kesyahidan di jalan Allah.


Saya juga terinspirasi dengan kebiasaan keluarga yang dicontohkan Hasan Al-Banna. Semisal, makan pagi bersama tiap pagi, membaca Al-Qur’an bersama-sama setiap ba’da magrib, dan pergi ke toko buku tiap bulan untuk membeli buku-buku yang bermanfaat. Buku ini mengisahkan bagaimana Hasan Al Banna dalam menanamkan keimanan dan kecintaan terhadap Islam, bagaimana sikapnya terhadap kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan anaknya, bagaimana bentuk perhatiannya terhadap pendidikan, kebiasaan beliau mendokumentasikan perkembangan dan riwayat sakit yang pernah dialami masing-masing anak, lengkap dengan catatan kapan saja si anak sakit, sakit apa, obat apa yang pernah diberi, berikut rekomendasi dan resep-resep dokter. Pendeknya sampai hal terkecil pun didokumentasikan secara detail dan rapi. Hal ini saya kira bukan pekerjaan mudah yang tidak menyita waktu, apalagi di tengah aktivitas dakwahnya yang demikian padat. Dari sini kita diyakinkan bahwa tidak ada dikotomi antara keluarga dan dakwah. Pun tidak akan ada pertanyaan: "Mana yang lebih penting, dakwah untuk ummat atau membina keluarga?"


Memang perilaku Hasan Al Banna dalam mendidik anak-anaknya belum tentu mencerminkan sesuatu yang ideal. Semua yang ideal tetap milik Rasulullah SAW sebagaimana ucapan beliau, "Wa anaa khairukum li ahlii..." (Aku adalah orang yang paling baik di antara kalian kepada keluarga). Tapi, apa yang dilakukan Hasan Al Banna seperti yang tertera di buku ini, merupakan contoh lahir yang bisa menjadi inspirasi kebaikan bagi kita semua.


Bagi sahabat, para abi/calon abi sekalian, atau para ikhwah calon arsitek pembangun rumah tangga dakwah, buku ini cocok buat dibaca, karena di dalamnya tertuang banyak contoh nyata dari seorang para pejuang dakwah dalam memposisikan diri secara lebih tepat saat mengemban amanah, baik dalam keluarga maupun dakwah.
Selamat membaca, merenungkan, dan mempraktikkannya!

Jakarta, 030610_03:40
Aisya Avicenna



Tulisan ini diposting pada bulan Juni 2010 di blog sebelumnya

0 comments:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan komentar di blog ini ^___^. Mohon maaf komentarnya dimoderasi ya. Insya Allah komentar yang bukan spam akan dimunculkan. IG/Twitter : @aisyaavicenna